Perlindungan Hukum Bagi Saksi Anak Dalam Proses Peradilan Pidana

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban menentukan jangka waktu dan besaran biaya yang diperlukan. Ketentuan lebih lanjut mengenai kelayakan serta jangka waktu dan besaran biaya diatur dalam peraturan pemerintah. Keputusan LPSK mengenai pemberian bantuan kepada saksi danatau korban harus diberitahukan secara tertulis kepada yang bersangkutan dalam waktu paling lambat 7 tujuh hari kerja sejak diterimanya permintaan tersebut. Dalam melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan LPSK dapat bekerja sama dengan instansi terkait yang berwenang dan melaksanakan perlindungan dan bantuan, instansi terkait sesuai dengan kewenangan wajib melaksanakan keputusan LPSK sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

C. Perlindungan Hukum Bagi Saksi Anak Dalam Proses Peradilan Pidana

Anak Menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. 1. Usia anak menjadi saksi di persidangan Saksi di persidangan adalah seseorang yang dapat memberikan keterangan atas suatu peristiwa pidana dan keterangan tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Dalam suatu tindak pidana adakalanya suatu tindak pidana tidak memiliki saksi yang dinilai cakap ataupun dinilai dapat mempertanggungjawabkan keterangannya dipersidangan, salah satunya anak-anak. Hal ini dikarenakan penilaian terhadap anak yang dianggap belum dewasa dan belum memiliki kemampuan untuk bertanggungjawab atas keterangannya di dalam persidangan. Jadi permasalahan kriteria saksi ini terbatas pada persoalan batas usia dewasas yang cukup beragam di Indonesia. Dalam situasi tersebut sangat dibutuhkan pergerakan hukum untuk memberikan peluang dimana dalam suatu sistem peradilan pidana anak terdapat anak yang menjadi sumber keterangantitik terang kasus tersebut menjadi saksi dalam persidangan. Hal ini kemudian diakomodir dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Anak merupakan bagian dari generasi muda yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus. Oleh karena itu anak memerlukan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi selaras, dan seimbang. Dengan UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak UU Pengadilan Anak. Ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 2 angka 2a dan 2b menyatakan secara jelas status dan kedudukan anak. Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 delapan tahun, tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin. Batas usia anak memberikan pengelompokan terhadap seseorang untuk dapat disebut sebagai seorang anak. Yang dimaksud dengan batas usia anak adalah pengelompokan usia maksimal sebagai wujud kemampuan anak dalam status hukum sehingga anak tersebut beralih menjadi usia dewasa atau menjadi seorang subyek hukum yang dapat bertanggungjawab secara mandiri terhadap perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan hukum yang dilakukan anak itu. Batas usia anak dalam pengertian hukum pidana dirumuskan secara jelas dalam ketentuan hukum yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 UU Pengadilan Anak. KUH Perdata mengenai anak sudah atau belum dewasa dalam rumusan Pasal 330 dinyatakan bahwa istilah belum dewasa dimaksudkan sebagai semua orang yang belum genap 21 tahun dan yang sebelumnya tidak pernah kawin, dan apabila sebelum berumur 22 tahun perkawinan mereka dibubarkan maka status mereka tidak kembali menjadi belum dewasa. Jadi dapat disimpulkan usia belum dewasa dalam KUH Perdata adalah belum genap 21 tahun dan apabila seseorang sudah pernah menikah. Pasal 1 angka 2 UU No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak dirumuskan anak adalah seorang yang belum mencapai usia 21 tahun dan belum pernah kawin. Dalam penjelasannya dinyatakan batas usia 21 tahun ditetapkan karena berdasarkan pertimbangan usaha sosial, tahap kematangan sosial, pribadi dan mental anak dicapai pada usia tersebut. Sementara dalam KUHP tidak disebutkan secara limitatif, namun mengenai pertanggungjawaban pidana disebutkan dengan aneka ragam batasan. Dalam rumusan pasal 45 KUHP dikategorikan 16 tahun, pasal 283 KUHP menentukan 17 tahun. Sedangkan pasal 287 KUHP khusus bagi wanita ditentukan 15 tahun. Perbedaan perumusan batas usia bisa disimpulkan bahwa terdapat perbedaan perumusan batas usia anak dapat kita perhatikan bahwa anak dirumuskan sebagai berikut: 1. Mereka yang belum berumur 18 tahun; 2. Mereka yang belum berumur 18 tahun dan belum pernah menikah; 3. Mereka yang belum berumur 21 tahun; 4. Serta mereka yang belum berumur 21 tahun dan belum pernah kawin . 