sahabat Muaz Ibn Jabal ke negeri Yaman dengan tujuan sebagai guru. Rihlah Ilmiyah ini juga memiliki fungsi dalam peradaban intelektual Islam klasik.
C. Metode Pendidikan Islam Pada Masa Rosulullah
Awal dari pendidikan yang dijalankan oleh Nabi Muhammad SAW adalah tatkala beliau menerima perintah dari Allah SWT untuk menyeru kepada-Nya, sebagaimana
terdapat dalam Al-Qur’an Surat Al Mudatsir 1-7 yang artinya : “Hai orang yang berselimut, bangun, dan beri ingatlah. Hendalah engkau besarkan
Tuhanmu dan bersihkanlah pakaianmu, tinggalkanlah perbuatan dosa, dan janganlah engkau memberi dengan maksud memperoleh balasan yang lebih banyak dan untuk
memenuhi perintah Tuhanmu bersabarlah”.
Dengan turunnya perintah itu, mulailah Rasulullah berdakwah. Mulanya beliau melakukannya secara diam-diam di lingkungan keluarganya sendiri. Pertama beliau
mengajak isterinya, Khadijah untuk beriman dan menerima petunjuk – petunjuk Allah SWT, kemudian diikuti oleh sepupunya Ali bin Abi Talib, dan Zaid bin haritsah dari
kalangan budak. Lalu beliau mulai menyeru kepada sahabatnya yaitu Abu Bakar. Dan secara berangsur – angsur ajakan tersebut disampaikan secara lebih meluas, tetapi masih
dikalangan keluarga dekat dari suku quraiys saja. Ajakan rasulullah antara lain untuk mempercayai Allah YME, tidak syirik, berakhlak mulia, dapat dipercaya, jujur, sekaligus
berilmu. Setelah beberapa lama dakwah tersebut dilaksanakan secara individual turunlah perintah agar nabi menjalankan dakwah secara terbuka.
Dalam memberikan dakwah atau pendidikannya Nabi Muhammad menggunakan beberapa metode, diantaranya:
1. Metode Graduasi Al Tadarruj Metode graduasi atau penahapan merupakan metode alqur’an dalam
membina masyarakat, baik dalam melenyapkan kepercayaan dan tradisi jahiliyah maupun yang lain. Demikian pula dalam menanamkan aqidah, al qur’an juga
menggunakan metode graduasi ini. Oleh sebab al qur’an diturunkan kepada rasul secara berangsur-angsur bertahap, maka tidak heran juga ketika nabi
menerapkan konsep tersebut dalam penyampaian pendidikannya. 2. Metode Levelisasi
Penyampaian materi pelajaran yang dilakukan Nabi Muhammad SAW sering berbeda antara orang satu dengan orang yang lain. Hal ini beliau lakukan, karena
beliau sangat memperhatikan level-level atau peringkat dan kemampuan kecerdasan intelektual seseorang dalam menangkap sebuah pelajaran. Demikian
dilakuakan dengan tujuan agar materi yang disampaikan beliau benar-benar bias diterima oleh peserta didik. Terkadang Rasulullah berbicara tidak hanya
memperhatikan tingkat kecerdasan seseorang saja, melainkan juga memperhatikan kecerdasan emosionalnya.
3. Metode Variasi Al-Tanwi’ Wa Al-Taghyir Untuk menghindari kejenuhan atau kebosanan para peserta didik, Nabi
Muhammad SAW membuat variasi waktu dalam memberikan pelajaran kepada para sahabat.
Tidak hanya bervariasi dalam hal waktu, beliau juga memberikan variasi- variasi dalam penyampaian materi pelajaran. Karena yang beliau ajarkan adlah
wahyu dari Allah SAW yang pada saat itu sedang dalam proses diturunkan. Oleh sebab materi yang dikirimkan lewat wahyu itu bervariasi, maka secara otomatis
pendidikan yang diajarkan Rasulullah bervariasi. Menurut Prof. Dr. Muhammad ‘Ajjal al Khatib, metode variasi ini, baik digunakan dalam materi pelajaran
manapun .
4. Metode Keteladanan Al Uswah wa Al Qudwah Ketika Rasulullah Muhammad SAW memberikan sebuah materi yang
berkaitan pola perilaku atau tingkah laku yang berkaitan dengan aplikasi dalam kehidupan sehari-hari, sebelum beliau menyampaikan kepada peserta didik,
terlebih dahulu beliau melakukannya dalam perbuatan sehari-hari. Dengan hal demikian, maka peserta didik akan lebih cepat memahami ajaran Rasulullah.
