Komponen Pendidikan Islam
A. KOMPONEN DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Komponen merupakan bagian dari suatu sistem yang meiliki peran dalam keseluruhan berlangsungnya suatu proses untuk mencapai tujuan sistem. Komponen pendidikan berarti bagian-bagian dari sistem proses pendidikan, yang menentukan berhasil dan tidaknya atau ada dan tidaknya proses pendidikan. Bahkan dapat dikatakan bahwa untuk berlangsungnya proses kerja pendidikan diperlukan keberadaan komponen-komponen tersebut.1
Komponen-komponen yang memungkinkan terjadinya proses pendidikan atau terlaksananya proses mendidik yaitu ;
1. Tujuan Pendidikan ( Ke arah mana bimbingan diberikan ) 2. Peserta Didik ( Subyek yang dibimbing )
3. Pendidik ( Orang yang membimbing )
4. Materi/Isi Pendidikan ( Pengaruh yang diberikan dalam pendidikan )
5. Lingkungan, Alat, dan Metode ( konteks yang memepengaruhi suasana pendidikan )2
1. Tujuan Pendidikan
Sebagai ilmu pengetahuan praktis, tugas pendidikan dan pendidik maupun guru ialah menanamkam sistem-sistem norma tingkah-laku perbuatan yang didasarkan kepada dasar dasar filsafat yang dijunjung oleh lembaga pendidikan dan pendidik dalam suatu
masyarakat. 3
1 Udin Syaefudin dan Abin Syamsudin Makmun. 2005. Perencanaan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya. hlm.51.
2 http://anshorysyakoer.blogspot.com/2011/10/komponen-dalam-pendidikan-islam.html
3 Pidarta, Made. 2000. Landasan Kependidikan. Jakarta: aneka Cipta.hlm.98.
(2)
Adapun tujuan pendidikan Islam itu sendiri identik dengan tujuan Islam sendiri. Tujuan pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang berkepribadian muslim kamil serta berdasarkan ajaran Islam. Hal ini dapat dilihat dalam firman Allah yang berbunyi.
م
م تتنمأ
أ وأ للإإ نلتتوممتتأ لأوأ ،هإتإاقأتت قلحأ هأللا اومقتتلا اونتمأا
ن
أ ي ذإـللا اهييءأآـيأ وممتلإس
م مي
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.4
Ahmadi mengatakan Tujuan pendidikan adalah agar anak didik dapat mewujudkan atau menikmati nilai-nilai hidup tersebut, memiliki kekayaan harta menghayati keindahan / kesenian, pengetahuan luas, berwatak sosial, berperan dalam bidang kekuasaan dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (1985: 101). 5
Mengenai tujuan pendidikan, menurut Klaus Mollenhaver yang memunculkan “Teori Interaksi” menyatakan bahwa “di dalam pendidikan itu selalu ada (dijumpai) mengenai masalah tujuan pendidikan”
2. Peserta Didik
Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran pada jalur pendidikan baik pendidikan formal maupun
pendidikan nonformal, pada jenjang pendidikan dan jenis pendidikan tertentu
4 QS. Ali Imran ayat 102
(3)
Sehubungan dengan persoalan anak didik disekolah Amstrong 1981 mengemukakan beberapa persoalan anak didik yang harus dipertimbangkan dalam pendidikan. Persoalan tersebut mencakup apakah latar belakang budaya masyarakat peserta didik ? bagaimanakah tingkat kemampuan anak didik ? hambatan-hambatan apakah yang dirasakan oleh anak didik disekolah ? dan bagaimanakah penguasaan bahasa anak di sekolah ?
Berdasarkan persoalan tersebut perlu diciptakan pendidikan yang memperhatikan perbedaan individual, perhatian khusus pada anak yang memiliki kelainan, dan penanaman sikap dan tangggung jawab pada anak dididk.
Ciri khas peserta didik yang perlu dipahami oleh pendidik ialah : 6
a) Individu yang memiliki potensi fisik dan psikis yang khas, sehingga merupakan insan yang unik. Maksudnya, anak sejak lahir telah memiliki potensi-potensi yang ingin dikembangkan dan diaktualisasikan. Untuk mengaktualisasikan membutuhkan bantuan dan bimbingan.
b) Individu yang sedang berkembang, maksudnya perubahan yang terjadi dalam diri peserta didik secara wajar, baik ditujukan kepada diri sendiri maupun kearah penyesuaian lingkungan.
c) Individu yang membutuhkan bimbingan individual dan perlakuan manusiawi. Maksudnya, dalam proses perkembangannya peserta didik membutuhkan bantuan dan bimbingan. Bayi yang baru lahir secara badani dan hayati tidak terlepas dari ibunya seharusnya setelah ia tumbuh berkembang menjadi dewasa ia sudah dapat hidup sendiri. Tetapi kenyataannya untuk kebutuhan perkembangan hidupnya, ia masih menggantungkan diri sepenuhnya kepada orang dewasa, sepanjang ia belum dewasa.
(4)
Hal ini menunjukkan bahwa pada diri peserta didik ada dua hal yang menggejala ;
1) Keadaannya yang tidak berdaya menyebabkan ia membutuhkan bantuan. Hal ini menimbulkan kewajiban orang tua untuk membantunya.
2) Adanya kemampuan untuk mengembangkan dirinya, hal ini membutuhkan bimbingan. Orang tua berkewajiban untuk membimbingnya. Agar bantuan dan bimbingan itu mencapai hasil maka harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak.
d) Individu yang memiliki kemampuan untuk mandiri. Maksudnya dalam perkembangan peserta didik ia mempunyai kemampuan untuk berkembang kearah kedewasaan. Pada diri anak ada kecenderungan untuk memerdekakan diri. Hal ini menimbulkan kewajiban pendidik dan orang tua ( si pendidik) untuk setapak demi setapak memberikan kebebasan dan pada akhirnya mengundurkan diri. Jadi, pendidik tidak boleh memaksakan agar peserta didik berbuat menurut pola yang dikehendaki pendidik. Ini dimaksud agar peserta didik memperoleh kesempatan memerdekakan diri dan bertanggung jawab sesuai dengan kepribadiannya sendiri dan bertanggung jawab sendiri.
3. Pendidik
Salah satu komponen penting dalam pendidikan adalah pendidik. Terdapat beberapa jenis pendidik dalam konsep pendidikan sebagai gejala kebudayaan, yang tidak terbatas pada pendidikan sekolah saja. Guru sebagai pendidik dalam lembaga sekolah, orang tua sebagai pendidik dalam lingkungan keluarga, dan pimpinan masyarakat baik formal maupun informal sebagai pendidik dilingkungan masyarakat. 7
7 Abudin Nata, Paradigma Pendidikan Islam : Kapita Selekta Pendidikan Islam, PT Gramedia, Jakarta.hlm18
(5)
Pendidik adalah unsur manusiawi dalam pendidikan, pendidik atau guru adalah figur manusia sumber yang menempati posisi memegang peranan penting dalam Pendidikan, ketika semua orang mempersoalkan masalah dunia pendidikan, figur guru mesti terlibat dalam agenda pembicaraan terutama yang menyangkut persoalan pendidikan formal di sekolah 8
Sehubungan dengan hal tersebut diatas Syaifullah (1982) mendasarkan pada konsep pendidikan sebagai gejala kebudayaan, yang termasuk kategori pendidik adalah 1) orang dewasa, 2) orang tua, 3) guru/pendidik, dan 4) pemimpin kemasyarakatan, dan pemimpin keagamaan. 9
i. Orang Dewasa
a) Orang dewasa sebagai pendidik dilandasi oleh sifat umum kepribadian orang dewasa , yakni:
1) Manusia yang memiliki pandangan hidup prinsip hidup yang pasti dan tetap. 2) Manusia yang telah memiliki tujuan hidup atau cita-cita hidup tertentu,
termasuk cita-cita untuk mendidik.
3) Manusia yang cakap mengambil keputusan batin sendiri atau perbuatannya sendiri dan yang akan dipertanggungjawabkan sendiri.
4) Manusia yang telah cakap menjadi anggota masyarakat secara konstruktif dan aktif penuh inisiatif.
5) Manusia yang telah mencapai umur kronologs paling rendah 18 th. 6) Manusia berbudi luhur dan berbadan sehat.
7) Manusia yang berani dan cakap hidup berkeluarga. 8) Manusia yang berkepribadian yang utuh dan bulat.
8 http://m-arif-am.blogspot.com/2010/10/unsur-unsur-pendidikan.html. 9 Nur Uhbiyati.1998.pendidikan Agama Islam.Bandung. CV.Pustaka Setia. Hlm.51-52
(6)
ii. Orang Tua
Kedudukan orang tua sebgai pendidik, merupakan pendidik yang kodrati dalam lingkungan keluarga. Artinya orang tua sebagai pedidik utama dan yang pertama dan berlandaskan pada hubungan cinta-kasih bagi keluarga atau anak yang lahir di lingkungan keluarga mereka.
iii. Guru/Pendidik di Sekolah
Guru sebagai pendidik disekolah yang secara lagsung maupun tidak langsung mendapat tugas dari orang tua atau masyarakat untuk melaksanakan pendidikan. Karena itu kedudukan guru sebagai pendidik dituntut memenuhi persyaratan-persyaratan baik persyaratan pribadi maupun persyaratan jabatan. Persyaratan pribadi didasrkan pada ketentuan yang terkait dengan nilai dari tingkah laku yang dianut, kemampuan intelektual, sikap dan emosional. Persyaratan jabatan (profesi) terkait dengan pengetahuan yang dimiliki baik yang berhubungan dengan pesan yangingin disampaikan maupun cara penyampainannya, dan memiliki filsafat pendidikan yang dapat dipertanggungjawabkan.
iv. Pemimpin Masyarakat dan Pemimpin Keagamaan
Selain orang dewasa, orang uta dan guru, pemimpin masyarakat dan pemimpin keagamaan merupakan pendidik juga. Peran pemimpin masyarakat menjadi pendidik didasarkan pada aktifitas pemimpin dalam mengadakan pembinaan atau bimbingan kepada anggota yang dipimpin. Pemimpin keagaam sebagai pendidik, tampak pada aktifitas pembinaan atau pengembangan sifat kerokhanian manusia, yang didasarkan pada nilai-nilai keagamaan.
4. Materi/Isi Pendidikan
Isi pendidikan memiliki kaitan yang erat dengan tujuan pendidikan. Untuk mencapai tujuan pendidikan perlu disampaikan kepada peserta didik isi/bahan yang biasanya disebut
(7)
kurikulum dalam pendidikan formal. Isi pendidikan berkaitan dengan tujuan pendidikan, dan berkaitan dengan manusia ideal yang dicita-citakan.
Untuk mencapai manusia yang ideal yang berkembang keseluruhan sosial, susila dan individu sebagai hakikat manusia perlu diisi dengan bahan pendidikan. Macam-macam isi pendidikan tersebut terdiri dari pendidikan agama. pendidikan moril, pendidikan estetis, pendidikan sosial, pendidikan civic, pendidikan intelektual, pendidikan keterampilan dan peindidikan jasmani.10
Dalam sistem pendidikan persekolahan, materi telah diramu dalam kurikulum yang akan disajikan sebagai sarana pencapaian tujuan. Materi ini meliputi materi inti maupun materi local, materi inti bersifat nasional yang mengandung misi pengendalian dan persatuan bangsa. Sedangkan muatan lokal misinya adalah mengembangkan kebinekaan kekayaan budaya sesuai dengan kondisi lingkungan. Dengan demikian jiwa dan semangat Bhinneka Tunggal Ika dapat ditumbuh kembangkan.
5. Konteks yang Memepengaruhi Suasana Pendidikan 1) Lingkungan
Lingkungan pendidikan meliputi segala segi kehidupan atau kebudayaan. Hal ini didasarkan pada pendapat bahwa pendidikan sebagai gejala kebudayaan, yang tidak membatasi pendidikan pada sekolah saja. Lingkungan pendidikan dapat dikelompokkan berdasarkan lingkungan kebudayaan yang terdiri dari lingkungan kurtural ideologis, lingkungan sosial politis, lingkungan sosial.
