59
2.8 Kondisi Kepenghuluan Bangko Lestari 2.8.1 Pemanfaatan Lahan
Pada umumnya, lahan yang terdapat di Kepenghuluan Bangko Lestari digunakan secara produktif dan hanya sedikit saja yang tidak dipergunakan. Hal
ini menunjukkan bahwa kawasan Kepenghuluan Bangko Lestari memiliki sumber daya alam yang memadai dan siap untuk diolah. Berikut ini luas lahan menurut
jenis penggunaannya:
No URAIAN
LUAS
1 Luas Wilayah
3600 Ha 2
Tanah Kering Ha
3 Tanah Basah
Ha 4
Hutan Rakyat Ha
5 Hutan Negara
Ha 6
Perkebunan Ha
7 Fasilitas Umum
Ha 8
Perumahan Ha
Tabel 2.5: Lahan di Desa Bangko Menurut Jenis Penggunaannya Sumber : Data Statistik Kantor Kepala Desa Bangko Lestari Tahun 2014
Di Desa Bangko Lestari, tanah basah ditanami sayur-sayuran seperti Bayam, Sawi, terong, cempoka, daun ubi dan juga ditanami tanaman tumpang sari
seperti kunyit, kencur, jahe, lengkuas dll. Kebanyakan yang memanfaatkan lahan basah tersebut adalah suku Melayu dan suku Batak. Kemudian tanah perkebunan
ditanami kelapa sawit rakyat dan pohon karet. Kebanyakan orang yang berkebun tersebut adalah orang Jawa karena perkebunan kelapa sawit dan karet lebih
Universitas Sumatera Utara
60
berkembang dikelola oleh orang Jawa pendatang seperti anggota dari grup reog Sri Karya Manunggal. Pemukiman penduduk berada di belakang area perkebunan
tersebut
.
2.9 Sistem Religi dan Kepercayaan
Agama Islam adalah agama mayoritas masyarakat Jawa selain Katolik, Kristen, Hindu, dan Budha serta aliran kepercayaan. Agama Islam yang dianut
masyarakat Jawa di Desa Bangko Lestari sudah dianut sejak mereka bermukim di Pulau Jawa, dan diteruskan ke daerah migrasi mereka di Riau. Seiring
perkembangan waktu agama Islam orang-orang Jawa yang ada di Riau ini berinteraksi juga dengan agama Islam yang dianut oleh masyarakat Melayu
sebagai etnik tempatan dan pendatang lainnya seperti Minangkabau dan Mandailing. Bagaimanapun walau mereka berbeda etnik, namun agama Islam
menjadi salah satu unsur integrasi sosioreligius antara etnik-etnik yang beragama Islam ini.
Dalam masyarakat Jawa tidak semua orang melakukan ibadahnya sesuai kriteria Islam. Ada tiga tipe kebudayaan orang Jawa yaitu abangan, santri, dan
priyai. Pembagian kedalam tiga varian ini, menurut Geertz, merupakan pembagian yang dibuat oleh orang-orang Jawa sendiri.
2.9.1 Tiga Varian Kebudayaan Jawa 2.9.1.1 Golongan Islam Abangan
Golongan Islam abangan ini percaya kepada ajaran Islam tetapi tidak secara patuh menjalankan rukun Islam. Tradisi keagamaan abangan, yang
Universitas Sumatera Utara
61
terutama sekali terdiri atas pesta keupacaraan yang disebut slametan, kepercayaan yang luas dan kompleks terhadap makhluk halus serta serangkaian teori dan
praktik pengobatan, sihir, serta magi, adalah subvarian pertama dalam sistem keagamaan umum orang Jawa.
Slametan adalah versi Jawa dari apa yang barangkali merupakan upacara
keagamaan paling umum di dunia, pesta komunal. Sama seperti di hampir semua tempat, ia melambangkan kesatuan mistik dan sosial dari mereka yang ikut serta
di dalamnnya. Slametan
dapat diadakan untuk merespon nyaris semua kejadian yang ingin diperingati, ditebus atau dikuduskan. Kelahiran, perkawinan, sihir,
kematian, pindah rumah, mimpi buruk, panen, ganti nama, membuka pabrik, sakit, memohon kepada arwah penjaga desa, khitanan dan permulaan suatu rapat
politik, semuanya bisa menyebabkan adanya slametan. Reog
identik dengan golongan abangan yang mempunyai kepercayaan terhadap makhluk-makhluk halus, lewat persembahan sesaji untuk dhanyangan
atau roh penunggu, penguasa, atau penjaga sebuah desa. Roh harimau dianggap sebagai roh yang paling kuat dalam menjaga keselamatan. Menurut F. Wilken,
kepercayaan manusia terhadap kekuatan roh hewan tersebut tidak lain disebabkan adanya ilmu penitisan. Roh-roh halus tadi dipersonifikasikan sebagai leluhur yang
dihormati diberi sesaji. Mahluk halus membuat masyarakat Desa Bangko Lestari mempercayai ada kekuatan lain diluar manusia sehingga dalam mengambil suatu
tindakan harus didahului dengan melakukan ritual-ritual, seperti ritual ruwatan rumah.