Selain itu, dalam Al Qur’an juga telah disebutkab bahwa: “sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasulullah suatu suri tauladan
yang baik”. Qs. Al-Ahzab: 21 5. Metode Aplikatif At Tatbiqi Wa Al ‘Amali
Apabila Rasulullah sudah memberikan teladan-teladan dalam ajaran-ajaran yang beliau sampaikan kepada peserta didik, maka pada gilirannya peserta
didikpun langsung mempraktikan dan mengaplikasikan ajaran – ajaran itu dalam kehidupan sehari – hari. Pendidikan Nabi Muhammad SAW tidak sekedar
menyampaikan materi pelajaran saja, melainkan juga langsung diamalkan.
6. Metode Pengulangan Al Taqrir Wa Al Muraja’ah Metode pengulangan menjadi salah satu metode yang digunakan beliau,
karena dianggap perlu dan penting untuk dilakukan khususnya dalam materi pelajaran yang penting-penting.
7. Metode Evaluasi Al-Taqyim Sebuah metode yang digunakan oleh Rasul dalam penyampaian materi
pelarannya, dimana beliau tidak hanya berhenti setelah sudah memberikan materi kepada peserta didik, akan tetapi beliau juga melakukan sebuah tindakan
monitoring dan evaluating. Dalam hal ini, beliau mengawasi dan mengevaluasi mereka. Apabila terdapat kekeliruan, maka neliau langsung mengoreksinya. Oleh
karena kekeliruan tersebut bisa diketahui langsung oleh beliau dan terkadang diketahui lewat laporan dari seseorang sahabat.
8. Metode Dialog Al-Hiwar Metode pendidikan Rasulullah selanjutnya adalah Al Hiwar yaitu dialog,
Tanya jawab. Dalam hal ini rasul, berperan sebagai penanya dan pendialog. Sementara peserta didiknya yang diajak dialog. Dengan metode ini, beliau
membentuk peserta untuk melakukan perubahan yaitu dari tidak tahu menjadi mengetahui, kemudian dan memahami, dan yang selanjutnya sampai ke posisi
meyakini. Metode ini banyak mewarnai system pendidikan Islam pada masa Rasulullah SAW.
9. Metode Analogi Al-Qiyas Penerapan metode ini dalam pendidikan Rasul, disini beliau seringkali
menyebutkan ungkapan-ungkapan dalam mengajarkan agama Islam kepada peserta didik.
10. Metode Cerita Metode ini dikemas dengan cara bercerita. Untuk menanamkan ajaran-
ajaran Islam kepada peserta didik, Rasul seringkali menuturkan kisah orang – orang terdahulu.
D. Metode Pendidikan Islam Pada Masa Klasik a. Pendidikan Islam Masa Khulafa Al-Rasyidin [632-661 M12-41 H]
Sistem pendidikan islam pada masa khulafa al-rasyidin di lakukan secara mandiri, tidak dikelola oleh pemerintah, kecuali pada masa khalifah umar ibn khattab yang turut
campur dalam menambahkan kurikulum di lembaga kuttab. Para sahabat yang memiliki pengetahuan keagamaan membuka majelis pendidikan masing-masing, sehingga pada
masa abu bakar misalnya, lembaga pendidikan kuttab mencapai tingkatan kemajuan yang berarti. Kemajuan lembaga kuttab ini terjadi ketika masyarakat muslim telah
menaklukkan beberapa daerah dan menjalin kontak dengan bangsa-bangsa yang telah maju. Lembaga pendidikan ini sangat penting sehingga para ulama’ berpendapat bahwa
mengajarkan al-qur’an merupakan fardlu kifayah Menurut mahmud yunus, ketika peserta didik selesai mengikuti pendidikan di
kuttab mereka melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yakni di masjid. Di masjid ini, ada dua tingkatan, yaitu tingkat mengengah dan tingkat tinggi. Yang
membedakan diantarapendidikan itu adalah kualitas gurunya. Pusat-pusat pendidikan pada masa khulafa al-rasyidin tidak hanya di madinah,
tetapi juga menyebar di berbagai kota, seperti makah dan madinah hijaz, kota bashrah dan kufah irak, kota damsyik dan palestina syam, dan kota fistat mesir. Di pusat-
pusat daerah inilah pendidikan islam berkembang secara cepat. Materi pendidikan yang di ajarkan pada masa Khalifah Al-Rasyidin sebelum
masa Umar Ibn Khattab w. 32 H.644 M untuk Kuttab adalah: a Belajar membaca dan menulis
b Membaca al-qur’an dan menghafal c Belajar tentang pokok-pokok ajaran islam.
