Meski telah ada Undang-Undang tentang penataan ruang yang mengatur tentang pembagian kewenangan dan tanggung jawab antara pemerintah pusat,
pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupatenkota dalam melakukan pengelolaan kawasan hutan yakni UU No. 26 Tahun 2007, namun pada kenyataannya belum
menjadi solusi terbaik atas persoalan yang sering muncul ke permukaan terkait dengan pengelolaan hutan ini. Masih seringnya terjadi tumpang tindih overlap
penggunaan lahan untuk keperluan yang berbeda, misalnya adanya lahan yang memiliki izin penggunaan ganda untuk keperluan industri kehutanan, pertambangan,
dan perkebunan dan saling klaim antara pusat dan daerah merupakan sebuah indikator belum terlaksananya UU ini. Fenomena ini menunjukkan bahwa belum ada
sinergi positif antara pusat dan daerah terkait dengan kewenangan pengelolaan hutan. Berikut ini akan diuraikan contoh kasus bagaimana kewenangan pengelolaan
hutan di Kalimantan Timur :
1. Kewenangan Provinsi dalam Pengelolaan Hutan
PP No. 38 Tahun 2007 dalam bagian umum penjelasannya menyebutkan bahwa Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan
antara Pemerintah dengan Pemerintahan Daerah. Urusan pemerintahan terdiri dari urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dan urusan
pemerintahan yang dikelola secara bersama antar tingkatan dan susunan pemerintahan atau konkuren.
Dalam kasus Kalimantan Timur, berdasarkan data yang diperoleh dari pelaksanaan Focus Group Discussion FGD tentang Otonomi Daerah dan
43
Pengelolaan Sumberdaya Alam Kalimantan Timur yang diselenggarakan pada tanggal 28 Juli 2009 di Universitas Mulawarman Samarinda, terungkap bahwa belum
ada aturan PP yang mengatur tentang penyerahan sebagian kewenangan penyelenggaraan kehutanan oleh pusat kepada pemerintah daerah provinsi
Kalimantan Timur sebagai amanat dari pasal 66 UU Kehutanan No. 411999. Kewenangan yang ada hanya sebatas kewenangan administrasi yang dilaksanakan
oleh Dinas Kehutanan Provinsi. Provinsi lebih banyak bertindak sebagai pemberi rekomendasi ketimbang pemberi ijin dalam setiap kegiatan pengelolaan hutan.
Akibatnya, provinsi menjadi pihak yang “tidak berdaya” atas hutan yang ada di wilayahnya.
Salah satu contoh ketiadaan kewenangan provinsi bila ditinjau dari kawasan budidaya hutan yang telah ditetapkan oleh menteri kehutanan tentang Kawasan
Budidaya Non Kehutanan KBNK dalam penempatan posisi pertambangan dan perkebunan. Kewenangan diserahkan kepada kabupaten bupati dan kota walikota,
sedangkan posisi provinsi dalam hal ini tidak muncul. Besarnya kewenangan kabupatenkota ini berimplikasi pada lemahnya kekuatan provinsi. Kewenangan
provinsi hanya sebatas administratif rekomendasi dan penyelesaian konflik yang terjadi berkaitan dengan pengelolaan hutan, misalnya konflik antar daerah
kabupatenkota dan konflik antara daerah dengan masyarakat lokal. Jika terkait dengan penggunaan anggaran pengelolaan, pusat dan kabupatenkota memiliki
kewenangan yang besar. Kewenangan ini merupakan konsekuensi logis dari
44
penerapan otonomi daerah yang menitikberatkan pada daerah kabupaten dan kota dengan segala kekhasan yang dimiliki.
Selama ini ada kesan bahwa pusat terkesan menyerahkan kepalanya tetapi ekornya dipegang. Idealnya penyerahaan wewenang juga harus disertai dengan
kejelasan tugas-tugas yang dilimpahkan agar pihak yang dilimpahi wewenang jelas arahnya. Namun yang perlu diperhatikan dalam memberikan tugas-tugas kepada
daerah, yakni kemampuan daerah, khususnya yang menyangkut sumberdaya manusia dan keuangan daerah. Beberapa studi menyatakan bahwa salah satu kendala yang
dihadapi dalam desentralisasi kehutanan adalah ketersediaan SDM di daerah. Menghadapi kenyataan ini diperlukan pembinaan dan mekanisme pelimpahan
wewenang secara bertahap, sampai daerah betul-betul mampu menjalankan kewenangan yang dilimpahkan secara mandiri.
Kata kuncinya menurut Dinas Kehutanan provinsi Kalimantan Timur dalam FGD adalah kewenangan provinsi dalam pengelolaan hutan hanya sebatas pada
kewenangan administratif, misalnya melakukan kajian tentang suatu kawasan hutan dan mengambil bagian dalam hal subsidi pendanaan, sedangkan kewenangan
kabupatenkota sampai kepada hal teknis, seperti pemberian ijin, misalnya dalam hal HPL dan KBNK yang memberikan ijin adalah bupati dan walikota. Provinsi dalam
hal ini tidak muncul. Kewenangan propinsi dalam hal pengelolaan sector kehutanan merupakan fakta bahwa fungsi administrative yang dimiliki oleh propinsi dalam
perngelolaan sector kehutanan perlu untuk ditinjau kembali.
45
2. Kendala Yang Dihadapi