5. Mereka yang belum berusia 18 tahun termasuk anak dalam kandungan Berdasarkan pasal-pasal tersebut dapat disimpulkan kriteria seorang anak dalam KUHP masih beragam. Sedangkan dalam pasal 171 KUHAP menentukan yang dapat diperiksa untuk memberikan keterangan tanpa sumpah adalah anak yang umumnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin. Dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan mengingat bahwa anak yang belum berumur lima belas tahun, demikian juga orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila meskipun kadang-kadang saja, yang dalam ilmu penyakit jiwa disebut psychopaat. Mereka ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara semupurna dalam hukum pidana maka mereka tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam memberikan keterangan karena itu keterangan hanya dipakai sebagai petunjuk. Dari kasus yang muncul adakalanya anak berada dalam status saksi dan atau korban suatu tindak pidana, sehingga anak sebagai saksi dan atau korban juga diatur dalam UU SPPA. Khusus mengenai sanksi terhadap anak ditentukan berdasarkan perbedaan usia anak yaitu bagi anak yang masih berusia kurang dari 12 tahun hanya dikenakan tindakan, sedangkan bagi anak yang telah mencapai usia 12 duabelas tahun sampai 18 delapan belas tahun dapat dijatuhkan tindakan dan pidana. Batas umur minimum seorang anak dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukannya, yaitu batas umur minimum seorang anak dapat dituntut dan diajukan dimuka sidang pengadilan dan dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang melanggar peraturan pidana. Mengingat ciri dan sifat yang khas pada anak dan demi perlindungan terhadap anak, maka perkara anak yang berhadapan dengan hukum wajib disidangkan pada pengadilan pidana anak yang berada di lingkungan peradilan umum. Dan proses peradilan perkara anak sejak ditangkap, ditahan, diadili, dan pembinaan wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang memahami masalah anak. Namun sebelum masuk proses peradilan para penegak hukum, keluarga, dan masyarakat wajib mengupayakan proses penyelesaian di luar jalur pengadilan yakni melalui restorative justice dan diversi. Beberapa kalangan pemerhati anak menilai batas usia minimum bagi anak yang bisa dikenakan pertanggungjawaban pidana yakni 12 tahun, masih terlalu dini. Menurut mereka usia 12-13 tahun secara psikologis belum siap menghadapi proses peradilan pidana yang bagi orang dewasa terkadang terasa panjang membingungkan dan melelahkan. Sejak masih berupa RUU, KPAI menghendaki usia anak yang bisa diproses dalam peradilan pidana adalah 15 – 18 tahun. Pada dasarnya dalam hukum acara pidana kesaksian itu bersifat imperatif, yaitu saksi bisa dipaksa untuk memberikan keterangan ke persidangan. Tetapi undang-undang sebenarnya memberi ruang bagi seorang saksi untuk tidak memberikan kesaksian karena alasan-alasan. Pasal 168 KUHAP menegaskan orang-orang yang tidak dapat didengar keterangannya atau dapat mengundurkan diri sebagai saksi, yaitu: 1 Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa. 2 Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga; 3 Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama- sama sebagai terdakwa. Jika anak tidak memenuhi kriteria tersebut, maka menurut UU Perlindungan Anak memberikan hak kepada anak berupa perlindungan khusus, jika si anak tersebut berhadapan dengan hukum. Situasi berhadapan dengn hukum termasuk dalam pengertian menjadi saksi. Perlindungan khusus tersebut dilaksanakan melalui cara-cara: a. Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak anak; b. Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini; c. Penyediaan sarana dan prasarana khusus d. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua keluarga, serta e. Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi. Pasal 18 UU SPPA mengharuskan semua aparat penegak hukum memperlakukan Anak Saksi sesuai dengan kepentingan terbaik si anak. UU SPPA ini banyak memberikan rambu lain kepada aparat penegak hukum dalam rangka perlindungan kepada anak, termasuk anak yang menjadi saksi perkara pidana. Anak berhak menolak menjadi saksi untuk suatu perkara pidana. Jika urgensi kesaksiannya memaksa, maka anak boleh tidak disumpah saat memberikan keterangannya hal ini ditegaskan dalam Pasal 171 KUHAP. Sementara dengan hukum acara perdata kedudukan saksi sangat penting, berbeda dengan dalam hukum acara pidana yang bersifat imperative, dalam hukum acara perdata kesaksian itu lebih bersifat sukarela. Anak yang belum cukup usia 15 tahun dipandang sebagai saksi yang tidak cakap secara relatif. Dalam Pasal 145 HIR menyebutkan tidak dapat didengar keterangannya sebagai saksi adalah anak-anak yang umurnya belum sampai 15 tahun dan dianggap kesaksiannya dianggap belum dapat dipertanggungjawabkan. 70 Khusus anak yang berhadapan dengan hukum sebenarnya sudah cukup banyak aturan yang bisa dijadikan rujukan, baik konvensi internasional, misalnya Konvensi Hak Anak KHA atau nasional. Perbedaan penentuan batas usia anak ini akan menimbulkan kebingungan bagi beberapa pihak terkait penetapan Anak Saksi di pengadilan, maka UU SPPA mengatur secara khusus mengenai anak saksi yaitu anak yang belum berumur 18 tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan tentang suatu perkara yang didengar, dilihat, danatau dialaminya sendiri. 2. Pelaksanaan Perlindungan Anak Saksi Pelaksanaan perlindungan anak saksi dalam UU SPPA dilaksanakan oleh LPAS, LPKS, Bapas secara kelembagaan khusus dan dibantu dengan seluruh 70 Anak sebagai saksi, http:www.hukumonline.comklinik diakses tanggal 10 Juli 2013 pihak yang bersinggungan dengan kepentingan anak saksi baik Hakim, Jaksa, Lawyer Anak Saksi, segenap keluarga dan pemangku kepentingan lainnya. Perlindungan anak tersebut dalam persidangan menurut UU SPPA dalam menangani perkara Anak, Anak Korban DanAtau Anak Saksi, Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim dan Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya wajib memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak dan mengusahakan suasana kekeluargaan tetap terpelihara yang tertuang dalam Pasal 18 UU SPPA. Dalam persidangan identitas Anak, Anak Korban danatau Anak Saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak ataupun elektronik. Identitas tersebut meliputi nama Anak, nama Anak Korban, nama Anak Saksi, nama orang tua, alamat, dan hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri Anak, Anak, Anak Korban danatau Anak Saksi yang ditegaskan dalam Pasal 19 UU SPPA. Pihak Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, Pembimbing Kemasyarakatan, Advokat, atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan petugas lain dalam memeriksa perkara Anak, Anak Korban, dan atau Anak Saksi tidak memakai toga atau atribut kedinasan yang ditegaskan dalam Pasal 22 UU SPPA. Dalam setiap tingkat pemeriksaan, Anak wajib diberikan bantuan hukum dan didampingi oleh Pembimbing Kemasyarakatan atau pendamping lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam setiap tingkat pemeriksaan, Anak Korban, atau Anak Saksi wajib didampingi oleh orang tua dan atau orang yang dipercaya oleh Anak Korban dan atau Anak Saksi, atau Pekerja Sosial. Dalam hal orang tua sebagai tersangka atau terdakwa perkara yang sedang diperiksa, ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 tidak berlaku bagi orang tua, hal ini ditegaskan dalam Pasal 23 UU SPPA. Penyidikan terhadap perkara anak dilakukan oleh Penyidik yang ditetapkan berdasarkan keputusan Kepala Kepolisian Negara RI atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian NRI. Pemeriksaan terhadap Anak Korban atau Anak Saksi dilakukan oleh Penyidik. Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi: a. Telah berpengalaman sebagai Penyidik; b. Mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah Anak dan; c. Telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak. Apabila Penyidik yang memenuhi persyaratan tersebut tugas penyidikan dilaksanakan oleh Penyidik yang melakukan tugas penyidikan tidak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa yang ditegaskan dalam Pasal 26 UU SPPA. Dalam hal melakukan pemeriksaan terhadap Anak Korban dan Anak Saksi, Penyidik wajib meminta laporan sosial dari Pekerja Sosial Profesional atau Tenaga Kesejahteraan Sosial setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan. Dalam melakukan penyidikan terhadap perkara Anak, Penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari Pembimbing Kemasyarakatan setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan. Dalam hal dianggap perlu, Penyidik dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan psikolog, psikiater, tokoh agama, Pekerja Sosial Profesional atau Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan tenaga ahli lainnya, hal ini ditegaskan dalam Pasal 27 UU SPPA. Pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap perkara Anak dilakukan oleh Hakim yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua MA atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Ketua MA atas usul ketua PN yang bersangkutan melalui ketua pengadilan tinggi. Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi: a. Telah berpengalaman sebagai hakim dalam lingkungan peradilan umum. b. Mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah Anak; c. Telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak. Dalam hal belum terdapat Hakm yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat 2, tugas pemeriksaan di sidang Anak dilaksanakan oleh hakim yang melakukan tugas pemeriksaan bagi tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa yang ditetapkan dalam Pasal 43 UU SPPA. Anak disidangkan dalam ruang sidang khusus Anak. Ruang tunggu sidang Anak dipisahkan dari ruang tunggu sidang orang dewasa yang diatur dalam Pasal 53 UU SPPA. Hakim memeriksa perkara Anak dalam sidang yang dinyatakan tertutup untuk umum, kecuali pembacaan putusan. Dalam sidang Anak, Hakim wajib memerintahkan orang tua Wali atau pendamping, Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan Pembimbing Kemasyarakatan untuk mendampingi Anak. Apabila orang tua wali danatau pendamping tidak hadir, sidang tetap dilanjutkan dengan didampingi Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya dan atau Pembimbing Kemasyarakatan. Apabila Hakim tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 2, sidang Anak batal demi hukum. Setelah Hakim membuka sidang dan menyatakan sidang tertutup untuk umum, Anak dipanggil masuk beserta orang tua setelah hakim membuka persidangan dan menyatakan sidang tertutup untuk umum hal ini tertuang dalam pasal 54 UU SPPA. Pada saat memeriksa Anak Korban danatau Anak Saksi, Hakim dapat memerintahkan agar Anak dibawa keluar ruang sidang dan orang tua wali, Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya dan Pembimbing Kemasyarakatan tetap hadir. Dalam hal Anak Korban danatau Anak Saksi tidak dapat hadir untuk memberikan keterangan di depan sidang pengadilan, Hakim dapat memerintahkan Anak Korban danatau Anak Saksi didengar keterangannya: 1. Di luar sidang pengadilan melalui perekaman elekttronik yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan di daerah hukum setempat dengan dihadiri oleh Penyidik atau Penuntut Umum dan Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, atau 2. Melalui pemeriksaan langsung jarak jauh dengan alat komunikasi audiovisual dengan didampingi oleh kedua orang tuawali, Pembimbing Kemasyarakatan atau pendamping lainnua sesuai dengan Pasal 58 UU SPPA. Sidang anak dilanjutkan setelah anak diberitahukan mengenai keterangan yang telah diberikan oleh Anak Korban danatau Anak Saksi pada saat anak berada di luar sidang pengadilan sesuai Pasal 59 UU SPPA. Pembacaan putusan pengadilan dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk umum dan dapat tidak dihadiri oleh anak. Identitas Anak, Anak Korban, danatau Anak Saksi tetap harus dirahasiakan oleh media massa sebagaimana dimaksud Pasal 19 dengan hanya menggunakan inisial tanpa gambar seperti yang diatur dalam Pasal 61. Anak Korban dan atau Anak Saksi berhak atas semua perlindungan dan hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan hal ini diatur dalam Pasal 89 UU SPPA. Selain hak yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, Anak Korban dan Anak Saksi dalam Pasal 90 UU SPPA berhak atas: 1. Selain hak yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, Anak Korban dan Anak Saksi berhak atas: a. Upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, baik di dalam lembaga maupun diluar lembaga; b. Jaminan keselamatan, baik fisik, mental, maupun sosial; dan c. Kemudahan dalam mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara. 2. