PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID TENTANG NU, ISLAM DAN NEGARA

Itulah sebagian kecil sosok Abdurrahman Wahid, yang sekilas terkesan sebagai tokoh multi komplek lengkap dengan segala kenyelenehannya. Tugas saya sudah usai, mengobrak-abrik NU, yakni mengubah wawasan warga NU” . Itulah salah satu ungkapan ketua PBNU Abdurrahman Wahid saat usai periode kedua dalam kepemimpinan dalam NU. 48

B. PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID TENTANG NU, ISLAM DAN NEGARA

Pendidikan Abdurrahman Wahid mewakili Amalmagasi antar pendidikan Islam tradisional dan pendidikan “barat” modern. Dilihat dari setting ini, akan tampak salah satu dari hasil sintesis kedua pendidikan ini adalah perhatian yang sangat kuat untuk reformasi pemikiran dan politik Islam, sesuatu yang harus diperhatikan oleh modernisme Islam. Untuk benar-benar memahami pemikiran politik Abdurrahman Wahid, perlu dilihat kehadirannya sebagai representasi generasi pemikir Islam Revolusioner di Indonesia. Greg Barton, 49 Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, 50 memasukkan Abdurrahman Wahid sebagai pemikir Neo-Modernis, yang sangat mengedepankan pemahaman Islam yang terbuka, inklusif dan liberal, utamanya dalam menerima dan meng-afirmasi pluralisme masyarakat dan menekankan signifikansi toleransi dan harmoni dalam hubungan antar komunal. 51 Salah satu 48 Ummurisalah, “Gus Dur di Mata Mereka”, Aula, No. 11Th.XVINovember 1994, hal.27. 49 Greg Fealy dan Greg Barton, Op Cit , hal.195. 50 Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam, Rekrontruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru , Cet II, Bandung: Mizan, 1990, hal. 171-177. 51 Ammaruddin Masdar, Membaca Pemikiran Gus Dur dan Amin Rais Tentang Demokrasi. ciri yang menandai pemikiran Neo-modernis adalah komitmennya pada pluralistik dan nilai-nilai demokratik. Selain itu, nilai-nilai pluralistik ini telah dirajut di dalam struktur Iman Islam sebagai nilai inti Islam itu sendiri. 52 Berangkat dari pola pemikiran di atas, timbul pertanyaan bagaimanakah Abdurrahman Wahid menempatkan kepentingan nasional dengan kepentingan agama Islam?. Bagi Abdurrahman Wahid, kepentingan Islam memang harus diutamakan oleh umat Islam, sebab itu hak Umat Islam telah dijamin oleh perundang-undangan. Tetapi permasalahannya, bagaimana kalau kepentingan Islam itu justru merugikan pihak lain?. Hal demikian menurut Abdurrahman Wahid harus dihindari, karena kepentingan nasional adalah Kepentingan Islam juga, tujuan Islam adalah menciptakan kesejahteraan sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an “ Tiadalah Ku utus engkau wahai Muhammad , kecuali sebagai pembawa Rahmat Kesejahteraan ”. Sehingga kita bisa mengetahui mengapa Abdurrahman Wahid menolak bergabung dengan ICMI. Menurut persepsinya, ICMI cenderung bersifat eksklusif. Apalagi pada kenyataannya, ICMI lebih banyak bernuansa politis daripada nuansa kecendekiawanan. Fenomena ICMI yang kita saksikan tampaknya menjadi sarana “batu loncatan” oleh pihak-pihak tertentu untuk meningkatkan karir politik, dan dengan ICMI negara bisa mengkooptasi atau bahkan menjinakkan para cendekiawan muslim yang semula sangat kritis terhadap negara. 53 52 Greg Fealy dan Greg Barton, Op Cit , hal.195 53 Nasrullah Ali Fauzi, ICMI Antara Status Quo dan Demokratisasi,Bandung:Mizan,1995, hal.70. Kenyataan ICMI tersebut di atas bagi Abdurrahman Wahid dirasa kurang sehat, terlalu banyak membela satu golongan saja Islam dan mengabaikan golongan lainnya non muslim. Hal demikian kurang baik untuk suatu negara semacam Indonesia yang pluralistik serta memiliki komponen yang beranekaragam. 54 Ia menegaskan pendapatnya : Bagi saya “masyarakat Islami” di Indonesia bertentangan dengan konstitusi, karena akan menempatkan non muslim sebagai warga negara kelas dua. Tetapi sebuah masyarakat Indonesia di mana kaum muslimin kuat, kuat yang berarti berfungsi secara baik. Saya pikir itulah yang terbaik. Karena itu, menjadi tugas NU-lah untuk menunjukkan alternatif visi dan kemasyarakatan yang toleransi. 