Peringkat kritikus hadis: studi kasus atas Abi Hatim al-Razi dan al-Dzahabi

(1)

PERINGKAT KRITIKUS HADIS; STUDI KASUS

ATAS IBN ABÎ HÂTIM AL-RÂZÎ DAN AL-DZAHABÎ

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)

Oleh

Jubaedah

105034001210

PROGRAM STUDI TAFSIR-HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

PERINGKAT KRITIKUS HADIS; STUDI KASUS

ATAS IBN ABÎ HÂTIM AL-RÂZÎ DAN AL-DZAHABÎ

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)

Oleh Jubaedah 105034001210

Pembimbing:

Maulana, MA

NIP. 19650207 199903 1 001

PROGRAM STUDI TAFSIR-HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul PERINGKAT KRTIKUS HADIS; STUDI KASUS

ATAS IBN ABÎ HÂTIM AL-RAZÎ DAN AL-DZAHABÎ telah diujikan dalam

sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 14 Maret 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana Theologi Islam (S.Th.I) pada Program Studi Tafsir-Hadis.

Jakarta, 14 Maret 2011

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekertaris Merangkap Anggota

Dr. Bustamin, M.Si Dr.lilik Ummi Kaltsum, M.Ag NIP: 19630701 199803 1 003 NIP: 197110031999032001

Anggota,

Drs. Harun Rasyid, MA Dr. Bustamin, M.Si


(4)

Dedicated to my beloved Mom and Dad

Bapak Sarkam & Mamma Rumsanah

Happily forever ever after

“ Kalau ada hutangku yang tak bisa kubayar,

Itu adalah hutangku padamu, wahai ibuku…

Dan kalau ada hutangku yang tak bisa kubayar,

Itu adalah

hutangku padamu, wahai bapakku…”


(5)

i

KATA PENGANTAR

يح لا نمح لا ها سب

ا

ع و اكلا فاصواا دمح انديس ع اسلاو اصلاو اكلا همعن ع ه دمحل

دعبو ، ملا صن ف ق سلاب اي علا اج دلا ا لان ني لا ه حصو هلا

...

Apapun yang kau lakukan dalam hidup,

Akan menjadi tak penting…

Namun yang terpenting adalah

bahwa kau melakukannya,

karena tak ada orang lain yang akan bersedia melakukannya…

Alhamdulillâhirabbil‟âlamîn. Sembah sujud, puja dan puji syukur bagi Allah; Rabb alam semesta yang telah begitu banyak memberikan nikmat, taufiq, hidayah dan rahmat-Nya kepada penulis yang lemah ini. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan teladan umat Islam, Muhammad saw., beserta keluarga, sahabat dan orang-orang yang mengikuti beliau hingga akhir zaman. Satu kenikmatan bagi penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis sangat menyadari bahwa banyak kesulitan dan hambatan yang penulis lalui. Namun, berkat limpahan

rahmat dan kasih sayang Allah, serta do’a, bantuan, support, bimbingan dan kontribusi dari berbagai pihak. Semua itu terasa ringan dan dapat diatasi, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, sudah sepantasnyalah pada kesempatan ini penulis bersyukur, mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:


(6)

ii

1. Bapak Dr. Bustamin, M.si. selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis dan juga Dosen yang telah banyak memberikan ilmu kepada penulis khususnya dalam bidang hadis, serta telah memberikan ide-ide dan judul ini kepada penulis, dan Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA. selaku Sekretaris Jurusan Tafsir Hadits.

2. Bapak Maulana, MA. selaku pembimbing yang telah banyak tersita waktunya untuk memberikan bimbingan, arahan dan saran kepada penulis dengan sabar. 3. Seluruh Dosen pada program studi Tafsir Hadis (TH) atas segala motivasi,

ilmu pengetahuan, bimbingan, wawasan, dan pengalaman yang mendorong penulis selama menjadi mahasiswa. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pak cecep (kapan kita bisa nge-band bareng??!!), dkk. Pimpinan dan segenap staf Perpustakaan Utama, Perpustakaan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, dan

Perpustakaan Islam Iman Jama’.

4. Sujud hormat penulis untuk my beloved Dad and Mom, Bapak Sarkam dan Mam Rumsanah yang telah mendidik dan membesarkan penulis dengan kasih sayang yang tulus dan kesabaran mereka, serta memberi motivasi, semangat dan dukungan baik berupa moril dan materiil yang begitu luar biasa agar penulis dapat meraih cita-cita yang tinggi. Dan tak lupa pula adik-adikku tersayang; Saroh (bawel, tapi sangat perhatian terhadapku.kayaknya dia yang jadi kakaknya!!), Sri Haryati (belajar yang rajin ya!!!), dan si bontot Belut

“Lutfiyah”(yang super cengeng dan super manja, kalo udah nangis 3 hari 3 malem gak kelar!!!ampuuuun dah…gak mau lagi ditinggal berduaan ma si beluuuttt!!!).


(7)

iii

5. And for my big families; my grandfathers, grandmothers, uncles, aunts, cousins, Lela (jadi miss sibukk nie!!), ba Indah (selalu, waktunya tidak tepat!!next time yua!!), Nuniek (next time, my turn!!!).

6. Keluarga besar Raudlatul Ulum II Putukrejo Gondang Legi Malang, sujud hormat penulis tujukan juga untuk Alm. Almaghfurlah KH. Qosim Buchori, pengasuh dan Mursyid Tareqad Naqsyabandi, sungguh kami benar-benar kehilangan beliau. Beliau sudah mendapatkan tempat terindah dan mulya di sisi-Nya. Nyai Zaenab, Gus Hamim, Ning Ninik, Ning Riro, Gus Sulthon, Gus Madarik, Ning Ulfa. Yang telah menyumbangkan ilmu dan membimbing serta

menyayangi penulis selama di RU II. Gus Qy dan ba’ Lidya yang sudah

seperti kakak yang selalu perhatian dan mensupport penulis. Dan tak lupa pula kepada adik-adikku yang sekarang sudah besar-besar; ba Ellok, de Amik, mas

Ala’, de Ilham, de Aan, de Tommy, de Arif dan si Jacki yang mengisi hari

-hariku dengan canda tawa dan kegaduhan mereka. (Love y’ll n always miss so much!!!).

7. My beloved bu Caleg “Marsiti Marly” (secepatnya, ‘Dah mo nyusul ibu!!!),

Alm. pak Abdurrahman Syah, the great teacher, teriring do’a, semoga beliau

mendapatkan tempat terindah di sisi-Nya, pak Mahdlori Ramly, bu Mas, bu Al, pak Anas, bu Dur (yang sabar ya bu!!) dan pak joko. yang selalu

mensupport, mendo’akan dan menyumbangkan ilmunya kepada penulis (jangan pernah kapok ngedo’ain muridmu yang nakal ini.).

8. My beloved friend nun jauh di mato but deket di hati, my inspiration siSi*, Riris (cepet balik ke Malang!!), Ciput (ojo misuh thok ae!!aku kesepian di


(8)

iv

Malang gak ada kamu!!), Buron (anakmu ojo ditinggal dulin thok ae,Ka…), Tezzu (cepetan diselesaiin!!), Husband (ojo genda’an thok ae!!Mr. busy!!), Jet Lee “Halimah” (Sssssssttttt,jangan bilang-bilang ya!!!), Rom (cepet belajar motoran!!yar bisa jemput aku!!!), Rina (God always saved u!!keep it hold!!), Viydzeinina (jangan kapok wat nemenin aku di RU ya!!hampa terasa gak ada kamu ba viy!!), dan semua teman-teman seperjuangan di RU II Putukrejo Godang Legi Malang.

9. Teman-teman seperjuangan mengerjakan skripsi di detik-detik terakhir masa

penghabisan. the Genk PE’A; Kuman (akhirnya, si psycho nyerah juga!!), Opang (onta arab bin cab**!! Mr. slow!! Mr. busy!!), Abuuzz!! (cie…S.Th.I

niyE!!!), Emphi (woy, kemane aje luh pak Kiyai?!?), Juli (laen kali di tanyakan n di priksa dulu yEe!!), Muammar Midan (semangaaddd!!!), Bangkit, terus berjuang sampai darah penghabisan (kantongnya!!!). akhirnya kita bisa selesai juga.

10.Teman-teman Tafsir-Hadis angkatan 2005 especially TH B: mumun “itoh”

(sedih, senang, kabur, ber…ber…Ria bareng!! Gw udah kelar niE!!), mami

Lili, ba Nenenk, Indri, Ulfa, Cumie, Lely, ba Venty, Faizah, Syahid (Ibnu Jamil), Haris, Alvin, Vitroh (Nobita), brother Achep, Sensei (Syarif), mas

Ghoffar, Challman, Labib (Alhamdulillah…aku bisa nyusul kalian!!!), sofyan

(nie orang udah daftar sidang ajja!!greattt!!), Manaf dan Taufik (cepet nyusul

juga dech!!), Abdillah, Pa ‘Itch, Khudaifah (woy…pade ngilang kemane!!).


(9)

v

11.KH. Jawawi Imron (aku suka puisi-puisi beliau, apalagi beliau membacakannya saat seminar di Acacia Hotel. Sungguh berasa dan menyayat!! Memberi semangat baru untukku!! )

12.Dan pihak-pihak yang telah membantu penulis, tetapi tidak dapat disebutkan satu-persatu, semoga Allah swt membalasnya.

Mudah-mudahan jasa dan amal baik mereka semua mendapatkan balasan dari Allah swt. Tiada gading yang tak retak, penulis sangat menyadari dengan wawasan keilmuan penulis yang masih sedikit dan referensi-referensi lain yang belum terbaca, menjadikan penulis skripsi ini jauh dari kesempurnaan dan masih banyak yang harus diperbaiki dan diperbaharui dalam tulisan ini. Namun, penulis telah berupaya menyelesaikan skripsi ini dengan semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun senantiasa penulis harapkan untuk perbaikan penulisan ini. Penulis berharap semoga Allah swt. Memberikan balasan yang lebih baik dari semua pihak pada umumnya.

Dengan segala kerendahan hati yang penulis ingin sampaikan harapan yang begitu besar semoga skripsi ini bermanfaat buat pembaca pada umumnya dan para pemerhati kajian hadis pada khususnya. semoga setiap bantuan yang diberikan kepada penulis mendapat imbalan dari Allah swt. Kepada Allah swt jualah penulis memohon, semoga jasa baik yang kalian sumbangkan menjadi amal saleh dan mendapat balasan yang lebih baik dari Allah swt. Amin.

