BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Kekuatan desentralisasi dan otonomi daerah pada dasarnya akan terlihat dari keberhasilan pemerintah daerah dalam mengelola dan mengembangkan
potensi yang ada daerah dengan tetap menjaga keseimbangan dan kelestarian dari sumber daya tersebut. Kemandirian lokal yang selama ini didengunkan
oleh berbagai kalangan tidak justru menjadi suatu bumerang bagi pemerintah daerah untuk kemudian serta merta mengelola dan memanfaatkan potensi yang
dimiliki tanpa adanya peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Pelimpahan kewenangan yang telah diberikan oleh pemerintah pusat
seharusnya dinilai sebagai suatu kesempatan untuk mengembangkan kemampuan daerah dengan mengoptimalkan berbagai potensi yang ada di
daerah. Hal ini tentunya tidak terlepas dari persoalan pengelolaan sumber daya alam SDA.
Pembahasan mengenai pengelolaan sumber daya alam tidak bisa lepas dari pembahasan mengenai kewenangan pengelolaan, yang dalam hal ini diatur
oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah UUPD. Dalam UUPD Pasal 17 disebutkan bahwa pemerintahan daerah
dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan Pemerintah dan dengan pemerintahan daerah lainnya, yang salah satunya
14
adalah hubungan dalam pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya. Hubungan tersebut menimbulkan hubungan administrasi dan
kewilayahan antar susunan pemerintahan. Lebih lanjut disebutkan bahwa hubungan dalam bidang pemanfaatan
sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara Pemerintah dan pemerintahan daerah meliputi:
a. Kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan,
pengendalian dampak, budidaya, dan pelestarian; b.
Bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya; dan
c. Penyerasian lingkungan dan tata ruang serta rehabilitasi lahan.
Sementara itu hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antar pemerintahan daerah meliputi:
a. Pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya
yang menjadi kewenangan daerah; b.
Kerja sama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antarpemerintahan daerah; dan
c. Pengelolaan perizinan bersama dalam pemanfaatan sumber daya alam
dan sumber daya lainnya.
15
Penyelenggaraan pemerintahan yang baik dalam pengelolaan lingkungan hudip khususnya sumber daya alam menuntut kerjasama dan
kemitraan yang saling percaya antara semua stakeholders pemerintahan. Untuk itu, pentingnya transparansi dan keterbukaan diantara berbagai unsur yang
terlibat dalam pengelolaan sumber daya alam tersebut. Kontrol terhadap pemerintah yang mengambil dan menjalankan berbagai kebijakan publik baik
yang terkait secara langsung dengan pengelolaan sumber daya alam, maupun lingkungan hidup secara umum.
Lay 2007 menyatakan bahwa lingkungan memiliki karakteristik
khas yang idealnya dapat dijadikan titik rujuk bagi politik sebagai instrumen pengaturan kepentingan bersama. Tiga karakteristik lingkungan tersebut dapat
diidentifikasi sebagai berikut : pertama, watak lingkungan sebagai sebuah kesatuan sistem melintasi sekat-sekat administrasi pemerintahan dan politik.
Sifat lingkungan tidak pernah setia dan tidak dapat dipagari oleh batas-batas administrasi pemerintahan apapun pola aturannya. Demikian pula tidak peduli
dan tidak akan pernah peduli pada perjuangan mendapatkan otonomi sebagai sebuah konsep dan gerakan politik yang telah diperjuangkan sangat panjang
oleh cukup banyak daerah di berbagai kawasan dunia. Seberapapun besarpun otonomi diberikan kepada sebuah daerah tidak akan mampu membendung
sekat-sekat dari lingkungan tersebut. Dari karakteristik tersebut, secara
16
hipotetik dapat menjadi struktur insentif penting bagi pengembangan kerjasama lintas daerah yang tentunya memerlukan peran dari pemerintahan
pada level propinsi. Kedua, lingkungan melekat didalamnya kepentingan paling subyektif
dari manusia sebagai mahluk, terlepas dari ruang politik dan bebas dari perjalanan waktu. Setiap individu, membutuhkan lingkungan sebagai ruang
kebutuhan hari ini yang tidak dapat ditunda pemenuhannya dan sekaligus sebagai ruang kebutuhan masa depan yang tidak dapat dipercepat. Lingkungan
adalah ruangan kita sebagai mahluk manusia bukan saja sebagai ruang hari ini, tetapi sekaligus sebagai ruang masa depan diri dan anak keturunan kita. Dalam
konteks ini, lingkungan memiliki variabel makna mulai dari posisinya sebagai ruang ekonomi, ruang kultural, bahkan samapai pada ruang dalam makna
fisikalnya. Ketiga, Daya menghukum lingkungan yang timbul sebagai akibat dari
pengabaian manusia manusia atas lingkungan punya sifat yang sangat khas, yakni indiskriminatif. Berbagai bencana dan kenaasaan yang timbul silih
berganti sebagai akibat logis dari kealfaan kita memperlakukan lingkungan secara wajar akan melanda siapa saja tanpa memperdulikan kelas sosial,
kekayaan, asal-usul suku, agama dan berbagai kategori pembeda manusia lainnya. Daya menghukum lingkungan, dengannya sebanding dengfan watak
17
dari daya menghukum tindakan terorisme yang tagetnya bersifat indiskriminatif ; siapa saja bisa menjadi korban.
