SKETSA BIOGRAFI ABDURRAHMAN WAHID

BAB III PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID DAN YUSUF HASYIM TERHADAP VISI PERJUANGAN POLITIK NU

A. SKETSA BIOGRAFI ABDURRAHMAN WAHID

Abdurrahman Wahid lahir 4 Agustus 1940 di Jombang, Jawa Timur dengan nama Abdurrahman ad-Dakhil, ia telah melewati proses pematangan pemikiran dan pengembangan intelektual yang cukup panjang dan dalam. 42 Abdurrahman Wahid tumbuh dan berkembang di tengah keluarga santri beraliran Sunni. Kakeknya KH. Hasyim Asy’ari, adalah pendiri NU. Ayahnya, KH. A. Wahid Hasyim, adalah Menteri Agama RI pertama dan aktif dalam Panitia Sembilan yang merumuskan Piagam Jakarta. KH. A. Wahid Hasyim memberikan nama Abdurrahman ad Dakhil bagi putra pertamanya yang lahir pada Agustus 1940. Nama itu diambilkan dari nama tokoh Islam terkemuka dimasa Dinasti Umayah. Secara leksikal, ia berarti “Abdurrahman sang penakluk” Idealisme KH. A. Wahid Hasyim adalah tentu agar putra pertamanya juga menjadi seorang “penakluk”, seperti pemilik asli nama itu ratusan tahun silam. Namun dikemudian hari sang putra lebih suka menuliskan namanya sebagai Gus Dur. Orang-orang secara akrab memanggilnya Gus Dur. Barangkali karena itulah, karena tidak pernah menuliskan kata ad 42 Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita Jakarta: The Wahid Institut, 2006, hal.ix. Dakhil, putra KH. A. Wahid Hasyim ini sedikit kepayahan untuk menampilkan diri sebagai seorang penakluk, bahkan dalam lingkungan NU yang dipimpinnya. Meskipun berasal dari keluarga santri, sebagian jenjang pendidikan formal Abdurrahman Wahid ditempuh di sekolah-sekolah sekuler. Ia lulus dari Sekolah Rakyat SR di Jakarta tahun 1953. Tahun 1953 - 1957, ia belajar di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama SMEP Yogyakarta. Di Yogyakarta ini ia tinggal di rumah salah seorang Majlis Tarjih Muhammadiyah, KH. Junaid. Dari tahun 1957–1959 ia belajar di pesantren tegalrejo Magelang dan kemudian pindah ke Pesantren Mu’allimat Bahrul Ulum Jombang, sampai tahun 1963. Kemudian ia pindah ke Pesantren Krapyak Yogyakarta dan menetap di rumah tokoh NU terkemuka, KH. Ali Mashum. 43 Tahun 1964, Abdurrahman Wahid berangkat ke Kairo untuk belajar di Universitas al Azhar. Namun, sebagian besar waktunya di Mesir dihabiskan di ruang perpustakaan, terutama American University Library, sebuah perpustakaan terlengkap di kota itu. Dari Mesir ia pindah ke Universitas Baghdad mengambil Fakultas Sastra. Dengan latar belakang pendidikan, pergaulan, dan perkenalannya dengan dunia keilmuan yang cukup kosmopolitan itu, Abdurrahman Wahid mulai naik ke permukaan percaturan intelektual Indonesia dengan pemikiran-pemikiran briliannya. Pada tahun 1970-an, ketika ia mulai aktif di beberapa lembaga sosial, LSM, dan forum-forum diskusi. Kendati latar belakang pendidikan formalnya tidak ada yang ditempuh di Barat, menurut Greg Barton. Abdurrahman Wahid 43 Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, hal.xi-xiii. secara intelektual jauh lebih siap untuk berpartisipasi dalam wacana-wacana besar mengenai pemikiran Barat, pendidikan Islam, dan masyarakat Muslim. Studinya di Baghdad telah memberikan dasar yang baik mengenai pendidikan bercorak liberal dan bergaya Barat serta sekuler. 44 KH. Ali Mashum alm pengasuh Pondok Pesantren al Munawwir Krapyak Yogyakarta pernah menyatakan “ Gus Dur itu pancen nyeleneh, aneh, ananging beneh Gus Dur itu membuat kita bingung, bengong, namun nyatanya benar” . Cerita ini terungkap ketika ada pengadilan terhadap perilaku Abdurrahman Wahid yang dianggap membingungkan atau kontroversial. 45 Gagasan-gagasan dan komentarnya dianggap bertentangan dengan aturan yang selama ini dianut oleh kalangan NU atau pemeluk Islam. Tulisan atau perilaku Abdurrahman Wahid membingungkan warga, khususnya ulama NU. Termasuk didalamnya tentang ajaran Marxisme. Didasari terhadap gagasannya, Abdurrahman Wahid sering dituduh sebagai agen orientalisme, zionisme, sekuler, sosialis, dan meremehkan ajaran Islam. 46 Sejak melontarkan pemikiran-pemikiran pada pertengahan 1980-an, Abdurrahman Wahid senantiasa mewarnai wacana media massa di tanah air. Berangkat dari dunia pesantren, ia dinilai berhasil menepiskan anggapan sebagian komunitas Islam kota terhadap kejumudan dunia pendidikan Islam tradisional. 