Lingkungan pendidikan biasanya disebut dengan tri pusat pendidikan pendidikan keluarga, sekolah dan masyarakat.
a. Pendidikan keluarga
10 Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati. 2001.lmu Pendidikan.jakarta.PT.Rineka Cipta.hlm.43.
(8)
Pada mulanya keluargalah yang terutama berperan baik pada pendidikan anak, aspek kebuadayaan, maupun penguasaan pengetahuan dan ketrampilan.
b. Pendidikan Sekolah
Dengan meningkatnya kebutuhan dan aspirasi anak, maka keluarga pada umumnya tidak mampu memenuhinya oleh karena itu, sebagian dari tujuan pendidikan itu akan dicapai melalui jalur pendidikan sekolah.
c. Pendidikan Masyarakat.
Fungsi pendidikan sebagai pusat pendidikan sangat tergantung pada taraf perkembangan dari masyarakat itu beserta sumber-sumber belajar yang tersedia di dalamnya.
2) Sarana/Alat dan Metode
Sarana atau media pendidikan berguna untuk membantu dalam proses pendidikan sehingga sesuai dengan apa yang diharapkan. Metode dimaksudkan sebagai jalan dalam sebuah transfer nilai pendidikan oleh pendidik kepada peserta didik. Oleh karena itu pemakaian metode dalam pendidikan Islam mutlak dibutuhkan.
Sarana/Alat melihat jenisnya sedangkan metode melihat efisiensi dan efektivitasnya. alat dan metode diartikan sebagai segala sesuatu yang dilakukan ataupun diadakan dengan sengaja untuk mencapai tujuan pendidikan. Alat pendidikan dibedakan atas yang preventif dan yang kuratif.
1. Yang bersifat preventif, yaitu yang bermaksud mencegah terjadinya hal-hal yang tidak dikehendaki misalnya larangan, pembatasan, peringatan bahkan juga hukuman.
2. Yang bersifat kuratif, yaitu yang bermaksud memperbaiki, misalnya ajakan contoh,nasihat, dorongan, pemberian kepercayaan, saran, penjelasan, bahkan juga hukuman.
(9)
Untuk memilih dan menggunakan alat pendidikan yang efektif ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu ;
a. Kesesuaiannya dengan tujuan yang ingin dicapai b. Kesesuaiannya dengan peserta didik.
METODE PENDIDIKAN ISLAM
A. Sistem Pendidikan Islam
Sistem berasal dari bahasa Yunani “sistema” yang berarti suatu keseluruhan yang tersusun dari banyak bagian (whole compounded of several parts). Di antara bagian-bagian itu terdapat hubungan yang berlangsung secara teratur. Definisi sistem yang lain dikemukakan Anas Sudjana yang mengutip pendapat Johnson, Kost dan Rosenzweg sebagai berikut “Suatu sistem adalah suatu kebulatan/keseluruhan yang kompleks atau terorganisir; suatu himpunan atau perpaduan hal-hal atau bagian-bagian yang membentuk suatu kebulatan/keseluruhan yang kompleks.” Menurut Campbel menyatakan bahwa sistem itu merupakan himpunan komponen atau bagian yang saling berkaitan yang bersama-sama berfungsi untuk mencapai suatu tujuan.
Menurut D.G. Ryans sistem adalah sejumlah elemen (obyek, orang, aktivitas,
rekaman, informasi dan lain-lain) yang saling berkaitan dengan proses dan struktur secara teratur dan merupakan kesatuan organisasi yang berfungsi untuk mewujudkan hasil yang dapat diamati (dapat dikenal wujudnya) sedangkan tujuan yang tercapai. Menurut Sanafiah Faisal istilah sistem munuju kepada totalitas yang bertujuan dan tersusun dari rangkaian unsur dari komponen.
J.W. Getzel and E.G. Guba mengemukakan pada umumnya sistem sosial mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1) Terdiri dari unsur-unsur yang berkaitan anatara satu sama lainnya. 2) Berorientasi pada tujuan ( goal oriented ) yang telah ditetapkan.
3) Didalamnya terdapat peraturan – peraturan tata tertib berbagai kegiatan sebagainya.
Pengertian lainnya yang umum difahami di kalangan awam adalah bahwa sistem itu merupakan suatu cara untuk mencapai tujuan tertentu yang dalam penggunaannya
bergantung pada berbagai faktor yang erat hubungannya dengan usaha pencapaian tujuan tersebut.
(10)
Dari keterangan diatas dapat dikatakan bahwa sistem merupakan hal penting yang harus dibangun untuk menjalankan / menggerakan maksud dari sebuah cita-cita atau sebuah pekerjaan yang akan kita lakukan.
B. Metode Pendidikan Islam
Sebelum lebih jauh kita membahas mengenai pengertian metode pendidikan Islam, maka kita harus mengetahui pengertian dari setiap kata tersebut. Maka dengan ini penulis menguraikan menjadi dua kata, yaitu kata metode dan kata pendidikan Islam.
Kata metode berasal dari bahasa Greek (Yunani) yang terdiri dari kata "meta" yang berarti melalui, dan kata "hodos" yang berarti jalan. Jadi metode berarti jalan yang dilalui. Sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Noor Syam, secara teknis menerangkan bahwa metode adalah :
1. Suatu prosedur yang dipakai untuk mencapai suatu tujuan.
2. Suatu teknik mengetahui yang dipakai dalam proses mencari ilmu pengetahuan dari suatu materi tertentu.
3. Suatu ilmu yang merumuskan aturan-aturan dari suatu prosedur.
Istilah metode seringkali disamakan denagan istilah pendekatan, strategi, dan teknik sehingga dalam penggunaanya juga sering saling bergantian yang pada intinya adalah suatu cara untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan atau cara yang cepat dan tepat untuk meraih tujuan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik.11
Selain itu ada pula yang menyebutkan Metode merupakan suatu alat dalam pelaksanaan pendidikan, yakni yang digunakan dalam penyampaian materi tersebut. Materi pelajaran yang mudah pun kadang-kadang sulit berkembang dan sulit diterima oleh peserta didik, karena cara atau metode yang digunakannya kurang tepat. Namun, sebaliknya suatu pelajaran yang sulit akan mudah diterima oleh peserta didik, karena penyampaian dan metode yang digunakan mudah dipahami, tepat dan menarik.
Dalam dunia pendidikan terdapat berbagai macam metode mengajar yang dalam penggunaannya harus disesuaikan dengan berbagai hal, seperti situasi dan kondisi kegiatan belajar mengajar yang sedang berlangsung, fasilitas yang tersedia, dan sebagainya harus disesuaikan dengan tujuan pendidikan yang hendak dicapai.
(11)
Metode pendidikan islam adalah prosedur umum dalam penyampaian materi untuk mencapai tujuan pendidikan yang didasarkan atas asumsi tertentu tetang hakikat islam sebagai suprasistem.12
Adapun menurut Abudin Nata, (1997:91), metode Pendidikan Agama Islam adalah sebagai jalan untuk menanamkan pengetahuan agama pada diri seseorang sehingga terlihat dalam pribadi obyek sasaran, yaitu pribadi muslim. Atau dengan kata lain metode Pendidikan Agama Islam adalah sebagai cara untuk memahami, menggali, dan mengembangkan ajaran Islam, sehingga berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Namun dalam pelaksanaannya, faktor gurulah yang sangat menentukan keberhasilan dalam proses belajar mengajar. Jadi bukan hanya terletak pada bentuk metode mengajar maupun pada fasilitas yang tersedia. Dengan demikian, keterampilan guru dalam penggunaan metode mengajar merupakan jaminan tercapainya tujuan pendidikan yang diharapkan secara efektif dan efisien.
Proses pendidikan Islam, metode mempunyai kedudukan sangat signifikan untuk mencapai tujuan bahkan metode sebagai seni dalam mentransfer ilmu pengetahuan atau materi pelajaran kepada siswa dianggap lebih signifikan dibanding dengan materi sendiri. Suatu realita bahwa cara penyampaian yang komunikatif lebih disenangi siswa walaupun sebenarnya materi yang disampaikan sesungguhnya tidak terlalu menarik. Sebaliknya, materi yang cukup baik, karena disampaikan dengan cara yang kurang menarik maka materi itu sendiri kurang dapat dicerna siswa. Oleh karena itu, penerapan metode yang sangat tepat akan mempengaruhi pencapaian keberhasilan dalam proses belajar mengajar. Metode yang tidak tepat akan berakibat terhadap pemakaian waktu yang tidak efisien. Manfaat Metode pendidikan islam bagi para guru:
1. Membahas tentang berbagai prinsip dan teknik-teknik serta pendekatan pengajaran yang digunakan, maka dengan mempelajari metodologi pendidikan islam seorang guru dapat memilih metode mana yang layak untuk dipakai dalam proses belajar mengajar.
2. Dapat mengetahui dan mempertimbangkan keunggulan dan kelemahan metode-metode pendidikan islam tersebut, sehingga dapat menyesuaikan metode-metode mana yang tepat untuk peserta didik agar kegiatan belajar mengajar dapat berlangsung secara optimal dan tercapainya tujuan yang telah ditetapkan.
3. Engan banyaknya meteri dan terbatasnya waktu untuk mencapaiikan meteri,maka seorang pendidik yang mengenal dan mengetahui metode pendidikan islam dapat
(12)
merancang dan mendesain pengajaran, serta tujuan pengajaran dapat tercapai dengan sebaik-baiknya.
4. Dengan mengetahui metode pendidikan islam, maka seorang guru dapat memberikan kontribusi pengetahuan kepada peserta didik sebagai calon guru atau pendidik.13
Metode pendidikan Islam merupakan unsur dari sistem pendidikan Islam, keberadaannya penting dan memang harus diperhatikan oleh setiap orang yang terlibat dalam kegiatan pendidikan, baik itu guru maupun murid sebagai peserta didik. Secara sederhana kata metode dipahami sebagai suatu cara yang dapat ditempuh untuk mencapai tujuan. Dengan demikian dapat disebutkan bahwa metode pendidikan Islam adalah segala cara dan usaha yang sistematis dan pragmatis untuk mencapai tujuan pendidikan Islam, dengan melalui berbagai aktivitas yang melibatkan guru sebagai pendidik dan murid sebagai anak didik. Dalam perjalanan sejarah pendidikan Islam, metode pembelajaran yang diterapkan telah mengalami berbagai perubahan dan pengembangan. Di antara perkembangan yang terjadi pada metode pendidikan Islam,adalah yang terjadi diterapkan pada masa Islam klasik. Ahli sejarah mencatat, setidaknya ada beberapa bentuk metode pendidikan yang diterapkan yaitu : halaqah, hafalan, munazarah, ,mudzakarah, Imla’ dan rihlah ilmiah.
