Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hadis merupakan pernyataan, pengamalan, taqrîr 1 dan hal ihwal Nabi Muhammad saw. Hadis merupakan sumber ajaran Islam yang ke dua sedangkan al- Qur‟an sumber ajaran Islam pertama. 2 Selain sebagai sumber ajaran Islam yang ke dua, hadis juga berfungsi sebagai sumber dakwah dan juga mempunyai fungsi penjelas bagi al- Qur‟an. 3 Al- Qur‟an dengan sifatnya yang Qat‟i al-Wurud, 4 baik secara ayat per ayat maupun secara keseluruhan, sudah seharusnya kedudukannya lebih tinggi dari pada hadis, kecuali hadis yang berstatus Mutawatir. 5 Hadis yang menjadi objek penelitian Ulama hadis ialah berbagai hadis yang berkategorikan ahad, 6 sedang hadis yang berkategori Mutawatir tidak menjadi objek penelitian. Sebab hadis mutawatir 7 tidak lagi diragukan 1 Taqrir merupakan perbuatan sahabat Nabi saw. yang ternyata dibenarkan atau tidak dikoreksi oleh Nabi. Lihat. Syuhudi Isma‟il, Kaidah Keshahihan Sanad Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, tth, h. 3. 2 M. Syuhudi Isma‟il, Kaidah Keshahihan Sanad Hadis, h. 3-4. 3 Bustamin dan Isa Salam, Metodologi Kritik Hadis, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, h. 1. 4 Qat‟I al-Wurud adalah mutlak atau pasti dalam pengungkapannya. Subhi Shalih, Ulûm al-Hadîts wa Mustalahuhu. Beirut: Dar al- „Ilm al-Malayin, 1997, h. 151. 5 Nawir Yuslem, Ulum al-Hadtis Mutiara Sumber Jaya, 2001, h. 63. 6 Ahad merupakan jamak dari kata wahid yang arti harfiahnya satu. Arti istilah menurut ilmu hadis ialah apa yang diberitakan oleh orang-orang yang tidak mencapai tingkat mutawatir. M Ajjaj al-Khattib, hal. 302-303. 7 Mutawatir secara harfiah berarti tatabu‟, yakni berurutan. Sedangkan menurut istilah ilmu hadis adalah berita yang diriwayatkan oleh orang banyak pada setiap tingkat periwayat, mulai dari tingkat sahabat sampai dengan tingkat mukharrij, yang menurut ukuran rasio dan kebiasaan, mustahil para periwayat yang jumlahnya banyak itu bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta. Untuk penjelasan lebih lanjut lihat Subhi as-Salih, Ulûm al-Hadîts wa Musthalahuhu Beirut: Dar al- „Ilm li al-Malayyin, 1997, h. 146-147. kesahihannya berasal dari Nabi. 8 Hadis serupa ini jelas akan ditempatkan pada posisi yang setaraf dengan al- Qur‟an, yang mana umat Islam wajib menerima dan mengamalkannya. 9 Berbeda dengan ayat – ayat al-Qur‟an yang semuanya dapat diterima, hadis tidak semuanya dapat dijadikan sebagai acuan atau hujjah. Hadis ada yang dapat dipakai dan ada yang tidak. Di sinilah letak perlunya meneliti hadis. Agar dapat meneliti hadis secara baik diperlukan antara lain pengetahuan tentang kaidah atau metodenya. Atas dasar itulah, para ulama khususnya yang menekuni hadis telah berusaha merumuskan kaidah dan metode dalam studi hadis. Buah dari pengabdian dan kerja keras mereka telah menghasilkan kaidah dan berbagai metode yang sangat bagus dalam studi hadis, terutama untuk meneliti para periwayat yang menjadi mata rantai dalam periwayatan hadis sanad. Bahkan dapat dikatakan bahwa untuk studi sanad ini, secara metodologis sudah relative mapan yang ditunjang dengan perangkat pendukungnya. Apalagi pada zaman sekarang, dengan memanfaatkan teknologi komputer, studi sanad hadis dapat dilakukan secara sangat efisien dengan kemampuan mengakses referensi yang lebih banyak. Untuk menghimpun hadis – hadis itu diperlukan ketelitian yang sangat tinggi; yaitu berupa ontologi isi, epistimologi cara, dan aksiologi tujuan yang 8 M. Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Sanad Hadis, h. 7. 