Semoga bermanfaat dan selamat menyelami samudra hikmah yang tiada pernah


(10)

vi

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……….. i

DAFTAR ISI ………. vi

DAFTAR TABEL………. viii

PEDOMAN TRANSLITERASI………. ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah………..…... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……… 5

C. Tujuan Penelitian……..………. 5

D. Tinjauan Pustaka……..……… 6

E. Metodologi Penelitian………...……….... 7

F. Sistematika Penulisan……….... 9

BAB II LANDASAN TEORI A. Definisi Kritik……….……….…. 11

B. Definisi Hadis………..…..………..……. 12

C. Sejarah Ilmu Kritik Hadis…...……….. 13

1. Awal Mula Munculnya Kritik Hadis……….. 13

2. Perkembangan Ilmu Kritik Hadis dan Kritikus Hadis Terkemuka……….. 14

D. Peringkat Kritikus Hadis……….…….. 16

1. Tasyaddud………... 17


(11)

vii

3. Tawassut……….. 18

E. Biografi Kritikus..………. 19

1. Ibn Abî Hâtim al-Razî……….……… 19

2. Al-Dzahabî……….. 23

BAB III ANALISA DATA DAN PENILAIAN IBN ABÎ HÂTIM AL-RÂZÎ DAN AL-DZAHABÎ A. Lafad-lafad Jarh dan Ta‟dîl………. 27

B. Analisis Data dan Penilaian……….. 32

1. Analisa Data…...………..………... 32

2. Kategorisasi Penilaian………. 33

3. Perbandingan Penilaian Ibn Abî Hâtim Razî dan al-Dzahabî………... 34

4. Analisa Hasil Penilaian Terhadap Ibn Abî Hâtim Razî dan al-Dzahabî………... 81

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan………... 83

B. Saran-saran………..…….. 84


(12)

viii

DAFTAR TABEL

1. Tabel 1 Perbedaan Lafad-Lafad Ta‟dîl Menurut Ibn Abi Hatim Razi dan

al-Dzahabi……….. 29

2. Tabel 2 Perbedaan Lafad-Lafad Jarh Menurut Ibn Abi Hatim Razi dan

al-Dzahabi……….. 31 3. Tabel 3 Kategorisasi Penilaian dalam Keterpujian Menurut Ibn Abi Hatim al-Razi dan al-Dzahabi………... 33 4. Tabel 4 Kategorisasi Penilaian dalam Ketercelaan Menurut Ibn Abi Hatim

al-Razi dan al-Dzahabi………... 33

5. Tabel 5 Perbandingan Penilaian Ibn Abi Hatim al-Razi dan al-Dzahabi

Terhadap Para Periwayat Hadis………. 35 6. Tabel 6 Daftar Perbandingan Penilaian Ta’dil dan Tajrih Antara Ibn Abi


(13)

ix

PEDOMAN TRANSLITERASI

Untuk pedoman transliterasi, yang digunakan adalah pedoman transliterasi CeQDa tahun 2007.

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

ا Tidak dilambangkan

b be

ت t te

ث ts te dan es

ج j je

ح h h dengan garis bawah

خ kh ka dan ha

د d de

ذ dz de dan zet

ر r er

ز z zet

س s es

ش sy es dan ye

ص s es dengan garis di bawah

ض d de dengan garis di bawah

ط t te dengan garis di bawah

ظ z zet dengan garis di bawah

ع ‘ koma terbalik di atas hadap kanan

غ gh ge dan ha

ف f ef

ق q ki

ك k ka

ل l el

م m em

ن n en

و w we

ـه h ha

ء ' apostrof


(14)

x

Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monofrog atau vokal rangkap diftong.

Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

____ a fathah

--- i kasrah

____ u dammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ي ____ ai a dan i

و ____ au a dan u

Vokal panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ــ â a dengan topi di atas

ْيــ î i dengan topi di atas

ْوــ û u dengan topi di atas

Kata sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu لا, dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyah

maupun qamariyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-dîwân.


(15)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hadis merupakan pernyataan, pengamalan, taqrîr1 dan hal ihwal Nabi Muhammad saw. Hadis merupakan sumber ajaran Islam yang ke dua sedangkan al-Qur‟an sumber ajaran Islam pertama.2 Selain sebagai sumber ajaran Islam yang ke dua, hadis juga berfungsi sebagai sumber dakwah dan juga mempunyai fungsi penjelas bagi al-Qur‟an.3 Al-Qur‟an dengan sifatnya yang Qat‟i al-Wurud,4 baik secara ayat per ayat maupun secara keseluruhan, sudah seharusnya kedudukannya lebih tinggi dari pada hadis, kecuali hadis yang berstatus Mutawatir.5

Hadis yang menjadi objek penelitian Ulama hadis ialah berbagai hadis yang berkategorikan ahad,6 sedang hadis yang berkategori Mutawatir tidak menjadi objek penelitian. Sebab hadis mutawatir7 tidak lagi diragukan

1

Taqrir merupakan perbuatan sahabat Nabi saw. yang ternyata dibenarkan atau tidak

dikoreksi oleh Nabi. Lihat. Syuhudi Isma‟il, Kaidah Keshahihan Sanad Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, tth), h. 3.

2

M. Syuhudi Isma‟il, Kaidah Keshahihan Sanad Hadis, h. 3-4.

3

Bustamin dan Isa Salam, Metodologi Kritik Hadis, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 1.

4

Qat‟I al-Wurud adalah mutlak atau pasti dalam pengungkapannya. Subhi Shalih, Ulûm al-Hadîts wa Mustalahuhu. (Beirut: Dar al-„Ilm al-Malayin, 1997), h. 151.

5

Nawir Yuslem, Ulum al-Hadtis (Mutiara Sumber Jaya, 2001), h. 63.

6

Ahad merupakan jamak dari kata wahid yang arti harfiahnya satu. Arti istilah menurut ilmu hadis ialah apa yang diberitakan oleh orang-orang yang tidak mencapai tingkat mutawatir. M Ajjaj al-Khattib, hal. 302-303.

7

Mutawatir secara harfiah berarti tatabu‟, yakni berurutan. Sedangkan menurut istilah ilmu hadis adalah berita yang diriwayatkan oleh orang banyak pada setiap tingkat periwayat, mulai dari tingkat sahabat sampai dengan tingkat mukharrij, yang menurut ukuran rasio dan kebiasaan, mustahil para periwayat yang jumlahnya banyak itu bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta. Untuk penjelasan lebih lanjut lihat Subhi as-Salih, Ulûmal-HadîtswaMusthalahuhu (Beirut: Dar al-„Ilm li al-Malayyin, 1997), h. 146-147.


(16)

2

kesahihannya berasal dari Nabi.8 Hadis serupa ini jelas akan ditempatkan pada posisi yang setaraf dengan al-Qur‟an, yang mana umat Islam wajib menerima dan mengamalkannya.9

Berbeda dengan ayat – ayat al-Qur‟an yang semuanya dapat diterima, hadis tidak semuanya dapat dijadikan sebagai acuan atau hujjah. Hadis ada yang dapat dipakai dan ada yang tidak. Di sinilah letak perlunya meneliti hadis. Agar dapat meneliti hadis secara baik diperlukan antara lain pengetahuan tentang kaidah atau metodenya.

Atas dasar itulah, para ulama khususnya yang menekuni hadis telah berusaha merumuskan kaidah dan metode dalam studi hadis. Buah dari pengabdian dan kerja keras mereka telah menghasilkan kaidah dan berbagai metode yang sangat bagus dalam studi hadis, terutama untuk meneliti para periwayat yang menjadi mata rantai dalam periwayatan hadis (sanad). Bahkan dapat dikatakan bahwa untuk studi sanad ini, secara metodologis sudah relative mapan yang ditunjang dengan perangkat pendukungnya. Apalagi pada zaman sekarang, dengan memanfaatkan teknologi komputer, studi sanad hadis dapat dilakukan secara sangat efisien dengan kemampuan mengakses referensi yang lebih banyak.

Untuk menghimpun hadis – hadis itu diperlukan ketelitian yang sangat tinggi; yaitu berupa ontologi (isi), epistimologi (cara), dan aksiologi (tujuan) yang

8

M. Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Sanad Hadis, h. 7.

9


(17)

3

akurat. Agar yang dinamakan hadis itu benar-benar dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah10.

Seorang penuntut ilmu hadis belum dianggap sempurna, jika belum mendalami ilmu – ilmu yang berhubungan dengan sanad, di samping ilmu – ilmu yang berpautan dengan matan hadis, seperti ilmu gharibil hadits, asbabul wurud, tawarikhul mutun, ilalul hadis dan lain sebagainya. Sebab sudah dimaklumi bersama, bahwa hadis itu terdiri dari matan dan sanad dengan demikian menguasai ilmu sanad berarti dapat mengetahui separuh ilmu hadis11.

Mengingat hadis Nabi Muhammad SAW. sampai kepada kita melalui jalan para periwayat, maka merekalah yang merupakan pusat utama dalam rangka mengetahui kesahihan hadis atau tidak. Karena itu para ulama hadis memperhatikan periwayat hadis, dan mempersyaratkan beberapa syarat untuk dapat diterima riwayat mereka, dengan persyaratan yang mendalam lagi bersifat tegas12.

Dan karena para periwayat hadis mulai dari generasi sahabat Nabi sampai

mukharrijul hadîts (periwayat sekaligus penghimpun hadis) sudah tidak dijumpai secara fisik karena mereka telah tiada. Maka, untuk mengenali keadaan pribadi mereka, baik kelebihan maupun kekurangan mereka di bidang periwayatan hadis,

10

M. Abdur Rahman, Pergeseran Pemikiran Hadits, Ijtihad al-Hakim dalam Menentukan Status Hadits, (Jakarta: Paramadina, 2000), h. 2.

11

Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, (Bandung: Al-Ma‟arif, 1974), h. 280.

12

Mahmud Thahhan, Ulumul Hadits,Studi Kompleksitas Hadis Nabi. Penerjemah Zainul Muttaqin, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997) Cet. Ke-1, hlm. 157


(18)

4

diperlukan informasi dari berbagai kitab yang ditulis oleh ulama kritik rijâl al- hadîts. 13

Penilaian-penialian kritikus itu sampai kepada kita melalui karya-karya klasik, seperti al-Du‟afâ karya al-Bukhari dan al-Du‟afâ karya al-Nasa`i. Ulama

yang pertama kali meruntutkan lafad - lafad Jarh dan Ta‟dîl adalah Abu Muhammad Abdurrahman ibn Abu Hatim al-Razi. setelah itu berturut-turut ulama menjelaskan dan meragamkannya serta memberikan penjelasan-penjelasan yang berkaitan dengannya. Sehingga bisa dikatakan tak satupun karya dalam bidang ulumul hadis yang tidak menyebutkan tingkat-tingkat Jarh dan Ta‟dîl itu, baik secara rinci ataupun singkat.

Dalam mengemukakan penilaian, sikap para kritikus hadis ada yang ketat (tasyaddud), ada yang longgar (tasahhul), dan ada pula yang menempatkan diri di antara keduanya, yaitu moderat (tawassut).

Orang yang menilai jarh termasuk di antara orang yang sangat mempersulit dan memperberat. Mengingat ada sejumlah ulama jarh wa ta‟dîl

yang sangat memperberat perkataan ini. Mereka men-jarh para periwayat hanya karena kecacatan yang sangat sedikit. Orang seperti ini penilalian tsiqat-nya dapat diterima, sementara penilaian serupa dari orang lain yang obyektif dan diperhitungkan. Di antara mereka adalah Ibn Abi Hatim al-Razi, al-Nasa'i, Ibnu

Ma‟in, dan Ibn al-Qattan. Mereka dikenal sebagai orang yang berlebihan dan

13

M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi,cet. 1, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 72.


(19)

5

terlalu keras dalam men-jarh. Maka hendaklah setiap peniliti bersikap hati-hati dan berpikir kritis terhadap periwayat yang hanya dinilai jarh oleh mereka.14

Salah satu diantara Ulama-ulama yang paling ketat dalam memberikan keadilan terhadap para periwayat hadis itu adalah Ibn Abi Hatim al-Razi. Ibn Abi Hatim al-Razi sangat terkenal sekali dalam keketatannya memberikan penilaian keadilan dan sangat mudah dalam memberikan penilaian ketercelaan terhadap para periwayat hadis.

Dengan sekilas yang telah dipaparkan di atas, penulis tertarik ingin tahu lebih dalam tentang Ibn Abi Hatim al-Razi. Terutama penilaian beliau dalam menilai para periwayat hadis. Dan akan disusun dalam bentuk karya ilmiah yang berjudul: “Peringkat Kritikus Hadis; Studi Kasus Atas Ibn Abi Hatim al-Razi

dan al-Dzahabi”.