44 Greg Fealy dan Greg Barton, Tradisionalisme Radikal, Persinggungan NU dan Negara, hal.165-166. Kh Ahmad Siddiq alm pernah mengungkapkan kehenarannya ketika Gus Dur yang masih SMEP sudah membaca Das Kapital karya Karl Max. Sewaktu remaja ia juga gemar membaca karya-karya Jean Pul Sartre dan mengagumi pemikiran pemimpin besar India, Mohandas Karamachachand Ghandi. KH. Imron Hamzah dan Choiril Anam, “Gus Dur Diadili Kyai-Kyai”, Jawa Pos, 1989, hal. 11 45 KH. Imron Hamzah dan Choiril Anam, “Gus Dur Diadili Kyai-Kyai”, Jawa Pos, 1989, hal. 3. 46 Sholihin Hidayat dan Sururi al Faruqi “Gus Dur Tokoh Nyeleneh dan Konsisten”, Jawa Pos , 20 April 1999. Kolom – kolom awalnya menyadarkan orang akan tidak berdasarnya “stereotip” yang sering dialamatkan kepada para kyai selama ini. Memasuki dasawarsa 1990- an langkah politiknya lebih ‘gila’ lagi. Bagi sejumlah komunitas Islam, ia pernah dikecam habis-habisan karena pendapatnya yang berani keluar dari mainstream umat. Kemudian bersama sejumlah tokoh yang ada di pinggir kekuasaan ia mengungkapkan forum Demokrasi. Dengan itu, maka ia telah mengambil resiko yaitu bersebrangan dengan pendukung status quo. Menjelang pemilu 1997, ia menggandeng Mbak Tutut tanpa meninggalkan Mbak Mega. Masih dalam kesempatan yang sama, bersama Mbak Tutut dan R. Hartono ia melakukan safari politik ke kantong-kantong NU di Jawa Timur. Sebelumnya pada Muktamar NU di Cipasung tahun 1995, ia sempat digoncang oleh kubu Abu Hasan, tapi ia tidak collapse. Setelah itu iklim hubungannya dengan pemerintah sempat agak memanas. Tetapi justru ia bisa bersalaman dengan Pak Harto. Ada yang menyebut peristiwa ini sebagai “salaman politik”. Dengan segala sepak terjangnya itulah benar-benar menjadi sosok kyai yang mewarnai langit intelektual bebas di tanah air. Siapa lagi kalau bukan Gus Dur, panggilan akarab KH. Abdurrahman Wahid, tokoh paling kontroversial di panggung politik Indonesia. Periode akhir kepemimpinan Abdurrahman Wahid dalam NU, didukung terutama kehidupan politik era reformasi, setelah Soeharto lengser pada 21 Mei 1998. Abdurrahman Wahid telah bermain api di kancah politik nasional. Tidak secara langsung atas lengsernya Pak Harto memberikan kesempatan politik bagi banyak pihak, apalagi yang mempunyai dukungan massa besar, untuk dilewatkan begitu saja. Tanpa memperdulikan suara-suara sumbang, tiba-tiba Abdurrahman Wahid membuat kejutan politik, dengan mendirikan partai bagi warga NU, yaitu PKB. Hal ini dilakukan agar NU dapat secara langsung merasakan pahit manisnya politik yang tidak manikmati secara berarti, serta tidak mau hanya berdiri di pinggir jalan. Karena terbentur di Khittah ’26, maka diciptakanlah PKB. Dan, tamsil yang pernah dinyatakan Abdurrahman Wahid pada masa kampanye 1999, bahwa ibarat ayam NU mengeluarkan “telur” dan ”kotoran” menunjukkan tingkat proksimitas PKB dengan NU yang teramat tinggi. Inilah yang membuat peserta Muktamar merekomendasikan PKB untuk melakukan politik “pulang kandang.” Dengan kata lain, mereka mengamanatkan PKB untuk mengajak para nahdliyin, yang secara politik berada dimana-mana, untuk kembali ke “telur” NU. Karenanya, meskipun diawal pidato, Abdurrahman Wahid sudah menyatakan keharusan untuk memisahkan NU dengan PKB, di dalam pandangan jamaahnya antara NU dan PKB merupakan entitas yang tidak bisa dipisahkan. 47 Sampai pada klimaksnya meteor politik Abdurrahman Wahid mencorong ketika dirinya resmi terpilih menjadi Presiden RI ke-4 di bawah mandat MPR. Dengan wakil Megawati selaku rival dalam pemilihan langsung anggota MPR tersebut yang berasal dari “partai wong cilik” PDI-Perjuangan yang memperoleh jumlah suara pada urutan setelah Abdurrahman Wahid. 47 Bahtiar Effendy, Gus Dur dan pupusnya DWI TUNGGAL, hal.26. Itulah sebagian kecil sosok Abdurrahman Wahid, yang sekilas terkesan sebagai tokoh multi komplek lengkap dengan segala kenyelenehannya. Tugas saya sudah usai, mengobrak-abrik NU, yakni mengubah wawasan warga NU” . Itulah salah satu ungkapan ketua PBNU Abdurrahman Wahid saat usai periode kedua dalam kepemimpinan dalam NU. 48

B. PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID TENTANG NU, ISLAM DAN NEGARA