55 Dalam menghadapi kebangkitan politik Islam di Indonesia, Abdurrahman Wahid berargumentasi:.. Jauh di lubuk hati saya, saya tidak tahu bahwa tidak mungkin bagi Indonesia diatur oleh satu pihak. Impian dan keyakinan saya bagi sebuah Indonesia yang modern adalah politik yang terbuka, dimana kegiatan politik adalah hal yang biasa dan tidak secara eksklusif berdasarkan agama dan ras. ... Bukankah, sebaliknya bahwa gerakan Islam harus menghindarkan formalisme dan memperjuangkan demokrasi dengan segala konsekuensinya. kalau ini tidak dilakukan bukankah salah satu, kalau kita menghasilkan formalisme Islam yang mengekang demokrasi seperti di Iran atau meninggalkan demokrasi dengan meninggalkan Islam? Pertarungan inilah yang tampaknya masih akan mewarnai kehidupan bangsa ini. Abdurrahman Wahid melihat bahwa wadah untuk pendapatnya sebenarnya sudah ada yaitu Pancasila. Baginya, di dalam Pancasila terdapat unsur toleransi beragama, dan merupakan prasyarat yang sangat penting dalam pembangunan sebuah masyarakat demokratis di Indonesia. Pandangannya mengenai Pancasila 54 Gus Dur, “ ICMI Islam Masjid”, Aula, No. 11Th.XIVNovember 1994, hal.55. 55 Greg Fealy dan Greg Barton, Op Cit , hal.206-207. sebagai basis nasionalisme bagi negara penting, karena beberapa muslim memandang Pancasila sebagai ideologi sekuler yang tidak sesuai dengan lslam. Dalam hal ini, Abdurrahman Wahid sering kali menunjukkan bahwa, ayahnya Wahid Hasyim, seorang pemimpin NU pada tahun 1945, juga sepakat mendukung negara nasional non Islam. 56 NU merupakan salah satu organisasi berbasis massa yang pertama kali mengakui keabsahan Orde Baru. Abdurrahman Wahid berpendapat bahwa tidak ada keharusan dalam ajaran Islam untuk membentuk negara Islam. Itulah sebabnya, ayahnya dan kepemimpinan NU bisa dengan mudah menerima sebuah negara yang tidak secara eksplisit berdasarkan Islam. Baginya Indonesia adalah sebuah negara konsensus dan kompromi ini inhern dalam Pancasila. 57 Abdurrahman Wahid seringkali menekankan keyakinan nasionalis NU dengan menegaskan kesetiaan NU pada Pancasila. Ia menjelaskan bahwa pada tahun 1945 Soekarno meminta nasehat pimpinan NU, termasuk ayahnya yang diyakini membantu Soekarno merumuskan Pancasila. 58 Selain itu Abdurrahman Wahid berpendapat bahwa tidak ada pertentangan antara Islam dan nasionalisme. Islam bisa berkembang secara spiritual dalam sebuah negara nasional yang tidak secara formal berdasarkan pada Islam: NU berpegang pada konsepsi nasionalisme yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. NU telah menjadi pioner dalam masalah ideologis. Ini hanya satu kasus, karena di seluruh dunia Islam hubungan antara nasionalisme dan Islam masih menjadi persoalan, para penulis sendiri 56 Dapat dilihat dalam pernyataan Wahid Hasyim pada tahun 1945 bahwa dengan “Persatuan bangsa yang tidak dapat dipecah-pecah, posisi Islam yang sehat bisa di jamin”, dikutip dari Harry J. Benda, The Crescent And The Rissing Sun, Indonesian Islam Under Japanese Occupation , Den Hag: Van Houve Ltd, 1953. hal 189. 57 Gus Dur, “NU dan Islam”, Media Indonesia, 8 Oktober 1998. 58 Pidato Gus Dur, “Langkah Strategis”, Aula, Juli 1992, hal.26. menganggap nasionalisme sebagai bentuk sekularisme. Mereka belum mengerti bahwa nasionalisme seperti yang dipraktekkan di Indonesia tidaklah sekular, tetapi sangat menghormati peran agama. 59 Gambaran pemikiran Abdurrahman Wahid di atas telah membuat NU menciptakan organisasinya sendiri pada tahun 1926, dan menciptakan partai politik sendiri pada tahun 1952 ketika kepemimpinan baru Masyumi di bawah Moh. Natsir memutuskan untuk mengurangi peran ulama yang berkumpul di majlis Syuro. Moh. Natsir, sebagai seorang yang berpendidikan “Islam dan Barat” yang membiarkan ulama NU memutuskan apa yang benar dan apa yang salah sesuai dengan hukum Islam. Perpecahan instrinsik ini merupakan alasan mengapa para Founding Father RI memutuskan melawan “bentuk-bentuk” dalam memandang substansi, pada bulan Mei 1945, sebagai cara untuk mempersatukan bangsa yang heterogen ini. Masyumi pada tahun 1950-an tidak pernah memperjuangkan “bentuk-bentuk” melainkan substansi. Kini, Abdurrahman Wahid mempromosikan nilai-nilai etik etika sosial bukan pemahaman Islam yang legal-formalistik. Baginya di tempatkan Islam sebagai sebuah nilai-nilai etik dalam konteks kebangsaan dan keagamaan akan memberi nuansa baru dalam warna dan orientasi dari gerakan Islam dan interpretasi ajarannya, sehingga ketegangan Islam dan negara dapat dieliminasi demi kebutuhan kemanusiaan. 60

C. ABDURRAHMAN WAHID DAN MISI PERJUANGAN POLITIK PKB