9 Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h. 207. akurat. Agar yang dinamakan hadis itu benar-benar dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah 10 . Seorang penuntut ilmu hadis belum dianggap sempurna, jika belum mendalami ilmu – ilmu yang berhubungan dengan sanad, di samping ilmu – ilmu yang berpautan dengan matan hadis, seperti ilmu gharibil hadits, asbabul wurud, tawarikhul mutun, ilalul hadis dan lain sebagainya. Sebab sudah dimaklumi bersama, bahwa hadis itu terdiri dari matan dan sanad dengan demikian menguasai ilmu sanad berarti dapat mengetahui separuh ilmu hadis 11 . Mengingat hadis Nabi Muhammad SAW. sampai kepada kita melalui jalan para periwayat, maka merekalah yang merupakan pusat utama dalam rangka mengetahui kesahihan hadis atau tidak. Karena itu para ulama hadis memperhatikan periwayat hadis, dan mempersyaratkan beberapa syarat untuk dapat diterima riwayat mereka, dengan persyaratan yang mendalam lagi bersifat tegas 12 . Dan karena para periwayat hadis mulai dari generasi sahabat Nabi sampai mukharrijul hadîts periwayat sekaligus penghimpun hadis sudah tidak dijumpai secara fisik karena mereka telah tiada. Maka, untuk mengenali keadaan pribadi mereka, baik kelebihan maupun kekurangan mereka di bidang periwayatan hadis, 10 M. Abdur Rahman, Pergeseran Pemikiran Hadits, Ijtihad al-Hakim dalam Menentukan Status Hadits, Jakarta: Paramadina, 2000, h. 2. 11 Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, Bandung: Al- Ma‟arif, 1974, h. 280. 12 Mahmud Thahhan, Ulumul Hadits, Studi Kompleksitas Hadis Nabi. Penerjemah Zainul Muttaqin, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997 Cet. Ke-1, hlm. 157 diperlukan informasi dari berbagai kitab yang ditulis oleh ulama kritik rijâl al- hadîts. 13 Penilaian-penialian kritikus itu sampai kepada kita melalui karya-karya klasik, seperti al-D u‟afâ karya al-Bukhari dan al-Du‟afâ karya al-Nasa`i. Ulama yang pertama kali meruntutkan lafad - lafad Jarh dan Ta‟dîl adalah Abu Muhammad Abdurrahman ibn Abu Hatim al-Razi. setelah itu berturut-turut ulama menjelaskan dan meragamkannya serta memberikan penjelasan-penjelasan yang berkaitan dengannya. Sehingga bisa dikatakan tak satupun karya dalam bidang ulumul hadis yang tidak menyebutkan tingkat-tingkat Jarh dan Ta‟dîl itu, baik secara rinci ataupun singkat. Dalam mengemukakan penilaian, sikap para kritikus hadis ada yang ketat tasyaddud, ada yang longgar tasahhul, dan ada pula yang menempatkan diri di antara keduanya, yaitu moderat tawassut. Orang yang menilai jarh termasuk di antara orang yang sangat mempersulit dan memperberat. Mengingat ada sejumlah ulama jarh wa ta‟dîl yang sangat memperberat perkataan ini. Mereka men-jarh para periwayat hanya karena kecacatan yang sangat sedikit. Orang seperti ini penilalian tsiqat-nya dapat diterima, sementara penilaian serupa dari orang lain yang obyektif dan diperhitungkan. Di antara mereka adalah Ibn Abi Hatim al-Razi, al-Nasai, Ibnu Ma‟in, dan Ibn al-Qattan. Mereka dikenal sebagai orang yang berlebihan dan 13 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi,cet. 1, Jakarta: Bulan Bintang, 1992, h. 72. terlalu keras dalam men-jarh. Maka hendaklah setiap peniliti bersikap hati-hati dan berpikir kritis terhadap periwayat yang hanya dinilai jarh oleh mereka. 14 Salah satu diantara Ulama-ulama yang paling ketat dalam memberikan keadilan terhadap para periwayat hadis itu adalah Ibn Abi Hatim al-Razi. Ibn Abi Hatim al-Razi sangat terkenal sekali dalam keketatannya memberikan penilaian keadilan dan sangat mudah dalam memberikan penilaian ketercelaan terhadap para periwayat hadis. Dengan sekilas yang telah dipaparkan di atas, penulis tertarik ingin tahu lebih dalam tentang Ibn Abi Hatim al-Razi. Terutama penilaian beliau dalam menilai para periwayat hadis. Dan akan disusun dalam bentuk karya ilmiah yang berjudul: “Peringkat Kritikus Hadis; Studi Kasus Atas Ibn Abi Hatim al-Razi dan al- Dzahabi”.

B. Pembatasan dan Perumusan masalah