data yang mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh menurut kualitas dan kebenarannya kemudian dihubungkan dengan teori yang diperoleh dari
penelitian kepustakaan sehingga diperoleh dari penelitian kepustakaan sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan yang diajukan.
G. Sistematika Penulisan
Dengan maksud memudahkan dalam menelaah penulisan skripsi yang berjudul “Perlindungan Hukum Anak Dibawah Umur Sebagai Saksi Dalam Suatu
Tindak Pidana Dalam Perpektif Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak”, maka penulis menguraikan terlebih dahulu
sistematika yang merupakan gambaran isi dari skripsi ini sebagai berikut: BAB I.
PENDAHULUAN Pada bab ini penulis pertama-tama menguraikan tentang latar
belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan yang meliputi: pengertian
dan ruang lingkup saksi, alat bukti menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata, dan pengertian perlindungan hukum,
metode penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II.
KEDUDUKAN ANAK DIBAWAH UMUR SEBAGAI SAKSI DALAM HUKUM ACARA PIDANA
Pada bab ini penulis memaparkan tentang tinjauan umum keterangan anak dalam hukum acara pidana yang terdiri dari
pengertian anak dibawah umu dalam hukum Indonesia dan keterangan anak dibawah umur sebagai saksi dalam hukum acara
pidana serta keterangan anak dibawah umu sebagai saksi dalam
sistem peradilan pidana anak yang terdiri dari saksi anak dalam sistem peradilan pidana anak dan keabsahan keterangan anak
dibawah umur sebagai saksi. BAB III.
PERLINDUNGAN HUKUM ANAK DIBAWAH UMUR
SEBAGAI SAKSI DALAM SUATU TINDAK PIDANA Pada bab ini penulis memaparkan tentang urgensi perlindungan
saksi dalam hukum pidana, perlindungan saksi menurut Undang- Undang No. 13 tahun 2006 tentang Lembaga Perlindungan Saksi
Dan Korban, perlindungan hukum bagi anak dalam proses peradilan pidana anak menurut Undang-Undang No. 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang diantaranya membahas usia anak menjadi saksi di persidangan, pelaksanaan
perlindungan saksi dan kelembagaan perlindungan saksi. BAB IV.
KESIMPULAN DAN SARAN Penulisan skripsi ini penulis akhirnya menyimpulkan butir-butir
yang dianggap penting, kemudian penulis memberikan beberapa saran sehubungan dengan pembahasan yang telah dilakukan,
semoga kiranya dapat berguna bagi yang berkepentingan.
Demikian sistematika penulisan skripsi ini yang memberikan suatu batasan dalam ruang lingkup pembahasannya.
BAB II KEDUDUKAN ANAK DIBAWAH UMUR SEBAGAI SAKSI
DALAM HUKUM ACARA PIDANA A.
Tinjauan Umum Keterangan Anak Dalam Hukum Acara Pidana
1. Pengertian Anak Dibawah Umur Dalam Hukum Indonesia
Pengertian anak secara nasional didasarkan pada batasan usia anak menurut hukum pidana, hukum perdata, hukum adat, dan hukum islam. Batas usia
anak merupakan pengelompokan usia maksimum sebagai wujud kemampuan anak dalam setatus hukum, sehingga anak tersebut beralih status menjadi usia dewasa
atau menjadi seorang subjek hukum yang dapat bertanggung jawab secara mandiri terhadap perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan hukum yang dilakukan.
Berikut adalah beberapa pengertian dan batas usia anak dari berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia :
a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini sendiri terdapat beberapa pasal yang mengatur apabila seorang anak melakukan tindak pidana, yaitu Pasal 45, 46,
dan 47. ketiga pasal tersebut disebutkan bahwa apabila seseorang yang belum genap berusia 16 tahun melakukan suatu perbuatan pidana maka ada tiga
alternative penghukuman yang dapat dijatuhkan, yaitu mengembalikan anak tersebut kepada orang tuanya, memasukannya kedalam rumah pemeliharaan anak-
anak nakal dan menghukum anak tersebut dengan mengurangi sepertiga dari pidana pokok yang diancamkan kepadanya.
61
61
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Kome ntar Lengkap Pasal Demi Pasal Bogor: Politeia, 1994, hal.62.