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan hak Anak Korban dan Anak Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur dengan Peraturan Presiden. Berdasarkan pertimbangan atau saran Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional atau Tenaga Kesejahteraan Sosial atau Penyidik dapat merujuk Anak, Anak Korban, atau Anak Saksi ke instansi atau lembaga yang menangani perlindungan anak atau lembaga kesejahteraan sosial anak. Dalam hal Anak Korban memerlukan tindakan pertolongan segera, Penyidik, tanpa laporan sosial dari Pekerja Sosial Profesional, dapat langsung merujuk Anak Korban ke rumah sakit atau lembaga yang menangani perlindungan anak sesuai dengan kondisi Anak Korban. Berdasarkan hasil Penelitian Kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan dan laporan sosial dari Pekerja Sosial Profesional atau Tenaga Kesejahteraan Sosial, Anak, Anak Korban, dan atau Anak Saksi berhak memperoleh rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial, dan reintegrasi sosial dari lembaga atau instansi yang menangani perlindungan anak. Anak Korban dan atau Anak Saksi yang memerlukan perlindungan dapat memperoleh pelindungan dari lembaga yang menangani pelindungan saksi dan korban atau rumah perlindungan sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, hal ini diatur dalam Pasal 91 UU SPPA. Masyarakat dapat berperan serta dalam pelindingan Anak mulai dari pencegahan sampai dengan reintegrasi sosial Anak dengan cara yang dituangkan dalam Pasal 93 UU SPPA, yakni: 1. Menyampaikan laporan terjandinya pelanggaran hak Anak kepada pihak yang berwenang; 2. Mengajukan usulan mengenai perumusan dan kebijakan yang berkaitan dengan Anak; 3. Melakukan penelitian dan pendidikan mengenai Anak; 4. Berpartisipasi dalam penyelesaian perkara Anak melalui Diversi dan pendekatan Keadilan Restoratif; 5. Berkontribusi dalam rehabilitasi dan reintegrasi sosial Anak, Anak Korban dan atau Anak Saksi melalui organisasi kemasyarakatan; 6. melakukan pemantauan terhadap kinerja aparat penegak hukum dalam penanganan perkara Anak; atau 7. melakukan sosialisasi mengenai hak Anak serta peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan Anak. Kementerian yang menyelenggarakan urusan di bidang perlindungan anak melakukan koordinasi lintas sektoral dengan lembaga terkait. koordinasi tersebut dilakukan dalam rangka singkronisasi perumusan kebijakan mengenai langkah pencegahan, penyelesaian administrasi perkara, rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan SPPA dilakukan oleh kementerian dan komisi yang menyelenggarakan urusan di bidang perlindungan anak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sesuai dengan yang tertuang dalam Pasal 94 UU SPPA. Pada umumnya menurut Pasal 89 UU SPPA anak yang menjadi korban anak korban maupun yang menjadi saksi anak saksi berhak atas semua perlindungan dan hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan termasuk mendapat perlindungan dari lembaga-lembaga yang memberikan perlindungan bagi anak maupun anak sebagai saksi khususnya. Jadi anak mendapat hak sesuai dengan segala hak dan kewajiban yang diatur dalam perundang-undangan pada umumnya sehingga seharusnya tidak ada pengecualian ataupun pengaturan yang tidak selaras antara UU SPPA ini dengan undang-undang yang lainnya. Anak yang membutuhkan perlindungan khusus dalam Pasal 91 ayat 1 UU SPPA berdasarkan pertimbangan atau saran Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Professional Atau Tenaga Kesejahteraan Sosial Atau Penyidik dapat merujuk anak, anak korban, atau anak saksi ke instansi atau lembaga kesejateraan sosial anak. Berdasarkan hasil penelitian kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan dan laporan sosial dari Pekerja Sosial Profesional atau Tenaga Kesejahteraan Sosial, Anak, Anak Korban, dan Anak Saksi berhak memperoleh rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial, dan reintegrasi sosial dari lembaga atau instansi yang menangani perlindungan anak. Anak korban dan atau anak saksi yang memerlukan perlindungan dapat memperoleh perlindungan dari lembaga yang menangani perlindungan saksi dan korban atau rumah perlindungan sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam UU Perlindungan Anak, perlakuan anak sebagai saksi danatau korban tindak pidana yakni 71 : 1. Dalam melakukan pemeriksaan anak sebagai saksi danatau korban dipersidangkan agar Jaksa Penuntut Umum memperhatikan situasi dan kondisi korban. 