Khusus dalam kaitan dengan otonomi daerah, harapan untuk mengembangkan dan mengelola potensi sumber daya alam yang ada oleh
pemerintah daerah menjadi begitu besar. Apakah realitas membenarkan hal itu atau tidak, itu sangat bergantung pada banyak faktor lainnya. Keraf 2006
menyatakan bahwa secara konseptual otonomi daerah akan lebih menguntungkan bagi pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Hal ini dapat dilihat dari empat variabel dalam penyelenggaraan otonomi daerah.
Pertama, dengan mendekatkan pengambilan kebijakan dan keputusan publikdekat dengan rakyat di daerah, kebijakan dan keputusan publik tersebut
diandaikan akan lebih sesuai dengan kenyataan di lapangan mengenai kondisi lingkungan hidupnya. Asumsinya, sulit dipahami bahwa kebijakan dan
keputusan publik itu bertentangan dengan kenyataan mengenai kondisi sumber daya alam di daerah.
Kedua, ada kontrol lebih langsung dan lebih cepat, bahkan lebih murah, dari masyarakat dan berbagai kelompok kepentingan di daerah. Kontrol
yang memungkinkan pemerintah daerah menggunakan kewenangannya demi kepentingan masyarakat. Dengan demikian diasumsikan bahwa kebijakan dan
18
keputusan dibidang pengelolaan sumber daya alam akan lebih mengakomodasi kenyataan di lapangan.
Ketiga, dengan otonomi daerah, kepentingan masyarakat lokal yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup,
khususnya masyarakat adat akan lebih bisa diperhatikan dan diakomodasi. Asumsinya, para pengambil keputusan dan kebijakan publik adalah orang-
orang yang mengenal masyarakatnya sehingga kepentingan mereka lebih bisa diperhatikan dan diakomodasi.
Keempat, nasib setiap daerah ditentukan oleh daerah itu sendiri. Maka masa depan daerah itu juga menjadi tanggung jawab pemerintah dan
masyarakat setempat. Dalam kaitan dengan itu, pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup harus menjadi salah satu faktor penting yang harus
dipertimbangkan secara serius dalam setiap perencanaan pembangunan di daerah tersebut. Ada asumsi cukup kuat bahwa pemerintah daerah dan
masyarakat setempat- tidak seperti pemerintah pusat sebelumnya, akan sangat serius mengantisipasi setiap kemungkinan yang terkait dengan sumber daya
alam dan lingkungan hidup. Pengelolaan sumber daya alam tidak dapat dipisahkan dari
pengelompokan SDA itu sendiri. Barlow dalam Suparmoko, 2006 mengelompokkan SDA menjadi tiga kelompok yaitu : 1. Sumber daya alam
19
yang tak dapat pulih atau tak dapat diperbaharui, 2. Sumber daya alam yang dapat pulih atau dapat diperbaharui, dan 3. Sumber daya alam yang dapat
mempunyai sifat gabungan antara yang dapat diperbaharui dan tidak dapat diperbaharui. Pengelompokkan sumber daya alam secara langsung
memberikan gambaran mengenai bentuk kebijakan yang sesuai agar kesinambungan dari sumber daya alam tersebut dapat tetap terjaga.
20
BAB III METODE PENELITIAN