PANDANGAN YUSUF HASYIM TENTANG NU, ISLAM DAN NEGARA

Itulah sosok setelah tidak aktif di politik keluar dari PKU, 2000 saat ini Yusuf Hasyim kembali memimpin Pesantren Tebuireng. “Saya memang ingin mengasuh pesantren dengan baik dan hidup berkeluarga dengan baik” katanya suatu ketika.

E. PANDANGAN YUSUF HASYIM TENTANG NU, ISLAM DAN NEGARA

Memahami pemikiran Yusuf Hasyim, dapat dilihat kehadirannya sebagai representasi unsur NU yang pernah bercokol dalam dunia politik. Sebab kehadirannya di sana, ia dikenal sebagai politisi vokal serta kritis dalam menyikapi kebijakan-kebijakan awal pemerintahan Orde Baru, yang menurutnya tidak menguntungkan bagi Islam baik sebagai kelembagaan maupun ajaran. Untuk itu, agar mudah merumuskan pandangan-pandangannya, perlu penulis singgung kembali peristiwa “perang dua kubu” dalam internal NU, ketika orpol ini merespon kebijakan-kebijakan awal pemerintahan Orde Baru. Secara garis besar kebijakan Orde Baru yang menggegerkan Islam khususnya dan unsur- unsur dalam PPP, yaitu; pertama, soal isu-isu perpindahan agama yang menghantui umat Islam. kedua, timbulnya pandangan “sekuleristik” yang mulai berkembang berkaitan dengan peran politik Islam, yang ditandai oleh gagasan “sekulerisasi” dari Nur Cholis Madjid melalui slogan “ Islam yes, partai Islam no” yang dimunculkan sekitar tahun 70-an. 82 82 Syamsudian Haris, PPP dan Politik Orde Baru, Jakarta:Garmedia, 1991, hal.11. Menyikapi kebijakan Orde Baru di atas, dalam internal PPP muncul kelompok-kelompok besar yang cenderung radikal yang saling bertentangan yakni kelompok idealis dan kelompok realis. 83 Kelompok idealis yang diwakili unsur NU memandang politik merupakan interpretasi keagamaan dalam soal keduniaan dan atas dasar cita politik keagamaan ini, garis radikal unsur NU memprotes kebijakan serta arah politik pemerintah dalam banyak hal dinilai bercorak diikuti pembelaan terhadap Kaum Sekuler, yakni terkesan mengenyampingkan pertimbangan-pertimbangan agama. Sementara kelompok realis memandang, penerapan simbol-simbol agama dalam partai merupakan hambatan untuk membangun PPP sebagai partai modern. Mereka memandang bahwa politik adalah sesuatu yang realistis, tidak berkaitan dengan ideologi apalagi dengan pertimbangan keagamaan. 84 Puncak keradikalan yang ditunjukkan unsur-unsur NU ini, terlihat jelas pada SU MPR 1978, dalam sidang ini mengagendakan RANTAP, P4 yang di dalamnya berupa tafsir lima sila dalam Pancasila untuk dijadikan pedoman perilaku bangsa Indonesia serta rencana dimasukkannya aliran kepercayaan, mendapat reaksi cukup keras dari fraksi PPP yang dimotori unsur NU, Yusuf Hasyim dkk mengambil sikap walk out . 85 Unsur NU memandang bahwa rancangan tersebut merupakan suatu ancaman terhadap status Islam sebagai agama. 86 Berkenaan dengan ketidaksetujuan unsur NU ini, Martin Van Bruinessen 83 Sudarnoto Abdul Hakim, Islam Berbagai Perspektif, Yogyakarta: LPMI, 1995, hal.265. 84 Sudarnoto Abdul Hakim, Islam Berbagai Perspektif, hal.271. 85 Laode Ida, Anatomi Konflik NU, Elit Islam dan Negara, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996, hal.44. 86 Sudarnoto Abdul Hakim, Islam Berbagai Perspektif, hal.271. berkomentar bahwa ketidaksetujuan tersebut bukan terhadap relatifisme agama yang terkandung dalam program indoktrinasi, ini menyatakan semua agama yang diakui sama benarnya dan memberikan tempat terhormat kepada aliran kepercayaan. 