2. Meminta kepada orang tua atau wali yang dipercayai anak untuk mendampingi anak saat memberikan keterangan di persidangan. 3. Anak berhak mendapatkan perlindungan dari lembaga perlindungan saksi dan korban sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Dalam UU PSK bagi korbansaksi yang merasa dirinya berada dalam ancaman yang sangat besar, kesaksiannya dibacakan di pengadilan dan bahkan dapat memberi kesaksian tertulis serta teleconference. Dengan persetujuan hakim Pasal 9 korban dan atau saksi tersebut 72 : 1. Dapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan; 71 Bambang Waluyo, Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi Jakarta: Sinar Grafika, 2012, Hal. 79 72 Ibid., Hal 98 2. Dapat memberikan kesaksiannya secara tertulis yang disampaikan di hadapan pejabat berwenang Penyidik, dengan ditandatangani dan dibuatkan Berita Acara; 3. Dapat pula didengar kesaksiannya secara langsung melalui sarana elektronik dengan didampingi pejabat yang berwenang. Jaminan atau perlindungan lainnya juga diuraikan dalam Pasal 10 yakni 73 : 1. Korban, saksi dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum pidana atau perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang atau diberikan. 2. Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannhya dapat dijadikan pertimbangan hakin dalam meringanakan pidana yang akan dijatuhkan. 3. Ketentuan perlindungan itu, tidak berlaku terhadap saksi, korban dan pelapor yang memberikan keterangan tidak dengan itikad baik. Sementara dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang memberikan hak korban danatau saksi sebagai berikut 74 : 1. Memperoleh kerahasiaan identitas 2. Hak di atas diberikan juga kepada keluarga korban danatau saksi sampai derajat kedua. 73 Ibid. 3. Korban atau ahli warisnya berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan dan reintegrasi sosial dari pemerintah apabila yang bersangkutan mengalami penderitaan baik fisik maupun psikis. 4. Mendapatkan hak dan perlindungan sesuai dengan ketentuan perundang- undangan lain. Dalam peran serta masyarakat ada dua hal penting yakni peran serta masyarakat dalam pencegahan dan penanganan korban serta hak masyarakat memperoleh perlindungan hukum vide Pasal 60-63. Masyarakat dengan tindakan memberikan informasi danatau melaporkan adanya tindak pidana itu kepada penegak hukum atau pihak yang berwajib, atau turut serta dalam menangani korban. Agar peran serta itu dapat berjalan dengan baik maka masyarakat berhak mendapat perlindungan hukum Pasal 62 dan Penjelasannya, yang berupa 75 : a. Keamanan pribadi b. Kerahasiaan identitas diri, atau c. Penuntutan hukum sebagai akibat melaporkan secara bertanggung jawab tindak pidana perdagangan orang. 3. Kelembagaan Perlindungan Saksi. Dalam Undang-Undang SPPA mengatur perlindungan terhadap Anak Korban danatau Anak Saksi dilakukan oleh beberapa pihak yakni: 1. Pembimbing Kemasyarakatan, adalah pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan terhadap Anak di dalam dan di luar proses peradilan pidana. 75 Ibid. 2. Pekerja Sosial Profesional, adalah seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun swasta, yang memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan sosial serta kepedulian dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan, pelatihan, danatau pengalaman praktik pekerjaan sosial untuk melaksanakan tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial anak. 3. Tenaga Kesejahteraan Sosial, adalah seseorang yang dididik dan dilatih secara professional untuk melaksanakan tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial danatau seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun swasta, yang ruang lingkup kegiatannya di bidang kesejahteraan sosial anak. 4. Lembaga Pembinaan Khusus Anak adalah lembaga atau tempat anak menjalani masa pidananya. 