1. Halaqah
Bentuk yang paling sederhana pendidikan muslim pada masa awal adalah duduk melingkar. Ini merupakan pengalaman pendidikan yang khas dalam Islam dikenal dengan nama Halaqah, yang arti harfiahnya sebuah perkumpulan yang melingkar (pengkajian yang dilakukan dengan duduk melingkar). Dinamakan demikian, karena guru duduk di tengah-tengah sebuah mimbar atau bantal yang membelakangi tembok atau tiang, dan para pelajar duduk dengan membentuk setengah lingkaran di depan guru. Lingkaran tersebut dibentuk menurut tingkatnya, semakin tinggi tingkat seseorang pelajar,atau pelajar pengunjung, maka ia duduk paling dekat dengan gurunya. Dalam kegiatan berbentuk halaqah, murid yang lebih tinggi, pengetahuannya duduk dekat dengan Syeikh, sedangkan murid yang level pengetahuannya lebih rendah duduk sedikit lebih jauh dan mereka berusaha dengan keras untuk dapat mengubah posisi lebih dekat dengan Syeikhnya. Kegiatan 13. Sholeha dan Rada. Ilmu Pendidikan Islam. Hlm.110
(13)
perkuliahan di Halaqah, secara singkat berlangsung dalam rangkaian kegiatan berikut :Syeikh membuka perkuliahan dengan membaca basmallah, mengucap shalawat dan salam bagi Rasulullah. Disertai dengan memberikan dorongan kepada murid supaya menuntut ilmu, bersifat rendah hati dalam menuntut ilmu, dan berusaha menjalani hidup yang baik serta berbudi luhur. Kemudian dilanjutkan dengan memberikan penjelasan tentang materi pelajaran sambil menghubungkannya dengan topik yang telah dibahas sebelumnya. Dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran. Syeikh biasanya mendiktekan bahan pelajaran (al-Qur’an dan Hadits) kepada para murid, kemudian menjelaskannya serta menafsirkannya terutama pada bagian-bagian yang dipandang sukar dari hadits dan al-Qur’an. Sementara Syeikh memberikan penjelasan, para murid aktif menulis semua keterangan yang diberikan oleh Syeikh. Sebelum mengakhiri pembelajaran, Syeikh biasanya mengulang kembali apa yang telah dibacakan dan dijelaskan serta disesuaikan dengan catatan para murid dengan cara menyuruh seorang murid untuk membaca catatannya. Kemudian mengakhiri pelajaran dengan membaca do’a. Kurikulum lingkaran studi(halaqah) sesuai dengan pengetahuan dan minat seorang Syekh, tergantung pada pengalamannya, dan biasa juga pada ijazah (pengakuan) dalam bidang keahliannya. Masa keterkaitan seorang murid dengan sebuah lingkaran studi (halaqah) tergantung kepada ketekunan dan target-targetnya sendiri. Ketika sudah tidak mencapai titik maksimal dalam belajar pada seorang guru, murid tersebut dapat beralih kepada guru lain. Sehingga seorang murid bisa saja menghabiskan masa hidupnya dalam perjalanan, beralih dari seoran guru (Syekh) ke guru(Syekh) lain yang terkenal.
2. Hafalan
Pada masa Islam klasik hafalan memiliki peranan penting dalam kegiatan pembelajaran. Hal ini selain dikarenakan daya hafal bangsa Arab yang kuat, juga dikarenakan memang hanya hafalanlah yang efektif digunakan pada masa itu. Ditambah lagi pada masa itu media simpan ilmu pengetahuan belum memadai jumlah dan penyediaannya. Kondisi ini mempengaruhi metode pembelajaran yang diterapkan dalam kegiatan pendidikan Islam pada masa itu. Dalam catatan sejarah ditemukan bahwa anak-anak mulai belajar dengan menghafal bebeapa surat dari al-Qur’an dan kewajiban agama seperti sembahyang dan puasa.
(14)
Hafalan merupakan cara yang harus ditempuh seseorang untuk dapat menguasai secara utuh berbagai tradisi yang diriwayatkan dari orang Arab terdahulu melintasi abad demi abad, termasuk dua naskah suci Islam al-Qur’an dan Sunnah, dan ilmu-ilmu keagamaan lainnya. Diya al-Din Ibn –‘Athir mengemukakan pentingnya penghafalan dalam ingatan agar dapat menemukan kembali unsur-unsur yang penting pada waktu dibutuhkan. Pengingatan kembali hanya mungkin terjadi dengan melakukan pengulangan- pengulangan dan praktek-praktek tertentu untuk memastikan bahwa materi-materi yang sudah dihafalkan tetap lekat dalam ingatan dan dapat berfungsi pada waktu yang dibutuhkan.
Menghafal sangat penting dalam hal pembelajaran, seseorang dapat menghafal apabila ada pemahaman terhadap konteks yang dihafal. Untuk memudahkan cara menghafal, al-Khatib menganjurkan agar murid selalu duduk pada posisi yang dapat mendengar secara jelas terhadap apa yang diucapkan guru. Selain itu suasana haruslah tenang dan mendengarkan dengan seksama apa yang diucapkan guru. Pentingnya metode hafalan ini juga dirasakan para ilmuan sebagaimana komentar yang mereka utarakan berikut ini :
1. Qatada as-Sadusi mengatakan ia tidak pernah mendengar sesuatu tanpa menghafalnya.
2. Al-Hasan Ibn Zin Nun al-Shaghri mengatakan jika kamu tidak mengulangi sesuatu lima puluh kali, ia tidak akan tersimpan dalam ingatan.
3. Al-Ghazali merasakan betapa pentingnya menghafal ketika ia mengalami buku-bukunya dirampas perampok dalam perjalanan. Ia mengatakan ambillah semua hartaku, tapi jangan ambil buku-buku itu. Kejadian ini membuat beliau menghabiskan waktunya selama tiga tahun untuk menghafal. Melalui hafalannya itu ia tidak takut lagi untuk bepergian.
4. Ibn al-‘Allaf mengatakan bahwa kertas (buku) adalah tempat yang tidak baik untuk menyimpan ilmu pengetahuan. Memang diakui betapa berharganya ilmu pengetahuan, tapi disisi lain dikatakan bahwa hapalan labih penting lagi.
(15)
5. Abu Bakar Ibn al-Anbari mengatakan bahwa ia tidak pernah mengerti dari buku tapi selalu dari hafalan.
6. Ibn at-Tabban adalah seorang yang buta huruf namun ia melakukan dakwahnya melalui hafalan.
7. Ibn al-Munna pada usia 40 tahun cidera buta namun lancar pendengarannya sehingga ia mengajar dari apa yang diperolehnya lewat hafalan.
3. Mudzakarah
Dalam kajian ilmu-ilmu humaniora, istilah mudzakarah paling sering dalam arti diskusi ilmiah. Dalam suatu mudzakarah beberapa orang terlibat dalam suatu percakapan tentang suatu tema atau pelajaran tertentu ; mereka saling bertukar pendapat dan pengetahuan, agar setiap cendikia yang terlibat memperoleh manfaat, begitu pula orang yang hadir untuk mendengarkan saja.Istilah mudzakarah tidak hanya digunakan dalam satu aspek saja, tetapi juga sering digunakan sebagai petunjuk percakapan yang dapat memberikan pertukaran ilmu pegetahuan (seperti seminar).Mudzakarah juga digunakan sebagai metode mempelajari dan mengahafal materi studi sastra khususnya ilmu qawa’id an-nahwu.
4. Munazharah
Munazharah merupakan suatu metode pendidikan Islam pada masa klasik, yaitu dengan cara berdiskusi. Makdisi menjelaskan bahwa munazharah merupakan suatu cara untuk menambah ilmu pengetahuan dengan cara mengundang orang lain dan memperdebatkan masing-masing pendapat yang disertai dengan argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam munazharah, kepasihan lidah berbicara dan memiliki ilmu yang luas sangat dihandalkan. Perdebatan(munazharah) juga merupakan alat untuk mencapai kemajuan ilmu pengetahuan. Beberapa contoh ulama yang dicatat sebagai ahli munazarah.Imam Syafi’i, yang terkenal sebagai seorang yang suka melakukan munazarah untuk mencari kebenaran tentang satu soal tertentu. Ada fungsi dari munazarah ini yang sangat mendasar yaitu mengenai pemanfaatan orang yang memiliki keilmuan yang tinggi yang bisa dijadikan rujukan khususnya bidang keilmuan mulai dari zaman klasik sampai modern.
(16)
5. Metode Dikte (Imla’)
Metode ini dilaksanakan oleh guru dengan cara memberikan pelajaran dari hafalan, atau dari catatan yang telah ditulisnya lebih dahulu untuk dibacakan kepada para murid. Pendiktean dilakukan dengan lambat, yaitu satu alinea atau satu-satu hadits, disertai dengan menyebutkan sanadnya, dan para murid menuliskan apa yang di diktekan guru mereka. Setelah guru selesai mendiktekan materi pelajaran dan memberikan penjelasan atau penafsiran terhadap materi tersebut serta murid telah selesai mencatatnya dengan baik. Guru seringkali membacakan apa-apa yang telah didiktekannya. Atau disuruhnya salah seorang murid untuk membacakannya, lalu diberikan pembetulan-pembetulan jika terdapat kesalahan-kesalahan atau kekurangan-kekurangan pada penulisan para murid.
6. Rihlah Ilmiyah
Rihlah Ilmiyah digunakan untuk setiap perjalanan guna menuntut ilmu, mencari tempat belajar yang baik, mencari guru yang lebih bisa memimpin pelajaran dengan baik pula, atau juga perjalanan seseorang ilmuan ke berbagai tempat, apakah dia secara formal melakukan aktivitas akademis atau sebaliknya. Dengan demikian rihlah‘ilmiyah bisa saja mencakup sebuah perjalanan yang memang direncanakan untuk tujuan ilmiah (belajar, mengajar, diskusi, mencari kitab dan lain sebagainya), atau sekedar perjalanan biasa yang dilakukan oleh orang-orang yang terlihat dalam kegiatan keilmuan.Selanjutnya Hasan Asari juga menjelaskan tentang praktek Rihlah Ilmiyah dapat juga ditemukan dalam nas-nas dasar-dasar dasar agama Islam, baik dalam al-Qur’an maupun hadits. Abu Hamid al-Ghazali, misalnya, menganjurkan rihlah ilmiyah dan bahkan memandangnya sebagai pendukung penting yang dapat membantu keberhasilan seseorang dalam kegiatan menuntut ilmu pengetahuan. Begitu pula dengan Ibn Khaldun, dia melihat manfaat yang sangat besar dari praktek ini. Al-Khatib al-Baghdadi juga memandang rihlah ilmiyah memiliki relevansi yang sangat tinggi,khususnya dalam bidang hadis, sehingga ia menulis sebuah buku khusus membahas tema tersebut. Ibn ‘Abd al-Barr juga menyisipkan sebuah pembahasan mengenai praktek rihlah ilmiyah. Perkembangan rihlah ilmiyah ini juga ternyata tidak diketahui secara jelas kapan dimulainya, namun sejarah menunjukkan bahwasanya pada masa Rasulullah juga sudah ada karena beliau pernah mengutus
(17)
sahabat Muaz Ibn Jabal ke negeri Yaman dengan tujuan sebagai guru. Rihlah Ilmiyah ini juga memiliki fungsi dalam peradaban intelektual Islam klasik.
C. Metode Pendidikan Islam Pada Masa Rosulullah
Awal dari pendidikan yang dijalankan oleh Nabi Muhammad SAW adalah tatkala beliau menerima perintah dari Allah SWT untuk menyeru kepada-Nya, sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an Surat Al Mudatsir (1-7) yang artinya :
“Hai orang yang berselimut, bangun, dan beri ingatlah. Hendalah engkau besarkan Tuhanmu dan bersihkanlah pakaianmu, tinggalkanlah perbuatan dosa, dan janganlah engkau memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu bersabarlah”.
Dengan turunnya perintah itu, mulailah Rasulullah berdakwah. Mulanya beliau melakukannya secara diam-diam di lingkungan keluarganya sendiri. Pertama beliau mengajak isterinya, Khadijah untuk beriman dan menerima petunjuk – petunjuk Allah SWT, kemudian diikuti oleh sepupunya Ali bin Abi Talib, dan Zaid bin haritsah dari kalangan budak. Lalu beliau mulai menyeru kepada sahabatnya yaitu Abu Bakar. Dan secara berangsur – angsur ajakan tersebut disampaikan secara lebih meluas, tetapi masih dikalangan keluarga dekat dari suku quraiys saja. Ajakan rasulullah antara lain untuk mempercayai Allah YME, tidak syirik, berakhlak mulia, dapat dipercaya, jujur, sekaligus berilmu. Setelah beberapa lama dakwah tersebut dilaksanakan secara individual turunlah perintah agar nabi menjalankan dakwah secara terbuka.
Dalam memberikan dakwah atau pendidikannya Nabi Muhammad menggunakan beberapa metode, diantaranya:
1. Metode Graduasi (Al Tadarruj)
Metode graduasi atau penahapan merupakan metode alqur’an dalam membina masyarakat, baik dalam melenyapkan kepercayaan dan tradisi jahiliyah maupun yang lain. Demikian pula dalam menanamkan aqidah, al qur’an juga menggunakan metode graduasi ini. Oleh sebab al qur’an diturunkan kepada rasul secara berangsur-angsur (bertahap), maka tidak heran juga ketika nabi menerapkan konsep tersebut dalam penyampaian pendidikannya.
