Paham Ahlusunah wal Jama’ah dan Paham Kebangsaan NU

dalam tata kehidupan politik, kekuatan NU terasa mandul, langkah-langkahnya lebih banyak bersifat sporadis dan partisan di dalam “rekayasa” politik, misalnya pada masa Orde Baru. Terasa seolah-olah Pemerintahan kurang dapat menerima keberadaan NU, sebagai kekuatan yang turut bermain di dalam sistem kekuasaan, NU tergiring dalam posisi marginal dalam pergulatan politik nasional. Marginalisasi itu pun terus berlanjut sampai muncul kesadaran baru untuk bangkit dari keterpurukan dan melakukan perubahan dasar dalam tubuh NU, yaitu dengan kembali ke Khittah 1926. Kesadaran yang dimaksud adalah kembali melakukan peran sebagaimana awal berdirinya, dimana orientasinya adalah merekontruksi internal, yaitu jami’yah yang orientasinya banyak mengarah pada politik menjadi Diniyah Ijtima’iyah Sosial Keagamaan.

B. Paham Ahlusunah wal Jama’ah dan Paham Kebangsaan NU

Semenjak awal NU menunjukkan jati dirinya sebagai penganut paham Ahlussunnah 12 Wal Jamaah, yaitu sebuah paham keagamaan yang dikalangan NU berumber padn Al Qur’an, Al Sunnah, Al Ijma, dan Al Qiyas. Tetapi, dalam hal ini Ahlussunnah wal Jama’ah itu tidak hanya terdiri satu kelompok aliran, ada beberapa sub aliran. Oleh sebab itu Dr. Jalal M. Musa mengatakan, istilah Ahlusunnah tersebut menjadi rebutan banyak kelompok, yang masing-masing menyatakan bahwa dialah Ahlussunnah wal Jama’ah dan dimasukkan kata “Al Jamaa’ah” dalam istilah ini oleh Abdul Mudhoffar al-Isfarayini disebutkan bahwa 12 Ahlussunnah adalah mereka yang mengikuti dengan konsisten semua jejak langkah yang berasal dari nabi Muhammad SAW dan membelanya. Lihat Muhammad Tholhah Hasan, AHLUSSUNNAH WAL-JAMA’AH Dalam Persepsi dan Tradisi NU , 2 nd ed. Jakarta: Lantabora Press, 2004,hal.3. mereka memiliki alasan yang sama karena menggunakan “Ijma” dan “Qiyas” sebagai dalil syariah yang fundamental, disamping Kitabullah al-Qur’an dan Sunnah Rasul. 13 Seperti Muhammadiyah dan organisasi lain yang mendasarkan pada Islam, juga menganut paham tersebut sehingga secara umum tidak bisa dianggap salah, sebab kegiatan yang mereka lakukan sesuai dengan paham Ahlussunnah wal Jama’ah. Karena hendak mempertahankan dan mengembangkan paham inilah, NU dilahirkan. Di mana secara harfiah Ahlussunnah Wal Jamaah, berarti penganut sunnah Nabi dan Sahabat-sahabatnya. 14 Dalam pengertian yang lebih rinci dan ini yang dianut oleh NU, sedangkan dilain hal KH. Bisri Mustafa menafsirkan Ahlussunnah Wal Jamaah sebagai suatu paham yang harus dipegang sebagai tradisi: 1. Dalam bidang hukum Islam, menganut ajaran-ajaran dari salah satu madzhab empat, yaitu Hanafi, Maliki, Hambali dan Syafi’i. Dalam praktik NU banyak mengikuti faham yang diajarkan oleh Syafi’i. 2. Di bidang Tauhid, menganut ajaran-ajaran Imam Abu Hasan Al Asy’ari dan Imam Abu Mansyur Al Maturudi. 3. Sedangkan di Tasawufnya, menganut ajaran-ajaran Imam Abu Qosim Al Junandi. 15 Dari doktrin-doktrin Ahlussunnah Wal Jamaah tersebut di atas banyak melahirkan konsep-konsep NU dalam memandang dimensi kehidupan dengan 13 Muhammad Tholhah Hasan, AHLUSSUNNAH WAL-JAMA’AH Dalam Persepsi dan Tradisi NU , hal.3-4. 14 KH. Sirojuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah, Jakarta:Pustaka Tarbiyah,1983, hal.16. 