Universitas Sumatera Utara
62
Pada zaman modern yang serba canggih seperti sekarang ini masyarakat yang ada di desa Bangko Lestari masih mempertahankan budaya lokalnya.
Kesenian reog merupakan salah satu bukti bahwa masyarakat tersebut masih mempertahankan budaya lokalnya. Jika mereka ingin mengadakan acara
slametan, maka mereka ―menanggap‖ reog sebagai pelengkap hiburan dan juga
dipercaya membawa kebaik an bagi yang ―menanggapnya‖ agar terhindar dari hal-
hal yang buruk. Mayoritas penduduk desa Bangko Lestari adalah pemeluk agam Islam. Di
Desa Bangko Lestari ini terdapat beberapa tempat ibadah diantaranya: 7 buah Masjid, 5 buah musollah untuk agama Islam dan 3 buah gereja untuk agama
Nasrani. Meskipun penduduk desa Bangko Lestari sudah mengaku sebagai pemeluk agama Islam, namun mereka masih sering melakukan hal-hal lain diluar
ajaran agama Islamtersebut. Sampai saat ini mereka juga masih melakukan perbuatan tersebut, yaitu mereka masih saja percaya pada roh nenek moyang, hal-
hal gaib, seperti percaya pada makhluk halus penunggu tempat-tempat keramat. Mereka juga percaya bahwa makhluk gaib atau roh tersebut bisa dipelihara untuk
kepentingan seni daripada makhluk tersebut berkeliaran dan mengganggu manusia atau makhluk lainnya.
Pementasan tari rakyat yang terkait erat dengan spirit religiusitas senantiasa muncul dalam keikutsertaan berbagai ragam tari rakyat dalam berbagai
upacara-upacara adat serta berbagai upacara bertema slametan. Fakta yang turut menguatkan bahwa tari rakyat memiliki peran sebagai sarana upacara nampak
dalam keberadaan berbagai ragam jenis sajen yang selalu ditemukan dalam kamar ganti para penari. Terdapat berbagai bentuk serta ragam jenis sajen, mulai dari
Universitas Sumatera Utara
63
bentuk yang sederhana, hingga berisikan berbagai materi yang kompleks dan beraneka ragam. Berbagai ragam sajen tersebut, disamping memiliki sifat mistis
juga memiliki makna simbolik yang syarat dengan berbagai ajaran berharga warisan leluhur Alkaf, 2013
Grup kesenian reog ini sebelum melakukan pertunjukan terlebih dahulu mereka harus melakukan ritual terhadap roh nenek moyang, mereka membakar
kemenyan didepan topeng dhadhak merak dan menaburi kembang tujuh rupa dan
bunga kantil disekitar tempat pertunjukan sambil membacakan doa-doa. Hal ini mereka yakini akan dapat melancarkan jalannya pertunjukan, jika mereka tidak
melakukan hal itu maka pertunjukan tidak akan dapat berjalan dengan lancar dan para pemain barongan tidak mungkin bisa mengangkat topeng dhadhak merak
yang beratnya sekitar 50 kilogram hanya dengan gigitan tanpa melakukan ritual terlebih dahulu. Dan diyakini oleh mereka bahwa orang yang bisa memainkan
dhadhak merak tersebut hanya orang-orang tertentu dan tidak bisa sembarang orang yang memainkannya.
Bagi masyarakatJawa diDesa Bangko Lestari yang akan melakukan slametan hajatan
, sebelumnya mereka harus menentukan kapan hajat itu akan dilaksanakan. Jika ingin melakukan hajat terlebih dahulu tuanrumah biasanya
akan mengundang seorang ahli agama untuk menentukan hari baik menurut hitungan sistem kalender Jawa. Hal ini dilakukan untuk menghindari naas yaitu
hari yang dianggap tidak baik atau pantang. Jika hajat dilakukan bertepatan dengan geblak yaitu saat meninggalnya salah seorang keluarganya, maka hari
tersebut harus segera dihindari agar tidak ada kejadian buruk yang akan menimpa mereka.