(18)
Penyampaian materi pelajaran yang dilakukan Nabi Muhammad SAW sering berbeda antara orang satu dengan orang yang lain. Hal ini beliau lakukan, karena beliau sangat memperhatikan level-level atau peringkat dan kemampuan kecerdasan intelektual seseorang dalam menangkap sebuah pelajaran. Demikian dilakuakan dengan tujuan agar materi yang disampaikan beliau benar-benar bias diterima oleh peserta didik. Terkadang Rasulullah berbicara tidak hanya memperhatikan tingkat kecerdasan seseorang saja, melainkan juga memperhatikan kecerdasan emosionalnya.
3. Metode Variasi (Al-Tanwi’ Wa Al-Taghyir)
Untuk menghindari kejenuhan atau kebosanan para peserta didik, Nabi Muhammad SAW membuat variasi waktu dalam memberikan pelajaran kepada para sahabat.
Tidak hanya bervariasi dalam hal waktu, beliau juga memberikan variasi-variasi dalam penyampaian materi pelajaran. Karena yang beliau ajarkan adlah wahyu dari Allah SAW yang pada saat itu sedang dalam proses diturunkan. Oleh sebab materi yang dikirimkan lewat wahyu itu bervariasi, maka secara otomatis pendidikan yang diajarkan Rasulullah bervariasi. Menurut Prof. Dr. Muhammad ‘Ajjal al Khatib, metode variasi ini, baik digunakan dalam materi pelajaran manapun.
4. Metode Keteladanan (Al Uswah wa Al Qudwah)
Ketika Rasulullah Muhammad SAW memberikan sebuah materi yang berkaitan pola perilaku atau tingkah laku yang berkaitan dengan aplikasi dalam kehidupan sehari-hari, sebelum beliau menyampaikan kepada peserta didik, terlebih dahulu beliau melakukannya dalam perbuatan sehari-hari. Dengan hal demikian, maka peserta didik akan lebih cepat memahami ajaran Rasulullah.
Selain itu, dalam Al Qur’an juga telah disebutkab bahwa:
“sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasulullah suatu suri tauladan yang baik”. (Qs. Al-Ahzab: 21)
5. Metode Aplikatif ( At Tatbiqi Wa Al ‘Amali)
Apabila Rasulullah sudah memberikan teladan-teladan dalam ajaran-ajaran yang beliau sampaikan kepada peserta didik, maka pada gilirannya peserta didikpun langsung mempraktikan dan mengaplikasikan ajaran – ajaran itu dalam kehidupan sehari – hari. Pendidikan Nabi Muhammad SAW tidak sekedar menyampaikan materi pelajaran saja, melainkan juga langsung diamalkan.
(19)
6. Metode Pengulangan (Al Taqrir Wa Al Muraja’ah)
Metode pengulangan menjadi salah satu metode yang digunakan beliau, karena dianggap perlu dan penting untuk dilakukan khususnya dalam materi pelajaran yang penting-penting.
7. Metode Evaluasi (Al-Taqyim)
Sebuah metode yang digunakan oleh Rasul dalam penyampaian materi pelarannya, dimana beliau tidak hanya berhenti setelah sudah memberikan materi kepada peserta didik, akan tetapi beliau juga melakukan sebuah tindakan monitoring dan evaluating. Dalam hal ini, beliau mengawasi dan mengevaluasi mereka. Apabila terdapat kekeliruan, maka neliau langsung mengoreksinya. Oleh karena kekeliruan tersebut bisa diketahui langsung oleh beliau dan terkadang diketahui lewat laporan dari seseorang sahabat.
8. Metode Dialog (Al-Hiwar)
Metode pendidikan Rasulullah selanjutnya adalah Al Hiwar yaitu dialog, Tanya jawab. Dalam hal ini rasul, berperan sebagai penanya dan pendialog. Sementara peserta didiknya yang diajak dialog. Dengan metode ini, beliau membentuk peserta untuk melakukan perubahan yaitu dari tidak tahu menjadi mengetahui, kemudian dan memahami, dan yang selanjutnya sampai ke posisi meyakini. Metode ini banyak mewarnai system pendidikan Islam pada masa Rasulullah SAW.
9. Metode Analogi (Al-Qiyas)
Penerapan metode ini dalam pendidikan Rasul, disini beliau seringkali menyebutkan ungkapan-ungkapan dalam mengajarkan agama Islam kepada peserta didik.
10. Metode Cerita
Metode ini dikemas dengan cara bercerita. Untuk menanamkan ajaran-ajaran Islam kepada peserta didik, Rasul seringkali menuturkan kisah orang – orang terdahulu.
D. Metode Pendidikan Islam Pada Masa Klasik
(20)
Sistem pendidikan islam pada masa khulafa al-rasyidin di lakukan secara mandiri, tidak dikelola oleh pemerintah, kecuali pada masa khalifah umar ibn khattab yang turut campur dalam menambahkan kurikulum di lembaga kuttab. Para sahabat yang memiliki pengetahuan keagamaan membuka majelis pendidikan masing-masing, sehingga pada masa abu bakar misalnya, lembaga pendidikan kuttab mencapai tingkatan kemajuan yang berarti. Kemajuan lembaga kuttab ini terjadi ketika masyarakat muslim telah menaklukkan beberapa daerah dan menjalin kontak dengan bangsa-bangsa yang telah maju. Lembaga pendidikan ini sangat penting sehingga para ulama’ berpendapat bahwa mengajarkan al-qur’an merupakan fardlu kifayah
Menurut mahmud yunus, ketika peserta didik selesai mengikuti pendidikan di kuttab mereka melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yakni di masjid. Di masjid ini, ada dua tingkatan, yaitu tingkat mengengah dan tingkat tinggi. Yang membedakan diantarapendidikan itu adalah kualitas gurunya.
Pusat-pusat pendidikan pada masa khulafa al-rasyidin tidak hanya di madinah, tetapi juga menyebar di berbagai kota, seperti makah dan madinah (hijaz), kota bashrah dan kufah (irak), kota damsyik dan palestina (syam), dan kota fistat (mesir). Di pusat-pusat daerah inilah pendidikan islam berkembang secara cepat.
Materi pendidikan yang di ajarkan pada masa Khalifah Al-Rasyidin sebelum masa Umar Ibn Khattab (w. 32 H./644 M) untuk Kuttab adalah:
a) Belajar membaca dan menulis b) Membaca al-qur’an dan menghafal
c) Belajar tentang pokok-pokok ajaran islam.
Ketika Umar Ibn Khattab di angkat menjadi khalifah, ia menginstruksikan kepada penduduk kota agar anak-anak di ajarkan Berenang, Mengendarai onta, Memanah dan Membaca dan menghafal syair-syair yang mudah dan peribahasa. Sedangkan materi pendidikan tingkat menengah dan tinggi terdiri dari:
a) Al-qur’andan tafsirnya
b) Hadits dan mengumpulkannya c) Fiqih (Tasyri)
Ilmu-ilmu yang dianggap duniawi dan ilmu filsafat belum di kenal sehingga pada masa itu tidak ada, dan lebih di fokuskan pada pemahaman al-qur’an dan hadits secara literal.
(21)
Pendidikan islam pada masa dinasti Umayyah ini hampir sama dengan pendidikan pada masa khulafa al-rasyidin, hanya saja ada sisi perbedaan dan perkembangan sendiri. Perhatian para raja di bidang pendidikan agaknya kurang memperlihatkan perkembangan yang maksimal, sehingga pendidikan berjalan tidak di atur oleh pemerintah, tetapi oleh para ulama’ yang memiliki pengetahuan yang mendalam. Kebijakan-kebijakan pendidikan yang di keluarkan oleh pemerintah hampir tidak di temukan. Jadi, sistem pendidikan islam ketika itu masih berjalan secara alamiah.
Karena kondisi ketika itu di warnai oleh kepentingan-kepentingan politis dan golongan, di dunia pendidikan, terutama di dunia sastra, sangat rentan dengan identitasnya masing-masing. Sastra arab, baik dalam bidang syair, pidato (khitabah) dan seni prosa, mulai menunjukkan kebangkitannya. Para raja mempersiapkan tempat balai-balai pertemuan penuh hiasan yang indah dan hanya dapat di masuki oleh kalangan sastrawan dan ulama’-ulama’ terkemuka.
Pada zaman ini, dapat disaksikan adanya gerakan penerjemahan ilmu-ilmu dari bahasa lain kedalam bahasa arab, tetapi penterjemahan itu sebatas pada ilmu-ilmu yang mempunyai kepentingan praktis, seperti ilmu kimia, kedokteran, falak, tatalaksana dan seni bangunan. Pada masa ini juga masih menyelenggarakan ilmu-ilmu yang di letakkan pada masa sebelumnya, seperti ilmu tafsir.
Bersamaan dengan itu, kemajuan yang diraih delam dunia pendidikan pada saat itu adalah di kembangkannya ilmu nahwu yang di gunakan untuk memberi tanda baca, pencetakan kaidah-kaidah bahasa dan periwayatan bahasa. Terjadi perbedaan mengenai penyusunan ilmu nahwu, tetapi disiplin ilmi ini menjadi ciri kemajuan tersendiri pada masa ini.
Hadits dan ilmu hadits mendapat perhatian secara serius, pentingnya periwayatan hadits sehingga dapat di pertanggung jawabkan baik secara ilmiah maupun secara moral mendapat perhatian luas. Namun keberhasilan yang di raihnya adalah semangat untuk mencari hadits, belum mencapai pada tahap kodifikasi.
Di bidang ilmu fiqih, secara garis besar dapat di bedakan menjadi dua kelompok, yaitu aliran ahli Al-Ra’y dan ahl Al-Hadits. Kelompok aliran pertama mengembangkan hukum islam dengan menggunakan analogi, bila terjadi masalah yang di tentukan hukumnya. Aliran kedua, ahl Al-Hadits, lebih berpegang pada dalil-dalil secara literal, bahkan aliran ini tidak akan memberikan fatwa jiaka tidak ada ayat Al-Qur’an atau hadits yang menerangkannya.
(22)
Diantara jasa dinasti Umayyah dalam bidang pendidikan menurut hasan langgulung adalah menekankan ciri ilmiah pada masjid sehingga menjadi pusat perkembangan ilmu perguruan tinggi dalam masyarakat Islam.
c. Pendidikan Islam Masa Dinasti Abbasiyah [132-656 H/750-1258 M]
Charles Michael Stanton berkesipulan bahwa sepanjang masa Klasik Islam, penentuan sistem dan kurikulum pendidikan berada di tangan ulama’, kelompok orang-orang yang berpengetahuan dan di terima sebagai otoritatif dalam soal-soal agama dan hukum, bukan di tentukan oleh struktur kekuasaan yang berkuasa.
Menurut Hasan Abd Al-‘Al, seorang ahli pendidikan islam alumni Universitas Thantha, dalam tesisnya menyebutkan tujuh lembaga pendidikan yang telah berdiri pada masa abbasiyah ini, terutama pada abad ke-4 hijriah. Ketujuh lembaga itu adalah:
a) Lembaga pendidikandasar (Al-Kuttab) b) Lembaga pendidikan masjid (Al-Masjid) c) Kedai pedagang kitab (Al-Bawanit Al-Waraqin) d) Tempat tinggal para sarjana (Manazil Al-‘Ulama) e) Sanggar seni dan sastra (Al-Shalunat Al-Adabiyah) f) Perpustakaan (Dawr Al-Kutub Wa Dawr Al-‘Ilm) g) Lembaga pendidikan sekolah (Al-Madrasah)
Semua institusi itu memiliki karakteristik tersendiri dan kajiannya masing-masing. Sungguhpun demikian, secara umum, seluruh lembaga pendidikan itu dapat di klasifikasikan menjadi tiga tingkatan.
Pertama, tingkat rendah yang terdiri dari kuttab, rumah, toko, pasar, serta istana. Kedua, tingkat sekolah menengah yang mencakup masjid, sanggar seni, dan ilmu pengetahuan, sebagai lanjutan pelajaran di kuttab.
Ketiga, tingkat perguruan tinggi yang meliputi masjid, madrasah dan perpustakaan, seperti Bait Al-Hikmah di baghdad dan Dar Al-‘Ulum di kairo.
Pada tingkat rendah kurikulum yang di ajarkan meliputi membaca al-qur’an dan menghafalnya, pokok-pokok agama islam, menilis, membaca dan menghafal syair, berhitung dan pokok-pokok nahwu dan sharaf alakadarnya.