Ketiga pasal KUHP tersebut sudah dicabut ketentuannya tentang penuntutan anak dikarenakan telah ada undang-undang yang lebih khusus
mengatur tentang masalah anak, yaitu Undang-undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan anak yang telah diganti dengan Undang-Undang No. 11 tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak hal ini dikarenakan Undang-undang No.3 tahun 1997 ini sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan
hukum masyarakat karena belum komprehensif memberikan perlindungan kepada anak-anak yang berhadapan dengan hukum. Terdapat beberapa perubahan dan
perkembangan, khususnya dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang baru disahkan oleh Presiden bersama DPR
pada akhir bulan juli 2012 lalu dibanding dengan Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Tujuannya adalah untuk semakin efektifnya
perlindungan anak dalam sistem peradilan demi terwujudnya Sistem Peradilan Pidana yang Terpadu.
Pengertian anak dibawah umur berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana terdapat tiga kategori anak dibawah umur, yaitu anak dibawah umur 16
tahun dalam Pasal 45 ayat 1, anak dibawah umur 17 tahun dalam Pasal 283 ayat 1, serta anak dibawah umur 15 tahun dalam Pasal 287 ayat 1.
b. Hukum Perkawinan Indonesia
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 47 ayat 1 menyatakan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah
menikah ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut kekuasaan orang tuanya. Pasal 50 ayat 1 berbunyi anak yang belum mencapai
umur 18 tahun atau belum pernah menikah, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua berada dibawah kekuasaan wali.
Pasa 47 ayat 2 menyatakan bahwa orang tua mewakili kepentingan anak dalam melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum yang dimaksud hanya
menyangkut perbuatan hukum perdata dan bukan pidana. Contohnya adalah jual beli, sewa menyewa dan sebagainya. Namun dalam prakteknya tidak semua
perbuatan hukum yang dilakukan anak, pelaksanaannya harus diwakili atau diwakilkan oleh orang tuannya meskipun anak itu belum berusia 18 tahun atau
belum kawin. Pengertian perbuatan hukum tersebut, hanya sebatas perbuatan- perbuatan yang secara umum belum selayaknya dilakukan oleh mereka yang
belum berusia 18 tahun atau belum kawin.
32
c. Hukum Perdata
Hukum Perdata menjamin hak-hak dasar anak sejak dia dilahirkan bahkan sejak masih dalam kandungan. Pengertian anak dalam hukum perdata
dimaksudkan pada pengertian kebelum dewasaan. Karena menurut hukum perdata seorang anak yang belum dewasa sudah bisa mengurus kepentingan-kepentingan
keperdataannya. Untuk memenuhi kepentingan ini, maka diadakan peraturan tentang hendlichting, yaitu suatu pernyataan tentang seseorang yang belum
mencapai usia dewasa sepenuhnya.
33
Lembaga hendlichting dianggap sudah tidak mengikuti dan tidak sesuai dengan perkembangan yang ada dalam masyarakat sekarang ini maka pada
32
Waluyadi, Op.cit., Hal.26.
33
R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum perdata, Cet.31, Jakarta: PT.Intermasa, 2003, Hal.55.
akhirnya dicabut. Terlebih setelah ditetapkannya batas umur dalam Undang- undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
34
Pasal 330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, anak adalah orang yang belum mencapai umur genap 21 dua puluh satu tahun dan belum kawin.
Menurut pasal tersebut semua orang yang belum berusia 21 tahun dan belum pernah kawin dianggap belum dewasa dan tidak cakap dalam hukum.
d. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak
Dalam Undang-undang
No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, terdapat definisi Anak, Anak Nakal, dan Anak Didik Pemasyarakatan.
Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 delapan tahun tetapi belum mencapai umur 18 delapan belas tahun dan belum
pernah kawinPasal 1 angka 1. Sedangkan yang dimaksud anak nakal adalah : 1
anak yang melakukan tindak pidana; atau
2 anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik
menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan Pasal 1
angka 2. Anak Didik Pemasyarakatan, Balai Pemasyarakatan, Tim Pengamat
Pemasyarakatan, dan Klien Pemasyarakatan adalah Anak Didik Pemasyarakatan, Balai Pemasyarakatan, Tim Pengamat Pemasyarakatan, dan Klien
34
Ibid.
Pemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan pasal 1 angka 3.
