Sistem Pendidikan Nasional, Lembaga Keagamaan ini diakui dan dapat dilaksanakan pada jalur pendidikan non-formal pesantren, madrasah diniyah
dan dalam jalur pendidikan in-formal keluarga.
2. Peran Pendidikan Islam
a. Sebagai Mata Pelajaran
Pendidikan Agama Islam sebagai mata pelajaran wajib di seluruh sekolah di Indonesia berperan:
1 Mempercepat proses pencapaian tujuan Pendidikan Nasional
Pendidikan Nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Secara sederhana dapat dirinci poin-poin yang terdapat dalam tujuan Nasional tersebut:
a Berkembangnya potensi peserta didik
b Beriman dan Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
c Berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif dan mandiri.
d Menjadi warga negara yang demokratis.
e Bertanggung jawab
Oleh karena itu dapat ditarik kesimpulan bahwa mata pelajaran pendidikan agama Islam mempunyai peran yang menentukan dalam upaya mencapai tujuan
pendidikan nasional. 2
Memberikan nilai terhadap mata pelajaran umum Seperti kita ketahui bahwa mata peajaran umum yang diajarkan di sekolah
adalah ilmu pengetahuan produk Barat yang bebas dari nilai values free. Agar mata pelajaran umum dapat diajarkan di sekolah madrasah mempunyai nilai
maka pendidikan agama Islam dapat diintegrasikan dalam setiap mata pelajaran tersebut, apalagi dalam kurikulum sekolah mata pelajaran pendidikan agama
terletak pada urutan pertama. Nilai-nilai yang terdapat dalam ajaran Islam inilah yang diinternalisasikan dalam proses pembelajaraan kepada peserta didik.
b. Sebagai Lembaga institusi
1 Lembaga pendidikan Islam pondok pesantren berperan mencerdaskan
kehidupan bangsa 2
Lembaga pendidikan Islam madrasah atau pesantren bersama dengan satuan pendidikan lainnya dalam sistem Pendidikan Nasional bersama-sama
menuntaskan pelaksanaan wajib belajar 9 tahun. 3
Lembaga Pendidikan Islam Madrasah Diniyah berperan mendidik anak-anak yang drop-out, anak-anak yang tidak berkesempatan memasuki lembaga
pendidikan formal dan sekaligus menambah dan mempekuat pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah karena keterbatasan jam pelajaran pendidikan
agama Islam di sekolah, maka peserta didik dapat memperluas dan memperdalam mata pelajaran ini di Madrasah Diniyah MDA, MDW, dan MDU
Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas
7
, tersebut dalam Bab Vi Jalur, Jenjang dan Jenis Pendidikan pada Bagian ke Sembilan Pendidikan Keagamaan
Pasal 30 isinya adalah : 1.
Pendidikan keagamaaan diseelenggarakan oleh pemerintah dan atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2. Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota
masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan menjadi ahli agama.
3. Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal,
informal dan nonformal. 4.
Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera dan bentuk lain yang sejenis.
5. Ketentuan mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
1,2,,3 dan 4 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Tantangan utama yang dihadapi para ahli dan praktisi pendidikan Islam dalam
hal pengintegrasian madrasah ke dalam Sistem Pendidikan Nasional adalah menghapuskan dikotomi ilmu umum dan ilmu agama. Ilmu harus dipandang sebagai
identitas tunggal yang telah mengalami perkembangan dalam sejarah. Perkembangan ilmu dalam sejarah menunjukkan bahwa setiap peradaban manusia termasuk peradaban
Islam telah memberi sumbangannya sendiri. Integrasi madrasah ke dalam Sistem Pendidikan Nasional menemukan bentuknya dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional UUSPN yang dilansir pemerintah pada tahun 1989. Melalui UUSPN, madrasah mengalami perubahan definisi, dari sekolah agama menjadi sekolah umum
berciri khas Islam. Perubahan definisi ini penting artinya, karena dengan demikian berarti madrasah tidak hanya mendapat legitimasi sepenuhnya sebagai bagian dari
sistem pendidikan nasional. Oleh karena itu, UUSPN ini disambut dengan antusias oleh Depag, sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap madrasah dan lembaga
pendidikan Islam
pada umumnya.