Pada jenjang menengah di sediakan pelajaran-pelajaran Al-Qur’an, Bahasa Arab Dan Kesusastraan, Fiqih, Tafsir, Hadits, Nahwu/Sharaf/Balaghah, Ilmu-Ilmu Eksakta, Mantiq, Falak, Tarikh, Ilmu-Ilmu Kealaman, Kedokteran, Dan Musik. Dan metode pengajarannya di sesuaikan dengan materi yang bersangkutan.
(23)
Jenjang pendidikan tingkat tinggi memiliki perbedaan di masing-masing lembaga pendidikan. Namun, secara umum lembaga pendidikan tingkat tinggi mempunyai dua fakultas, pertama, fakultas ilmu-ilmu agama serta bahasa dan sastra arab. Kedua, fakultas ilmu-ilmu Hikmah (Filsafat). Semua mata pelajaran di ajarkan di perguruan tinggi dan belum diadakan spesialisasi mata pelajaran tertentu.
Menurut Hasan Abd Al-‘Al metode pendidikan yang dilakukan pada jenjang tingkat tinggi ini meliputi Metode-Metode sebagai berikut:
a) Metode Ceramah (Al-Muhadlarah) : guru menyampaikan materi kepada semua mahasiswa dengan di ulang-ulang sehingga mahasiswa hafal terhadap apa yang dikatakannya. Dan pada metode ini terbagi menjadi dua cara, yaitu metode Dikte (Al-Imla’) dan metode Pengajuan Kepada Guru (Qiraat ‘Ala Al Syaikj Aw Al-Ardl)
b) Metode Diskusi (Al-Munadzarah) : Di gunakan untuk menguji argumentasi-argumentasi yang di ajukan sehingga dapat teruji.
c) Metode Koresponden Jarak Jauh (Al-Ta’lim Bi Al-Murasilah) : merupakan salah satu metode yang di gunakan oleh para mahasiswa yang menanyakan suatu masalah kepada guru yang jauh secara tertulis, lalu guru itu memberikan jawabannya secara tertulis pula.
d) Metode Rihlah ilmiah : metode ini dilakukan oleh para mahasiswa baik secara pribadi maupun secara kelompok dengan cara menandatangi guru di rumahnya untuk berdiskusi tentang suatu topik. Dan guru yang di datangi biasanya adalah guru yang dianggap memiliki keahlian dalam bidangnya.
SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM
A. Pengertian Sejarah Pendidikan Islam
Secara etimologis perkataa “sejarah” yang dalam bahasa Arabnya disebut tarikh atau ilmu tarikh, yang berarti ketentuan masa atau waktu, sedang ilm tarikh berarti ilmu yang mengandung atau membahas penyebutan peristiwa atau kejadian, masa atau terjadinya peristiwa, dan sebab-sebab terjadinya peristiwa tersebut.14
(24)
Dalam bahasa inggris disebut history yang berarti uraian secara tertib tentang kejadian-kejadian pada masa lampau. Dan sejarah sebagai cabang ilmu pengetahuan mengungkap peristiwa masa silam, baik peristiwa politik, sosial maupun ekonomi pada suatu negara atau bangsa, benua atau dunia.
Dalam Bahasa Indonesia sejarah berarti silsilah; asal-usul (keturunan); kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau. Secara istilah (terminologis) sejarah diartikan sebagai sejumlah keadaan dan peristiwa yang terjadi di masa lampau, dan benar-benar terjadi pada diri individu dan masyarakat, sebagaimana benar-benar terjadi pada kenyataan-kenyataan alam dan manusia.
Kata “pendidikan” dalam Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyah al-Mu’ashirah diambil dari kata al-tarbiyah yang diartikan sebagai education (pendidikan), upbringing (pengembangan), teaching (pengajaran), instruction (perintah), pedagogy (pembinaan kepribadian), breeding (memberi makan), raising (of animals) (menumbuhkan). Al-tarbiyah dapat berarti proses menumbuhkan dan mengembangkan apa yang ada pada diri peserta didik, baik secara fisik, psikis, sosial, maupun spiritual. Menurut Ki Hajar Dewantara pendidikan ialah segala usaha dari orang tua terhadap anak-anak dengan maksud menyokong kemajuan hidupnya, dalam arti memperbaiki bertumbuhnya segala kekuatan jasmani dan rohani, yang pada anak-anak karena kodrat dan iradatnya sendiri. Undang-Undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 mengartikan pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.15
Berdasarkan uraian di atas, Sejarah Pendidikan Islam berarti catatan peristiwa tentang pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam sejak lahirnya hingga sekarang ini. Atau satu cabang ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam, baik dari segi gagasan atau
(25)
ide-ide, konsep, lembaga maupun operasionalisasi sejak zaman Nabi Muhammad SAW hingga saat ini.
B. Periode Sejarah Pendidikan Agama Islam di Indonesia
Terjadi bebrapa kali waktu atau periode atau fase dalam sejarah pendidikan agama islam di indonesia anatara lain:
1. Fase datangnya Islam di Indonesia
Islam masuk ke Indonesia pada abad 7 M/1 H yang disebarkan oleh pedagang dan muballigh dari Arab di pantai barat Pulau Sumatera, tepatnya di daerah Baros. Interaksi penyebaran Islam kepada penduduk lokal melalui kontak jual beli, perkawinan, dan dakwah baik secara individu maupun kolektif. Pada masa ini, pendidikan Islam diperkenalkan bertahap, mulai dari mengucapkan kalimah syahadat sebagai simbolisme formal masuk agama Nabi Muhammad SAW serta diajak untuk mengakui rukun iman dan Islam. Tahap selanjutnya, mereka secara informal mengenalkan syariat dan ritual ibadah Islam yang lain seperti shalat lima waktu dan membaca al-Qur’an.16
Prof. Mahmud Yunus memerini fakto-faktor mengapa agama islam dapat tersebar dengan cepat di seluruh Indonesia pada masa permulaan, yaitu:
a. Agaa islam tidak sempit dan tidak berat melakukan aturan-aturannya, bahkan mudah diturut oleh segala golongan umat manusia, bahkan untuk masuk islam cukup dengan mengucapkan dua kalimah syahadat.
b. Penyiaran islam itu dilakukan dengan cara berangsur-angsur sedikit demi sedikit. c. Penyiaran islam dilakukan dengan cara bijaksana dan baik-baik.
d. Penyiaran isam dilakukan dengan perkataan yang mudah dipahami, dapat dimengerti oleh semua golongan.17
2. Fase Pengembangan Melalui Adaptasi
Mahmud Yunus menggambarkan pendidikan Islam pada fase ini ditandai dengan terbentuknya sistem langgar atau surau dan pesantren sebagai pusat studi keislaman.
16 BP3K Depdikbud, Pendidikan Islam dari Jaman ke Jaman, Jakarta, 1979, HLM.31
(26)
Adapun tujuan pendidikan dan pengajaran di langgar adalah agar anak didik dapat membaca Al-Qur’an dengan berirama dan baik, dan tidak dirasakan keperluan untuk memahami isinya. Jadi dalam hal ini hanya sebatas agar anak mampu membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar. Pendidikan di langgar dikelola oleh seorang guru yang biasa disebut ‘amil, modin atau lebai (di Sumatera) yang mempunyai tugas ganda, disamping memberikan doa pada waktu upacara keluarga atau desa, juga bertugas sebagai pengajar. Pelajaran biasanya diberikan pada pagi atau petang hari, satu sampai dua jam. Pelajaran memakan waktu selama beberapa bulan, tetapi pada umumnya sekitar satu tahun.18
Pembelajaran Al-Qur’an pada pendidikan langgar dibedakan menjadi dua macam:
a. Tingkatan rendah, merupakan tingatan pemula, yaitu mulainya mengenal huruf Al-Qur’an sampai bisa membacanya diadakan pada tiap kampung, dan anak-anak hanya belajar pada malam hari dan pagi hari seteah sholat subuh.
b. Tingkatan atas, yang merupakan pembelan Al-Qur’an sekaligus ditambah dengan pelajaran lagu, qasidah, berzanji, tajwid, seta mengaji kitab.
Metode penyampaian materi pada pendidikan langgar memakai dua sistem, yaitu sistem sorogan (dimana dengan sistem ini anak secara perseorangan belajar dengan guru/ kiai) dan sistem halaqah (seorang guru/ kiai dalam memberikan pengajarannya duduk dengan dikelilingi murid-muridnya.
Pesantren merupakan pranata pendidikan tradisional yang dipimpin oleh seorang kiai atau ulama. Di pesantren inilah para santri dihadapkan dengan berbagai cabang ilmu agama yang bersumber dari kitab-kitab kuning. Adapun sistem belajar di pesantren digambarkan seperti ini: pada pagi hari setelah sholat subuh para santri melakukan pekerjaan kerumahtanggaan untuk guru, seperti membersihkan halaman, mengerjakan sawah, dan sebagainya. Setelah itu baru diberikan pelajaran. Pelajaran utama dengan diselingi oleh belajar sendiri. Pada siang hari murid beristirahat dan pada sore hari belajar lagi. Dalam melakukan semua kegiatan, waktu shalat berjamaah selalu diperhatikan.19
18 Prof. H. Mahmud Yunus, Op.Cit, hlm.35
(27)
Tujuan terbentuknya pondok pesantren yaitu membimbing anak didik untuk menjadi manusia yang berkepribadian Islam yang dengan ilmu agamanya ia sanggup menjadi mubaligj Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya dan mempersiapkan para santri untuk menjadi orang alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kiai yang bersangkutan serta mengamalkannya dalam masyarakat.20
3. Fase Berdirinya Kerajaan-Kerajaan Islam
Pada masa kerajaan islam merupakan salah satu dari periodesasi perjalanan sejarah pendidikan islam di Indonesia, sebab sebagaimana lahirnya kerajaan islam yang disertai dengan berbagai kebijakan dari penguasanya saat itu, sangat mewarnai sejarah islam di Indonesia, terlebih-lebih agama islam juga pernah dijadikan sebagai agama resmi negara/ kerajaan pada saat itu. Berikut ini beberapa kerajaan islam serta bagaimana perannya dalam pendidikan islam dan dakwah islamiyah tentunya.
a. Kerajaan Islam di Aceh
Ada tiga kerajaan islam yang berkembang di bumi “serambi mekah” yaitu: 1. Kerajaan Samudera Pasai
Sistem pendidikan yang berlaku pada masa Kerajaan Samudera Pasai yaitu: a) Materi pendidikan dan pengajaran agama bidang syariat ialah Fiqh Madzhab
Syafi’i.
b) Sistem pendidikannya secara informal berupa majlis taklim dan halaqah. c) Tokoh pemerintahan merangkap sebagai tokoh ulama.
d) Biaya pendidikan agama bersumber dari negara. 21 2. Kerajaan Perlak
Di perlak terdapat suatu lembaga pendidikan yang berupa majlis ta’lim tinggi, yang dihadiri khusus oleh para murid yang sudah alim dan mendalam ilmunya. Pada majlis ta’lim ini diajarkan kitab-kitab agama yang punya bobot dan pengetahuan tinggi, seperti kitab Al Um karanga Imam Syafi’i dan sebagainya.