B. Pembatasan dan Perumusan masalah

Seperti yang kita ketahui bahwa ada beberapa kritikus hadis yang dikenal sebagai orang yang berlebihan dan terlalu keras dalam mengkritik para periwayat hadis dan salah satunya adalah Ibn Abi Hatim al-Razi. Dan penulis tertarik untuk mengkaji Ibn Abi Hatim al-Razi lebih dalam lagi tentang penilaian beliau terhadap para periwayat hadis.

Mengingat kitab jarh wa ta‟dîl yang diterbitkan oleh Dâr al-Kutub Mesir, berjumlah 9 jilid, dan agar pembahasan lebih terarah, maka penulis membatasi pada kitab jarh wa ta‟dîl jilid dua.

14

Nuruddin Itr, Ulumul Hadits, Penerjemah Drs, H Endang Soetari AD dan Drs. Mujiyo, ( Bandung: Rosdakarya, 1995 ), h. 83.


(20)

6

Adapun secara garis besar, masalah yang dikedepankan dalam skripsi ini,

dapat dirumuskan sebagai berikut : “Seberapa ketat Ibn Abi Hatim al-Razi dalam mengkritik para periwayat hadis dibandingkan dengan al-Dzahabi?”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini dibedakan menjadi dua macam, yaitu: 1. Tujuan Umum

a. Dapat mengetahui seberapa ketat Ibn Abi Hatim al-Razi dalam mengkritik/menilai para periwayat hadis dibandingkan dengan al-Dzahabi?

b. Hasil penelitian ini di harapkan dapat memberikan sumbangan dalam

Ulum al-Hadits, terutama bagi peneliti hadis. Setidaknya dapat menjadi studi banding untuk kajian serupa.

c. Memberikan sumbangan pemikiran kepada mahasiswa atau siapapun yang merasa tertarik mengkaji tentang tulisan ini.

2. Tujuan Khusus

a. Sebagai salah satu persyaratan dalam menyelesaikan program strata satu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

b. Guna melengkapi salah satu persyaratan akhir pada program S1 untuk meraih gelar S.TH.I (Sarjana Theologi Islam) di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.


(21)

7

Penulis telah melakukan penelusuran dan penulis menemukan beberapa karya ilmiah berupa skripsi yang terkait dengan pembahasan yang sedang penulis kaji, dan membantu penulis untuk dijadikan sebagai sumber sekunder dalam penulisan skripsi ini. Karya-karya tersebut adalah;

a. Karyanya Miftahul Jannah yang berjudul, ”Peringkat Kritikus Hadis; Telaah Atas Kitab Tahdzib al-Tahdzib Karya Ibnu Hajar al-Asqalani.15 Dalam skripsi ini membahas tentang sikap-sikap para pengkritik hadis dalam memberikan penilaian pada periwayat hadis dalam kitab Tahdzib al-Tahdzib karya Ibnu Hajar al-Asqalani.

b. Karyanya Siti Marwiyah yang berjudul, ”Peringkat Ke-Tsiqah-an Periwayat Hadits Tingkat Tâbi‟în ; Telaah Studi Komparatif Ibn Abî Hâtim al-Râzi (240 H – 327 H ) dan Ibn Hajar al-‟Asqalânî (773 H – 852 H) ”.16 Dalam skripsi ini

membahas tentang tabi‟in yang paling tsiqah menurut Abi Hatim dan Ibn

Hajar al-Asqalani.

E. Metodologi Penelitian

Dalam skripsi ini, penulis menggunakan tiga aspek metode penelitian, yaitu: 1. Metode Pengumpulan Data

Dalam penulisan ini, penulis menggunakan penelitian kepustakaan (library research) yaitu mengumpulkan data-data yang memiliki relevansinya dengan

15

Miftahul Jannah, ”Peringkat Kritikus Hadits; Telaah Atas Kitab Tahdzîb at-Tahdzîb Karya Ibn Hajar al-‟Asqalânî ”, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Jurusan Tafsir Hadis, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2004).

16

Siti Marwiyah, ”Peringkat Ke-Tsiqah-an Periwayat Hadits Tingkat Tâbiîn ; Telaah Studi Komparatif Ibn Abî Hâtim al-Râzi (240 H – 327 H ) dan Ibn Hajar al-‟Asqalânî (773 H – 852 H) ”, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir Hadis, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2005).


(22)

8

masalah yang dibahas, baik itu yang bersumber dari buku atau sumber tertulis lainnya (makalah, artikel, atau laporan penelitian) dengan langkah-langkah penelitian kepustakaan seperti yang telah disebutkan sebelumnya sebagai bahan pelengkap.

Penelitian ini focus pada penulusuran penilaian Ibn Abi Hatim al-Razi dalam menilai para periwayat hadis yang dibandingkan dengan penilaian al-Dzahabi untuk mengetahui seberapa ketat Ibn Abi hatim al-Razi menilai para periwayat tersebut. Dan pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode purposive sampling, yaitu pengambilan sampel populasi yang disandarkan atas pertimbangan subyektif peneliti.17

2. Metode Pembahasan

Adapun metode pembahasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitis, Deskriptif adalah metode penyajian fakta secara sistematis sehingga dapat dengan mudah dipahami dan disimpulkan.18 Sedangkan analitis adalah mengurai sesuatu dengan tepat dan terarah. Yaitu sebuah model penelitian yang berupaya menggali sejauh mungkin informasi yang terdapat dalam buku-buku dan berbagai rujukan.

Data-data yang diperoleh dari berbagai literatur tersebut kemudian dideskripsikan secara lengkap dan kemudian dianalisis,19deskripsi dilakukan yaitu setelah mendapatkan data-data yang berkaitan dengan pembahasan yang

17

P. Joko Subagyo, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: Rinneka Cipta, 1991), c. 1, h. 31

18

Saifuddin Azwar, Metode Penelitian (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 6.

19

Didin Saefuddin Buchori, Metodologi Studi Islam (Bogor: Granada Sarana Pustaka, 2005), cet. I, hal. 23-24. Untuk pengertian lebih lanjut tentang pendekatan deskriptif dan analitis dapat dilihat Saifuddin Azwar, Metode Penelitian (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 6.


(23)

9

dituangkan Abi Hatim al-Razi dalam kitab jarh wa ta‟dil sebagai sumber primer kemudian menambahkan dan membandingkannya dengan sumber sekunder yang terkait dengan topik pembahasan, baik berupa karya-karya beliau yang lain maupun buku-buku lainnya yang berkaitan, sehingga dapat tergambar situasi atau keadaan tentang topik pembahasan yang akan berpengaruh terhadap analisis. Setelah ada gambaran tentang kondisi topik yang dibahas barulah dilakukan analisa dalam rangka pengembangan teori berdasarkan data yang diperoleh, sehingga mendapatkan informasi yang akurat

3. Metode Penulisan

Secara teknis, proposal ini mengacu pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah; Skripsi, Tesis, dan Disertasi yang diterbitkan oleh Center for Quality Development and Accurance (CeQDA) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007.20

F. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini terdiri dari empat bab, yaitu bab satu sebagai pendahuluan dan bab empat sebagai penutup. Uraiannya adalah sebagai berikut :

Bab Satu, dalam bab ini adalah pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab Dua, dalam bab ini mengulas tentang definisi kritik, hadis, sejarah ilmu kritik hadis yang mencakup awal mula munculnya kritik hadis,

20

Hamid Nasuhi,dkk., Pedoman Penulisan Karya Ilmiah; Sripsi, Tesis, dan Disertasi


(24)

10

perkembangan ilmu kritik hadis, klasifikasi ulama tiap kurunnya, peringkat kritikus hadis dalam mengemukan penilaian terhadap para periwayat hadis yaitu;

tasyaddud, tasahhul, dan tawassut. Dan biografi Ibn Abi Hatim Razi dan al-Dzahabi.

Bab Tiga, dalam bab ini mengulas tentang lafaz-lafaz jarh dan ta‟dîl, perbedaan lafaz-lafaz jarh dan ta‟dîl antara Ibn Abi Hatim Razi dan al-Dzahabi, analisa data, kategorisasi penilaian dalam keterpujian dan ketercelaan menurut Ibn Abi Hatim al-Razi dan al-Dzahabi, dan perbandingan penilaian antara Ibn Abi Hatim al-Razi dan al-Dzahabi terhadap para periwayat hadis.

Bab Empat, bab ini merupakan uraian terakhir yang berisi kesimpulan dari penelitian ini dan saran-saran.


(25)

BAB II

TINJAUAN UMUM

A. Definisi Kritik

Kata kritik1 merupakan alih bahasa dari kata دقن (naqd)2 atau dari kataزييمت (tamyîz).3 Secara etimologis, kritik artinya mengamati, membanding, dan menimbang.4 Sedangkan menurut Istilah, Kritik adalah suatu usaha untuk menemukan kekeliruan dan kesalahan dalam rangka menemukan kebenaran. Kritik tidak hanya mencari kesalahan; kritik yang sehat menyebutkan sifat-sifat yang baik maupun yang buruk, mempertimbangkan baik buruk terhadap sesuatu hasil karya dan pendapat, kemudian memberikan penilaian yang mantap.5

Dalam al-Qur‟an dan hadis sendiri tidak ditemukan kata naqd yang digunakan dalam arti kritik. Tapi, ini tidak berarti bahwa konsep kritik tidak dikenal dalam al-Qur‟an.6 Terlihat dalam surat Ali Imran ayat 179;

ىتح هيلع مت اآم ىلع ي مؤ لا يل ها اكام

َزيِمَي

ها اكام بيطلا م ثي لا

ا ۚهلس هابا ماف ءآشي م هلس م ي تجي ها كل بيغلا ىلع مكعلطيل

۞ ميظع جا مكلفا قتت ا مؤت

1

Kata Kritik berasal dari bahasa Belanda;Kritiek, yunani; Krinien, Inggris; Critism, Prancis; Critique (Dewan Redaksi Ensiklopedi Sastra Indonesia, Ensiklopedi Sastra Indonesia,

(Bandung: Titian Ilmu, 2004), h. 437).

2

Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab Indonesia Terlengkap,

(Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 1452.

3

Bustamin dan Isa Salam, Metodologi Kritik Hadits, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, t.t.), h. 5.

4

Ensiklopedi Sastra Indonesia, h. 437.

5

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), c. IV, h. 601; Ensiklopedi Sastra Indonesia, h. 437

6


(26)

“Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga dia menyisihkan yang buruk

(munafik) dengan yang baik (mu‟min). dan Allah sekali-kali tidak memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang gaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya diaantara rasul-rasulNya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasulNya; dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar.

Ayat di atas menggunakan kata yamîz yang merupakan bentuk fi’il mudarî

dari kata mâza yang berarti memisahkan dan membedakan sesuatu dari sesuatu yang lain. Ibnu Manzhûr dalam lisân al-‘Arab menjelaskan;

ا ْم فْيزلا جا ْخا مها لازْييْ ت اقْتلا ْقَلا

7

Al-Naqd yaitu memisahkan emas dan mengeluarkan residunya.”

B. Definisi Hadis

Kata Hadis berasal dari bahasa Arab ثيدحلا (al- Hadîts); jamaknya adalah ثيداحأا (al-Ahâdîts).8 Secara etimologis berarti “komunikasi, cerita, percakapan, baik dalam konteks agama atau duniawi, atau dalam konteks sejarah atau

peristiwa dan kejadian actual.”9

Penggunaannya dalam bentuk adjectiva (Kata Sifat), mengandung arti al-jadîd: yang baru, lawan dari al-qadîm: yang lama.10 Pendapat masyhur ulama, hadis menurut istilah adalah segala sabda, perbuatan,

taqrir, dan hal-ihwal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw.11

7

Lihat: Ibnu Manzhûr, Lisan al-‘Arab, (Beirut: Dâr al-Shâdir, t.t.), c. I, j. 3, h. 425.