Undang-undang ini memberikan batasan usia anak minimal 8 tahun dan maksimal 12 tahun atau belum pernah menikah. Batas usia anak dalam undang-
undang ini jauh berbeda dibandingkan dalam Undang-undang N0.11 tahun 2012 e.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Undang-undang ini menyebutkan pengertian anak sebagai anak yang berhadapan dengan hukum. Adapun anak yang berhadapan dengan hukum adalah
Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi
tindak pidana Pasal 1. Oleh sebab itu terdapat kategori anak dalam Undang- Undang Sistem Peradilan Anak ini, yaitu:
1. Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak
adalah anak yang telah berumur 12 dua belas tahun, tetapi belum berumur 18 delapan belas tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
2. Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak
Korban adalah anak yang belum berumur 18 delapan belas tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, danatau kerugian ekonomi yang
disebabkan oleh tindak pidana. 3.
Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 delapan belas tahun yang
dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, danatau dialaminya sendiri.
f. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Pasal 1 ayat 1 undang-undang ini, dikatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 delapan belas tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan. Menurut pasal tersebut anak adalah siapa saja yang belum berusia 18 tahun dan termasuk anak yang masih dalam kandungan, yang
berarti segala kepentingan akan pengupayaan perlindungan terhadap anak sudah dimulai sejak anak tersebut berada dalam kandungan hingga dia berusia 18 tahun.
g. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
Pasal 1 angka 2 menyebutkan anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum menikah.
Menurut Undang-undang ini, batas usia 21 tahun ditetapkan berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial, tahap kematangan sosial,
tahap kematangan pribadi dan tahap kematangan mental. Batas usia 21 tahun ini tidak mengurangi ketentuan batas dalam peraturan perundang-undangan yang
lainnya dan tidak pula mengurangi kemungkinan anak melakukan perbuatan sepanjang ia mempunyai kemampuan untuk itu berdasarkan hukum yang
berlaku.
35
h. Konvensi Hak-hak Anak Convention on the Rights of the Child 1989
Pasal 1 Konvensi tentang Hak-hak Anak ditentukan bahwa setiap orang yang berusia dibawah usia 18 delapan belas tahun, kecuali berdasarkan Undang-
35
Ibid, hal 5.
undang yang berlaku terhadap anak, kedewasaan dicapai lebih awal. Berpedoman dari ketentuan ini, dapat diketahui, bahwa untuk disebut sebagai anak seseorang
harus berusia sebelum 18 tahun, sehingga bagi mereka yang berusia 18 tahun atau lebih tetap dianggap dewasa. Konvensi ini tidak menyebutkan persyaratan pernah
kawin sebagai persyaratan kedewasaan.
36
2. Keterangan Anak Dibawah Umur Sebagai Saksi Dalam Hukum Acara Pidana
Pada umumnya, alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Hampir semua pembuktian perkara pidana
selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi. Sekurang-kurangnya di samping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan
pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.
37
Berbicara tentang keterangan saksi berarti mengkaji isi dan kebenaran keterangan saksi tersebut. Agar keterangan saksi mempunyai nilai serta kekuatan
pembuktian, perlu diperhatikan beberapa pokok ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang saksi, yaitu sebagai berikut:
a. Harus mengucapkan sumpah atau janji.
Pasal 160 ayat 3 KUHAP menerangkan bahwa sebelum saksi memberikan keterangan wajib mengucapkan sumpah atau janji yang dilakukan
menurut cara sesuai agamanya masing-masing berisi bahwa saksi akan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan tidak lain dari pada yang
sebenarnya. Dalam ketentuan Pasal 160 ayat 3 KUHAP, pada prinsipnya
36
Ibid, hal.12.
37
M. Yahya Harahap, Op.Cit.,hal.286.
sumpah atau janji diucapkan oleh saksi sebelum memberikan keterangan, akan tetapi dalam Pasal 160 ayat 4 KUHAP memberikan kemungkinan kepada saksi
untuk mengucapkan sumpah atau janji setelah saksi memberikan keterangan. Mendasari rumusan Pasal 160 ayat 3 dan ayat 4 KUHAP maka seorang
saksi pada prinsipnya wajib mengucapkan sumpah sebelum saksi memberikan keterangan, namun apabila dalam hal dianggap perlu oleh pengadilan, pengucapan
sumpah atau janji yang diberikan oleh saksi dapat dilakukan sesudah saksi memberi keterangan. Namun, apabila terdapat saksi yang menolak untuk
mengucapkan sumpah atau janji tanpa alasan yang sah maka yang bersangkutan dapat dikenakan sandera berdasarkan penetapan hakim ketua sidang dan
penyanderaan kepada saksi dapat dikenakan paling lama 14 empat belas hari, hal ini diatur dalam Pasal 161 KUHAP. Tujuan utama dilakukan penyanderaan
kepada saksi adalah merupakah peringatan bagi saksi akan kewajibannya untuk mengucapkan sumpah.
b. Keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai alat bukti
Ditegaskan dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP yang pada dasarnya menyatakan bahwa keterangan saksi adalah keterangan yang bersumber dari apa
yang saksi lihat sendiri, dengar sendiri dan saksi alami sendiri. Artinya bahwa fakta-fakta yang diperoleh dari keterangan saksi haruslah bersumber dari
pribadinya sendiri. Apabila ketentuan Pasal 1 angka 27 KUHAP dihubungkan dengan penjelasan Pasal 185 maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa :
i. Setiap keterangan saksi yang tidak didengarnya sendiri dalam peristiwa
pidana yang terjadi atau di luar yang dilihat atau dialaminya dalam perkara
pidana yang terjadi, tidak dapat dijadikan dan dinilai sebagai alat bukti. Dengan demikian keterangan seperti ini tidak mempunyai nilai kekuatan
pembuktian. ii.
keterangan saksi yang diperoleh sebagai hasil dari pendengaran dari orang lain atau Testimonium de auditu, tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti.
Keterangan saksi di sidang pengadilan berupa keterangan ulangan dari apa yang didengarnya dari orang lain, tidak dapat dianggap sebagai alat
bukti.
38
iii. Baik pendapat maupun rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran saja,
bukan merupakan keterangan saksi. Penegasan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat 5. Sehingga setiap pendapat dari hasil pemikiran sendiri
harus dikesampingkan dari pembuktian. c.
Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan keterangan saksi dapat dinilai sebagai alat bukti, keterangan itu harus yang
dinyatakan di sidang pengadilan. Hal ini sesuai dengan penegasan Pasal 185 ayat 1 KUHAP. keterangan saksi yang berisi penjelasan tentang apa yang
didengarnya sendiri, dilihatnya sendiri atau dialaminya sendiri mengenai suatu peristiwa pidana, baru dapat bernilai sebagai alat bukti apabila keterangan itu
saksi nyatakan di sidang pengadilan. Keterangan yang dinyatakan di luar sidang pengadilan bukan alat bukti, tidak dapat dipergunakan untuk membuktikan
kesalahan terdakwa.
39
d. Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup
38
R. Soesilo dan Karjadi, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana…, Op.Cit.,hal.163.
39
Yahya Harahap, Op.Cit.,hal.288.
Hal ini terdapat pada prinsip minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Supaya keterangan saksi dapat dianggap cukup membuktikan
kesalahan seorang terdakwa harus dipenuhi paling sedikit atau sekurang- kurangnya dengan dua alat bukti. Keterangan seorang saksi saja, baru bernilai
sebagai satu alat bukti yang harus ditambah dan dicukupi dengan alat bukti lain. Jadi, bertitik tolak dari ketentuan Pasal 185 ayat 2 KUHAP, keterangan seorang
saksi saja belum dapat dianggap sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa, atau “unus testis nullus testis“.
40
Persyaratan yang dikehendaki oleh Pasal 185 ayat 2 KUHAP adalah: Membuktikan
kesalahan terdakwa paling sedikit harus didukung oleh “dua orang saksi”, atau kalau saksi yang ada hanya terdiri dari seorang saja maka kesaksian tunggal itu
harus “dicukupi” atau “ditambah” dengan salah satu alat bukti yang lain. Pada dasarnya setiap orang dapat dipanggil untuk menjadi saksi. Namun
ada beberapa ketentuan dalam KUHAP yang memberikan pengecualian menjadi saksi. Pengecualian tersebut dapat bersifat absolute dan relatif
41
, yaitu sebagai berikut:
1. Pengecualian Absolut
Ada pengecualian secara mutlak yang menjadikan mereka tidak dapat bersaksi dalam suatu perkara atau menjadi saksi tanpa disumpah sehingga hanya
boleh memberikan keterangan tanpa disumpah di sidang pengadilan.
42
Menurut
40
Ibid
41
A.Karim, Masalah Hukum Pembuktian dalam Proses Pidana: Jilid 2, Jakarta: Djambatan, 1982, hal 24.
42
Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian…….,Op.cit,. hal 28
Pasal 171 KUHAP, mereka yang absolut tidak berwenang untuk memberi kesaksian dibawah sumpah yaitu:
a. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah
kawin. b.
Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali.