3. Kerajaan Aceh Darussalam
20 Drs. Imam Al-Fatta, Modernisasi Pesantren dan Krisis Ulama, Panjimas, 1991, hlm.677 21 Yusuf Abdullah Puar, Op. Cit, hlm.38
(28)
Kerajaan Aceh Darussalam sangat memperhatikan bidang pendidikan. Terdapat lembaga-lembaga negara yang bertugas dalam bidang pendidikan dan dan pengetahuan, diantaranya:
a. Balai Seutia Hukama
Merupakan lembaga ilmu pengetahuan, tempat berkumpulnya para ulama, ahli pikir dan cendekiawan untuk membahas dan mengembangkan ilmu pengetahuan. b. Balai Seutia Ulama
Merupakan jawatan pendidikan yang bertugas mengurus masalah-masalah pendidikan dan pengajaran.
c. Balai Jamaah Himpunan Ulama
Merupakan kelompok studi tempat para ulama dan sarjana berkumpul untuk bertukar pikiran membahas persoalan-persoalan pendidikan dan ilmu pendidikannya.22
Adapun jenjang pendidikan yang ada adalah: a. Meunasah ( madrasah)
Terdapat di setiap kampung, berfungsi sebagai sekolah dasar, materi yang diajarkan yaitu: menulis dan membaca huruf arab, ilmu agama, bahasa jawi/melayu, akhlak dan sejarah islam.
b. Rangkang
Diselenggarakan di setiap mukim, merupakan mesjid sebagai tempat berbagai aktivitas umat termasuk pendidikan rangkang adalah setingkat Madrasah Tsanawiyah. Materi yang diajarkan: bahasa Arab, ilmu bumi, sejarah, berhitung (hisab), akhlak (fiqh), dan lain–lain.
c. Dayah
Terdapat di setiap daerah ulebalang dan terkadang berpusat di masjid, dapat disamakan dengan Madrasah Aliyah sekarang. Materi yang diajarkan yaitu fiqh
(29)
(hukum islam), bahasa Arab, tauhid, tasawuf/akhlak, ilmu bumi, sejarah/ tata negara.
d. Dayah Teuku Cik
Dapat disamakan dengan perguruan tinggi atau akademi, diajarkan fiqh, tafsir, hadits, tauhid (ilmu kalam), akhlak, tasawuf, ilmu bumi, ilmu bahasa dan sastra Arab, sejarah dan tata negara, mantiq, ilmu falaq dan filsafat.23
b. Kerajaan Demak
Pasca keruntuhan Majapahit (1400 M) Demak menjadi pusat pemerintahan Islam dengan Raden Patah (Panambahan Jimbun) sebagai pemimpinnya. Dengan di bantu para sunan yang lebih populer dengan sebutan wali sanga, seperti Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kaljaga, Raden patah mengubah tata cara pemujaan berhala dan menjadi pemimpin dari semua agama. Setelah 12 tahun memerintah, Raden Patah kemudian digantikan anaknya Pangeran Sabrang Lor (1409 M). Akibat radang paru-paru yang dideritanya, kekuasaan beralih ke tangan saudaranya, Pangeran Trenggana (Panambahan Makdum Jati) dengan bantuan Sunan Kudus sebagai ulama tertinggi kerajaan. Pada masa inilah agama Islam berkembang pesat. Masjid-masjid selesai dibangun, perjanjian kerukunan damai dibuat dengan raja-raja dari Kalimantan, Palembang, Bali, Singapura dan negeri-negeri lain di bumi Nusantara. Hubungan erat yang terjalin antara pihak kerajaan dengan para wali memainkan peranan penting dalam proses pendidikan keislaman. Sasarannya bukan saja kalangan rakyat, tetapi juga di lingkungan kerajaan. Pusat dari segala jenis kegiatan pendidikan ditempatkan pada masjid-masjid dan pesantren.24
c. Kerajaan Isklam Mataram
Setelah wafatnya Sultan Trenggana kerajaan Islam berpindah ke negeri Pajang. Namun, baik Zuhairini maupun Hasbullah tidak memaparkan secara rinci peran dan kiprah kerajaan tersebut dalam mengembangkan sistem pendidikan Islam. Padahal, menurut Raffles, kebesaran Pajang dalam belantika sejarah kerajaan Islam di Indonesia layak untuk diapresiasi. Kerajaan kuno di Jawa pada 23 Saifuddin Zuhri, Op .Cit, hlm.212
(30)
saat itu terbagi menjadi tidak kurang dari delapan tampuk pemerintahan yang masing-masing terpisah dan berdiri sendiri, yaitu Bantam, Jokarta, Cheribon, Prawata, Kaliniamat, Pajang, Kedu, dan Madura. Para pemimpin kerajaan tersebut bergelar kiai gede atau sultan, setingkat di atas sunan.25
Dalam The History of Java, sejarawan dari Inggris tersebut menjelaskan:“Setahun setelah kematian Sultan Trenggana, negeri Pajang tumbuh sebagai daerah penting untuk diperhitungkan. Dan pemimpinnya, karena kepemilikan atas benda-benda kebesaran tersebut, ditempatkan sebagai yang teratas dalam tingkatan para raja yang memerintah di daerah bagian timur”. Hasbullah beranggapan perpindahan kerajaan dari Demak ke Pajang tidak memberikan dampak perubahan berarti dalam sistem pendidikan dan pengajaran Islam yang sudah berjalan.
Pada tahun 1586 M, pusat kerajaan Islam bergeser dari Pajang ke Mataram. Pada masa pemerintahan Sultan Agung (1683), Mataram mencapai puncak kejayaan dengan daerah kekuasaan yang terus meluas hingga mencapai seluruh Pulau Jawa dan Madura. Hampir di setiap desa terdapat tempat pengajian al-Qur’an. Pengetahuan Islam seperti fiqh, tafsir, tasawuf, dan lainnya juga diajarkan dengan metode sorogan dan halaqah di pesantren besar yang terletak di daerah kabupaten. Bahkan, pada era ini mulai berkembang sepesialisasi pengetahuan Islam dengan berdirinya pesantren takhassus, yang memfokuskan pengkajian ilmu-ilmu tertentu.
4. Fase Penjajahan Belanda
a. Pendidikan Islam Sebelum 1990
Sebelum tahun 1990 dikenal pendidikan islam secara perseorangan dan secara surau/ langgar atau masjid. Pendidikan perseorangan lebih mengutamakan pelajaran praktis, misalnya tentang ketuhanan, keimanan, dan masalah-masalah yang berhubungan dengan ibadah. Sedangkan pendidikan surau mempunyai dua tingkatan yaitu: pelajaran Al-Qur’an dan pengkajian kitab.
(31)
Pendidikan islam pada masa itu bercirikan hal-hal sebagai berikut: 1. Pelajaran diberikan satu per satu
2. Pelajaran ilmu sharaf
3. Buku pelajaran pada mualanya dikarang oleh ulama kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa daerah setempat
4. Kitab yang digunakan umunya ditulis tangan
5. Pelajaran suatu ilmu, hanya diajarkan dalam satu macam buku saja
6. Toko buku belum ada, yang ada hanyalah menyalin buku dengan tulisan tangan 7. Materi ilmu agama sangat sedikit.26
b. Pendidikan islam pada masa peralihan (1990-1908)
Adapun pelajaran agama islam pada masa peralihan bercirikan hal-hal sebagai berikut:
1. Pelajaran untuk dua sampai enam ilmu dihimpun secara sekaligus 2. Pelajaran ilmu nahwu didahulukan atau disamakan dengan ilmu sharaf 3. Buku pelajarn semua karangan ulama islam kuno dan dalam bahasa arab 4. Buku-buku semuanya dicetak
5. Suatu ilmu diajarkan dari beberapa macam buku( rendah, menengah, tinggi) 6. Telah ada toko buku yang memesan buku-buku dari Mesir atau Makkah 7. Ilmu agama telah berkembang luas berkat banyaknya buku bacaan.27
26 Prof. H. Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Hadikarya Agung, Jakarta, 1985, hlm.62 27 Drs. H Sidi Ibrahim Boechari, S.H., Op.Cit., hlm.79
(32)
c. Pendidikan Islam Sesudah Tahun 1990
Ulama-ulama yang ada pada waktu itu menyadari bahwa sistem pendidikan langgar dan pesantren tradisional mereka sudah tidak begitu sesuai dengan iklim indonesia dan jumlah murid yang ingin belajar terus bertambah, maka dirasakan perlu untuk memberikan pelajaran agama di madrasah atau sekolah secara teratur. Salah satunya berdirinya madrasah Adabiyah pada tahun 1909, madrasah Diniyah di Padang Panjang.28
5. Fase Penjajahan Jepang
Pendidikan pada zaman Jepang disebut Hakko Ichiu, yakni mengajak bangsa Indonesia bekerja sama dalam rangka mencapai kemakmuran bersama Asia Raya. Sekolah-sekolah pada zaman Belanda diganti dengan sistem Jepang, yang semuanya untuk kepentingan perang. Kegiatan-kegiatan sekolah antara lain: a) Mengumpulkan batu, pasir untuk kepentingan perang
b) Membersihkan bengkel-bengkel, asrama-asrama militer
c) Menanam ubi-ubian, sayur-sayuran dipekarangan sekolah untuk persediaan makanan
d) Menanam pohon jarak untuk bahan pelumas.29
Tujuan pendidikan pada zaman Jepang hanyalah untuk memenangkan peperangan. Secara konkrit tujuan yang ingin dicapai Jepang adalah menyediakan tenaga cuma-cuma dan prajurit-prajurit untuk membantu peperangan bagi kepentingan Jepang.
Pada masa awal-awalnya madrasah dibangun dengan gencar-gencarnya selagi ada angina segar yang diberikan oleh Jepang. Walaupun lebih bersifat politis belaka, kesempatan itu tidak disia-siakan begitu saja oleh umat Islam Indonesia. 28 Djumhur, Sejarah Pendidikan, CV Ilmu, Bandung, 1979, hlm.195
(33)
Hampir seluruh pelosok pedesaan terdapat madrasah Awaliyah yang banyak dikunjungi. Oleh karena itu, meskipun dunia pendidikan terbengkalai, madrasah-madrasah yang berada dalam lingkungan pondok pesantren bebas dari pengawasan langsung pemerintahan Jepang. Pendidikan dalam pondok Pesantren dapat berjalan dengan wajar.
Sikap Jepang terhadap pendidikan Islam ternyata lebih lunak, sehingga ruang gerak pendidikan Islam lebih bebas dibandingkan dengan zaman pemerintahan colonial Belanda. Masalahnya Jepang tidak begitu menghiraukan kepentingan agama, yang mereka pentingkan adalah memenangkan perang. Bila perlu, mereka memberikan keleluasaan kepada para pemuka agama dalam mengembangkan pendidikannya.
Jepang memandang agama Islam sebagai salah satu sarana penting untuk menyusupi lubuk rohaniah terdalam dari kehidupan masyarakat Indonesia dan untuk meresapkan pengaruh pikiran serta cita-cita mereka pada bagian masyarakat yang paling bawah. Untuk memudahkan rencana itu, diantaranya Jepang mendirikan/ membentuk KUA, Masyumi dan pembentukan Hizbullah.
Namun demikian dibalik kekejaman Jepang, ada hal yang sangat menguntungkan bagi bangsa Indonesia, khususnya di bidang pendidikan, yaitu: a) Bahasa Indonesia hidup dan berkembang secara luas di seluruh Indonesia.
b) Buku-buku dalam bahasa asing yang diperlukan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dengan mengabaikan hak cipta internasional.
c) Kreatifitas guru berkembang dalam memenuhi kekurangan buku pelajaran dengan menyadur atau mengarang sendiri.
d) Seni bela diri dan pelatihan perang-perangan sebagai kegiatan kurikuler di sekolah telah membangkitkan keberanian pada para pemuda yang ternyata sangat berguna dalam perang kemerdekaan yang terjadi kemudian.30
(34)
6. Fase Kemerdekaan I
Kementrian Agama telah mencanangkan rencana-rencana program pendidikan yang dilaksanakan dengan menunjukkan jenis-jenis pendidikan serta [engajaran islam sebagai berikut:
a. Pesantren Islam Klasik b. Madrasah Diniyah
c. Madrasah-madasah Swasta d. Madrasah Ibtidaiyah Negeri e. Pendidikan Teologi tertinggi.31
7. Fase Kemerdekaan II
Suasana pada waktu itu iaah membersihkan sisa-sisa mental G30S/PKI. Dalam keputusannya di bidang pendidikan agama telah mengalami kemajuan. Dengan demikian sejak tahu 1966 pendidikan agama menjadi hak wajib mulai daru Sekolah Dasar (SD) sampai Perguruan Tinggi Umum Negeri di seluruh Indonesia.32
C. Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Di Indonesia 1. Masjid
31 Zahara Idris, Dasar-Dasar Kependidikan, Angkasa, Bandung, 1981, hlm30 32 BP7 Pusat, Bahan Penataran, 1991, hlm.22
(35)
Secara harfiah masjid diartikan sebagai tempat duduk atau setiap tempat yang dipergunakan untuk beribadah. Secara harfiah, masjid adalah “tempat untuk bersujud”. Namun, dalam artiterminologi, masjid diartikan sebagai tempat khusus untuk melakukan aktivitas ibadah dalam arti yang luas. Dalam bahasa Indonesia, masjid diartikan rumah tempat bersembahyang bagi orang Islam. Di dalam bahasa inggris, kata masjid merupakan terjemahan dari kata mosque. Masjid memegang peran penting dalam pendidikan islam, karena masjid atau surau merupakan sarana yang pokok dan mutlak keperluannya bagi perkembangan masyarakat islam.