5. Lembaga Penempatan Anak Sementara, tempat sementara bagi anak selama proses peradilan berlangsung. 6. Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial adalah lembaga atau tempat pelayanan sosial yang melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi anak. Adapun lembaga lain yang ikut terlibat ataupun yang berkaitan dengan perlindungan yakni lembaga Perlindungan Saksi dan Korban LPSK dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia KPAI. KPAI dibentuk agar apa yang ditentukan dalam undang-undang terkait perlindungan anak dapat dilaksanakan dengan baik. Tugas KPAI dalam Pasal 76 UU Perlindungan Anak dan Pasal 3 Keppres No. 77 Tahun 2003 yakni 76 : 76 Ibid, Hal. 81 1. Melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak: a. Mengumpulkan data dan informasi; b. Menerima pengaduan masyarakat; c. Melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. 2. Memberikan laporan, saran, masukan dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak. LPSK juga melindungi anak yang berhadapan dengan hukum. Anak yang berhadapan dengan hukum menurut Pasal 1 angka 2 UU SPPA adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Jadi LPSK juga melindungi anak yang menjadi saksi dalam sistem peradilan pidana anak. Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban melahirkan lembaga baru sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 Angka 3 yaitu Lembaga Perlidungan Saksi dan Korban LPSK yang merupakan lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada saksi danatau korban sebagaimana diatur dalam undang-undang. LPSK merupakan lembaga yang mandiri dalam arti lembaga yang independen, tanpa campur tangan dari pihak manapun. LPSK juga berkedudukan di Ibu kota negara Republik Indonesia dan mempunyai perwakilan di daerah sesuai dengan keperluan. LPSK bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada saksi dan korban berdasarkan tugas dan kewenangannya, dan bertanggung jawab kepada Presiden. LPSK membuat laporan secara berkala tentang pelaksanaan tugas LPSK kepada Dewan Perwakilan Rakyat DPR paling sedikit sekali dalam satu tahun. Anggota LPSK terdiri atas 7 orang berasal baru yang berasal dari unsur professional yang mempunyai pengalaman di bidang pemajuan, pemenuhan, perlindungan, penegakan hukum dan hak asasi manusia, kepolisian, kejaksaan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, akademisi, advokat, atau lembaga swadaya masyarakat. Masa jabatan anggota LPSK adalah lima tahun. Setelah berakhir masa jabatan, anggota LPSK dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk 1 satu kali masa jabatan berikutnya. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban terdiri atas pimpinan dan anggota. Pimpinan lembaga perlindungan saksi dan korban terdiri atas ketua dan wakil ketua yang merangkap anggota. Pimpinan lembaga perlindungan saksi dan korban dipiliih dari dan oleh anggota lembaga perlindungan saksi dan korban dipilih dari dan oleh anggota Lembaga Perlidungan Saksi dan Korban. Masa jabatan ketua dan wakil ketua LPSK selama 5 lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk 1 satu kali masa jabatan berikutnya. Dalam pelaksanaan tugasnya, LPSK dibantu oleh sebuah sekretariat yang bertugas memberikan pelayanan administrasi bagi kegiatan LPSK. Sekretariat LPSK dipimpin oleh sekretaris yang berasal dari pegawai negeri sipil. Sekretaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Sekretaris Negara. Ketentuan lebih lanjut mengenai kedudukan, susunan, organisasi, tugas dan tanggung jawab sekretariat sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 diatur dengan Peraturan Presiden. Peraturan Presiden ditetapkan dalam waktu paling lambat 3 tiga bulan sejak LPSK terbentuk. Sehubungan dengan UU Perlindungan Saksi dan Korban terbentuk. Sehubungan dengan UU Perlindungan Saksi dan Korban ini belum ada komponen hukum yang mendukung untuk dilaksanakan seleksi dan pemilihan anggota LPSK dilakukan oleh Presiden dan dalam melaksanakan seleksi dan pemilihan presiden membentuk panitia seleksi. Panitia seleksi terdiri atas 5 lima orang dengan susunan sebagai berkut: 1. 