Ketika Umar Ibn Khattab di angkat menjadi khalifah, ia menginstruksikan kepada penduduk kota agar anak-anak di ajarkan Berenang, Mengendarai onta, Memanah dan
Membaca dan menghafal syair-syair yang mudah dan peribahasa. Sedangkan materi pendidikan tingkat menengah dan tinggi terdiri dari:
a Al-qur’andan tafsirnya b Hadits dan mengumpulkannya
c Fiqih Tasyri Ilmu-ilmu yang dianggap duniawi dan ilmu filsafat belum di kenal sehingga pada
masa itu tidak ada, dan lebih di fokuskan pada pemahaman al-qur’an dan hadits secara literal.
b.
Pendidikan Islam Masa Dinasti Umayyah [41-132 H.661-750 M]
Pendidikan islam pada masa dinasti Umayyah ini hampir sama dengan pendidikan pada masa khulafa al-rasyidin, hanya saja ada sisi perbedaan dan
perkembangan sendiri. Perhatian para raja di bidang pendidikan agaknya kurang memperlihatkan perkembangan yang maksimal, sehingga pendidikan berjalan tidak di
atur oleh pemerintah, tetapi oleh para ulama’ yang memiliki pengetahuan yang mendalam. Kebijakan-kebijakan pendidikan yang di keluarkan oleh pemerintah hampir
tidak di temukan. Jadi, sistem pendidikan islam ketika itu masih berjalan secara alamiah.
Karena kondisi ketika itu di warnai oleh kepentingan-kepentingan politis dan golongan, di dunia pendidikan, terutama di dunia sastra, sangat rentan dengan
identitasnya masing-masing. Sastra arab, baik dalam bidang syair, pidato khitabah dan seni prosa, mulai menunjukkan kebangkitannya. Para raja mempersiapkan tempat balai-
balai pertemuan penuh hiasan yang indah dan hanya dapat di masuki oleh kalangan sastrawan dan ulama’-ulama’ terkemuka.
Pada zaman ini, dapat disaksikan adanya gerakan penerjemahan ilmu-ilmu dari bahasa lain kedalam bahasa arab, tetapi penterjemahan itu sebatas pada ilmu-ilmu yang
mempunyai kepentingan praktis, seperti ilmu kimia, kedokteran, falak, tatalaksana dan seni bangunan. Pada masa ini juga masih menyelenggarakan ilmu-ilmu yang di
letakkan pada masa sebelumnya, seperti ilmu tafsir. Bersamaan dengan itu, kemajuan yang diraih delam dunia pendidikan pada saat
itu adalah di kembangkannya ilmu nahwu yang di gunakan untuk memberi tanda baca, pencetakan kaidah-kaidah bahasa dan periwayatan bahasa. Terjadi perbedaan mengenai
penyusunan ilmu nahwu, tetapi disiplin ilmi ini menjadi ciri kemajuan tersendiri pada masa ini.
Hadits dan ilmu hadits mendapat perhatian secara serius, pentingnya periwayatan hadits sehingga dapat di pertanggung jawabkan baik secara ilmiah maupun secara
moral mendapat perhatian luas. Namun keberhasilan yang di raihnya adalah semangat untuk mencari hadits, belum mencapai pada tahap kodifikasi.
Di bidang ilmu fiqih, secara garis besar dapat di bedakan menjadi dua kelompok, yaitu aliran ahli Al-Ra’y dan ahl Al-Hadits. Kelompok aliran pertama mengembangkan
hukum islam dengan menggunakan analogi, bila terjadi masalah yang di tentukan hukumnya. Aliran kedua, ahl Al-Hadits, lebih berpegang pada dalil-dalil secara literal,
bahkan aliran ini tidak akan memberikan fatwa jiaka tidak ada ayat Al-Qur’an atau hadits yang menerangkannya.
Diantara jasa dinasti Umayyah dalam bidang pendidikan menurut hasan langgulung adalah menekankan ciri ilmiah pada masjid sehingga menjadi pusat
perkembangan ilmu perguruan tinggi dalam masyarakat Islam.
c.
