Kewenangan Pengelolaan Sektor Pertambangan di level Propinsi

salah satu sumber pemasok devisa negara adalah bersumber dari pertambangan. Selain memperhitungkan jumlah pemasukan negara dari sektor pertambangan juga perlu untuk kemudian melihat dampak yang ditimbulkan dari kegiatan pertambangan terhadap lingkungan dan ekosistem yang ada disekitarnya. Operasionalisasi pertambangan dengan berbagai jenisnya pada suatu lingkungan pada akhirnya akan membawa dampak pada ketidakseimbangan lingkungan sebagai imbas pengelolaan lingkungan itu sendiri. Dalam kondisi tersebut peran pemerintah sebagai kontrol untuk menjaga kesinambungan sumber daya alam di daerahnya perlu untuk dihadirkan demi keberlanjutan pembangunan itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri bahwa sektor pertambangan khususnya ; mineral, gas, minyak dan batubara merupakan energi yang tidak terbarukan. Sehingga mekanisme pengelolaan sumber daya tersebut perlu untuk secara ketat diberlakukan sehingga dapat dinikmati oleh generasi penerus. Kewenangan yang dimiliki oleh masing level pemerintahan menjadi kunci utama dalam mengefektifkan berbagai aktifitas. Hal ini tidak terkecuali pada pemerintahan level propinsi untuk dapat mengelola dan mensinergikan berbagai persoalan pertambangan yang ada di Propinsi Kalimantan Timur.