Masjid, surau dan langgar dianggap sebagai lembaga pendidikan islam tertua di Indonesia sebelum adanya pesantren. Pendidikan di surau atau langgar adalah pendidikan tingkat dasar yang biasa disebut sebagai pengajian al-Qur’an. Kemudian pendidikan dan pengajaran tingkat lanjutan yang disebut pengajian kitan diselenggarakan di masjid. Sementara itu di sebagian daerah surau langgar berfungsi sebagai pesantren. Dewasa ini, fungsi masjid mulai menyempit, tidak sebagaimana pada zaman Nabi SAW. Hal itu terjadi karena lembaga-lembaga sosial keagamaan semakin memadat, sehingga masjid terkesan sebagai tempat ibadah shalat saja. Pada mulanya, masjid merupakan sentral kebudayaan masyarakat Islam, pusat organisasi kemasyarakatan, pusat pendidikan, dan pusat pemukiman, serta sebagaI tempat ibadah dan I’tikaf.33
Jadi dari beberapa pengertian diatas dapat simpulkan bahwa yang di maksu dengan masjid adalah suatu tempat yang digunakan untuk kegiatan ibadah bagi orang-orang Islam, seperti sholat. Dan masjid menjadi lembaga pendidikan pertama di Indonesia terutama pendidikan agama Islam.
2. Pesantren
Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di indonesia. Lahir dan berkembang semenjak masa-masa permulaanislam masuk ke Indonesia. Pesantren merupakan sebuah kompleks dengan lokasi umumnya terpisah dari kehidupan sekitarnya. Dalam kompleks itu terdiri dari beberapa bangunan, di antarnya rumah kediaman kyai, sebuah masjid, tempat pengajaran diberikan 33 Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, Pustaka al-Husna, Jakarta, 1988, hlm.111
(36)
diasrama tempat tinggal para santri. Ada lima elemen atau unsur penting dalam pesantren, yaitu kyai, santri, pondok dan masjid, dan kitab-kitab islam klasik.Menurut para ahli pesantren baru dapat disebut pesantren bila memenuhilima syarat, yaitu: ada kiai, ada pondok, ada masjid, ada santri, ada pelajaran membaca kitab kuning.
Tujuan terbentuknya pondok pesantren adalah:
a. Tujuan umum, yaitu membimbing anak didik untuk menjadi manusia yang berkepribadian Islam, yang dengan ilmu agamanya ia sanggup menjadi mubalig Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya.
b. Tujuan khusus, yaitu mempersiapkan para santri untuk menjadi orang alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kiai yang bersangkutan serta dalam mengamalkan dan mendakwahkannya dalam masyarakat.34
3. Madrasah
Madrasah merupakan lembaga pendidikan Islam yang lebih modern dibanding pesantren, baik ditinjau dari sisi metodologi maupun kurikulum pengajarannya. Kendati demikian, kemunculan madrasah ini tidak lain diawali oleh keberadaan pesantren. Sebagian lulusan pesantren melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi ke beberapa pusat kajian Islam di beberapa negara Timur Tengah, khususnya Arab Saudi dan Mesir. Lulusan-lulusan Islam Timur Tengah itulah yang kemudian akhirnya menjadi pemrakarsa pendirian madrasah-madrasah di Indonesia.
Dalam madrasah, sistem pembelajaran tidak lagi
menggunakan sorogan ataupun bandongan, melainkan lebih modern lagi. Madrasah telah mengaplikasikan sistem kelas dalam proses pembelajarannya. Elemen yang ada dalam madrasah juga bukan lagi Kyai dan santri, tetapi murid dan guru (ustad/ustadzah). Dan metode yang digunakan juga beragam, bisa ceramah, atau drill dan lain-lain, tergantung pada ustad/ustadzah atau guru.35
Kehadiran madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam setidaknya mempunyai empat latar belakang, yaitu:
a. Sebagai manifestasi dan realisasi pembaharuan sistem pendidikan Islam 34 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, LP3ES, Jakarta, 1983, hlm.18
(37)
b. Usaha penyempurnaan terhadap sistem pesantren ke arah suatu sistempendidikan yang lebih memungkinkan lulusannya untuk memperolehkesempatan yang sama dengan sekolah umum, misalnya masalah kesamaan kesempatan kerja dan perolehan ijazah
c. Adanya sikap mental pada sementara golongan umat Islam, khususnya santri yang terpukau pada Barat sebagai sistem pendidikan mereka
d. Sebagai upaya untuk menjembatani antara sistem pendidikan tradisional yang dilakukan oleh pesantren dan sistem pendidikan modern dari hasilakulturasi.
4. Sekolah-sekolah Islam
Di samping madrasah, lembaga pendidikan Islam yang berkembang hingga sekarang adalah sekolah-sekolah Islam. Pada dasarnya, kata sekolah merupakan terjemah dari madrasah, hanya saja madrasah adalah kosa kata bahasa Arab, sedangkan sekolah adalah bahasa Indonesia. Namun demikian, pada aplikasinya terdapat perbedaan antara madrasah dan sekolah Islam. Madrasah berada dalam naungan Kementrian Agama (Kemenag), sedangkan sekolah Islam pada Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Selain itu,dari segi bobot muatan materi keagamaannya, madrasah lebih banyak materi agama dibanding sekolah Islam.
5. Perguruan Tinggi Agama Islam
Pendidikan Tinggi Islam juga merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam yang modern. Dalam sejarah, pendidikan tinggi Islam yang tertua adalah Sekolah Tinggi Islam (STI), yang menjadi cikal bakal pendidikan tinggi Islam selanjutnya. STI didirikan pada 8 Juli 1945 di Jakarta, kemudian dipindahkan ke Yogyakarta, dan pada tahun 1948 resmi berganti nama menjadi Universitas Islam Indonesia (UII).36 Selanjutnya, UII merupakan bibit utama dari perguruan-perguruan tinggi swasta yang kemudian berkembang menjadi beberapa Universitas Islam yang populer di Indonesia, seperti misalnya Universitas Ibn Kholdun di Bogor, Universitas Muhammadiyah di Surakarta, Universitas Islam Sultan Agung di Semarang, Universitas Islam Malang (UNISMA) di Malang, Universitas Islam
(38)
Sunan Giri (UNSURI) di Surabaya, Universitas Darul ‘Ulum (UNDAR) di Jombang dan lain-lain.
Menurut Tolhah Hasan, perkembangan dan kemajuan perguruan tinggi Islam di Indonesia banyak ditentukan oleh beberapa faktor di antaranya: kredibilitas kepemimpinan, kreativitas manajerial kelembagaan, pengembangan program akademik yang jelas dan kualitas dosen yang memiliki tradisi akademik. Ada beberapa macam perguruan tinggi agama islam, antara lain: IAIN, STAIN, UIN, PTAIS.37
6. Majelis Taklim
Majlis taklim sebagai salah satu bentuk pendidikan islam yang bersifat non formal, tampak mempunyai kekhasan tersendiri. Lembaga ini mempunyai daya tarik yang luar biasa besar. Ini dapat dilihat dari segi jumlah lembaga yang ada maupun jamaah. Umumnya, tidak terikat pada salah satu organisasi atau paham keagamaan tertentu. Dengan kata lain, sekterianisme keagamaan menjadi pudar dalam majlis taklim. Lembaga ini menyerupai kumpulan-kumpulan pengajian yang diselenggarakan atas dasar kebutuhan untuk memahami islam disela-sela kesibukan kerja dan bentuk-bentuk aktivitas lainnya, atau sebagai bentuk pengisi waktu bagi ibu-ibu rumah tangga.38
D. Pendidikan Islam Pada Masa Masuknya Islam Di Indonesia
Penyebaran pengaruh Islam yang berasal dari Jazirah Arab ke Asia dan benua lainnya, menimbulkan munculnya pusat-pusat agama Islam dikawasan tersebut yang berguna sebagai pusat pemerintahan dan peradaban, juga berperan dalam penyebaran pengaruh Islam ke wilayah sekitarnya.
1. Peran Pedagang dalam penyebaran pendidikan Islam
Para pedagang yang menjalin hubungan dengan pedagang Indonesia tidak hanya pedagang Cina tetapi juga pedagang India, Persia, Arab, Mesir dan Turki. Adanya interaksi sosial antara pedagang muslim dengan masyarakat setempat inilah yang
37 Mahmud Yunus, Op.Cit., hlm.288
38 Nurul Huda, dkk, Pedoman Majelis Ta’lim, Proyek Penerangan Bimibingan Dakwah Khutbah Agama Islam Pusat, Jakarta, 1984, hlm.5
(39)
akhirnya memberi pengaruh masuknya nilai-nilai dan ajaran Islam sehingga semakin banyak yang memeluk agama Islam.
Adapun sistematis yang dilakukan para pedagang dalam penyampaian dakwahnya adalah sebagai berikut:
a. Mula-mula para pedagang berdatangan ke pusat perdagangan.
b. Kamudian mulai ada yang bertempat tinggal, baik sementara maupun menetap. c. Lambat laun tempat tinggal mereka berkembang menjadi perkampungan muslim
dari negeri asing yang disebut pekojan.
d. Status sosial yang tinggi, memudahkan mereka mengawini pribumi baik rakyat biasa maupun anak bangsawan.
e. Sebelum pernikahan, calon istrinya di-Islam-kan dahulu dengan mengucapkan dua kalimat syahadat.
f. Lambat laun berkembang menjadi perkampungan, masyarakat dan kerajaan Islam.
Sehingga dengan demikian, para pedagang mempunyai andil besar dalam penyebaran Islam melalui pendidikan sosial kemasyarakatan, seperti cara berdagang islam, cara bermasyarakat, upacara pernikahan sampai pada cara bersosialisasi sehari-hari yang telah mereka praktekkan dalam kehidupan kesehariannya.
2. Peran Ulama’ dalam penyebaran pendidikan Islam di Indonesia
Agama Islam yang diperkenalkan kepada bangsa Indonesia mempunyai bentuk yang menunjukkan persamaan dengan alam pikiran yang telah dimiliki oleh orang-orang yang dulunya menganut agama Hindu Syiwa dan Budha Mahayana. Hal ini menyebabkan ajaran Islam yang diperkenalkan semakin mudah dimengerti dan dipahami.
Salah satu cara agar pemahaman tentang Islam mudah diterima oleh masyarakat adalah melalui gambaran-gambaran. Tidak langsung pada inti pembahasan yang mungkin sulit diterima, antara lain melalui gending-gending jawa, gending-gending dolanan, wayang kulit dan hikayat.
Para Ulama’ yang pada waktu itu terkenal dengan sebutan Wali Songo telah mempunyai andil besar dalam hal ini, diantaranya:
a. Sunan Maulana Malik Ibrahim yang berasal dari Turki selain menguasai ilmu-ilmu agama juga ahli dalam bidang tata negara sehingga ia mampu mensinergikan antara adat istiadat penduduk asli dengan syari’at Islam.
b. Sunan Ampel yang berasal dari Aceh juga memprakarsai berdirinya pesantren Ampel Denta dan Kerajaan Islam Demak.
(1)
Sistem Pendidikan Nasional, Lembaga Keagamaan ini diakui dan dapat dilaksanakan pada jalur pendidikan non-formal (pesantren, madrasah diniyah) dan dalam jalur pendidikan in-formal (keluarga).