Universitas Sumatera Utara
64
Bahwasanya kebanyakan penduduk desa Bangko Lestari masih ada yang mengenal kepercayaan yang bersifat dinamistis dan animistis, yang percaya
kepada adanya kekuatan gaib dan adanya roh arwah yang selanjutnya mereka personifikasikan sebagai roh leluhur atau juga sing sumare, yang maksudnya
mereka yang sudah tiada. Konsep leluhur ini selalu ada dalam alam pikiran mereka sebagai perintis atau pembuat adat yang sampai sekarang mereka ikuti,
sebab kalau tidak dipatuhi, bencana akan menimpa desa mereka. Pada umumnya masyarakat Jawa membedakan makhluk halus menjadi
dua macam, yaitu: makhluk halus yang berasal dari roh leluhur yang disebut dengan bahureksa dan makhluk halus sebagai roh pelindung yang disebut dengan
danyang, yaitu suatu kekuatan supranatural yang diyakini oleh masyarakat
pendukung sebagai pemimpin para jin atau roh halus yang dianggap sebagai penunggu dan penyelamat serta penjaga desa. Agar para makhluk halus tersebut
mau menuruti mereka maka pada waktu-waktu tertentu mereka harus menyediakan sesajen. Sesajen ini terdiri dari beberapa jenis makanan dan bunga-
bungaan berbagai rupa yang akan mereka letakan di tempat-tempat tertentu yang mereka anggap keramat. Pada waktu mereka memberikan sesajen harus disertai
dengan mantra-mantra ataupun doa-doa. Selain slametan dan kepercayaan kepada makhluk halus orang abangan
juga mengakui adanya pengobatan, sihir dan magi yang berpusat di sekitar peranan seorang dukun sekalipun dukun juga diakui digolongan santri dan
priyayi tapi tidak sebesar di golongan abangan. Dukun memiliki beberapa macam: dukun bayi, dukun pijet, dukun prewangan
medium, dukun calak tukang sunat, dukun wiwit
ahli upacara panen, dukun temanten ahli upacara perkawinan,
Universitas Sumatera Utara
65
dukun petungan ahli meramal dengan angka, dukun sihir, dukun susuk spesialis
mengobati dengan memasukkan jarum emas di bawah kulit, dukun jampi, dukun siwer
spesialis mencegah kesialan alami, seperti hujan, dukun tiban tabib dengan kekuatan hasil dari kerusakan roh.
Kesenian reog, bagi grup Sri Karya Manunggal ini selain seni, ia juga berfungsi sebagai praktik pengobatan. Maksudnya ialah bahwa Roh yang ada di
topeng Dhadhak Merak Gembong Bawono itu dipanggil untuk meminta pertolongan apa saja yang dibutuhkan. Bapak Tukijo Mbah Bolong selain ia
seniman, ia juga disebut sebagai ―orang pintar‖ di desa Bangko Lestari karena ia bisa mengobati orang yang sakit menjadi sembuh melalui pengobatannya.
Masyarakat tersebut masih mempercayai pengobatan Mbah Bolong sebagai alternatif mereka untuk penyembuhan. Penyakit yang disembuhkannya
kebanyakan dari penyakit buatan seperti guna-guna atau santetdan gangguan- gangguan dari makhluk halus yang bisa menyebabkan orang tersebut sakit.
Pengobatan ala ―orang pintar‖ biasanya menggunakan doa-doa yang mempunyai
makna tertentu. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Ebdi Irwanto sebagai berikut ini:
“Daripada roh-roh halus berkeliaran dan mengganggu manusia lebih baik kami pelihara supaya gak ganggu dan bisa
digunakan untuk kepentingan seni reog. Bisa juga kami gunakan untuk pengobatan. Kalo ada orang yang sakit trus
minta bantuan pengobatan dari kami ya kami bantu. Ya sakitnya itu biasanya dibuat sama orang. Gembong bawono
inilah yang selalu bantu kami untuk ngobatin orang sakit.
Pengobatan yang dilakukan Mbah Bolong bisa dari jarak jauh yaitu melalui telefon genggam. Pertama-tama Bapak Tukijo Mbah Bolongmembakar
kemenyan untukriual topengdhadhak merak lalu menghadap ia ke topeng dhadhak
Universitas Sumatera Utara
66
merak tersebut sambil membacakan baca-bacaannya kemudian orang yang di
telefon tersebut mengikuti perintah dari Mbah Bolong maka beberapa hari kemudian penyakit tersebut akan segera sembuh. Setiap pasien yang ditanganinya
tak jarang yang tidak sembuh, hampir semuanya sembuh sehingga Mbah Bolong seringkali dipanggil orang untuk berobat kepadanya atau bahkan orang itu datang
langsung ke rumah Mbah Bolong untuk berobat dengannya.
