Otonomi Daerah dan Pengelolaan Hutan Kalimantan Timur

pengelolaan hutan tahun 2009. Setidaknya telah terjadi perubahan kondisi hutan yang sangat berbeda antara tahun 2005 dengan tahun 2009.

c. Otonomi Daerah dan Pengelolaan Hutan Kalimantan Timur

Otonomi daerah pada hakekatnya memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengurus rumah tangganya atas prakarsa sendiri. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bermakna memberikan kewenangan yang luas kepada pemerintah daerah dalam mengelola pemerintahan, yang salah satunya adalah dalam pengelolaan hutan. Menurut UU No. 41 tahun 1999, pengelolaan hutan meliputi kegiatan penyelenggaraan, perencanaan kehutanan, pengelolaan hutan, penelitin dan pengembangan, pendidikan dan latihan, penyuluhan kehutanan dan pengawasan. Dengan semangat desentralisasi, seyogyanya desentralisasi pengelolaan hutan pada tataran implementasi seharusnya berdampak positif terhadap menimalisasi kerusakan hutan dan pelibatan secara aktif masyarakat dalam pengelolaan hutan. Akan tetapi fakta berkata lain, penerapan kebijakan desentralisasi kehutanan yang dilakukan selama ini ternyata justru malah memunculkan permasalahan yang baru yang sangat bertolak belakang dengan harapan awal desentralisasi kehutanan, misalnya laju kerusakan semakin meningkat, kesejahteraan masyarakat tidak kunjung membaik. Salah satu penyebabnya adalah konsep rancang penetapan kebijakan desentralisasi kehutanan belum diikuti dengan penetapan rancang bangun pembagian atau pendelegasian wewenang yang jelas antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah Nugraha dan Murjito, 2005. 38 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 pada Bab III pasal 13 menyebutkan bahwa terdapat dua kewenangan pemerintah daerah provinsi yang berskala provinsi yakni urusan wajib dan urusan pilihan. urusan pilihan yang meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Khusus provinsi Kalimantan Timur, potensi unggulan daerahnya adalah hutan. Bagi provinsi Kalimantan Timur dengan kawasan hutan seluas 14,65 juta hektar, hutan merupakan potensi unggulan daerah dan menjadi sumber utama dalam pembiayaan pembangunan. Dari luas tersebut, sebagian besar merupakan hutan produksi yang dikelola oleh pengusaha hutan. Melalui pengusaha hutan ini, eksploitasi hutan dilakukan secara maksimal untuk memacu peningkatan pendapatan asli daerah PAD sebagai konsekuensi dari otonomi daerah yang menjadikan hutan sebagai sumber pendapatan daerah. Berdasarkan laporan dari Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur 2009, bahwa terdapat berbagai permasalahan selama ini ada terkait dengan pengelolaan hutan, yakni banyaknya tumpang tindih overlap lahan untuk keperluan yang berbeda, misalnya adanya lahan yang memiliki izin penggunaan ganda untuk keperluan industri kehutanan, pertambangan, dan perkebunan. Kesimpangsiuran ini terjadi karena belum ditetapkannya Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi RTRWP dalam bentuk Peraturan Daerah, padahal payung hukum ini sangat diperlukan untuk 39 menghindari penyalahgunaan penggunaan izin oleh pihak swasta dalam mengelola hutan. Mengacu pada Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang mengatur tentang pembagian kewenangan dan tanggung jawab antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupatenkota dalam melakukan pengelolaan kawasan hutan, sudah seharusnya menciptakan sinergi yang kuat dan dilandasi oleh semangat keterbukaan, kebersamaan, dan kemitraan untuk menghindari tumpang tindih kebijakan dalam pengelolaan suatu kawasan hutan. Hal ini penting mengingat hutan sebagai salah satu sumberdaya alam perlu dijaga kelestariannya. Dalam era otonomi daerah, pemerintah provinsi Kalimantan Timur melalui Dinas Kehutanan mempunyai tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan hutan Kalimantan Timur pada level provinsi dengan segala perangkat yang dimiliki agar hutan dapat memberikan kontribusi besar dalam meningkatkan perekonomian daerah. Pemanfaatan sumberdaya hutan secara optimal dengan melibatkan unsur dunia usaha dan masyarakat menjadi keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar untuk menghindari munculnya konflik antara pemerintah dengan masyarakat. Masyarakat sebagai salah satu stakeholders harus dilibatkan agar kesalahan yang terjadi dimasa lalu ketika sentralisasi pengelolaan hutan