15 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES, 1982, hal.149. implikasinya dalam pandangan terhadap negara, Islam, demokrasi, dan lain sebagainya. Dalam kehidupan kenegaraan doktrin ini, melahirkan sikap-sikap normatif yang oleh KH. Ahmad Siddiq diidentifikasi atau menjadi ciri khas NU, yaitu : 1. Tawasuth dan I’tidal, yaitu sikap tengah yang berintikan kepada prinsip hidup menjunjung tinggi keharusan berlaku adil ditengah-tengah kehidupan bersama 2. Tasamuh, yaitu sikap toleran terhadap perbedaan pandangan, baik dalam soal keagamaan, terutama hal-hal yang bersifat furu’ atau khilafah. 3. Tawuzuun, yakni sikap seimbang dalam berkhidmat kepada Allah, manusia, serta lingkungan hidupnya, menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa kini, dan masa akan mendatang. 16 4. Amar Maruf Nahi Munkar, yakni sikap selalu memiIiki kepedulian untuk mendorong perbuatan yang baik berguna dan bermanfaat bagi kehidupan bersama, serta menolak dan mencegah semua hal yang menjurus dan merendahkan nilai-nilai kehidupan. 17 Sikap-sikap normatif yang dimiliki NU inilah yang mempengaruhi prosfektifnya dalam melihat politik kenegaraan. 18 Kewajiban hidup bermasyarakat dan bernegara merupakan suatu keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar, mentaati 16 KH. Ahmad Siddiq, Khittah Nahdiliyyah, Surabaya: Balai Pustaka, 1979, hal. 3-11. 17 PBNU, Kembali Ke Khittah 1926, Bandung: Risalah, 1985, hal.119. 18 Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam, Rekrontruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orba , Bandung: Mizan, 1986, hal. 59. pemerintah, juga merupakan kewajiban sepanjang tidak menganjurkan kepada kekufuran. Tidak mengherankan apabila menghadapi dualisme kepemimpinan Indonesia Suharmadji Marijan Kartosuwiryo DITII, NU mendukung Soekarno dan memandang DITII sebagai pemberontak bhugat. Semua diputuskan dengan berdasarkan kaidah keagamaan fiqhiyah. Sehingga Gus Dur tidak bisa menerima sebutan Mitsuo Nakamura terhadap NU sebagai “Tradisionalisme Radikal” dan memandang Nakamura kurang tahu secara mendalam nilai-nilai dalam NU yang serba fiqih. 19 Lanjutnya, bahwa bidang ilmu fiqih menyangkut segala praktek kehidupan beragam serta termanifestasi dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama. Dalam menggunakan hukum fiqh, NU berpegangan pada pedoman bahwa hukum-hukum itu timbul karena adanya sebab akibat atau al Hukmu Ma’al Illat . 20 Kemudian melahirkan kerangka berfikir sebab akibat dalam merumuskan produk-produk hukum. Sementara itu, pandangan NU terhadap kehidupan bernegara tercermin dalam tulisan Kyai Achmad Siddiq : 1. Negara nasional yang didirikan bersama seluruh rakyat wajib dipeliharanya. 2. Penguasa negara pemerintah yang sah harus ditempatkan pada kedudukan yang terhormat dan ditaati, selama tidak menyeleweng, memerintah ke arah yang bertentangan dengan hukum dan ketentuan Allah. 19 Gus Dur, NU dan Islam di Indonesia Dewasa Ini, Jakarta: Prisma, 1984. 20 Mahrus Irsyam, Ulama dan Partai Politik, Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1984. hal.3. 3. Kalau terjadi kesalahan dari pihak pemerintah cara mengingatkan lewat tata cara yang sebaik-baiknya. 