2. Peran Pendidikan Islam a. Sebagai Mata Pelajaran
Pendidikan Agama Islam sebagai mata pelajaran wajib di seluruh sekolah di Indonesia berperan:
1) Mempercepat proses pencapaian tujuan Pendidikan Nasional
Pendidikan Nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Secara sederhana dapat dirinci poin-poin yang terdapat dalam tujuan Nasional tersebut:
a) Berkembangnya potensi peserta didik
b) Beriman dan Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa c) Berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif dan mandiri. d) Menjadi warga negara yang demokratis.
e) Bertanggung jawab
Oleh karena itu dapat ditarik kesimpulan bahwa mata pelajaran pendidikan agama Islam mempunyai peran yang menentukan dalam upaya mencapai tujuan pendidikan nasional.
2) Memberikan nilai terhadap mata pelajaran umum
Seperti kita ketahui bahwa mata peajaran umum yang diajarkan di sekolah adalah ilmu pengetahuan produk Barat yang bebas dari nilai (values free). Agar mata pelajaran umum dapat diajarkan di sekolah/ madrasah mempunyai nilai maka pendidikan agama Islam dapat diintegrasikan dalam setiap mata pelajaran tersebut, apalagi dalam kurikulum sekolah mata pelajaran pendidikan agama terletak pada urutan pertama. Nilai-nilai yang terdapat dalam ajaran Islam inilah yang diinternalisasikan dalam proses pembelajaraan kepada peserta didik.
b. Sebagai Lembaga (institusi)
1) Lembaga pendidikan Islam (pondok pesantren) berperan mencerdaskan kehidupan bangsa
2) Lembaga pendidikan Islam (madrasah atau pesantren) bersama dengan satuan pendidikan lainnya dalam sistem Pendidikan Nasional bersama-sama menuntaskan pelaksanaan wajib belajar 9 tahun.
3) Lembaga Pendidikan Islam ( Madrasah Diniyah) berperan mendidik anak-anak yang drop-out, anak-anak yang tidak berkesempatan memasuki lembaga
(2)
pendidikan formal dan sekaligus menambah dan mempekuat pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah karena keterbatasan jam pelajaran pendidikan agama Islam di sekolah, maka peserta didik dapat memperluas dan memperdalam mata pelajaran ini di Madrasah Diniyah (MDA, MDW, dan MDU)
Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas7, tersebut dalam Bab Vi
Jalur, Jenjang dan Jenis Pendidikan pada Bagian ke Sembilan Pendidikan Keagamaan Pasal 30 isinya adalah :
1. Pendidikan keagamaaan diseelenggarakan oleh pemerintah dan atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 2. Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota
masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan menjadi ahli agama.
3. Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, informal dan nonformal.
4. Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera dan bentuk lain yang sejenis.
5. Ketentuan mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1,2,,3 dan 4 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Tantangan utama yang dihadapi para ahli dan praktisi pendidikan Islam dalam hal pengintegrasian madrasah ke dalam Sistem Pendidikan Nasional adalah menghapuskan dikotomi ilmu umum dan ilmu agama. Ilmu harus dipandang sebagai identitas tunggal yang telah mengalami perkembangan dalam sejarah. Perkembangan ilmu dalam sejarah menunjukkan bahwa setiap peradaban manusia termasuk peradaban Islam telah memberi sumbangannya sendiri. Integrasi madrasah ke dalam Sistem Pendidikan Nasional menemukan bentuknya dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) yang dilansir pemerintah pada tahun 1989. Melalui UUSPN, madrasah mengalami perubahan definisi, dari sekolah agama menjadi sekolah umum berciri khas Islam. Perubahan definisi ini penting artinya, karena dengan demikian berarti madrasah tidak hanya mendapat legitimasi sepenuhnya sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional. Oleh karena itu, UUSPN ini disambut dengan antusias oleh Depag, sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap madrasah dan lembaga
pendidikan Islam pada umumnya.
Akan tetapi, perubahan definisi itu selanjutnya menuntut ada perubahan kurikulum. Karena madrasah tidak lagi sekolah agama, maka kurikulumnya harus didominasi oleh mata pelajaran umum. Tahun 1994 bisa jadi merupakan satu periode penting dalam perkembangan madrasah di Indonesia. Pada tahun itu, Depag telah menetapkan
(3)
berlakunya kurikulum baru yang kemudian dikenal dengan kurikulum 1994 yang mensyaratkan pelaksanaan sepenuhnya kurikulum sekolah umum di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Berbeda dengan kurikulum sebelumnya bahwa madrasah memberikan 70 % mata pelajaran umum dan 30 % mata pelajaran agama Islam, pada kurikulum 1994 madrasah diwajibkan menyelenggarakan sepenuhnya 100 % mata pelajaran umum sebagaimana diberikan di sekolah-sekolah umum di bawah Depdikbud. Sekilas nampak memang bahwa yang paling menonjol dari kurikulum 1994 adalah penghapusan 30 % mata pelajaran agama yang diajarkan sejak pemberlakuan kurikulum 1975. Namun bila dilihat lebih jauh, istilah penghapusan tersebut tentu tidak bisa dilihat semata-mata sebagai meniadakan mata pelajaran di madrasah. Hal yang berlangsung pada dasarnya lebih merupakan perumusan kembali pemberian mata pelajaran madrasah. Ajaran-ajaran Islam tidak lagi diberikan dalam bentuk mata pelajaran formal. melainkan diintegrasikan secara penuh dalam mata pelajaran umum. Hal ini setidaknya bisa dilihat dari upaya Depag belakangan ini menyusun buku panduan guru mata pelajaran umum yang bernuansa Islam. Diharapkan, beberapa mata pelajaran umum diberikan di madrasah dengan tetap mempertahankan nuansa Islam. Dengan kurikulum 1994, dualisme ilmu agama dan ilmu umum di madrasah berusaha dihilangkan. Madrasah diharapkan menyelenggarakan pelajaran yang terintegrasi sepenuhnya dengan mata pelajaran umum. Namun, dilihat dari sisi manapun,
pendidikan Islam
memiliki peran dalam konteks pendidikan nasional. Hanya saja harus pula dimaklumi dan dipahami jika hingga hari ini secara kelembagaan pendidikan Islam kerap menempati posisi kedua dalam banyak situasi. Sebagai misal, jurusan yang menawarkan pendidikan Islam kurang banyak peminatnya, jika dibandingkan dengan jurusan lain yang dianggap memiliki orientasi masa depan yang lebih baik. Dalam hal pengembangan kelembagaan akan pula terlihat betapa program studi/sekolah yang berada di bawah pengelolaan dan pengawasan Departemen Agama tidak selalu yang terjadi di bawah pembinaan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), bahkan harus dengan tertatih untuk menyesuaikan dengan yang terjadi di sekolah-sekolah umum tersebut. Meski disadari betapa pentingnya posisi pendidikan Islam dalam konteks pendidikan nasional. Namun, harus pula diakui hingga saat ini posisi pendidikan Islam belum beranjak dari sekadar sebuah subsistem dari sistem besar pendidikan nasional. Barangkali itulah yang menjadikan Ahmadi dalam pidato
(4)
pengukuhan guru besarnya menyatakan posisi pendidikan Islam hanya sekadar suplemen.(Dalam Rozihan).
D. Berbagai Sistem Dalam Kehidupan Yang Mempengaruhi Sistem Pendidikan Islam
Sebagai suatu sistem, pendidikan Islam berada di tengah berbagai sistem yang ada dalam kehidupan manusia. Sistem tersebut mempengaruhi kualitas dan keberhasilan pendidikan Islam yang secara faktual tidak bisa, dilepaskan dari sistem kehidupan itu sendiri karena pendidikan merupakan sub sistem dari sistem kehidupan manusia secara makro.
Selanjutnya, sistem pendidikan Islam, yang selama ini diidentikkan dengan sistem pesantren dan madrasah, dalam perkembangannya dipengaruhi oleh berbagai sistem yang terdapat dalam kehidupan baik sistem sosial-budaya, ekonomi, politik dan sebagainya.
A.Sistem Ekonomi
Sistem ekonomi merupakan aturan-aturan untuk menyelenggarakan kebutuhan hidup manusia dalam rumah tangga, baik dalam rumah tangga rakyat (volkshuishouding) maupun rumah tangga Negara (staatshuishouding).
Sistem ekonomi sangat erat kaitannya dengan kehidupan manusia karena menyangkut kebutuhan pokok manusia, yang meliputi pangan, sandang, dan papan serta kebutuhan lainnya. Sistem ekonomi berkembang seiring dengan perkembangan kehidupan manusia dan menjadi corak sebuah masyarakat yang menganutnya.
Pendidikan dan Ekonomi merupakan sistem yang mempunyai pengaruh timbal balik, saling mengait dan menunjang karena di suatu segi institusi pendidikan mampu menghasilkan tenaga kerja dan membentuk manusia-manusia yang sanggup membangun ekonomi masyarakat dan negara. Sebaliknya ekonomi merupakan tulang punggung kehidupan bangsa yang menentukan maju-mundurnya, lemah-kuatnya, lambat-cepatnya suatu proses pembudayaan bangsa yang merupakan salah satu fungsi pendidikan.
Ketersediaan alat-alat pendidikan baik yang tergolong pada perangkat keras seperti gedung sekolah, perpustakaan, laboratorium, alat peraga dan perlengkapan belajar lainnya, maupun perangkat lunak pengelolaan kurikulum , metode-metode mengajar administrasi pendidikan tidak bisa lepas dari pendanaan. Artinya tanpa dana pendidikan yang berkualitas sangat sulit dilaksanakan.
(5)
Hal tersebut di atas bisa terjadi karena aktivitas ekonomi dalam Islam, pada masa itu mencapai puncaknya karena sistem ekonomi yang dilaksanakan oleh pemerintah adalah sistem ekonomi Islam yang menuntut keberadaan Allah SWT semata-mata.
B. Sistem Politik
Sistem merupakan pola hubungan masyarakat yang dibentuk berdasarkan keputusan-keputusan yang sah dan dilaksanakan dalam masyarakat itu. Sistem politik dibedakan dari sistem lain oleh empat ciri khas, pertama, daya jangkau yang universal, meliputi semua anggota, kedua, kontrol mutlak atas kekerasan fisik, ketiga, hak memuat keputusan-keputusan yang mengikat dan diterima sebagai absah, dan keempat, keputusannya bersifat otoritatif, artinya mengandung daya pengabsah dan kerelaan yang besar.
Pengaruh politik terhadap pendidikan Islam adalah adanya kebijakan pemerintahan suatu negara yang memberikan perhatian serta dukungan, baik moral maupun materil, untuk terlaksananya pendidikan Islam. Keadaan seperti ini akan memberi pengaruh yang sangat besar untuk keberhasilan pendidikan Islam. Apabila suatu negara mengalami keguncangan politiknya, atau dipimpin oleh orang yang anti terhadap Islam, maka mustahil pendidikan Islam akan mampu menjalankan perannya secara baik.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa sisten politik yang berlaku pada suatu negara cukup basar pengaruhnya terhadap pelaksanaan sistem pendidikan Islam, baik terhadap kurikulum dan materi pelajaran dan pengadaan guru maupun kebijakan lain yang menyangkut identitas seuah lembaga pendidikan Islam.
C. Sistem Sosial Budaya
Dalam perkembangan pendidikan Islam di Indonesia kita bisa melihat betapa besarnya pengaruh sosial budaya terhadap pendidikan Islam. Pada masa dahulu pesantren banyak dipengaruhi oleh masyarakat tradisional yang identik dengan pola pikir tradisionalnya juga beranggapan bahwa yang dikatakan Islam itu adalah membaca Al-Qur’an dan ilmu agama semata masyarakat perkotaan yang identik dengan pola pikir modern cenderung menyekolahkan anaknya ke sekolah umum. Seiring dengan perkembangan zaman, orientasi tersebut telah berubah. Masyarakat berkembang saat ini tidak hanya membutuhkan pendidikan agama dalam makna sempit, tetapi pendidikan agama yang komprehensif karena tuntutan zaman demikian pesat dan kompetitif. Hal ini ditandai dengan munculnya pesantren terpadu atau modern yang tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga sains dan teknologi. Sebaliknya masyarakat modern
(6)
tidak hanya memutuhkan pendidikan sains dan teknologi, tetapi juga pendidikan keimanan, ibadah dan akhlak karena semakin intensnya terjadi kemerosotan akhlak di kalangan anak-anak mereka karena aruh gloalisasi.