BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengobatan tradisional semakin dikembangkan dan diteliti oleh para ilmuan mulai dari tanaman hingga hewan, salah satunya adalah cacing tanah.
Cacing tanah sangat dikenal di masyarakat terutama masyarakat pedesaan yang hampir setiap hari menemukannya di kebun, tegalan atau sawah. Secara tidak kita
sadari, kehadiran cacing tanah di bumi telah memberi manfaat yang begitu besar Rusdi, 1995.
Sejak dahulu cacing tanah sangat berperan dalam kehidupan manusia disebabkan kandungan gizinya yang cukup tinggi, terutama kandungan proteinnya
yang mencapai 64 - 76 . Selain protein, kandungan lainnya yang terdapat dalam tubuh cacing tanah antara lain lemak 7 - 10, kalsium 0,55, fosfor 1 dan serat
kasar 1,08 Palungkung, 2010. Menurut prof. Dr Dondin Sajuthi cacing tanah juga mengandung golongan senyawa alkaloida yang dapat digunakan sebagai
antipiretik. Manfaat cacing tanah bagi kehidupan manusia antara lain adalah sebagai
penghasil pupuk organik, pendaur ulang limbah, bahan baku pakan ternak, sebagai bahan baku makanan dan minuman pada masyarakat Jepang dan beberapa negara
Eropa misalnya vermijuice dan worm spaghetti, bahan baku kosmetik, menurunkan kadar kolesterol, meningkatkan daya tahan tubuh, dan menurunkan
tekanan darah tinggi, disamping itu cacing tanah juga dikenal sebagai obat untuk penyakit tifus dengan mengkonsumsi air rebusan cacing tanah ataupun serbuk
cacing tanah yang dapat diperoleh dari toko obat Cina Palungkung, 2010.
Universitas Sumatera Utara
Cacing tanah telah dicantumkan dalam Ben Cao Gang Mu, buku bahan obat standar pengobatan tradisional China. Di Cina, cacing tanah akrab disebut naga
tanah dan nama lain dari cacing tanah kering di kalangan pedagang obat-obatan tradisional China adalah ti lung kam Hasanudin, 2010.
Cacing tanah yang digunakan sebagai sampel dalam penelitian ini adalah cacing tanah Megascolex sp., atau yang sering disebut masyarakat dengan julukan
cacing merah. Mudah ditemukan di tempat-tempat sampah dan merupakan cacing lokal Indonesia.
Jika kita berkunjung ke Jawa Tengah, maka kita akan menemukan kios-kios penjual jamu khusus penyakit tifus. Ternyata bahan dasar dari jamu tersebut
adalah cacing tanah dan sudah sejak lama dijadikan jamu tradisional masyarakat setempat. Di media elektronik, juga sudah banyak masyarakat mengkonsumsi
cacing tanah untuk mengobati penyakit tifus dengan mengkonsumsi air rebusan cacing tanah dan serbuk cacing tanah yang dimasukkan ke dalam kapsul
Hasanudin, 2010. Penulis juga memperoleh informasi bahwa pemanfaatan cacing tanah
digunakan oleh masyarakat di Gang Flamboyan, Tanjung Slamat, kecamatan Medan Tuntungan, Medan untuk mengobati penyakit tifus dengan meminum air
rebusan cacing tanah sebanyak 30 ekor dan campuran bahan lain tidak diberitahukan pada peneliti, tiga kali sehari selama lebih kurang 7 hari.
Hasil penelitian dari Farmasi Unpad menyatakan enzim dalam cacing tanah mampu memperbaiki proses fisiologis tubuh. Adapun enzim tersebut adalah
peroksidase, katalase dan selulase Palungkung, 2010.
Universitas Sumatera Utara
Tifus disebabkan oleh bakteri Salmonella typhosa, yang seringkali ditularkan pada manusia oleh kotoran ternak. Gejala penyakit tifus bisa sangat
bervariasi yaitu terjadi demam dengan kenaikan suhu secara bertahap dalam tiga hari pertama, nyeri kepala yang hebat, perut kembung dan nyeri, anorexia, nausea
dan obstipasi. Kemudian sering kali diikuti diare, bronchitis, perdarahan hidung dan apati T.H. Tjay, 2002.
Salah satu gejala penyakit tifus adalah diare. Diare dapat juga disebabkan oleh bakteri Escherichia coli dan Shigella dysenteriae. Salmonella typhosa,
Escherichia coli dan Shigella dysenteriae merupakan bakteri dari kelompok bakteri gram-negatif berbentuk batang Enterobacteriaceae yang habitat
alaminya berada pada sistem usus manusia Jawetz et al, 2001. Berdasarkan latar belakang di atas peneliti menguji aktivitas antibakteri
dari air rebusan dan ekstrak etanol cacing tanah Megascolex sp. terhadap beberapa bakteri gram negatif yaitu Salmonella typhosa, Escherichia coli, dan Shigella
dysenteriae. Menggunakan metode difusi dengan mengukur diameter zona hambat pertumbuhan bakteri.
Universitas Sumatera Utara
1.2 Perumusan Masalah