2 dua orang berasal dari unsur pemerintah; dan 2. 3 tiga orang berasal dari unsur masyarakat. Anggota panitia seleksi tidak dapat dicalonkan sebagai anggota LPSK. Susunan panitia seleksi, tata cara pelaksanaan seleksi, dan pemilihan calon anggota. Panitia seleksi mengusulkan kepada Presiden sejumlah 21 orang calon yang telah memenuhi persyaratan, Presiden memilih 14 orang dari sejumlah calon untuk diajukan kepada DPR. DPR selanjutnya memilih dan menyetujui 7 orang dalam jangka waktu 30 hari sejak diterima. Keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat, dalam hal keputusan tidak dapat dicapai, keputusan diambil dengan suara terbanyak. Biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Anak yang menjadi saksi tindak pidana yang disebut sebagai anak saksi menurut Pasal 1 angka 5 dalam UU SPPA adalah anak yang belum berumur 18 delapan belas tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, danatau dialaminya sendiri. Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak UU SPPA memberikan tempat sementara bagi anak selama proses peradilan berlangsung yang disebut dengan Lembaga Penempatan Anak Sementara LPAS. Mengenai kesejateraan sosial anak diberikan juga Lembaga Penyelenggaraan Kesejateraan Sosial LPKS yakni lembaga atau tempat pelayanan sosial yang melaksanakan penyelenggaraan kesejateraan sosial bagi anak. Balai permasyarakatan yang selanjutnya disebut Bapas adalah unit pelaksana teknis pemasyarakatan yang melaksanakan tugas dan fungsi penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan dan pendampingan. Sementara terkait dengan Pembimbing Kemasyarakatan berfungsi untuk menyajikan laporan penelitian kemasyarakatan yang melakukan usaha-usaha 77 : 1. Mengumpulkan data dengan cara memanggil atau mendatangi mengunjungi rumah klien dan tempat-tempat lain yang ada hubungan dengan permasalahan klien. 2. Setelah memperoleh data, Pembimbing kemasyarakata, menganalisis, menyimpulkan, memberikan pertimbangan, saran sehubungan dengan permasalahan, selanjutnya dituangkan dalam Laporan Penelitian Kemasyaraktan. 3. Keikutsertaan dalam persidangan, Pembimbing Kemasyarakatan harus dapat mempertanggungjawabkan isi Laporan Penelitian Kemasyarakatan tersebut. 77 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia Bandung: Refika Aditama, 2008, Hal. 146 Pembimbing kemasyarakatan yang memahami masalah sosial dan kemanusiaan secara mendalam dan professional yang dilakukan dengan cara mengadakan pendekatan penelitian yakni dengan cara berhadapan langsung dengan masyarakat yang bermasalah 78 . 78 Ibid. BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum Dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Dalam Pemberian Bantuan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Dan Korban Tindak Pidana

4 103 127

Analisis Penyidikan Tindak Pidana Pencurian Yang Dilakukan Oleh Anak Ditinjau Dari Undang-Undang No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Studi di Wilayah Polres Batu)

0 4 28

PERSPEKTIF PENERAPAN DIVERSI PADA TAHAP PENYIDIKAN TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN BERDASARKAN PRINSIP-PRINSIP UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

0 13 65

ANALISIS PERBANDINGAN PERLINDUNGAN HUKUM PIDANA TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

0 8 49

PENDAHULUAN TINJAUAN DISKRESI KEPOLISIAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK.

0 2 10

PENUTUP TINJAUAN DISKRESI KEPOLISIAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK.

0 2 4

FUNGSI DAN PERANAN PENDAMPING PSIKOLOG DALAM TINDAK PERADILAN ANAK DIBAWAH UMUR DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG - UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK.

0 0 1

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

0 0 75

ANALISIS YURIDIS UNDANG-UNDANG NO. 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM DAN UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DALAM PEMBERIAN BANTUAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA

0 0 10

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG MENJADI SAKSI DALAM PERKARA PIDANA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (STUDI DI POLRESTABES SEMARANG) - Unika Repository

0 0 12