8

Bustamin dan Isa Salam, Metodologi Kritik Hadits, h. 6.

9

Muhammad Mustafa Azami, Studies in Hadith Metodology and Literature,

(Indianapolis, Indiana: American Trust Publications, 1413 H. / 1992), h. 1.

10

Ibid; Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, (Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 2001.), c. I, h. 31.

11

Lihat: Muhammad Mahfuz ibn Abdullah al-Tirmisi, Manhaj Zawy al-Nazar (Surabaya:


(27)

Menurut ahli-ahli hadis, kritik hadis adalah menyeleksi hadis-hadis antara yang sahîh dengan yang dâif dan meneliti para periwayatnya apakah dapat dipercaya dan kuat ingatannya (tsiqah) atau tidak.12

Secara kasat mata, kritik hadis mengarah kepada kritik sanad (penilaian kualitas terhadap para periwayat hadis) dan kritik matan (penilaian terhadap materi yang disampaikan). Kritik hadis sendiri lebih dikenal dengan ilmu jarh wa

ta’dîl. Para muhadditsin klasik lebih condong kepada pengkajian sanad. Seperti yang telah diutarakan oleh Ibn Abu Hatim al-Razi tentang definisi Naqd al-Hadits;

ْييْْ تلا

ثْي احأا

حْيحصلا

م

فْيعضلا

مكحلا

ىلع

ا لا

اقْيثْ ت

احْي ْجت

. 13

“Upaya menyeleksi antara hadis sahih dan da’if dan menetapkan status periwayat-periwayatnya dari segi kepercayaan atau cacat.”

C. Sejarah Ilmu Kritik Hadits

1. Asal Mula Munculnya Kritik Hadis

Bermula pada suatu ketika Umar bin al-Khattab sedang berbincang-bincang di rumahnya, tiba-tiba ada seseorang yang mengetuk pintu rumahnya dengan keras. Dan ternyata yang mengetuk pintu rumahnya itu adalah tetangganya sendiri, seorang anshar dari keluarga Umayyah bin Zeid. Ia baru pulang dari mengikuti pengajian Nabi Muhammad saw. Kemudian seorang Anshar itu mengatakan bahwa Nabi telah menceraikan istri-istrinya. Umar pun tercengang

12

Muhammad Mustafa Azami, Manhaj al-Naqd ‘inda al-Muhaditsin, (Riyadh: Syirkah al-Tiba‟ah al-Arabiyah al-Su‟udiyah, 1982.), h. 5.

13

Muhammad Mustafa al-Azami, Manhaj Al-Naqd ‘Inda al-Muhaditsîn (Saudi: Maktabah al-Kautsar, 1982) h. 5.


(28)

mendengar tentang hal itu. Bukan karna salah satu istri Nabi itu adalah anaknya sendiri. Melainkan apakah benar Nabi Muhammad saw. melakukan hal tersebut. Kemudian Umar pun menghadap kepada Nabi. Dan bertanya kepada beliau,

“Apakah Anda telah menceraikan istri-istri Anda?”. Lalu Nabi menjawab,

“Tidak” dengan menegakkan kepalanya dan memandangi Umar. Bahwasannya

Nabi saw. hanya bersumpah untuk tidak mengumpuli istri-istrinya selama satu bulan.14

2. Perkembangan Ilmu Kritik Hadis dan Kritikus Hadis terkemuka

Pada tahun 24 H, Umar bin al-Khattab terbunuh. Pada saat ini tidak begitu mempengaruhi perkembangan ilmu kritik hadis. Namun pada saat Ustman bin

„Affan (36 H) dan al-Husein bin Ali (61 H) terbunuh sangat berpengaruh terhadap perkembangan ilmu kritik hadis. Dan lahir pula kelompok-kelompok politik dalam tubuh umat Islam dan merekalah yang membuat hadis palsu. Sejak saat itu para ulama kritikus hadis dalam menyeleksi hadis tidak hanya mengkritik dari segi matannya saja, tetapi juga meneliti identitas periwayat hadis tersebut. Menurut pakar ilmu-ilmu hadis, abad pertama hijrah merupakan periode pertumbuhan ilmu-ilmu hadis. Sedangkan sejak awal abad kedua sampai awal abad ketiga sebagai periode penyempurnaan. Dan pada awal abad ketiga sampai pertengahan abad keempat yaitu masa-masa pembukuan. Pada saat ini para ahli hadis mulai membukukan ilmu-ilmu hadis, walaupun secara parsial.

14


(29)

Seperti yang telah dikemukakan di atas bahwasannya kritik hadis sudah ada sejak zaman Nabi,15 namun lingkupnya masih sangat terbatas dan motifasinya juga berbeda dengan kritik hadis pada masa-masa belakangan.16 Di antara para sahabat sudah muncul perlunya menilai seorang periwayat hadis. Namun dalam paparan teoritis ilmiah, kritik hadis tampaknya baru terlihat pada masa Tabi’în (awal abad ke-2 Hijriyah). Dibawah ini adalah klasifikasi para kritikus hadis setiap kurunnya;

1. Pada Abad Pertama

Adapun tokoh kritikus hadis pada abad pertama dari kalangan sahabat adalah; „Ubâdah Ibn Shamit (w. 93 H), sedangkan dari kalangan tabi’în adalah;

„Amir Ibn Syarahi al-Sya‟bi (w. 109 H), Muhammad Ibn Sirin (w. 110 H), Sa‟îd Ibn Jubair, Tâwûs, dan al-Hasan al-Basri (w. 110 H).17

2. Pada Abad Kedua

Pada abad pertama, masih sedikit orang yang dicela. Pada abad kedua ini sudah mulai banyak orang-orang yang lemah. Di antara tokoh kritikus pada abad kedua yaitu; Syu‟bah Ibn al-Hajjaj (82-160 H), al-Auzâ‟î (88-158 H), Malik Ibn Anas (93-179 H), Sufyân al-Tsaurî (97-161), Hammâd Ibn Salamah (w. 167 H),

Laits Ibn Sa‟d (w. 175 H), Sufyân Ibn Uyaynah (107-198 H), „Abdullah Ibn al -Mubârak (118-181 H), Wakî‟ Ibn al-Jarrâh (w. 196 H), „Abd al-Rahman Ibn

15

Muhammad Mustafa Azami, Studies in Hadith Metodology and Literature,

(Indianapolis, Indiana: American Trust Publications, 1413 H. / 1992), h. 48.

16

Ibid, h. 3.

17


(30)

Mahdî (135-198 H), al-Syâfi‟î (w. 204 H),18 dan Yahyâ Ibn Sa‟îd al-Qattân (w. 198).19

3. Pada Abad Ketiga

Setelah abad kedua, muncullah tokoh-tokoh kritikus hadits yang ,para ulama kritikus hadits sebelumnya telah menghasilkan ulama-ulama terkenal lainnya di antaranya adalah; Imam Yahya Ibn Ma‟în yang biasa dikenal dengan sebutan Abu Zakariya al-Baghdâdî (158-233 H) dan Imam al-Jarh wa al-Ta’dîl

pada masanya, Ibn Hanbal (164-241 H), Imam „Ali Ibn Abdillah bin Ja‟far al

-Sa‟di al-Madînî (161-234 H), Abû Bakr Ibn Abû Syaibah (w. 235 H), Ishâq bin

Râhwaih (w. 238 H), „Ubaidullah Ibn „Umar al-Qawârîrî (w. 235 H), Zuhair Ibn Harb (w. 234 H).20 tidak sampai disini saja, kemudian berkembang lagi dan muncul generasi-generasi berikutnya yang tidak lain adalah anak didik mereka,

diantaranya; Abû „Abdillah Muhammad Ibn Isma‟îl al-Bukhârî yang biasa dikenal dengan sebutan Imam Bukhârî (194-256 H), Abu Zur‟ah Ubaidillah Ibn Abdul karim al-Razi (200-264 H), dan Ibn Abî Hâtim al-Râzî (240-327 H).21

D. Pembagian Peringkat Kritikus Hadits

Perbedaan sikap ulama hadis dalam menilai kualitas periwayat hadis itu berbeda-beda. Dan perbedaan dalam penilaian ini ada tiga yaitu;

18

Ibid, h. 50-51; Muhammad Ajjaj al-Khatib, Usul al-hadits, Penerjemah M Qodirrun, Nur Usyafiq, (Jakarata: Gaya Media Permata, 2001), h. 237.

19

Abu Hâtim al-Râzî, al-Jarh wa al-Ta’dîl, (Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1988.), j. I, h. 232.

20

Azami, Hadith Metodology and Literature. h. 51; Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadits, h. 237.

21


(31)

1. Tasyaddud

Tasyaddud merupakan bentuk masdar dari kata tasyaddada-yatasyaddadu

yang mempunyai arti ketat (bersikeras), maksudnya adalah ketat dalam menyeleksi seorang periwayat hadis. Kritikus hadis yang seperti ini mudah untuk men-jarh periwayat hadis dan sangat berhati-hati dalam menyatakan keadilan bagi periwayat hadis.22 walaupun karena hal paling kecil pun, mereka tetap menilai

jarh terhadap periwayat tersebut.

Ulama yang tergolong mutasyaddid diantaranya adalah; al-Nasâ'î (w. 303 H), Ibn al-Madînî (161-234 H),23 Yahya Ibn sa‟îd (120-198), Ibn Ma‟în (158-233 H), Abî Hâtim al-Râzî (240-327 H), dan Ibn Kharrasy.24 Ibn Abî Hâtim al-Râzî sangat melarang penyampaian suatu penilaian terhadap seorang periwayat sebelum benar-benar diketahui kesahihan dan biografinya.

2. Tasahhul

Tasahhul merupakan bentuk masdar dari kata tasahhala-yatasahhalu, yang mempunyai arti longgar. Maksudnya adalah mudah dalam memberikan penilaian adil terhadap seorang periwayat dan kelonggarannya dalam menilai kesahîhan hadis25. Ulama yang tergolong mutasahhil diantaranya adalah;

22

Hasbi ash-Shiddieqi, Sejarah Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang: Pustaka Rizki Putera, 1997), c. I. h. 74.

23

Ibid, (Jakarta: Bulan Bintang, 2007), c. 2, h. 71.

24

Lihat: Syamsuddîn Muhammad bin al-Dzahabi, al-Mûqizât fî ‘Ilm mustalâh al-Hadîts,

(Beirut: Maktabah al-Matbû‟ah al-Islâmiyah, 1416 H), c. 3, h. 83.

25

M.Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), c. I, h. 74.


(32)

Tirmidzî, al-Hakim al-Naisâbûrî (w. 405 H), Dâr al-Qutnî, Ibnu Hibban,26 dan Jalaluddin al-Suyutî (w. 911 H).27 as-Sakhawi juga menyebutkan bahwa Ibn Hazm termasuk dalam kategori ini. dan tasahhul jugadikenal sebagai orang yang mudah dalam menyatakan kepalsuan hadis. Misalnya seperti ibn al-Jauzi (w. 597 H/ 1201 M).

3. Tawassut

Tawassut merupakan bentuk masdar dari kata tawassata-yatawassatu,

yang mempunyai arti tengah (sedang). Maksudnya adalah sikap yang moderat dalam menilai seorang periwayat hadis. Dengan kata lain, para kritikus yang tergolong ini tidak terlalu ketat dan tidak memudahkan pula dalam menilai para periwayat hadis.