tidak terulang lagi. Penyelenggaraan pembangunan kehutanan pada era desentralisasi kehutanan diharapkan mengarah pada upaya bersama untuk mewujudkan pengelolaan hutan secara lestari dan peningkatn kesejahteraan masyarakat yang menjadi tujuan utama 40 pembangunan kehutanan. Kebijakan, sasaran, dan tujuan pembangunan kehutanan harus terimplementasi secara optimal melalui kesepahaman, koordinasi dan harmonisasi antara pemerintah Pusat, pemerintah Provinsi, dan pemerintah KabupatenKota. Dalam pelaksanaan desentralisasi kehutanan, setiap wilayah tertentu mempunyai permasalahan yang berbeda sesuai dengan karakteristik sumber daya hutan serta keterbatasan yang dihadapi. Dengan desentralisasi pengelolaan hutan, pusat harus menyerahkan kewenangan kepada provinsi sebagai koreksi atas kebijakan sentralisasi pengelolaan hutan yang dahulu menjadi sumber masalah. Ketidakrelaan pusat untuk melibatkan provinsi dalam pengelolaan hutan, faktanya telah membuat hutan semakin terdegradasi dan kehilangan fungsi dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Untuk itu dibutuhkan itikad baik antara pemerintah pusat dan provinsi Kalimantan Timur dalam implementasi kebijakan yang telah dilimpahkan ke daerah terkait dengan pengelolaan hutan. Dengan demikian, pertanyaan yang muncul kemudian bahwa apakah dengan kewenangan yang diserahkan ke provinsi tersebut benar-benar menjadi sebuah solusi dari persoalan klasik yang selama ini ada atau malah justru memunculkan permasalahan baru? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, menarik untuk dikaji mengenai kebijakan yang diserahkan oleh pusat ke provinsi. Salah satu contoh, Peraturan Pemerintah PP No. 2 Tahun 2008 yang memberikan keleluasaan pinjam pakai kawasan hutan lindung yang ada di wilayah provinsi, pada kenyataannya justru memunculkan persoalan baru, karena dengan terbitnya PP ini justru berdampak pada 41 meningkatnya konversi hutan untuk kepentingan lain perkebunan kelapa sawit. Dari contoh kasus ini, dapat dilihat bahwa PP No. 2 Tahun 2008 pada tataran implementasi di lapangan mengalami ketidaksesuaian dengan tujuan awal pembuatan PP tersebut. Gambaran singkat di atas menunjukkan bahwa pada tataran implementasi kebijakan, masih terdapat masalah yang membutuhkan koordinasi intensif antara pemerintah pusat dan pemerintah provinsi agar tidak terjadi misinterpretasi. Persamaan persepsi sebelum sebuah kebijakan diimplementasikan sangat penting dilakukan untuk menghindari ketidakakuratan sasaran. Persepsi yang sama secara otomatis akan memudahkan sosialisasi dan implementasi kebijakan. Dalam rangka melaksanakan amanah tersebut, sudah barang tentu diperlukan sebuah kewenangan yang jelas agar pengelolaan dapat berjalan sebagaimana mestinya. Kewenangan yang dimaksud adalah pelimpahan sebagian wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi untuk melakukan pengelolaan hutan. Pemberian kewenangan ini seharusnya dengan peraturan perundang-undangan yang kemudian menjadi payung hukum dalam mengatur batas kewenangan antara pusat dan daerah, sehingga tidak terjadi tumpang tindih kewenangan yang dapat berakibat pada inefisiensi pengelolaan. Payung hukum pelaksanaan kewenangan ini mutlak diperlukan oleh pemerintah daerah provinsi sebagai landasan dalam mengelola dan memanfaatkan hutan yang ada di wilayahnya, mulai dari perencanaan hingga perlindungan hutan dan konservasi alam. 42 Meski telah ada Undang-Undang tentang penataan ruang yang mengatur tentang pembagian kewenangan dan tanggung jawab antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupatenkota dalam melakukan pengelolaan kawasan hutan yakni UU No. 26 Tahun 2007, namun pada kenyataannya belum menjadi solusi terbaik atas persoalan yang sering muncul ke permukaan terkait dengan pengelolaan hutan ini. Masih seringnya terjadi tumpang tindih overlap penggunaan lahan untuk keperluan yang berbeda, misalnya adanya lahan yang memiliki izin penggunaan ganda untuk keperluan industri kehutanan, pertambangan, dan perkebunan dan saling klaim antara pusat dan daerah merupakan sebuah indikator belum terlaksananya UU ini. Fenomena ini menunjukkan bahwa belum ada sinergi positif antara pusat dan daerah terkait dengan kewenangan pengelolaan hutan. Berikut ini akan diuraikan contoh kasus bagaimana kewenangan pengelolaan hutan di Kalimantan Timur :

1. Kewenangan Provinsi dalam Pengelolaan Hutan