87 Terhadap masalah indoktrinasi ini pula, melalui surat yang ditanda tangani oleh Rois II, KH. Masykur, Khatib I, Abdurrahman Wahid, Ketua 1, KH. Yusuf Hasyim dan Sekjen, HM. Moenasir menegaskan sikap NU yang isinya bahwa PBNU memandang perlu menyatakan penegasan sikapnya untuk tetap mempertahankan asas Islam bagi Nahdlatul Ulama sebagai suatu Jamiyah. 88 Atas sikap-sikap idealis dan cenderung radikal dari unsur-unsur NU inilah, Presiden Soeharto merasa kecewa terhadap politisi-politisi NU. 89 Dan akibatnya pimpinan PPP dari unsur MI, Naro di dukung oleh anggota PPP yang akomodatif kepada pemerintah melakukan pembersihan partai dari unsur radikalisme politisi NU. 90 Dari sinilah, salah satu kekecewaan politisi NU terhadap kelompok akomodasi realis, Naro dkk. Bersama dengan itu timbul gagasan untuk melepaskan NU dari PPP sekaligus mengembalikan NU pada misi awal berdirinya NU, Khittah 1926. Meskipun gagasan untuk kembali ke Khittah ’26 sebenarnya sudah digulirkan sejak tahun 1959. Gagasan itu bagaikan membentur tembok bahkan memperoleh tanggapan kurang baik dari elit NU yang didominasi politisi baru pada penghujung tahun 1970-an dan awal 1980-an, setelah mengalami 87 Martin Van Bruinessen, NU, Tradisi,Relasi Kekuasaan, Pencarian Wacana Baru, hal.106. 88 M. Imam Aziz, “Beberapa Pertanyaan di sekitar NU dan Pancasila”, Makalah di diskusi ntetrfidsi, 16 Desember 1992. 89 Mahrus Irsyam, Ulama dan Partai Politik, Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1984, hal.63-64. 90 Laode Ida, Anatomi Konflik NU, Elit Islam dan Negara, hal.50. berbagai ketegangan dan konflik dalam NU baik sebagai akibat percaturan kepentingan dari fraksi-fraksi yang berbeda di NU mulai mengambil langkah kembali ke khittah 1926. Terhadap gagasan, di tubuh NU sendiri melahirkan dua kubu besar yang disebut kubu realis dan idealis. Kubu realis berpandangan bahwa untuk memperjuangkan aspirasi NU harus melakukan interaksi dan interdependensi baik dengan kelompok lain maupun dengan kekuasaan. Sedangkan kubu idealis yang pada intinya menolak pengurangan porsi NU. 91 Pertarungan dua kubu NU inilah yang senantiasa mewarnai perjalanan NU dalam merespon perkembangan zaman. Persoalan ini nampak menjadi dilematik ketika konsep perjuangan NU Khittah ’26 tiba-tiba kandas oleh hingar bingarnya Pemilu 99 dan euforia reformasi pasca lengsernya Soeharto. Kelompok realis menjadi sumber ketidakpercayaan kalangan warga Nahdliyyin kubu idealis yang tetap memegang idealisme untuk berpihak pada cita-cita NU. Ketidakpercayaan kubu-kubu di atas, dapat dilihat adanya dua kecenderungan dalam merespon perkembangan sosial bagi organisasi NU sebagai gerakan Islam. Menurut Abdurrahman Wahid, dua kecenderungan gerakan itu adalah; pertama pihak yang berpendapat Islam seharusnya tidak menampilkan diri dalam bentuk yang eksklusif dan simbolik. Islam mesti mengintegrasikan kegiatannya dalam kegiatan bangsa secara menyeluruh. Pihak ini jelas memiliki tema-tema gerakan pilihan masalhnya sangat jelas yakni yang dihadapi bangsa. Paradigma pihak ini merawat bangsa dengan agama. kedua, pihak yang 91 Laode Ida, Anatomi Konflik NU, Elit Islam dan Negara, hal.80-81. menginginkan ajaran Islam diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara state. Agama diharapkan menjadi pemecah masalah, sehingga paradigma pihak ini “menguasai negara dengan agama”. Pihak ini ingin menampilkan wajah Islam dan mengekspresikan rasa keberagamannnya dalam kenegaraan secara utuh, meski kadang tanpa didukung oleh substansi apapun dari agama itu sendiri. 