Gambar 2.1: Mbah Bolong Menghadap Topeng Dhadhak Merak
2.9.1.2Golongan Islam Santri
Islam yang lebih murni itu merupakan subtradisi yang disebut dengan santri.
Walaupun dengan cara yang umum dan luas, subvarian santri ini dipertautkan dengan elemen dagang orang Jawa, ia tidak hanya berlaku bagi
kalangan dagang saja. Demikian juga, tidak semua pedagang betul-betul merupakan pemeluk subvarian itu.
Ada elemen santri yang kuat di desa-desa. Mereka seringkali berada di bawah pimpinan para petani yang lebih kaya yang sudah mampu naik haji ke
Mekkah dan setelah kembali, mendirikan sekolah-sekolah agama. Tradisi
Universitas Sumatera Utara
67
keagamaan kalangan santri tidak hanya terdiri atas pelaksanaan ritual dasar Islam secara cermat dan teratur sembahyang, puasa, haji, tetapi juga mencakup seluruh
organisasi sosial, kedermawanan serta politik islam. Tradisi ini adalah subvarian kedua dari sistem keagamaan orang Jawa pada umumnya.
2.9.1.3 Golongan Islam Priyai
Istilah priyai mengacu kepada orang-orang dari kelas sosial tertentu, yang menurut hukum merupakan kaum elite tradisional: ia mengacu kepada orang-
orang yang menurut hukum dianggap berbeda dari rakyat biasa yang disebut wong widah, wong cilik
, atau bagi kaum mayoritas, wong tani. Elite pegawai kerah putih ini, yang ujung akarnya terletak pada keraton Hindu-Jawa sebelum masa
kolonial, memelihara serta mengembangkan etiket keraton yang sangat halus, sebuah seni tari, sandiwara, musik dan puisi, yang sangat kompleks dan mitisme
Hindu-Buddha. Mereka tidak menekankan elemen animistis dan sinkretisme Jawa yang serba melingkupi seperti kaum abangan, tetapi tidak pula menekankan
elemen Islam sebagaimana kaum santri, melainkan menitikberatkan pada elemen Hinduisme. Tiga titik utama kehidupan priyai adalah etiket, seni dan praktik
mistik. Di Desa Bangko Lestari masyarakat jawa tidak lagi mempertajam tiga
kategori masyarakat seperti yang ada di Jawa. Mereka merasa satu tingkat saja sama-sama orang Jawa, dan sekaligus beradaptasi dengan lingkungan di Riau. Di
antara mereka pun tidak ada yang menggunakan derajat-derajat sosial kebangsawanan seperti Raden, Raden Ajeng, Raden Ngabehi, Raden Roro, dan
lain-lainnya. Mereka sebagaian besar memberikan nama-nama kepada anaknya
Universitas Sumatera Utara
68
dengan nama-nama khas Jawa, seperti: Ponisan, Marijan, Supomo, Tukiyem, Pairah, Ponisah, dan sejenisnya. Namun sebagian kecil yang memiliki wawasan
dan identitas keagamaan Islam yang kuat, umumnya memberikan nama kepada anak-anaknya dengan nama-nama yang Islamik, seperti Muhammad Ali, Ahmad
Salim, Siti Khiriyah, Musaddad, Ali Usman, dan lain-lainnya. Menurut penenelitian penulis di lapangan, para pemusik gamelan, penari
Hanoman, penari Dhadak Merak, di dalam komunitas reogini, sebagaian besar menggunakan nama-nama khas Jawa, yang masih melekat unsur kelompok
abangan yang dibawa dari Tanah Jawa.
