mana wilayah hutan tersebut berada. Hal ini diperparah dengan kekeliruan pusat dalam menetapkan kebijakan dan regulasi bidang kehutanan yang cenderung tidak
melibatkan daerah dalam penyusunan rencana dan penetapan regulasi. Seiring dengan transformasi format ketatanegaraan dari sentralistik ke arah
desentralistik yang dilandasi oleh semangat demokrasi dan otonomi daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka secara otomatis desentralisasi pengelolaan
hutan menjadi sangat penting adanya. Desentralisasi merupakan upaya pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah provinsi dan
kabupatenkota. Desentralisasi pengelolaan hutan ini diharapkan menjadi jembatan bagi penyelesaian konflik kepentingan yang sering muncul antara pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah dan pemerintah dengan masyarakat lokal.
a. Pengelolaan Hutan Kalimantan Timur
Kalimantan Timur memiliki luas wilayah 24,5 juta hektar dengan luas hutan 14,5 juta hektar yang terdiri atas kawasan hutan budidaya kawasan budidaya
kehutanan dan kawasan budidaya non kehutanan, kawasan konservasi cagar alam,hutan penelitian, taman nasional, hutan lindung, dan hutan produksi. Selain itu
terdapat pula hutan mangrove seluas 883.379 hektar yang tersebar di 10 kabupatenkota yang memiliki pesisir Bappeda Kaltim, 2009.
Dengan kawasan hutan yang luas ini, maka desentralisasi pengelolaan hutan seharusnya menjadi prioritas utama dalam program pembangunan Kehutanan
provinsi Kalimantan Timur. Disadari atau tidak, pemerintah provinsi Kalimantan Timur memiliki peran yang sangat strategis dalam rangka pengelolaan hutan.
33
Pemerintah provinsi sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah dituntut untuk mampu menerjemahkan dan mengimplementasikan kebijakan pemerintah pusat
terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam. Untuk itu dituntut upaya serius dari birokrasi pemerintah tidak hanya sebagai
pelaksana, tetapi juga sekaligus sebagai perumus kebijakan Santoso, 2003. Pemerintah provinsi memiliki tanggung jawab besar dalam melakukan mengelolaan
hutan yang sebesar-besarnya bagi kepentingan masyarakat Kalimantan Timur. Untuk memaksimalkan peran tersebut, sudah seharusnya pemerintah provinsi membuat
program pengelolaan hutan dengan mempertimbangkan aspek-aspek yang terkait dengan optimalisasi pemanfaatan hutan.
b. RTRWP Kalimantan Timur
Mengacu pada arah pengelolaan sumber daya alam, pengelolaan kawasan hutan di wilayah provinsi Kalimatan Timur pada prinsipnya harus memperhatikan
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi RTRWP. RTRWP merupakan salah satu instrumen yang memberi arahan kepada birokrasi pemerintah untuk melakukan
penentuan peruntukan ruang secara tepat dan harus menjadi acuan utama dalam pengelolaan sumberdaya alam agar tidak terjadi tumpang tindih overlap dalam
implementasi kebijakan antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupatenkota.
Hal ini terjadi karena masih adanya ketidakjelasan definisi kewenangan
administratif dan pemahaman yang belum sama antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupatenkota terhadap desentralisasi yang pada gilirannya cenderung
34
menghambat efektifitas pelaksanaan pembangunan kehutanan daerah. Di sisi lain, kewenangan bagi bupati dan walikota untuk mengeluarkan izin telah memberikan
kontribusi yang signifikan terhadap upaya daerah-daerah untuk meningkatkan PAD. Keterpaduan kebijakan antara pemerintah provinsi dengan pemerintah
kabupatenkota dalam pengelolaan hutan mutlak diperlukan, mengingat tidak semua hak pengelolaan hanya dimiliki oleh pemerintah provinsi. Ada beberapa pengelolaan
hutan yang justru diserahkan kepada pemerintah kabupatenkota yang menempatkan pemerintah provinsi hanya sebagai pemberi stempel atau pihak yang menyetujui.
