4.2 Analisis Kualitatif
Identifikasi sampel dilakukan dengan membandingkan waktu tambat dari sampel terhadap waktu tambat kofein BPFI.Dari hasil penyuntikan larutan sampel
diperoleh waktu tambat salah satu puncak yaitu 8,08 menit. Waktu tambat ini berdekatan dengan waktu tambat kofein baku yang dianalisis dengan KCKT pada
kondisi yang sama yaitu 8,14 menit. Meskipun waktu tambat yang dihasilkan tidak sama persis, namun puncak yang diamati dalam kromatogram sampel dapat
diterima sebagai puncak kofein karena waktu tambat yang diperoleh, masih berada pada rentang waktu tambat yang diterima. Kedua kromatogram hasil
analisis KCKT dapat dilihat pada Gambar 2 A dan 2 B.
Maka untuk mempertegas hal tersebut, ditambahkan sedikit larutan kofein baku ke dalam larutan sampel spiking method, lalu dianalisis kembali dengan
KCKT pada kondisi yang sama. Hasil analisis menunjukkan terjadi peningkatan luas area dan tinggi puncak kofein dari yang diamati sebelumnya. Kromatogram
larutan sampel yang dianalisis setelah penambahan baku dapat dilihat pada Gambar 2 C.Jadi dapat disimpulkan bahwa puncak yang diamati dalam larutan
sampel adalah benar merupakan puncak kofein.
Universitas Sumatera Utara
RT min Area
k Asym
N 8,14
1310791 811,67
1,30 6542
A
RT min Area
k Asym
N 8,08
1165807 807,00
1,33 6182
B
RT min Area
k Asym
N 8,09
1214978 819,67
1,49 4677
C
Gambar 2. Kromatogram hasil penyuntikan kofein baku 60 ppm A,
larutan sampel kopi B, dan larutan sampel yang telah di-spike dengan larutan baku pembanding kofein C dengan kondisi
KCKT yang sama.
Universitas Sumatera Utara
Dari hasil kromatogram yang diperoleh dapat dilihat waktu tambat hasil analisis untuk setiap sampel berbeda-beda, hal tersebut kemungkinan disebabkan
oleh kondisi alat KCKT yang tidak dilengkapi dengan kolom oven sehingga tekanan dan temperatur didalam kolom tidak konstan.
4.3 Analisis Kuantitatif
Analisis secara kuantitatif ditentukan dari kurva kalibrasi kofein BPFI berdasarkan luas puncak.Kurva kalibrasi kofein baku dibuat mulai dari
konsentrasi 50 µgml,70 µgml, 90 µgml, 110 µgml dan 130 µgml. Kurva kalibrasi dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Kurva Kalibrasi KofeinBPFI
Dari kurva kalibrasi diperoleh hubungan yang linier antara luas area dan konsentrasi dengan koefisien korelasi r = 0,9999. Dari hasil perhitungan,
diperoleh persamaan regresi
4 ,
32557 76
, 22390
+ =
X Y
Hasil pengolahan data penyuntikan larutan sampel secara
KCKT
menggunakan kolom C18 Phenomenex dengan perbandingan fase gerak metanol -aquabidest
30:70, volume penyuntikan 10 µl, laju alir 1 mlmenit, detektor
UV
-
V
is L-2420 pada panjang gelombang maksimum 273 nm. Kadar kofein dapat dihitung dengan
mensubtitusikan luas area pada Y dari persamaan regresi
Universitas Sumatera Utara
4 ,
32557 76
, 22390
+ =
X Y
.Data jumlah kofein yang diperoleh dari pengolahan data secara statistik dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2
. Data Jumlah Kofein yang Diperoleh Dari Pegolahan Data Secara Statistik
NO. Sampel
Rentang Kadar Kofein mg 1
Kopi Luwak 90,7477± 0,8652
2 Kopi Arabika
84,3953± 0,7881 3
Kopi Robusta 160,6638± 2,2851
Menurut Panggabean 2011, secangkir kopi mengandung 8 gram bubuk kopi dalam 180 ml air.
Dari Tabel 2 di atas terlihat bahwa kadar kofein yang diperoleh dalam secangkir kopi berbeda-beda. Dari ketiga jenis kopi yang ditentukan terdapat satu
jenis kopi yakni kopi robusta yang kadarnya lebih besar dari ketentuan BPOM. Dari tabel terlihat juga bahwa kadar kofein terlarut dalam secangkir kopi luwak
lebih besar dari kopi arabika, hal ini kemungkinan disebabkan pengambilan sampel kopi luwak bukan dari kotoran musang yang dipelihara tetapi dari kotoran
musang liar yang terdapat disekitar perkebunan kopi sehingga mempengaruhi kadar yang didapat.
4.4 Hasil Uji Validasi