Ulama yang seperti ini lebih proposional dalam memandang kecacatan dan keadilan seorang periwayat. Ketika tahu bahwa seorang periwayat melakukan sesuatu yang merusak muru’ah-nya, maka dilakukan penyelidikan mengenai sebab-sebabnya. Mereka melakukan itu karena darurat dan ada sesuatu yang terpaksa. Ulama-ulama yang tergolong mutawassit diantaranya adalah; Ahmad Ibn Hanbal, al-Bukhârî, Abû Zur‟ah,28 al-Dzahabî.29

26

Lihat: al-Dzahabi, h. 83.

27

Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian, h. 71.

28

Lihat: al-Dzahabi, h. 83.

29

al-Dzahabi, Mizan al-I’tidal fi Naqd al-Rijal, (Beirut: dar al-fikr, tt.), h. h; Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian, h. 71.


(33)

E. Biografi Kritikus

1. Ibn Abî Hâtim al-Râzî

Nama lengkapnya adalah „Abdurrahman bin Muhammad bin Idris bin Mundzir bin Dâwud bin Mahrân Abu Muhammad bin Abî Hâtim Hanzaly al-Râzî,30 dikenal dengan sebutan Ibn Abî Hâtim al-Râzî. Lahir di Darb Hanzala, Rayy, pada tahun 240 H dan wafat tahun 327 H.31 Beliau adalah tokoh besar hadis yang hâfîz32 dan ahli dalam bidang Usûl fiqh, Fiqih dan Tafsîr. Tempat tinggalnya terletak di Hanzala, Rayy. Ia berasal dari keluarga yang cinta ilmu, ayahnya Muhammad Abî Hâtim al-Râzî, adalah seorang ulama yang menguasai banyak cabang ilmu. Beliau dikenal tegas dalam mendidik anak-anaknya, termasuk mendidik Ibn Abi Hatim. Dengan melarang anaknya mempelajari hadis sebelum memiliki pemahaman yang mendalam mengenai al-Qur‟an. Ia juga sahabat dekat

Abu Zur‟ah.33

Ia memulai aktifitas keilmuannya dengan belajar kepada ayahnya sendiri

dan Imam Abî Zur‟ah „Ubaidillah bin „Abdul Karîm al-Râzî dan dari ahli hadis lain di negerinya.34 Setelah itu ia banyak belajar dan meriwayatkan hadits dari ulama hadis besar. 35

30

Abu Hâtim al-Râzî, al-Jarh wa al-Ta’dîl, (Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1988.), j. I, h. d.

31

Ibid; Lihat juga Suryadi, Metodologi Ilmu Rijâlil Hadîts, (Yogyakarta: Madani Pustaka Hikmah, 2003.), c. I, h. 115.

32

Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqi, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadîts, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, tt.), h. 359.

33

Anonim, Ringkasan Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits dan Tokoh-Tokohnya, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2003.), c. I, h. 135.

34

al-Râzî, al-Jarh wa al-Ta’dîl, (Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1988.), j. I, h. d.

35

Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadits, c. IV, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993), h. 149.


(34)

Ketika usianya baru menginjak 15 tahun, Ibn Abi Hatim al-Razi melakukan ibadah haji bersama Muhammad bin Himad al-Tarani. Setelah melakukan ibadah haji, beliau mulai mengadakan perjalan ke berbagai daerah untuk mengumpulkan hadis dan berguru kepada ulama-ulama hadis di daerah yang dikunjunginya.36 Pada perjalanan pertamanya dilakukan bersama ayahnya, dan perjalanan selanjutnya Ibn Abi Hatim melakukannya sendiri. Daerah-daerah yang dikunjunginya diantaranya yaitu; Syam, Mesir (262 H), dan Asbahan (264 H), ia juga melakukan pengembangan ilmiah ke Hezjaj (terutama mekkah dan Madinah), Suriah, Mesir, Irak, al-Jibâl (timur Azerbaijan) dan al-Jazîrah (utara Suriah). Kawasan tersebut sudah berkembang pesat sebagai pusat kajian ilmu keislaman.

Ketekunannya dalam mencari hadis amat terkenal, sehingga ia pernah

berkata kepada anaknya (Abdurrahman); “Wahai anakku, aku pernah berjalan

kaki lebih dari 1000 farsakh untuk mencari hadis”. Dalam suatu majlis seringkali ia berkata kepada yang hadir disitu, terutama para penghafal Hadis, bahwa barangsiapa diantara mereka yang dapat memberikan kepadanya sebuah hadis yang tidak diketahuinya, maka ia akan memberikan sedekah satu dirham. Namun tidak ada seorang pun yang dapat menyampaikan kepadanya satu hadis yang belum dihafalkan olehnya, padahal diantara yang hadir di dalam majlis tersebut

terdapat Abu Zur‟ah ar-Razi.37 Setelah diakui sebagai ulama besar, para penuntut

36

Masjfuk Zuhdi, h. 149.

37

Anonim, Ringkasan Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits dan Tokoh-Tokohnya, c. I (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2003.), h. 135-136.


(35)

ilmu banyak yang datang kepadanya untuk belajar, meriwayatkan hadis, dan

banyak pula dari ulama hadis kenamaan meriwayatkan hadis kepadanya.38 Karya-Karyanya;

Ibn Abi Hatim al-Razi adalah salah satu ulama terkemuka dalam bidang hadis. Beliau dikenal sebagai ulama yang produktif. Oleh karena itu, hasil karyanya mempunyai nilai yang sangat tinggi dari berbagai ilmu. Salah satu karyanya bernama al-jarh wa al-Ta’dîl. Dalam bidang hadis, ia juga menulis sebuah buku besar yang berjudul al-Musnad (kitab sandaran) 100 jilid dan ada yang mengatakan sebanyak 12 jilid, dan 2 jilid buku yang berjudul ‘Ilal al -Hadîts (kelemahan-kelemahan hadis). Kitab ini juga termasuk ke dalam kitab fiqih, karena kitab hadis terakhir ini sistematikanya berdasarkan bab-bab fiqih dan dalam bidang fiqih juga., ia menulis kitab yang membahas tentang perbedaan pendapat di kalangan sahabat, tâbi’în dan ulama beberapa kota.39

Dalam bidang tafsir, karyanya berjudul Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm

(berjumlah 4 jilid, 2 diantaranya ditemukan sebagai manuskrip) merupakan kitab yang paling sempurna dari kitab-kitab tafsir sebelumnya, yang menghimpun banyak sekali hadis dan informasi penafsiran dari kitab-kitab tafsir sebelumnya.

Pada bidang teologi (kalam), ia juga menulis al-Radd ‘ala al-Jahmiyah

(penolakan terhadap aliran Jahmiyah). Di dalamnya ia berusaha membuktikan bahwa ajaran-ajaran yang dipelopori Jahm bin Sufyân yang melahirkan aliran

Jahmiyah tidak mempunyai dasar yang kuat di dalam islam yang membawa

38

Masjfuk Zuhdi, h. 149.

39


(36)

paham Jabariah dan fatalistic (yang mengajarkan bahwa perbuatan manusia itu pada dasarnya adalah perbuatan Allah swt).40

Pendapat para ulama terhadap dirinya;

a. Abu Ya‟la al-Kholili: “Dia telah mengambil ilmu dari ayahnya dan Abu

Zur‟ah, ilmunya luas bagaikan lautan dalam rijal hadis. Dan beliau juga adalah orang yang zuhud dan dianggap kokoh.”

b. Al-Dzahabi: “Beliau adalah seorang imam, Hafiz, kritikus, syaikhul

islam.”

c. Maslamah bin Qasim al-Andalusi: “Beliau adalah seorang yang Tsiqah, memiliki kedudukan yang terhormat, seorang imam dari imam-immam

negeri khurasan.”

d. Imam abi Hatim al-Razi: “Aku terkejut dengan ketekunannya dalam

beribadah.”

2. Al-Dzahabî

Nama lengkapnya adalah al-Imâm al-Hâfiz Syamsuddin Abu „Abdullah Muhammad Ibn Ahmad Ibn „Utsman Ibn Qâimâz al-Dzahabî,41 dikenal dengan sebutan al-Dzahabî. Lahir di Damaskus, pada bulan Rabi‟ul awal tahun 673 H, dan wafat pada tahun 748 H. al-Dzahabi berasal dari Negara Turkumanistan dan Maula Bani Tamim. Beliau adalah seorang hâfîz besar, sangat dalam ilmunya

40

John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia islam Modern, (Bandung: Mizan, tth.) j. 2, h. 11-12.

41

Abu „Abdullah Muhammad Ibn Ahmad Ibn „Utsman al-Dzahabi, Mizan al-I’tidal fi Naqd al-Rijal, (Beirut: dar al-fikr, t.t.), h. d.


(37)

dalam bidang hadîts, rijâl dan ‘ilâl. Dan juga dikenal dengan kekuatan hafalan,

kecerdasan, kewara‟an, kezuhudan, kelurusan aqidah dan kefasihan lisannya.

Hasrat intelektual al-Dzahabi sangat tinggi sehingga beliau menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan keislaman. Beliau menuntut ilmu sejak usia dini dan mulai menekuni pencarian ilmunya ketika berumur delapan belas tahun, pada saat itu beliau memfokuskan perhatiannya pada dua ilmu penting, yaitu ilmu-ilmu al-Qur‟an dan Hadis Syarif.

Beliau menekuni dan belajar membaca al-qur‟an dan sekalian dengan ilmu

Qira‟atnya, pada tahun 691 H. kepada seorang guru yang bernama Syaikh

Jamaluddin al-„Asqolaniy. Dan diwaktu yang bersamaan beliau juga tertarik dengan mendegarkan hadis, hingga akhirnya beliau tertarik dan serius untuk menekuninya.42

Beliau mengawali pengembaraan intelektualnya menuju negara Syam, dan disana beliau bertemu dengan seorang ahli hadis ternama yaitu Tajuddin Abi Muhammad al-Maghrabi yang berada di Ba‟labaka, kemudian beliau menuju Halb, berpindah ke Hamsh, Kirk, Tabuk dan lainnya. Disamping pengembaraan intelektual beliau di Syam, beliau juga banyak mencari ilmu di Mesir dan Hijaz (Mekkah dan Madinah). Beliau mengambil ilmu dari para ulama-ulama di negeri-negeri tersebut. Pada tahun 741 H al-Dzahabi mengalami kebutaan yang membuat

42

Al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman al-Dzahabî, Siyar al-A’lam al


(38)

dirinya untuk menghentikan kegiatan menulisnya. Kemudian beralih mengajar sampai beliau tutup usia. 43

Karya-karyanya:

Karya al-Dzahabi dalam bidang hadis, ia menulis al-Mustadrak ‘ala Mustadrak al-Hâkim, al-Arba’ûn al-Baldâniyah, Tsalâtsûn Baldâniyah, al-Kalam ‘ala Hadîts al-Tair.Siyar al-A’lam al-Nubalâ (kitab besar Rijâl al-Hadîts), Mîzân al-I’tidâl fî Naqd al-rijâl, tadzkirah al-huffâz, Tabaqah al-Syuyûkh, dan Mu’jam al-Syuyûkh al-Kabîr.

Dalam bidang ‘aqâ`id yaitu; al-Kabâ`ir, al-‘Uluw lil’Aliy al-Ghaffâr,

al-Arba’în fî Sifât Rabb al’Âlamîn, al-Rau’ wa al-Aujâl fî Naba` al-Masîh al-Dajjâl, al-‘Arsy dan lain-lain.