Salah satu problem yang dihadapi oleh provinsi Kalimantan Timur era otonomi daerah sekarang ini dalam pengelolaan kawasan hutan adalah sampai
sekarang belum memiliki RTRWP terbaru, padahal RTRWP Kalimantan Timur tersebut diharapkan menjadi acuan dalam pengelolaan wilayah provinsi, pada
kenyataannya belum disahkan oleh Menteri Kehutanan karena faktor kurangnya sinergi antara pemerintah provinsi dengan 12 wakil Kalimantan Timur yang ada di
senayan anggota DPR dan DPD dalam hal transparansi pembahasan RTRWP di tingkat provinsi. Salah seorang anggota DPD RI asal Kalimantan Timur, Luther
Kombong menilai bahwa kondisi ini pada akhirnya akan berimplikasi pada terhambatnya investasi di Kalimantan Timur Tribun Kaltim, 11 Januari 2010. Jika
ini terjadi, maka sudah dapat dipastikan tingkat kepercayaan investor terhadap Kalimantan Timur akan menipis.
Belum ditetapkannya RTRWP baru bagi provinsi Kalimantan Timur secara otomatis menjadi kendala besar, mengingat RTRWP ini akan diejawantahkan dalam
35
bentuk Peraturan Daerah perda, yang mana perda ini sangat dibutuhkan sebagai payung hukum dalam menetapkan zona-zona kawasan pengelolaan hutan. Ironisnya,
acuan yang dipakai selama ini adalah RTRWP tahun 2005 yang ketika diurai lebih jauh akan sangat berbeda dengan kondisi hutan di tahun 2009 ini. Sebagai gambaran,
RTRWP tahun 2005 dapat dilihat pada tabel 1:
Tabel 4 Perubahan Fungsi Kawasan Hutan dalam RTRWP
Kalimantan Timur Tahun 2005 KAWASAN HUTAN
LUAS 1 2
KAWASAN LINDUNG Hutan Cagar Alam
Hutan Taman Nasional Hutan Lindung
Taman Hutan Rakyat TAHURA Hutan Penelitian Pendidikan
1.257.730,41 Ha 178.532,18 Ha
3.431.438,37 Ha 57.974,45 Ha
26.178,22 Ha
1 2 KAWASAN BUDIDAYA
Kawasan Budidaya Kehutanan KBK Kawasan Budidaya Non Kehutanan KBNK
KAWASAN STRATEGIS NASIONAL TUBUH AIR
7.661.042,99 Ha 6.513.145,10 Ha
424.516,12 Ha 145.324,68 Ha
Total 19.695.882,52 Ha
Sumber : BAPPEDA KALTIM, 2009
36
Terdapat dua kutub yang berbeda dalam menyikapi persoalan belum disahkannya RTRWP Kalimantan Timur oleh menteri Kehutanan. Bagi kalangan
eksekutif, RTRWP Kalimantan Timur yang berlarut-larut menjadi sebuah batu sandungan untuk melakukan pengelolaan hutan karena belum ada kepastian hukum
yang jelas mana saja lahan hutan budidaya, non-budidaya kehutanan, hutan produksi, kawasan lindung, dan hutan konservasi. Juga akan ada kepastian hukum wilayah
mana saja yang masuk dalam kawasan Tahura, Taman Nasional Kutai, dan hutan lindung lainnya.
Kalangan LSM melihat bahwa dengan disahkannya RTRWP secara otomatis akan membawa implikasi yang besar terhadap keseimbangan alam dan perlindungan
sisial-budaya komunitas lokal karena dalam pembuatan draft RTRWP, pemerintah provinsi tidak pernah melakukan penjaringan aspirasi publik, padahal di dalam pasal
60-66 UU No. 262007 diatur mengenai hak, kewajiban dan peran masyarakat dalam penataan ruang, dimana ditegaskan bahwa penyelenggaraan penataan ruang dilakukan
oleh pemerintah dengan melibatkan peran masyarakat, dimana peran tersebut antara lain melalui: a partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang; b partisipasi
dalam pemanfaatan ruang; dan c partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang. Dari kedua sudut pandang yang berbeda dalam menyikapi permasalahan
RTRWP provinsi Kalimantan Timur, dapat ditarik kesimpulan bahwa belum ada sinergi antara pemerintah provinsi dengan masyarakat. Keadaan ini pada akhirnya
menimbulkan ketidakpastian dalam pengelolaan hutan dengan asumsi bahwa bagaimana mungkin menggunakan RTRWP tahun 2005 untuk melakukan
37
pengelolaan hutan tahun 2009. Setidaknya telah terjadi perubahan kondisi hutan yang sangat berbeda antara tahun 2005 dengan tahun 2009.
c. Otonomi Daerah dan Pengelolaan Hutan Kalimantan Timur