a. Kewenangan Pengelolaan Sektor Pertambangan di level Propinsi

Ditetapkannya Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah membawa pengaruh pada penyelenggaraan pemerintahan bidang pertambangan, Hal ini terutama pada pergeseran urusan bidang pertambangan yang semula hanya pada galian golongan C, kemudian mengarah pada semua kewenangan 52 pertambangan yang ada di daerah untuk diselesaikan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang ada di daerah. Implementasi pasal-pasal UU No. 32 Tahun 2004 tentang kewenangan pengelolaan sektor pertambangan di daerah membawa ketimpangan pada level propinsi. Besarnya kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah kabupatenkota dalam menerbitkan dan mengelola berbagai permasalahan pertambangan ternyata tidak sejalan dengan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah propinsi. Hal ini berpengaruh pada posisi tawar dari pemerintah propinsi terhadap pengelolaan sektor pertambangan tersebut. Kewenangan pengelolaan sektor pertambangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah, pemerintahan daerah propinsi, dan pemerintah daerah kabupatenkota dalam bidang energi dan sumber daya mineral mineral, batu bara, panas bumi, dan air meliputi ; a. Pembuatan peraturan perundang-undangan daerah propinsi bidang mineral, batu bara, panas bumi dan air tanah. b. Penyusunan data dan informasi usaha pertambangan mineral dan batu bara serta panas bumi lintas kabupaten kota. c. Pemberian izin usaha pertambangan mineral, batu bara dan panas bumi pada wilayah lintas kabupatenkota dan paling jauh 12 dua belas mil laut diukur dari garis pantai kearah laut lepas danatau kearah perairan kepulauan. d. Pemberian izin usaha pertambangan mineral, dan batu bara untuk operasi produksi yang berdampak lingkungan langsung lintas kabupaten kota dengan paling jauh 12 dua belas mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas 53 dan atau ke arah perairan kepulauan. e. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha pertambangan mineral, batu bara dan panas bumi pada wilayah lintas kabupatenkota dan paling jauh 12 dua belas mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas danatau ke arah perairan kepulauan. f. Pemberian izin badan usaha jasa pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi dalam rangka PMA dan PDMN lintas kabupatenkota. g. Pengelolaan, pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha jasa pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi dalam rangka penanaman modal lintas kabupatenkota. h. Pembinaan dan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan pertambangan termasuk reklamasi lahan pasca tambang, konservasi dan peningkatan nilai tambah terhadap usaha pertambangan mineral, batu bara dan panas bumi, pada wilayah lintas kebupatenkota atau yang berdampak regional. i. Pembinaan dan pengawasan penguasahaan KP lintas kabupatenkota, j. Pembinaan dan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan pertambangan termasuk reklamasi lahan pasca tambang, konsevasi dan peningkatan nilai tambah terhadap KP lintas kabupatenkota. k. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha pertambangan mineral, dan batubara untuk operasi produksi, serta panas bumi yang berdampak lingkungan langsung lintas kabupatenkota, l. Pengelolaan data dan informasi mineral, batu bara, panas bumi dan air tanah serta pengusahaan dan SIG wilayah kerja pertambangan di wilayah propinsi. m. Penetapan potensi panas bumi dan air tanah serta neraca sumber daya dan cadangan mineral dan batubara di wilayah propinsi. serta n. Pengangkatan dan pembinaan inspektur tambang serta pembinaan jabatan fungsional propinsi. 54 Dalam UU Minerba setidaknya ada enam hal yang perubahan yang diatur terkait dengan penggunaan kewenangan negara terhadap pengelolaan tambang dan energi Endi Jaweng, 2009. Pertama, menguatnya hak kuasa negara terhadap sumber daya alam, yang dilaksanakan pemerintah lewat otoritas mengatur dan mengawas pengelolaan usaha tambang. Untuk itu UU Minerba memulai dengan perubahan rezim kontrak menjadi perizinan. Disini terjadi reposisi peran negara yang sebagai pemegang kuasa dan tidak lagi hanya sekedar pada posisi tawar lemah dimana negara sejajar dengan para pemodal dengan kekuatan kontrak yang mereka miliki untuk mengeksplorasi sektor pertambangan. Kedua, wilayah pertambangan WP menjadi dasar pemberian ijin. Pusat menetapkan wilayah pertambangan dan semua perijinan di daerah wajib disesuaikan dengan poerwilayahan tersebut. Pemerintah daerah diharapkan akan lebih terukur dalam memberi ijin. Perwilayahan ijin tersebut juga disinkronkan dengan tata ruang nasional agar menjamin kepastian berusaha tanpa dihantui lagi dengan perubahn fungsi lahan menjadi kawasan konservasi, taman nasional, hutan lindung yang kesemuanya akan mengganggu proses kerja dari wilayah pertambangan yang telah keluar ijin kerjanya. Ketiga, Prosedur dan bentuk perijinan yang lebih sederhana. Hal ini dapat kita lihat bahwa sebelum dikeluarkannya UU Minerba jenis ijin Kuasa Pertambangan KP adalah 6 jenis dan dengan undang-undang baru ini lebih ringkas dengan 2 jenis saja yakni eksplorasi dan produksi. Para pelaku usaha domestik maupun asing juga berkesempatan sama dalam memproses perijinan karena adanya mekanisme lelang 55 terbuka wilayah usaha. Hal yang perlu untuk menjadi perhatian dalam penyelenggaraan hal ini adalah lama tenggang waktu usaha yang dimiliki oleh suatu kuasa pertambangan sehingga dapat disinergikan antara pengelolaan dengan upaya revitalisasi lahannya. Keempat, kewajiban pengolahanpemurnian didalam negeri. Hingga kini, industri tambang kita masih baru dengan tingkat pengolahan yang sangat terbatas. Sebagaian besar hasil pertambangan batubara dan mineral yang ada hanya ditambang dan proses berikutnya semua dikerjakan di luar. Hal ini mengakibatkan nilai jual bahan tambang yang dihasilkan jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai pertambangan yang telah diekstraksi terlebih dahulu sebelum dilemparkan kepasaran. Hal ini tentunya akan menimbulkan multiplier effects kepada masyarakat yang ada disekitanya. Selain itu, kebijakan perijinan yang harus bersifat terintegrasi dengan pertimbangan kapasiatas investor dalam pengolahan dan pemurnian. Kelima, Rasionalisasi fungsi jasa pertambangan yang tidak boleh lagi terlibat pada kerja operasional seperti eksploitasi dan penambangan. Ini diharapkan dapat mengatasi paraktik sleeping owners. Pemegang ijin cuma mengurus eksplorasi dan pemasaran, sementara kegiatan inti diserahkan pada jasa bantuan. Kebijakan ini mensyaratkan kontrol kuat pemerintah agar tidak terjadi manipulasi dalam praktiknya dilapangan. Keenam, ketentuan peralihan yang menjamin keberlangsungan kontrak karya dan izin sebelumnya yang jelas menunjukkan komitmen dari negara kepada apa yang telah di buat meskipun hal juga tetap harus diperhatikan dan ditinjau dalam 56 implementasinya dilapangan. Hal ini tetap harus disinergikan dalam penyelenggaraan kegiatan pengolahan pertambangan dalam era otonomi daerah. Jenis kewenangan yang dimiliki pemerintahan pada level propinsi menempatkan posisi tawar propinsi dalam pengelolaan sektor pertambangan begitu lemah, sementara tuntutan globalisasi mengarahkan pada peningkatan peran propinsi yang tidak hanya pada bidang adminsitatif tetapi pada semua lini yang terkait dengan penyelenggaraan dan pengelolaan sektor pertambangan.

b. Kendala-Kendala Yang dihadapi dalam Pengelolaan Sektor Pertambangan Pada level Propinsi