Dalam bidang Usul Fiqh yaitu; Mas`alah al-Ijtihâd dan Mas`alah Khabar al-Wâhid. Sedangkan dalam bidang Fiqh yaitu; Tahrîm Adbâr al-Nisâ`, Huqûq al-Jâr, Fadâ`il al-Hajj wa Af’âlihi, al-Witr dan lain-lain.

Pendapat para ulama terhadap dirinya;

a. Imam Ibnu Nashruddin al-Dimasyq: “Beliau adalah tanda kebesaran Allah dalam ilmu rijâl, sandaran dalam jarh wa ta’dîl lantaran mengetahui

cabang dan pokoknya, imam dalam qira‟at, faqih dalam pemikiran, sangat

paham dengan madzhab-madzhab para imam dan para pemilik pemikiran,

43


(39)

penyebar sunnah dan madzhab salaf di kalangan generasi yang datang

belakangan.”

b. Ibnu Katsir: “Beliau adalah Syaikh al-Hafiz al-Kabir, pakar tarikh Islam,

Syaikhul Muhadditsin dan beliau adalah penutup syuyukh hadis dan huffaz

-nya.”

c. Al-Nabilisi: “Beliau pakar zamannya dalam hal perawi dan keadaan -keadaan mereka, tajam pemahamannya, cerdas, dan ketenarannya sudah mencukupi dari pada menyebutkan sifat-sifatnya.”

d. Ash-Shafahadi: “Beliau seorang hafiz yang tidak tertandingi, penceramah yang tidak tersaingi, mumpuni dalam hadis dan rijalnya, memiliki pengetahuan yang sempurna tentang „illat dan keadaan-keadaannya, memiliki pengetahuan yang sempurna tentang biografi manusia. Menghilangkan ketidakjelasan dan kekaburan dalam seja manusia. Beliau memiliki akal yang cerdas, benarlah nisbahnya kepada dzahab (emas). Beliau mengumpulkan banyak bidang ilmu, memberi manfaat yang banyak kepada manusia, banyak memiliki karya ilmiah, lebih mengutamakan hal yang ringkas dalam tulisannya dan tidak berpanjang lebar. Aku telah bertemu dan berguru kepadanya, dan membaca banyak dari tulisan-tulisannya di bawah bimbingannya. Aku tidak menjumpai padanya kejumudan, bahkan dia adalah faqih dalam pandangannya, memiliki banyak pengetahuan tentang perkataan-perkataan ulama, madzhab-madzhab para imam salaf dan para pemilik pemikiran.


(40)

27

BAB III

ANALISA DATA DAN PENILAIAN ABÎ HÂTIM RÂZÎ DAN AL-DZAHABÎ

A. Lafad-lafad Jarh dan Ta’dîl

Menurut penelitian para ulama ahli kritik hadis bahwasannya keadaan pribadi para periwayat hadis itu bermacam-macam. Oleh karena itu, para ulama ahli kritik hadis menyusun peringkat para periwayat berdasarkan dari kualitas pribadi dan kapasitas intelektual mereka. Keadaan para periwayat yang bermacam-macam itu dibedakan dengan lafad-lafad tertentu dan yang dikenal dengan maratîb alfâz al-jarh wa ta‟dîl (peringkat lafad-lafad ketercelaan dan keterpujian). Adapun lafad-lafad jarh dan ta‟dîl yang digunakan oleh para ulama ahli kritik hadis untuk menilai para periwayat hadis menurut pribadi para periwayat hadis itu sendiri adalah sebagai berikut:

Sebutan yang paling rendah untuk menerangkan cacat seseorang ialah

dajjâl, kadzdzâb (pembohong), waddâ‟ (pembuat hadis palsu), me-waham-kan hadis.

Kemudian muttahamun bil kadzib (orang yang tertuduh berdusta), atau muttafaq „ala tarkihi (orang yang disepakati untuk ditinggalkan).

Kemudian yang disebutkan matrûk (orang yang ditinggalkan hadisnya),

laisa bi tsiqah (dia tidak terpercaya), sakatû „anhu (mereka berdiam diri tentang


(41)

28

perlu diadakan penyelidikan), hâlik (orang yang binasa), sâqith (orang yang gugur).

Di bawah itu perkataan wâhin bi marrah (orang yang lemah sekali), laisa

bi syai‟in (orang yang tidak ada apa-apa), da‟îf jiddan (orang yang lemah sekali),

da‟afuhu(ulama melemahkannya, da’if), wâhin (lemah), dan lain seperti itu. Setelah itu perkataan yud‟afuhu (dia dilemahkan), wa fîhi da‟fun (padanya ada kelemahan). Wa laisa bi al-qawî (dia bukanlah orang yang kuat), laisa bil hujjah (dia bukan hujjah), laisa bi dzâka (ia tidak dapat dinilai). Yu‟raf wa yunkar

(dia orang yang dikenal hadisnya dan yang tidak dikenal). Fîhi maqâl (padanya ada kecacatan). Tukullima fîhi (diperkatakan terhadap dirinya). Layyin (orang yang lemah). Sayyi'ul hifzi lâ yuhtaju bihi (orang yang buruk hafalan untuk dijadikan hujjah). Ukhtulifa fîhi (diperselisihkan terhadap dirinya). Sadûq

lakinnahu mubtadi‟ (dia orang yang benar, tetapi dia menganut bid’ah).1

Sedangkan sebutan yang terhormat terhadap para periwayat yang diterima riwayatnya adalah tsabat hujjah (orang yang benar-benar dapat menjadi hujjah),

tsabat hâfiz (orang yang dapat dipegangi lagi hafal), tsiqah muttaqin (orang yang terpercaya lagi amat pandai/taqwa), tsiqah tsiqah (terpercaya terpercaya).

Setelah itu perkataan jayyid tsiqah (orang yang baik lagi terpercaya). Kemudian sadûq (orang yang benar). Lâ ba'sa (tidak ada masalah, boleh dipakai).

Laisa bihi ba'sa (tidak terdapat sesuatu yang menyebabkannya di tolak).

Mahalluhu al-sidqu (dia orang yang benar). Hasanul hadîts (orang yang baik

1


(42)

29

hadisnya). Syaikhun wasatun (syaikh yang adil/imbang keadaannya). Syaikhun hasanul hadîts (syaikh yang baik hadisnya). Sadûq insya Allah (orang yang benar insya Allah). Suwailih (orang yang agak baik).

Adapun peringkat kualitas periwayat yang berlaku tidak disepakati oleh para ulama ahli kritik hadis. Sebagian ulama ada yang membaginya untuk lafaz

jarh dan ta‟dîl menjadi empat peringkat. Sebagian ulama ada yang membaginya menjadi lima peringkat, dan sebagian ulama lagi ada juga yang membaginya menjadi enam peringkat.2 Sedangkan Ibn Abi hatim al-Razi tergolong ulama yang membagi lafaz-lafaz jarh dan ta‟dîl menjadi empat peringkat dan al-Dzahabi tergolong ulama yang membagi lafad-lafad jarh dan ta‟dîl menjadi lima peringkat. Lihat pada tabel 3.1 dan 3.2 di bawah ini yang menerangkan perbedaan lafad-lafad ta‟dîl dan jarh yang sebagian besar disifati dengan lafad-lafad yang sama antara Abu Hatim al-Razi dan al-Dzahabi untuk menilai para periwayat

hadis.

Tabel 1. 1

Perbedaan Lafaz-Lafaz Ta’dil Menurut Ibn Abî Hâtim Râzî dan al-Dzahabî

Peringkat Ibn Abî Hâtim al-Râzî al-Dzahabî I

II III IV

2

M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2005), c. 3, h. 206, 210.


(43)

30

V

Pada tabel 3.1 terlihat, peringkat keadilan bagi periwayat hadis dikemukakan oleh Ibn Abi Hatim al-Razi dan al-Dzahabi. Terdapat perbedaan pendapat dan dalam pembagian peringkat antara Ibn Abi Hatim Razi dengan al-Dzahabi dalam mengemukakan peringkat keadilan bagi periwayat. Ibn Abi Hatim Razi membagi peringkat keadilan dengan empat tingkatan, sedangkan al-Dzahabi membaginya dengan lebih detail yaitu lima tingkatan. Bisa kita lihat dalam tabel diatas, menurut Ibn Abi Hatim al-Razi dalam menilai keadilan para periwayat hadis pada peringkat pertama ( ) adalah nilai paling tinggi atau sempurna, peringkat kedua ( ) adalah sangat baik, peringkat ketiga ( ) adalah baik, peringkat keempat ( ) adalah cukup. Sedangkan menurut al-Dzahabi dalam menilai keadilan para periwayat hadis pada peringkat pertama ( ) adalah nilai paling tinggi atau sempurna, peringkat kedua ( ) adalah sangat baik, peringkat ketiga ( ) adalah baik, peringkat keempat (

) adalah lebih dari cukup, peringkat kelima ( )


(44)

31

Tabel 1. 2

Perbedaan Lafaz-Lafaz Jarh Menurut Ibn Abî Hâtim al-Râzî dan al-Dzahabî

Peringkat Ibn Abî Hâtim al-Râzî al-Dzahabî

I II III IV V

Pada tabel 3.2 ini terlihat, peringkat ke-jarh-an bagi para periwayat yang dikemukan oleh Ibn Abi Hatim al-Razi dan al-Dzahabi. Dalam peringkat ke-jarh -an ini juga Ibn Abi Hatim d-an al-Dzahabi berbeda pendapat d-an pembagi-an peringkat. Ibn Abi Hatim al-Razi membagi ke-jarh-an bagi para periwayat hadis sama seperti dia membagi peringkat keadilan bagi periwayat hadis yaitu empat tingkatan. Dan al-Dzahabi juga membaginya sama seperti dia membagi dalam keadilan bagi periwayat hadis yaitu kedalam lima tingkatan. Bisa kita lihat dalam tabel diatas, menurut Ibn Abi Hatim al-Razi dalam menilai ke-jarh-an para periwayat hadis pada peringkat pertama ( ) adalah nilai paling buruk atau sangat buruk, peringkat kedua ( ) adalah buruk, peringkat ketiga ( ) adalah kurang, dan peringkat keempat ( ) adalah tidak begitu buruk. Sedangkan menurut al-Dzahabi dalam menilai ke-jarh-an para


(45)

32

periwayat hadis pada peringkat pertama ( ) adalah nilai paling buruk, peringkat kedua ( ) adalah buruk, peringkat

ketiga ( ) adalah kurang sekali,

peringkat keempat ( ) adalah kurang, dan

peringkat kelima (

) adalah tidak begitu buruk.

B. Analisis Data dan Penilaian 1. Analisa Data

Dari jumlah periwayat yang ada dalam kitab Jarh wa Ta‟dîl jilid satu dan empat yang diterbitkan oleh Dâr al-Fikr Beirut, penulis mengambil 230 orang periwayat. Sedangkan sistematika penulisan nama-nama periwayat tidak ditulis secara alfabetis sebagaimana yang terdapat dalam kitab Jarh wa Ta‟dîl melainkan urutan nama-nama periwayat yang ada pada kitab Jarh wa Ta‟dîl dan Mîzan

al-I‟tidâl seperti pada tabel 3. 5 dari nomor 1 sampai nomor 230. Lihat hal 35.

Dari data-data para kritikus hadis dalam menilai periwayat hadis yang penulis dapati dalam kitab Jarh wa Ta‟dîl jilid dua yang diterbitkan oleh Dâr al-Kutub Mesir dan Mîzan al-I‟tidâl jilid satu yang diterbitkan oleh Dâr al-Fikr Beirut, alangkah baiknya jika melihat pada tabel 3. 5.