2.10 Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan pada masyarakat Jawa umumnya, termasuk jugamereka yang tinggal di desa mengenal adanya kelompok kekerabatan yang
keanggotaannya diperhitungkan berdasarkan prinsip keturunan bilateral yakni memperhitungkan keanggotaan kelompok kekerabatan itu melalui pihak laki-laki
maupun pihak perempuan. Bentuk kelompok kekerabatan yang terkecil dalam masyarakat disebut keluarga batih yang keanggotaannya terdiri dari suami, istri
dan anak-anak yang belum kawin Depdikbud, 19851986:30. Disamping bentuk-bentuk kelompok kekerabatan tersebut, orang Jawa
juga mengenal bentuk kelompok kekerabatan yang disebut kindred yakni sanak, sedulur
atau nak dulur atau nak sanak. Keanggotaan kelompok kekerabatan yang disebut dengan sanak sedulur ini sangat luas dan besar, yakni meliputi saudara-
saudara sepupu dari pihak ayah maupun dari pihak ibu, saudara-saudara sepupu
Universitas Sumatera Utara
69
derajat kedua baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu atau juga saudara- saudara sekandung atau sepupu dari pihak suami maupun pihak istri.
Budaya Jawa menganut prinsip gotong royong yang dilandasi adanya kerukunan hidup. Menurut Koentjaraningrat, ada tiga nilai yang didasari oleh
masyarakat Jawa dalam melakukan gotong royong Bratawijaya, 1997:82-83. Ketiga tata nilai itu pertama, bahwa orang itu harus sadar bahwa hidupnya selalu
bergantung pada orang lain. Seseorang tidak dapat hidup sendiri untuk itulah seseorang harus menjalin hubungan baik dengan siapapun. Kedua, orang itu harus
selalu bersedia membantu sesamanya dan yang ketiga, orang itu harus selalu ingat bahwa seseorang sebaiknya jangan berusaha menonjol atau melebihi orang lain
dalam kehidupan bermasyarakat. Sikap gotong royong ini dilandasi oleh suatu pemikiran filosofis, yaitu sikap sepi ing pamrih, rame ing gawe, artinya
tidakmengharapkan balasan pamrih, dan mengutamakan kerja bersama-sama. Maka dalam hal ini bentuk kelompok kekerabatan yang paling kecil adalah
keluarga batih, yang anggotanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anaknya yang belum menikah, apabila keluarga batih mempunyai kerabat satu dengan yang lain
maka terbentuklah suatu kelompok kekerabatan yang disebut dengan paseduluran
: 1 sedulur tunggal kringkel merupakan saudara lahir dari ibu dan ayah yang sama; 2 sedulur kuwalon yaitu saudara lain ayah tetapi ibunya sama,
atau sebaliknya saudara lain ibu nemun ayahnya sama, dan saudara tiri; 3 sedulur misanan
merupakan saudara satu nenek atau satu kakek, yang mencakup kandung atau tiri; 4 sedulur mindoan adalah saudara satu buyut orang tau kakek
atau nenek berlaku baik untuk saudara kandung atau tiri, 5 sedulur mentelu yaitu saudara satu canggah buyutnya ayah dan ibu baik saudara kandung atau
Universitas Sumatera Utara
70
tiri; 6 bala yaitu yang menurut anggapan mereka masih saudara, namun dari silsilah sudah tidak terlacak kedudukannya, dan disebabkan oleh interaksi
mereka,karena kebutuhan yang erat, misalnya jenis pekerjaan sama, sering berkomunikasi, dan sejenisnya; 7 tangga yang konsepnya tidak terbatas pada
letak rumah yang berdekatan saja, tetapi dalam kepentingan tertentu mereka saling membutuhkan.
Dalam sistem kekerabatan juga menganut istilah-istilah yang masih dipergunakan di Desa Bangko Lestari sampai saat ini. Istilah-istilah tersebut yaitu
sebagai berikut: 1 ego memanggil ayahnya dengan sebutan bapak dan ibunya dengan sebutan simbokmbok; 2 untuk menyebut saudara laki-laki yang lebih tua
dengan sebutan kangmaskakang dan untuk saudara perempuan disebut dengan mbakyuyu
, untuk saudara laki-laki yang lebih muda disebut dengan adhidhi sedangkan saudara perempuan disebut dengan nok; 3 sebutan untuk kakak
kandung ayah laki-laki adalah pakdhe dan yang perempuan budhembokde, sedangkan kepada adik ayah laki-laki disebut dengan istilah pamanpakcikpaklek
dan yang perempuan dengan sebutan bibibulikmbok;4 sebutan terhadap kakek adalah mbah lanangsimbah kakung sedangkan sebutan kepada nenek adalah
simbah wedok sebaliknya kakek dan nenek akan menyebut ego adalah ptuwayah
sedangkan ego menyebut orang tua simbah dengan sebutan simbah buyut istilah ini dapat dipakai untuk menyebut orang tua simbah baik laki-laki maupun
perempuan Sitopu, 2008.
Universitas Sumatera Utara
71
2.11 Kesenian