Pendidikan Islam Masa Dinasti Abbasiyah [132-656 H750-1258 M]
Charles Michael Stanton berkesipulan bahwa sepanjang masa Klasik Islam, penentuan sistem dan kurikulum pendidikan berada di tangan ulama’, kelompok orang-
orang yang berpengetahuan dan di terima sebagai otoritatif dalam soal-soal agama dan hukum, bukan di tentukan oleh struktur kekuasaan yang berkuasa.
Menurut Hasan Abd Al-‘Al, seorang ahli pendidikan islam alumni Universitas Thantha, dalam tesisnya menyebutkan tujuh lembaga pendidikan yang telah berdiri
pada masa abbasiyah ini, terutama pada abad ke-4 hijriah. Ketujuh lembaga itu adalah: a Lembaga pendidikandasar Al-Kuttab
b Lembaga pendidikan masjid Al-Masjid c Kedai pedagang kitab Al-Bawanit Al-Waraqin
d Tempat tinggal para sarjana Manazil Al-‘Ulama e Sanggar seni dan sastra Al-Shalunat Al-Adabiyah
f Perpustakaan Dawr Al-Kutub Wa Dawr Al-‘Ilm g Lembaga pendidikan sekolah Al-Madrasah
Semua institusi itu memiliki karakteristik tersendiri dan kajiannya masing- masing. Sungguhpun demikian, secara umum, seluruh lembaga pendidikan itu dapat di
klasifikasikan menjadi tiga tingkatan.
Pertama, tingkat rendah yang terdiri dari kuttab, rumah, toko, pasar, serta istana. Kedua, tingkat sekolah menengah yang mencakup masjid, sanggar seni, dan ilmu
pengetahuan, sebagai lanjutan pelajaran di kuttab.
Ketiga, tingkat perguruan tinggi yang meliputi masjid, madrasah dan
perpustakaan, seperti Bait Al-Hikmah di baghdad dan Dar Al-‘Ulum di kairo.
Pada tingkat rendah kurikulum yang di ajarkan meliputi membaca al-qur’an dan menghafalnya, pokok-pokok agama islam, menilis, membaca dan menghafal syair,
berhitung dan pokok-pokok nahwu dan sharaf alakadarnya. Pada jenjang menengah di sediakan pelajaran-pelajaran Al-Qur’an, Bahasa Arab
Dan Kesusastraan, Fiqih, Tafsir, Hadits, NahwuSharafBalaghah, Ilmu-Ilmu Eksakta, Mantiq, Falak, Tarikh, Ilmu-Ilmu Kealaman, Kedokteran, Dan Musik. Dan metode
pengajarannya di sesuaikan dengan materi yang bersangkutan.
Jenjang pendidikan tingkat tinggi memiliki perbedaan di masing-masing lembaga pendidikan. Namun, secara umum lembaga pendidikan tingkat tinggi mempunyai dua
fakultas, pertama, fakultas ilmu-ilmu agama serta bahasa dan sastra arab. Kedua, fakultas ilmu-ilmu Hikmah Filsafat. Semua mata pelajaran di ajarkan di perguruan
tinggi dan belum diadakan spesialisasi mata pelajaran tertentu. Menurut Hasan Abd Al-‘Al metode pendidikan yang dilakukan pada jenjang
tingkat tinggi ini meliputi Metode-Metode sebagai berikut: a
Metode Ceramah Al-Muhadlarah : guru menyampaikan materi kepada semua mahasiswa dengan di ulang-ulang sehingga mahasiswa hafal terhadap apa yang
dikatakannya. Dan pada metode ini terbagi menjadi dua cara, yaitu metode Dikte Al-Imla’ dan metode Pengajuan Kepada Guru Al-Qiraat ‘Ala Al Syaikj Aw Al-
Ardl b
Metode Diskusi Al-Munadzarah : Di gunakan untuk menguji argumentasi- argumentasi yang di ajukan sehingga dapat teruji.
c Metode Koresponden Jarak Jauh Al-Ta’lim Bi Al-Murasilah : merupakan salah
satu metode yang di gunakan oleh para mahasiswa yang menanyakan suatu masalah kepada guru yang jauh secara tertulis, lalu guru itu memberikan
jawabannya secara tertulis pula. d
Metode Rihlah ilmiah : metode ini dilakukan oleh para mahasiswa baik secara pribadi maupun secara kelompok dengan cara menandatangi guru di rumahnya
untuk berdiskusi tentang suatu topik. Dan guru yang di datangi biasanya adalah guru yang dianggap memiliki keahlian dalam bidangnya.
SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM
A. Pengertian Sejarah Pendidikan Islam