(46)

33

2. Kategorisasi Penilaian

Penilaian yang dilakukan berdasarkan penilaian Ibn Abi Hatim al-Razi yang terdapat dalam kitab Jarh wa Ta‟dîl dan dibandingkan dengan penilaian al-Dzahabi yang terdapat dalam kitab Mîzân al-I‟tidâl. Analisa untuk penilaian berdasarkan kategori dan klasifikasi ulama kritik hadis pada istilah yang diperuntukkan bagi periwayat hadis sebagai berikut:

Tabel. 1. 3

Kategorisasi Penilaian dalam Keterpujian Menurut Ibn Abi Hatim al-Razi dan al-Dzahabi

No Lafad – Lafad Ta‟dîl Nilai

Ibn Abi Hatim al-Razi Al-Dzahabi

1 A

2 B

Keterangan:

Nilai A: Nilai ini digunakan oleh para kritikus yang mudah dalam menilai keadaan keterpujian para periwayat hadis dan dikategorikan sebagai kritikus yang

mutasahhil. Nilai ini adalah penggabungan dari peringkat I dan II.

Nilai B: Nilai ini digunakan oleh para kritikus yang ketat dalam menilai keadaan keterpujian para periwayat hadis dan dikategorikan sebagai kritikus yang

mutasyaddid. Nilai ini adalah penggabungan dari peringkat III, IV dan V.

Tabel. 1. 4

Kategorisasi Penilaian dalam Ketercelaan Menurut Ibn Abi Hatim al-Razi dan al-Dzahabi

No Lafad – Lafad Tajrîh Nilai

Ibn Abi Hatim al-Razi Al-Dzahabi

1 A


(47)

34

Keterangan:

Nilai A: Nilai ini digunakan oleh para kritikus yang ketat dalam menilai ketercelaan para periwayat hadis dan dikategorikan sebagai kritikus yang

mutasyaddid. Nilai ini adalah penggabungan dari peringkat I dan II.

Nilai B: Nilai ini digunakan oleh para kritikus yang mudah dalam menilai ketercelaan para periwayat hadis dan dikategorikan sebagai kritikus yang

mutasahhil. Nilai ini adalah penggabungan dari peringkat III, IV dan V.

Adapun sumber penilaian tabel 3. 3 dan tabel 3.4 pada penelitian ini, penulis merumuskan lafad-lafad yang digunakan oleh Ibn Abi Hatim al-Razi dan al-Dzahabi dengan menggunakan kategorisasi penilaian A dan B agar memudahkan dalam memposisikan keberadaan mereka. Dan yang digunakan dalam penelitian ini hanya mutasahhil (mudah) dan mutasyaddid (ketat).

3. Perbandingan Penilaian Ibn Abî Hâtim al-Râzî dan al-Dzahabî Terhadap Para Periwayat Hadis

Setelah dilakukan penelitian terhadap para periwayat hadis dari kedua tokoh kritikus tersebut. Maka dapat diambil perbedaan penilaian diantara keduanya. Karena setiap kritikus hadis itu memiliki standarisasi penilaian masing-masing sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Dari data-data yang terkumpul maka akan dianalisa apakah Ibn Abi Hatim al-Razi sangat ketat dalam mengkritik para periwayat hadis dibandingkan al-Dzahabi?. Penilaian terhadap para periwayat hadis menurut Ibn Abi Hatim al-Razi dan al-Dzahabi dapat dilihat dalam tabel 3. 5, yaitu:


(48)

35

Tabel 3. 5

Perbandingan Penilaian Ibn Abî Hâtim al-Râzî dan al-Dzahabî Terhadap Para Periwayat Hadits

Keterangan al-Dzahabî al-Râzî Periwayat No

Peringkat Penilaian Peringkat Penilaian

- - - 1

Al-Razi menilai periwayat ini dengan

Kadzdzab, lafad ini menempati peringkat pertama dalam ketercelaan. Dan al-Dzahabi juga berpendapat sama dengan al-Razi dengan Kadzdzab, lafad ini menempati peringkat pertama dalam ketercelaan.

1 1 2

Al-Razi menilai periwayat ini dengan

tsiqoh, lafad ini menempati peringkat pertama dalam keadilan.

Sedangkan al-Dzahabi tidak memberikan penilaian terhadap periwayat ini.

- - 1 3

Al-Razi menilai periwayat ini dengan

shoduq, lafad ini menempati peringkat kedua dalam keadilan.

Dan al-Dzahabi juga berpendapat sama menilai periwayat ini dengan shoduq, lafad ini menempati peringkat ketiga dalam keadilan.


(49)

36 Al-Razi menilai periwayat ini dengan

dengan shoduq, lafad ini menempati peringkat kedua dalam keadilan.

Sedangkan al-Dzahabi menilai periwayat ini dengan tsiqoh hujjah, lafad ini menempati peringkat pertama dalam keadilan.

1 2 5

Al-Razi menilai periwayat ini dengan

kadzdzab, lafad ini menempati peringkat pertama dalam ketercelaan. Dan al-Dzahabi juga berpendapat sama menilai periwayat ini dengan kadzdzab, lafad ini menempati peringkat pertama dalam ketercelaan.

1 1 6

Al-Razi menilai periwayat ini dengan

matrûk al-hadits, lafad ini menempati peringkat pertama dalam ketercelaan. Sedangkan al-Dzahabi tidak memberikan penilaian pada periwayat ini.

- - 1 7

Al-Razi menilai periwayat ini dengan

kadzdzab, lafad ini menempati peringkat pertama dalam ketercelaan. Sedangkan al-Dzahabi tidak memberikan penilaian pada periwayat ini.

- - 1 8

Al-Razi menilai periwayat ini dengan

tsiqoh, lafad ini menempati peringkat


(50)

37 pertama dalam keadilan.

Sedangkan al-Dzahabi menilai periwayat ini dengan shoduq, lafad ini menempati peringkat ketiga dalam keadilan.

Al-Razi menilai periwayat ini dengan

Shaduq, lafad ini menempati peringkat kedua dalam keadilan.

Dan al-Dzahabi juga berpendapat sama menilai periwayat ini dengan Shaduq, lafad ini menempati peringkat ketiga dalam keadilan.

3 2 10

Al-Razi menilai periwayat ini dengan

tsiqah, lafad ini menempati peringkat pertama dalam keadilan.

Sedangkan al-Dzahabi menilai periwayat ini dengan tsubut hafiz, lafad ini menempati peringkat pertama dalam keadilan.

1 1 11

أ ن ش و ع لا

واا 12

Al-Razi menilai periwayat ini dengan

tsiqah, lafad ini menempati peringkat pertama dalam keadilan.

Sedangkan al-Dzahabi menilai periwayat ini dengan hujjah, lafad ini menempati peringkat pertama dalam keadilan.


(51)

38 Al-Razi menilai periwayat ini dengan

tsiqah, lafad ini menempati peringkat pertama dalam keadilan.

Sedangkan al-Dzahabi tidak memberikan penilaian pada periwayat ini.

1 14

Al-Razi tidak memberikan penilaian pada periwayat ini.

Sedangkan al-Dzahabi menilai periwayat ini dengan tunkar, lafad ini menempati peringkat kelima dalam ketercelaan.

5 - - 15

16 Al-Razi menilai periwayat ini dengan

syaikh, lafad ini menempati peringkat ketiga dalam keadilan.

Sedangkan al-Dzahabi tidak memberikan penilaian terhadap periwayat ini.

3 17

Al-Razi menilai periwayat ini dengan

do’îf, lafad ini menempati peringkat kedua dalam ketercelaan.

Dan al-Dzahabi juga menilai periwayat ini dengan do’îf, lafad ini menempati peringkat kelima dalam ketercelaan.

5 2 18

Al-Razi menilai periwayat ini dengan

tsiqah, lafad ini menempati peringkat pertama dalam keadilan.


(52)

39 Sedangkan al-Dzahabi menilai

periwayat ini dengan lâ ba`sa bih, lafad ini menempati peringkat ketiga dalam keadilan.

Al-Razi menilai periwayat ini dengan

tsubut, lafad ini menempati peringkat pertama dalam keadilan.

Sedangkan al-Dzahabi menilai periwayat ini dengan syaikh, lafad ini menempati peringkat keempat dalam keadilan.

4 1 20

Al-Razi menilai periwayat ini dengan

matrûk, lafad ini menempati peringkat pertama dalam ketercelaan.

Sedangkan al-Dzahabi menilai periwayat ini dengan syaikh, lafad ini menempati peringkat keempat dalam keadilan.

4 1 21

Al-Razi menilai periwayat ini dengan

tsiqah, lafad ini menempati peringkat pertama dalam keadilan.

Dan al-Dzahabi juga menilai periwayat ini dengan tsiqah, lafad ini menempati peringkat kedua dalam keadilan.

2 1 22

Al-Razi menilai periwayat ini dengan

tsiqah, lafad ini menempati peringkat pertama dalam keadilan.

Dan al-Dzahabi juga menilai periwayat


(53)

40 ini dengan tsiqah, lafad ini menempati

peringkat kedua dalam keadilan.

Al-Razi menilai periwayat ini dengan

syaikh, lafad ini menempati peringkat ketiga dalam keadilan.

Dan al-Dzahabi juga menilai periwayat ini dengan syaikh, lafad ini menempati peringkat keempat dalam keadilan.

4 3 24

Al-Razi menilai periwayat ini dengan

sadûq, lafad ini menempati peringkat kedua dalam keadilan.

Sedangkan al-Dzahabi menilai periwayat ini dengan da’fun, lafad ini menempati peringkat kelima dalam ketercelaan.

5 2 25

Al-Razi menilai periwayat ini dengan

syaikh, lafad ini menempati peringkat ketiga dalam keadilan.

Sedangkan al-Dzahabi menilai periwayat ini dengan tsiqah hafiz, lafad ini menempati peringkat pertama dalam keadilan.

1 3 26

Al-Razi menilai periwayat ini dengan

tsiqah, lafad ini menempati peringkat pertama dalam keadilan.

Sedangkan al-Dzahabi menilai periwayat ini dengan sadûq, lafad ini menempati peringkat ketiga dalam


(54)

41 keadilan.

Al-Razi menilai periwayat ini dengan

laisa Bihi Ba’sun, lafad ini menempati peringkat kedua dalam keadilan.

Sedangkan al-Dzahabi tidak memberikan penilaian terhadap periwayat ini.

2 28

Al-Razi menilai periwayat ini dengan

syaikh, lafad ini menempati peringkat ketiga dalam keadilan.

Sedangkan al-Dzahabi tidak memberikan penilaian terhadap periwayat ini.

3 29

Al-Razi menilai periwayat ini dengan

syaikh, lafad ini menempati peringkat ketiga dalam keadilan.

Sedangkan al-Dzahabi menilai periwayat ini dengan tsiqah, lafad ini menempati peringkat kedua dalam keadilan.

2 3 30

Al-Razi menilai periwayat ini dengan

tsiqah, lafad ini menempati peringkat pertama dalam keadilan.

Sedangkan al-Dzahabi menilai periwayat ini dengan laisa bi al-qowî, lafad ini menempati peringkat kelima dalam ketercelaan.

5 1 31


(55)

42

syaikh, lafad ini menempati peringkat ketiga dalam keadilan.

Sedangkan al-Dzahabi menilai periwayat ini dengan do’îf jiddan, lafad ini menempati peringkat keempat dalam ketercelaan.