21 Pandangan kenegaraan NU seperti di atas, dipengaruhi madzhab Syafii yang diikutinya. Madzhab Syafii memilah-milah negara terbagi menjadi tiga jenis, yaitu Dar al Islam Negara Islam, Dar al Harb negara perangnegara anti Islam, dan Dar al Sulh Negara damai. Masyarakat Islam memiliki jenis pertama dan ketiga. Jika jenis pertama tidak tercapai maka umat Islam dapat menerima jenis ketiga, meskipun suatu negara tidak didasarkan pada hukum Islam, akan tetapi masyarakatnya masih melaksanakan ajaran Islam, maka masyarakat tersebut wajib membela negaranya. Secara sederhana, untuk melihat korelasi antara NU, Islam dan kehidupan kenegaraan, tidak dapat dilepaskan dari sifat dasar yang ada dalam NU sendiri. Sebagai organisasi keagamaan, NU jelas mempunyai keterikatan terhadap faham Ahlussunnah Wal Jamaah. Faham ini bisa dikatakan sebagai pondasi ruh dan konstruksi NU. Inilah kata kunci untuk melihat pola hubungan NU, Islam, dan negara. Ideologi Ahlussunnah Wal Jamaah menekankan nilai-nilai moderasi dan harmonis dalam kehidupan. Nilai-nilai tersebut dapat membingkai segala pemikiran NU untuk mencermati berbagai kehidupan, termasuk dalam melihat hubungannya dengan masalah pemikiran keagamaan dan politik . Dalam wilayah kenegaraan, doktrin Ahlussunnah Wal Jamaah dirumuskan oleh KH. Achmad Siddiq, dengan sikap politik yang sangat menjunjung tinggi sikap Tawasssuth, Tawazun, Tasamuh, serta tatanan sosial politik dan ekonomi 21 KH. Ahmad Siddiq, Khittah Nahdiliyyah, hal.43. yang didasarkan pada prinsip-prinsip, Adlah keadilan, Syura musyawarah, dan Musawah persamaan, merupakan modal dasar untuk membangun wawasan kenegaraan. NU sejak dulu dikenal sebagai ormas yang mengedepankan wawasan kenegaraan dan wawasan kebangsaan ketimbang ikatan primordial yang sempit. Cara pandang inilah, perbedaan NU dengan organisasi lainnya, khususnya kelompok Islam modernis perkotaan yang dikenal cukup militan. Rumusan KH. Achmad Siddiq ini memiliki akar dengan teologi Asyari yang dianut NU. Substansi teologi Asyari lebih menonjolkan kepada model teologi moderat , seperti menjaga nilai-nilai harmonis dan keseimbangan. Dalam doktrin hubungan dengan negara, teologi Asyari mempunyai diktum yang tegas. Misalnya dengan idiom-idiom “Suatu negara yang dipimpin oleh orang kafir yang adil lebih baik dari pada dipimpin seorang muslim yang anarkhis”, “ Kekacauan lebih berbahaya daripada ketidak adilan”, “ 60 tahun pemerintahan dipimpin oleh orang dzalim lebih baik dari pada semalam tanpa pemimpin.” dan seterusnya. Doktrin di atas dapat digunakan sebagai senjata dalam menganalisa pola-pola hubungan NU, Islam, dan negara dengan segala pasang surutnya. Fenomena penerimaan NU terhadap Pancasila sebagai satu-satunya asas tunggal seperti yang dicetuskan KH. Ahmad Siddiq dapat dipahami dari implementasi konteks doktrin Aswaja. Dalam konteks penerimaan asas tunggal ini, pertimbangan NU tidak lepas dari konteks keagamaan. Bagi NU, Pancasila adalah ideologi terbuka yang secara teologis ia bersifat inklusif, sedangkan secara prinsipil dapat memaksakan “Islamisasi Politik” dan kekuatan-kekuatan Islam politik, atau lebih dari itu sebagai wujud penolakan NU terhadap paham negara Islam. Mengenai asas tunggal ini, Martin Van Bruinessen, menilai bahwa NU telah menegaskan asas tunggal tanpa sedikitpun mengorbankan komitmen keislamannya, NU telah menegaskan pondasi bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dari rumusan pola hubungan Islam dan Pancasila ini, Fajrul Falakh berpendapat, bahwa sekurang-kurangnya dapat disimpulkan terhadap pemahaman agama, konsepsi ideologi dengan pendekatan fiqhiyah yaitu: 1. Pemahaman bahwa Islam adalah fitrah yang bersifat menyempurnakan segala kebaikan kepada manusia. 