92 Dari rangkaian-rangkaian peristiwa serta kategori cenderung kelompok tersebut di atas, nampaknya Yusuf Hasyim dapat digolongkan pada kelompok idealis yang cenderung eksklusif. Bisa dilihat dari pandangan dan pikiran keagamaan yang terkadang radikal dalam merespon perkembangan zaman melalui NU sebagai suatu gerakan Islam. Isu-isu politik Islam 93 yang beliau lontarkan tatkala Pemilu 99 misalnya, merupakan salah satu bukti pemikiran Yusuf Hasyim yang eksklusif ini. Menurut Yusuf Hasyim, antara Islam dan politik janganlah terjadi pemisahan atau dalam bahasa KH. Wahab Hasbullah, Islam dan politik ibarat “gula dan manisnya”. Mengenai hal ini Yusuf Hasyim berpendapat; bagi saya Islam dan politik jangan dipisahkan. Politik harus diikuti oleh agama sehingga mudah menyingkirkan penyelewengan. Tidak boleh ada jurang pemisah antara agama dan politik. 94 Walaupun kalimat yang diucapkan Yusuf Hasyim tidak 92 Zainal Arifin Toha, “Gus Dur, NU dan Demokrasi”, Suara Merdeka, 3 Desember 1993. Lihat juga Al zastrow Ng, “Gus Dur, Islam dan Demokrasi”, Suara Merdeka, 6 Desember 1994. 93 Politik Islam yang dimaksud adalah politik yang di dasarkan pada pandangan keagamaan Islam, polutik yang mengunakan symbol formal dan dimaksudkan untuk menegakkan tatanan masyarakt politik Islam. Ketika mengamati perdebatan tentang dasar negara, Endang Saifuddin Anshori menyebut ini dengan Kelompok Nasionalis Islam, merupakan rival dari Sekuler Nasionalis. Sudarnoto Abdul Hakim, Islam Berbagai Perspektif, hal.278. 94 KH. Yusuf Hasyim, “Gus Dur Tidak Demokratis”, Sabili No.4 Thn.VI, 2 September 1998, hal.57. secara teknikal merujuk pada teks, namun pernyataan tersebut terkesan idealis dan eksklusif. Dalam arti bahwa aktifitas dan kegiatan politik dipahami Yusuf Hasyim sebagai manifestasi ajaran Islam. Meskipun bekas wadah politik yang pernah menghantar Yusuf Hasyim sebagai wakil di FPP telah kembali khittah 26, ternyata cita-cita untuk menjadikan NU sebagai partai politik sangatlah kuat, komentarnya : ..... Khittah itukan sekedar rumusan orang-orang muda sekarang. NU naluri politiknya kental... bagi saya sebaiknya NU kembali menjadi partai politik. Memang pada tahun 1984 sebagaimana orang-orang NU berpendapat bahwa perlu langkah baru agar NU menjadi organisasi sosial kemasyarakatan. Hal itu sekedar menghindari himpitan-himpitan. Nah, sekarang sudah tidak ada himpitan maka kembali seperti dulu. Kalau ada yang menanyakan itu melanggar khittah, saya jawab yang tahun 1952 itu melanggar khittah tidak . 95 Berangkat dari pandangan serta idealisme Yusuf Hasyim tersebut, serta di dukung zaman yang kondusif untuk mewujudkan obsesinya, wajar apabila pada saat pemilu 99 idealismenya diwujudkan melalui Partai Kebangkitan Umat PKU. Menurutnya,disamping PKU lebih mewarisi tradisi pemikiran NU yang lebih fiqh oriented dan melalui partai ini pula reformasi internal guna mengembalikan NU pada cita-cita luhur para pendirinya dapat dilakukan, sekaligus memperjuangkan aspirasi umat Islam pada umumnya. Jadi, dari sini terlihat jelas komitmen PKU untuk menjadikan siyasah politik sebagai alat 95 KH. Yusuf Hasyim, “Gus Dur Tidak Demokratis”, Sabili No.4 Thn.VI, 2 September 1998, hal.59. memperjuangkan syari’ah Islam dalam batas akomodasi yang wajar dan sejalan dengan kepentingan nasional . 96 Dalam cara inilah, terlihat Yusuf Hasyim terkesan masih berputar-putar pada pola lama, dari sinilah perbedaan antara Abdurrahman Wahid dan Yusuf Hasyim ini terjadi. Menurut Yusuf Hasyim ini dilakukan semata-mata demi kepentingan dan kebaikan NU, “ apa yang saya inginkan cuma satu : NU baik..., saya prihatin jika ada orang yang menuduh saya akan membuat NU bebas, itu sama sekali tidak benar “ 97 tegasnya suatu ketika.

F. YUSUF HASYIM DAN MISI PERJUANGAN POLITIK PKU