Andi Hamzah
43
mengemukakan kriteria tentang syarat saksi dari anak tanpa sumpah dalam memberikan keterangan mengemukakan bahwa “Anak yang
belum berumur lima belas tahun demikian orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila meskipun kadang-kadang saja yang dalam ilmu jiwa disebut psycophaat
mereka tidak dapat dipertanggung jawabkan secara sempurna dalam hukum pidana, maka mereka itu tidak perlu diambil sumpah atau janji dalam memberikan
keterangan karena itu keterangan mereka hanya dipakai sebagai petunjuk saja.” Pengecualian terhadap saksi yang tidak perlu disumpah yaitu: anak yang
umur belum cukup 15 tahun dalam Pasal 171 butir a atau orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali dalam Pasal
171 butir b. Hal ini berarti untuk anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin atau orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun
kadang-kadang baik kembali, boleh diperiksa memberi keterangan tanpa sumpah, di sidang pengadilan.
Sementara itu mengenai keterangan saksi yang tidak disumpah di dalam KUHAP Pasal 185 ayat 7 ditegaskan bahwa “ Keterangan dari saksi yang tidak
43
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2001 hal, 258-259
disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah
dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti yang sah”. Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 185 ayat 7 tersebut, secara umum penulis dapat menyimpulkan
bahwa semua keterangan saksi yang diberikan tanpa sumpah bukan merupakan alat bukti yang sah yang secara otomatis berarti keterangan saksi tanpa sumpah
tersebut tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian. Meskipun demikian, akan tetapi keterangan saksi yang diberikan tanpa sumpah dapat digunakan sebagai
tambahan untuk menyempurnakan alat bukti yang sah. Keterangan anak adalah keterangan yang diberikan oleh anak tentang hal
yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP. Oleh
karena itu keterangan anak tidak termasuk dalam alat bukti keterangan saksi yag sah menurut KUHAP. Penjelasan pasal 171 bahwa anak yang belum berumur 15
tahun ataupun orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali mereka tidak dapat dipertanggung jawabkan secara
sempurna dalam hukum pidana maka mereka tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam memberikan keterangan oleh karena itu keterangan mereka dinilai
bukan merupakan alat bukti yang sah melainkan keterangan mereka hanya dipakai sebagai petunjuk saja.
44
Sekalipun keterangan anak keterangan tanpa sumpah bukan merupakan alat bukti yang sah, dan juga tidak memiliki kekuatan pembuktian, namun
44
Yahya Harahap, Op.Cit., hal.293.
keterangan itu dapat dipergunakan untuk menguatkan keyakinan hakim seperti yang disebut pada Pasal 169 ayat 2, dan dapat dipakai sebagai petunjuk seperti
yang terdapat dalam penjelasan Pasal 171. Oleh karena itu, nilai keterangan yang diberikan tanpa sumpah itu saling
bersesuaian dengan yang lain, tidak mempunyai kekuatan pembuktian bukan merupakan alat bukti yang sah, keterangan tersebut dapat digunakan sebagai
tambahan untuk menyempurnakan kekuatan pembuktian alat bukti yang sah, misalnya dapat menguatkan keyakinan hakim Pasal 161 ayat 2 KUHAP atau
digunakan sebagai petunjuk penjelasan Pasal 171. Agar suatu keterangan tanpa disumpah dapat dipakai untuk menguatkan
keyakinan hakim maka harus memenuhi syarat-syarat:
45
a. Harus ada lebih dahulu alat bukti yang sah
b. Sekurang-kurangnya terdapat dua alat bukti yang sah
c. Adanya persesuaian antara keterangan tanpa disumpah dengan alat bukti
yang sah. Sehingga hakim tidak terikat untuk menggunakan keterangan tanpa
disumpah, bahkan jika keterangan ini dengan alat bukti yang sah saling bersesuaian. Semua tergantung pada penilaian hakim dimana hakim bebas untuk
menggunakan atau menyampingkan. 2.
Pengecualian Relatif Pengecualian khusus yang menjadikan mereka tidak dapat bersaksi, hal ini
sebagaimana tercantum dalam Pasal 168 KUHAP yang berbunyi: Kecuali
45
Ibid
ditentukan lain dalam undang-undang ini maka tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi:
1. Keluarga sedarah atau semendah dalam garis lurus keatas atau kebawah
sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.
2. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara
ibu atau bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga.
3. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-
sama sebagai terdakwa.
B. Keterangan anak dibawah umur sebagai saksi dalam sistem