Akan tetapi, perubahan definisi itu selanjutnya menuntut ada perubahan kurikulum. Karena madrasah tidak lagi sekolah agama, maka kurikulumnya harus didominasi oleh
mata pelajaran umum. Tahun 1994 bisa jadi merupakan satu periode penting dalam perkembangan madrasah di Indonesia. Pada tahun itu, Depag telah menetapkan
berlakunya kurikulum baru yang kemudian dikenal dengan kurikulum 1994 yang mensyaratkan pelaksanaan sepenuhnya kurikulum sekolah umum di bawah Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Berbeda dengan kurikulum sebelumnya bahwa madrasah memberikan 70 mata pelajaran umum dan 30 mata pelajaran agama Islam, pada
kurikulum 1994 madrasah diwajibkan menyelenggarakan sepenuhnya 100 mata pelajaran umum sebagaimana diberikan di sekolah-sekolah umum di bawah
Depdikbud. Sekilas nampak memang bahwa yang paling menonjol dari kurikulum 1994 adalah penghapusan 30 mata pelajaran agama yang diajarkan sejak pemberlakuan
kurikulum 1975. Namun bila dilihat lebih jauh, istilah penghapusan tersebut tentu tidak bisa dilihat semata-mata sebagai meniadakan mata pelajaran di madrasah. Hal yang
berlangsung pada dasarnya lebih merupakan perumusan kembali pemberian mata pelajaran madrasah. Ajaran-ajaran Islam tidak lagi diberikan dalam bentuk mata
pelajaran formal. melainkan diintegrasikan secara penuh dalam mata pelajaran umum. Hal ini setidaknya bisa dilihat dari upaya Depag belakangan ini menyusun buku
panduan guru mata pelajaran umum yang bernuansa Islam. Diharapkan, beberapa mata pelajaran umum diberikan di madrasah dengan tetap mempertahankan nuansa Islam.
Dengan kurikulum 1994, dualisme ilmu agama dan ilmu umum di madrasah berusaha dihilangkan. Madrasah diharapkan menyelenggarakan pelajaran yang terintegrasi
sepenuhnya dengan mata pelajaran umum. Namun, dilihat dari sisi manapun, pendidikan
Islam memiliki peran dalam konteks pendidikan nasional. Hanya saja harus pula dimaklumi
dan dipahami jika hingga hari ini secara kelembagaan pendidikan Islam kerap menempati posisi kedua dalam banyak situasi. Sebagai misal, jurusan yang
menawarkan pendidikan Islam kurang banyak peminatnya, jika dibandingkan dengan jurusan lain yang dianggap memiliki orientasi masa depan yang lebih baik. Dalam hal
pengembangan kelembagaan akan pula terlihat betapa program studisekolah yang berada di bawah pengelolaan dan pengawasan Departemen Agama tidak selalu yang
terjadi di bawah pembinaan Departemen Pendidikan Nasional Depdiknas, bahkan harus dengan tertatih untuk menyesuaikan dengan yang terjadi di sekolah-sekolah
umum tersebut. Meski disadari betapa pentingnya posisi pendidikan Islam dalam konteks pendidikan nasional. Namun, harus pula diakui hingga saat ini posisi
pendidikan Islam belum beranjak dari sekadar sebuah subsistem dari sistem besar pendidikan nasional. Barangkali itulah yang menjadikan Ahmadi dalam pidato
pengukuhan guru besarnya menyatakan posisi pendidikan Islam hanya sekadar suplemen.Dalam Rozihan.
D. Berbagai Sistem Dalam Kehidupan Yang Mempengaruhi Sistem Pendidikan