Al-Razi menilai periwayat ini dengan

laisa bi qawî, lafad ini menempati peringkat ketiga dalam ketercelaan. Sedangkan al-Dzahabi menilai periwayat ini dengan da’afuhu, lafad ini menempati peringkat kelima dalam ketercelaan.

5 3 33

Al-Razi menilai periwayat ini dengan

tsiqah/tsubut, lafad ini menempati peringkat pertama dalam keadilan. Sedangkan al-Dzahabi menilai periwayat ini dengan hujjah, lafad ini menempati peringkat pertama dalam keadilan.

1 1 34

Al-Razi menilai periwayat ini dengan

da’îf al-hadîts, lafad ini menempati peringkat kedua dalam ketercelaan. Sedangkan al-Dzahabi menilai periwayat ini dengan da’afuhu, lafad ini menempati peringkat kelima dalam ketercelaan.


(56)

43 36 Al-Razi menilai periwayat ini dengan

sadûq, lafad ini menempati peringkat kedua dalam keadilan.

Sedangkan al-Dzahabi menilai periwayat ini dengan hafiz, lafad ini menempati peringkat pertama dalam keadilan.

1 2 37

Al-Razi menilai periwayat ini dengan

syaikh, lafad ini menempati peringkat ketiga dalam keadilan.

Sedangkan al-Dzahabi tidak memberikan penilaian terhadap periwayat ini.

3 38

Al-Razi menilai periwayat ini dengan

sâlih al-hadîts, lafad ini menempati peringkat keempat dalam keadilan. Sedangkan al-Dzahabi menilai periwayat ini dengan da’îf, lafad ini menempati peringkat kelima dalam ketercelaan.

5 4 39

Al-Razi menilai periwayat ini dengan

da’îf al-hadîts, lafad ini menempati peringkat kedua dalam ketercelaan. Sedangkan al-Dzahabi tidak memberikan penilaian terhadap periwayat ini.


(57)

44 Al-Razi menilai periwayat ini dengan

tsiqah, lafad ini menempati peringkat pertama dalam keadilan.

Dan al-Dzahabi juga menilai periwayat ini dengan tsiqah, lafad ini menempati peringkat kedua dalam keadilan.

2 1 41

Al-Razi menilai periwayat ini dengan

da’îf, lafad ini menempati peringkat kedua dalam ketercelaan.

Sedangkan al-Dzahabi menilai periwayat ini dengan da’afûhu, lafad ini menempati peringkat keempat dalam ketercelaan.

4 2 42

Al-Razi tidak memberikan penilaian terhadap periwayat ini.

Sedangkan al-Dzahabi menilai periwayat ini dengan Munkar, lafad ini menempati peringkat ketiga dalam ketercelaan.

3 43

Al-Razi menilai periwayat ini dengan

sadûq, lafad ini menempati peringkat kedua dalam keadilan.

Sedangkan al-Dzahabi menilai periwayat ini dengan syaikh, lafad ini menempati peringkat keempat dalam keadilan.

4 2 44

Al-Razi menilai periwayat ini dengan

sâlih, lafad ini menempati peringkat


(58)

45 keempat dalam keadilan.

Sedangkan al-Dzahabi menilai periwayat ini dengan sadûq, lafad ini menempati peringkat ketiga dalam keadilan.

Al-Razi menilai periwayat ini dengan

sadûq, lafad ini menempati peringkat kedua dalam keadilan.

Sedangkan al-Dzahabi menilai periwayat ini dengan lam yakun bihi ba`sun, lafad ini menempati peringkat ketiga dalam keadilan.

3 2 46

Al-Razi menilai periwayat ini dengan

da’îf al-hadîts, lafad ini menempati peringkat kedua dalam ketercelaan. Sedangkan al-Dzahabi tidak memberikan penilaian terhadap periwayat ini.

2 47

48 49 Al-Razi menilai periwayat ini dengan

syaikh, lafad ini menempati peringkat ketiga dalam keadilan.

Sedangkan al-Dzahabi menilai periwayat ini dengan Kadzdzab, lafad ini menempati peringkat pertama dalam ketercelaan.


(1)

82

Dzahabi berjumlah 59 orang periwayat, dengan rincian: nilai A sebanyak 8 kali (13,7%), dan nilai B sebanyak 51 kali (87,9%). Dalam hal ini al-Dzahabi lebih banyak menggunakan nilai B, maka ia termasuk kategori kritikus hadis yang mutasahhil dibandingkan Ibn Abi Hatim al-Razi dalam tulisan ini.

Dengan demikian dapat dikemukakan bahwasannya Ibn Abi Hatim al-Razi mudah (mutasahhil) menilai para periwayat hadis dalam keterpujian. Sedangkan al-dzahabi ketat(mutasyaddid) menilai para periwayat hadis dalam keterpujian. Maka, dalam hal ini al-Dzahabi lebih ketat dibandingkan dengan Ibn Abi Hatim al-Razi dalam menilai para periwayat hadis.


(2)

83 A. Kesimpulan

Setelah melakukan penelitian terhadap Ibn Abi Hatim Razi dan al-Dzahabi, penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut;

1. Para kritikus periwayat hadis berbeda pendapat dalam menentukan kualitas pribadi periwayat disebabkan oleh; Pertama, sikap ulama kritikus periwayat hadis dalam menetapkan kualitas para periwayat tidak sama (ada yang tasyaddud, tasahhul, dan tawassut). Kedua, sikap ulama dalam tingkat pengenalan terhadap pribadi periwayat tidak selalu sama. Ketiga, sikap ulama dalam pembagian peringkat kualitas periwayat hadis tidak sama.

2. Sebagaimana yang tertulis dalam buku-buku yang penulis baca bahwasannya Ibn Abi Hatim al-Razi dikenal sebagai salah satu ulama kritikus hadis yang tergolong sangat ketat dalam mengkritik para periwayat hadis dan sangat berhati-hati dalam menyatakan keadilan. Sedangkan al-Dzahabi adalah salah satu ulama kritikus hadis yang tergolong tidak ketat dan juga tidak mudah dalam mengkritik periwayat hadis (moderat). Tapi setelah penulis teliti, Ibn Abi Hatim al-Razi dalam menilai para periwayat hadis yang terdapat di kitab jarh wa ta‟dîl jilid dua adalah mutasahhil (mudah) dibandingkan dengan al-Dzahabi dalam tulisan ini, sedangkan al-Dzahabi dalam menilai para periwayat hadis yang


(3)

84

terdapat di kitab mîzân al-I‟tidâl jilid satu adalah mutasyaddid (ketat) dibandingkan Ibn Abi Hatim al-Razi dalam tulisan ini. Dilihat dari hasil penelitian tersebut maka dapat dikemukakan bahwasannya al-Dzahabi lebih ketat jika dibandingkan dengan Ibn Abi Hatim al-Razi dalam menilai para periwayat hadis dalam tulisan ini.

B. Saran-saran

Bagi para pembaca atau peminat dalam ilmu kritik hadis khususnya, dianjurkan agar lebih kritis dan lebih hati-hati jika meneliti para periwayat hadis, jangan terpaku hanya kepada satu kritikus hadis saja.

Skripsi ini sangat jauh dari kesempurnaan, dan juga karena keterbatasan ilmu dan pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karena itu, penulis sangat berharap kepada para pembaca dan para peminat ilmu hadis agar dapat memberikan pemahaman secara lebih jelas dan mungkin lebih detail tentang tulisan ini atau tentang kritik hadis itu sendiri.


(4)

85 Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2003.

Azami, Muhammad Mustafa. Manhaj al-Naqd „Inda al-Muhadditsin. Saudi: Maktabah al-Kautsar, 1982.

---. Studies in Hadith Metology and Literature. Indianapolis, Indiana: American Trust Publications, 1413 H/1992.

Azwar, Saifudin. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.

Buchori, Didin Saefudin. Metodologi Studi Islam. Bogor: Granada Sarana Pustaka, 2005.

Bustamin dan Salam, Muhammad Isa. Metodologi Kritik Hadis. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.

Departemen Agama Republik Indonesia, Jakarta. Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Penerjemah Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an. Semarang: CV Toha Putra, 1989.

Dewan Redaksi Ensiklopedia Sastra Indonesia, Ensiklopedia Sastra Indonesia. Bandung: Titian Ilmu, 2004.

al-Dzahabi, Abu ‘Abdullah Muhammad Ibn Ahmad Ibn ‘Utsman. Mizan al-I‟tidal fi Naqd al-Rijal. Beirut: Dar al-fikr, t.t.

---. Siyar al-A‟lam al-Nubalâ. Beirut: Muassasat al-Risalah, 1992.

Esposito, John L. Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern. Bandung: Mizan, tth. Al-Ghazali, Muhammad. Study Kritis atas Hadis Nabi saw; Antara Pemahaman

Tekstual dan Kontekstual, penerjemah Muhammad al-Baqir. Bandung: Mizan, 1996.

Hamid, Syamsul Rijal. Buku Pintar Hadis. Jakarta: Cahaya Salam, 2005. Idri, Dr. Studi Hadis. Jakarta: Kencana, 2010.

Isma’il, Muhammad Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadis Nabi saw. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.


(5)

86

---. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 2005.

’Itr, Nur al-Din. Manhaj al-Naqd fî Ulum al-Hadîts. Damaskus: Dâr al-Fikr, 1997. ---. Ulumul Hadits. Penerjemah Endang Soetari dan Mujiyo.

Jannah, Miftahul. “Peringkat Kritikus Hadis; Telaah Atas Kitab Tahdzib al-Tahdzib Karya Ibnu Hajar al-Asqalani.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004. Karim, Abdullah. Membahas Ilmu-Ilmu Hadis. Banjarmasin: Comdes

Kalimantan, 2005.

Al-Khatib, Muhammad Ajjaj. Usul al-Hadîts Ulûmuhu Wa Mushtalahu. Bairût: Dâr al-Fikr, 1989.

---. Usul Hadis, Penerjemah M Qodirrun, Nur Ahmad M Usyafiq. Jakarta: Gaya Media Permata, 2001.

Kurnia, Muhammad Rahmat. dkk. Prinsip-Prinsip Pemahaman Qur‟an dan Hadits. Jakarta: Khairul Bayan, Sumber Pemikiran Islam, 2002.

Manzur, Ibn. Lisân al-‟Arâb, juz 3. Bairût: Dâr al-Shadir, tth.

Marwiyah, Siti. “Peringkat Ketsiqahan Periwayat Hadis Tiingkat Tabi‟in; Studi Komparatif Ibn Abi Hatim Razi (240 H-327 H) dan Ibnu Hajar al-Asqalani (773 H-852 H).” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005.

Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir Arab Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.

Nasuhi, Hamid. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah; Skripsi, Tesis dan Disertasi. Jakarta: CeQDA Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2007.

Al-Qardhawi, Yusuf. Bagaimana Memahami Hadis Nabi, penerjemah Muhammad Baqir. Bandung: Karisma, 1994.

Rahman, Fathur. Ikhtisar Mustalahu al-Hadîts. Bandung: Al-Ma’arif, 1974.

Al-Razi, Abi Hatim. Al-Jarh wa al-Ta‟dil. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998.


(6)

Ash-Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi. Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits, ed. 3. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009.

Subhi, Shalih. ‟Ulum al-Hadîts wa Mustalahuhu. Bairût: Dâr al-’Ilm al-Malayîn, 1997.

Thahhan, Mahmud. Ulumul Hadis; Studi Kompleksitas Hadis Nabi, Penerjemah Zainul Muttaqin. Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997.

Yaqub, Ali Mustafa. Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995. Yuslem, Nawir. Ulumul Hadis. Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001. Zuhdi, Masjfuk. Pengantar Ilmu Hadis. Surabaya: Bina Ilmu, 1993.