2. Pancasila bukanlah agama, tak dapat menggantikan posisi agama. 3. Rumusan ke-Tuhanan Yang Maha Esa menurut pasal 29 ayat I UUD 45 yang menjiwai sila-sila lainnya mencerminkan “Tauhid” menurut pengertian keimanan Islam. 4. Bahwa sejarah telah menunjukkan peran Umat Islam termasuk NU dalam perjuangan bangsa, mendirikan negara, mempertahankan kemerdekaan dan mengisi pembangunan. 5. Berdasarkan pendekatan fiqh, dinyatakan bahwa negara didirikan dan di jaga karena perintah agama dan untuk kemaslahatan pendukung negara. Maka NU memandang, bahwa Republik Indonesia, merupakan bentuk upaya final seluruh nation, terutama kaum muslim, untuk mendirikan negara di wilayah nusantara. 22 Penetapan NU terhadap ideologi Pancasila tidak terbatas kepada penerimaan secara take for granted atau untuk kepentingan sesaat. Lebih dari itu, Douglas E. Remage menggambarkan bahwa penerimaan NU terhadap Pancasila hingga batas pembelaannya dari “monopoli” dan “rekayasa” interpretasi Pancasila oleh Rezim Soeharto, dimana ABRI diandaikan sebagai elemen integral dalam negara Pancasila. 23 Memakai istilah Remage, Pancasila dipahami sebagai “kawasan sengketa” antara NU dan rezim Orde Baru. Begitu pula pembelaan NU terhadap ideologi Pancasila dan bentuk negara kesatuan sebagai konsep final tidak hanya sebatas retorika. Digambarkan oleh Robert W. Hafner, bahwa usaha-usaha NU dalam mendukung negara kesatuan begitu tegas dan penuh resiko, khususnya resiko secara politis misalnya termarginalnya NU dari pusat-pusat kekuasaan pada masa rezim Orba. 24 Dalam bentuk lain, pembelaan NU terhadap bentuk negara kesatuan dibuktian pada saat negara sedang diambang keretakan disintegrasi seperti tahun 50-an atau awal reformasi . Tidak berlebihan apabila Gus Dur dalam sambutan Muktamar ke-30 di Kediri menyatakan bahwa NU adalah kekuatan terakhir yang sanggup mempertahankan keutuhan bentuk negara kesatuan. 25 22 M. Fajrul Falakh, NU Dalam Era 1990-an dalam Membangun Budaya Kerakyatan,Kepemimpinan Gus Dur, Gerakan Nasoinal NU, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997, hal.26. 23 Greg Fealy dan Greg Barton, Tradisionalisme Radikal, Persinggungan NU dan Negara, hal.196. 24 Greg Fealy dan Greg Barton, Tradisionalisme Radikal, Persinggungan NU dan Negara, hal.200. 25 Abdurrahman Wahid, “PKB, Syariah dan PKU,” Jawa Pos, 30 Oktober 1998. Cara pandang NU seperti ini juga diabsahkan oleh ideologi dasar yang dianut NU seperti penjelasan diawal, fleksibilitas NU terbukti dengan mudahnya diterima dan membaur dalam komponen bangsa, baik kelompok muslim maupun non muslim, juga mudah menerima faham pemikiran baru. Sehingga keberadaan NU dianggap sebagai titik temu antar semua ideologi, kekuatan politik, dan pluralitas kebudayaan bangsa ini.

C. SEJARAH POLITIK NU MASA LALU