Kendala Yang Dihadapi Upaya Yang Perlu Dilakukan

2. Kendala Yang Dihadapi

Salah satu kendala yang mengemuka dalam penelitian terkait dengan kewenangan pengelolaan hutan pada level provinsi karena dimasukkannya pengelolaan hutan pada urusan pilihan seperti yang tercantum dalam UU No. 322004 pasal 13 yang menyebutkan bahwa urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Untuk Kalimantan Timur, kekhasan dan potensi unggulan daerah yang dimiliki salah satunya adalah hutan. Selain itu, PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah KabupatenKota pasal 6 ayat 4 yang menyebutkan bahwa urusan pilihan yang dimaksud salah satunya adalah kehutanan. Pengelolaan hutan Kalimantan Timur yang masuk urusan pilihan ini kemudian mengakibatkan tidak maksimalnya sinergi antara pusat dan daerah dalam pengelolaan hutan. Minimya kewenangan yang diserahkan kepada provinsi menjadi kendala tersendiri karena kreatifitas yang seharusnya muncul dari wilayah di mana hutan itu dikelola menjadi tidak ada.

3. Upaya Yang Perlu Dilakukan

Untuk mengatasi persoalan kurangnya kewenangan provinsi dalam pengelolaan hutan adalah dengan melakukan perubahan penekanan dari urusan pilihan menjadi urusan wajib. Dengan perubahan ini, provinsi menjadi lebih berdaya 46 dan memiliki peran penting. Namun yang perlu diperhatikan ketika urusan pilihan diubah menjadi urusan wajib ini adalah provinsi perlu mengembangkan konsep yang jelas tentang perencanaan, pengelolaan, dan perlindungan hutan melalui suatu kajian pengelolaan kawasan hutan agar dapat menjadi acuan bagi pusat dan daerah dalam melakukan sinergi pengelolaan hutan. Bukan hanya kabupatenkota,, provinsi harus diberi ruang yang luas untuk mengembangkan kreatifitas dan kreasi. Dengan menjadi urusan wajib akan terjadi perubahan perspektif terhadap pengelolaan hutan. Dengan perubahan perspektif ini, desentralisasi pengelolaan hutan betul-betul akan memberi manfaat kepada semua pihak, khususnya masyarakat yang bermukim di sekitar hutan. Meski demikian, bukan hal yang mudah untuk melakukan perubahan pilihan karena biasanya ketika ada hal baru yang muncul, kesulitannya adalah bagaimana menerjemahkan konsep tersebut ke dalam program teknis di lapangan, yang kemudian disinkronkan dengan praktek yang selama ini berjalan. Pemerintah pusat harus berbesar hati untuk menyerahkan urusan kepada provinsi dan tidak lagi setengah-setengah untuk menghindari konflik conflik of interest antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Keterbatasan pemerintah propinsi dalam mengelola dan mengembangkan sector kehutanan menyebabkan munculnya berbagai perspektif yang negative dari masyarakat akan posisi pemerintah propinsi untuk sector kehutanan. Dari sudut pandang politik, pentingnya kejelasan pemberian wewenang kepada daerah oleh pemerintah pusat dalam pengelolaan hutan di era otonomi daerah adalah wujud dari konsep distribusi kekuasaan distribution of power untuk 47 menghindari penyalahgunaan kekuasaan abuse of power oleh pusat sebagai akibat dari penumpukan kekuasaan yang dimiliki. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam upaya pengelolaan sector kehutanan di Propinsi Kalimantan Timur perlu adanya berbagai tindakan yang responsive dari pemerintah daerah yang disinergikan dengan program nasional dalam upaya pengelolaan sector kehutanan. Perbaikan dalam sector kehutanan meliputi ; 1. Perlunya perubahan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang menempatkan pemerintah pusat sebagai pusat kebijakan dalam pengelolaan hutan. Seiring dengan semangat otonomi daerah, desentralisasi pengelolaan hutan semestinya menempatkan pemerintah daerah provinsi sebagai salah satu pihak yang menentukan dalam perumusan kebijakan tentang pengelolaan kawasan hutan yang ada di wilayahnya. Dengan demikian, istilah provinsi sebagai pihak yang hanya pemberi “stempel” terhadap pengelolaan hutan dapat lebih berdaya. Selain itu, ketika provinsi didudukan sebagai pihak yang memiliki tanggung jawab besar terhadap pengelolaan hutan, maka secara otomatis pengawasan terhadap ekploitasi hutan dapat lebih maksimal, tidak lagi saling lempar antara pusat dan daerh provinsi apabila terjadi pemasalahan terkait dengan pengelolaan hutan. 2. Urusan pengelolaan hutan seharusnya menjadi urusan wajib, bukan lagi urusan pilihan sebagaimana yang tercantum dalam UU No. 322004. Menempatkan hutan sebagai urusan wajib akan berimplikasi pada keseriusan pemerintah dalam 48 membuat regulasi sebagai payung hukum pengelolaan hutan dengan tidak mengesampigkan kearifan lokal masyarakat di sekitar hutan. 3. Pengelolaan hutan pada level provinsi dan pengelolaan non kehutanan pada level kabupatenkota. Pemerintah provinsi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah sudah semestinya diberi kewenangan yang luas untuk mengurus urusan pusat yang ada di wilayahnya. Terkait dengan pengelolaan hutan, provinsi perlu menunjukkan eksistensinya sebagai pihak yang memiliki tanggung jawab bagi kelestarian hutan, Untuk kawasan non kehutanan, kabupatenkota memiliki kewenangan yang besar dalam pengelolaannya. 4. Pengelolaan hutan harus melibatkan komunitas masyarakat lokaladat. Dalam konteks desentralisasi pengelolaan hutan, menjadi sebuah keharusan bagi pemerintah untuk memberdayakan masyarakat dalam penentuan kebijakan tentang pengelolaan hutan. Hal ini penting mengingat pelibatan masyarakat secara langsung dapat menjaga hutan tetap lestari. Masyarakat lokaladat akan memposisikan hutan sebagai sumber kehidupan, sehingga melakukan perusakan hutan berarti akan merusak tatanan hidup yang telah ada. Selain itu, dengan pengelolan hutan yang menempatkan masyarakat sebagai pihak subyek, diharapkan terjadi peningkatan kesejahteraan hidup bagi masyarakat.

2. Pengelolaan Sumber Daya Alam Bidang Pertambangan