BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak-hak Anak, tepatnya pada tanggal 25 Agustus 1990 melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun
1990 karena Indonesia belum mempunyai kebijakan dan peraturan perundang- undangan tentang perlindungan anak yang berorientasi pada Konvensi Hak-hak
Anak. Namun pada tanggal 22 Oktober 2002, Indonesia menetapkan Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berorientasi pada hak-hak
anak seperti yang tertuang dalam Konvensi Hak-hak Anak. Perjuangan melahirkan kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang memihak kepada kepentingan
terbaik anak cukup panjang, seiring dengan pasang surut berbagai kepentingan dan
situasi multi krisis berkepanjangan di segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia sejak lima tahun terakhir.
Berbagai konflik komunal di sebagian wilayah Indonesia disertai instabilitas di bidang politik dan pemerintahan telah memperberat upaya-upaya peningkatan
kesejahteraan dan perlindungan anak di Indonesia. Keadaan yang serba krisis dan kritis ini, telah mendesak pemerintah untuk menyelesaikan banyak prioritas-prioritas
lain seperti politik, pemulihan ekonomi dan keamanan, ketimbang upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan anak di Indonesia. Akibatnya,
berbagai permasalahan anak muncul ke permukaan karena jaminan negara terhadap
Jonner Manik : Perlindungan Terhadap Narapidana Anak Ditinjau Dari Undang-Undang Pemasyarakatan Nomor 12 Tahun 1995, 2009
1
pemenuhan kebutuhan dasar anak seperti pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial dan perlindungan anak tidak maksimal. Dengan demikian perlu adanya upaya yang
terus-menerus dilakukan bersama dengan semua pihak melalui tindakan nasional dan kerjasama internasional.
Komitmen bersama diperlukan untuk menempatkan anak pada arus utama pembangunan dan diarahkan pada investasi sumberdaya manusia human investment.
Keyakinan bahwa anak adalah generasi penerus dan harapan masa depan bangsa, akan mendorong semua tindakan yang menyangkut kepentingan anak, baik yang
dilakukan oleh lembaga pemerintah, lembaga peradilan, lembaga legislatif maupun masyarakat akan memberikan prioritas tinggi kepada pemenuhan dan perlindungan
hak-hak anak, demi kepentingan terbaik anak Indonesia. Situasi dan kondisi anak Indonesia saat ini, mencerminkan adanya penyalah
gunaan anak abuse, eksploitatif, diskriminatif dan mengalami berbagai tindakan kekerasan yang membahayakan perkembangan jasmani, rohani, dan sosial anak.
Keadaan ini, tentunya sangat memprihatinkan bagi bangsa dan negara Indonesia, karena anak dari aspek agama merupakan amanah dan karunia dari Tuhan Yang
Maha Esa yang harus dijaga harkat dan martabatnya sebagai mahluk ciptaan–Nya. Dari aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah generasi penerus
perjuangan bangsa dan penentu masa depan bangsa dan negara Indonesia. Untuk itu, diperlukan upaya-upaya yang akan memberikan perlindungan khusus kepada anak-
anak Indonesia yang berada dalam keadaan sulit tersebut, ke dalam suatu Program
Jonner Manik : Perlindungan Terhadap Narapidana Anak Ditinjau Dari Undang-Undang Pemasyarakatan Nomor 12 Tahun 1995, 2009
Nasional Bagi Anak Indonesia sebagai tindak lanjut Sidang Umum PBB Untuk Anak yang melahirkan deklarasi “ A World Fit For Children “.
Hakekat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Hal ini berarti bahwa pembangunan tidak hanya mengejar kemajuan
lahiriah seperti pangan, sandang, perumahan, dan kesehatan dan sebagainya, melainkan keselarasan dan keserasaian serta keseimbangan secara menyeluruh.
Kelangsungan dan berhasilnya pembangunan sangat bergantung kepada situasi, kondisi, keamanan, stabilitas, dan keadaan negara yang konsisten.
Oleh karena itu perlu usaha memelihara dan mengembangkan stabilitas nasional yang sehat, dinamis di bidang politik, ekonomi, serta sosial.
Stabilitas di bidang politik akan tumbuh dengan tegaknya kehidupan konstitusional demokratis berdasakan hukum dan selanjutnya meningkatkan
usaha memelihara ketertiban serta kepastian hkum yang mampu mengayomi masyarakat. Pembangunan nasional yang merupakan proses modernisasi
membawa dampak positif maupun negatif. Hal ini dengan dapat dibuktikan dengan banyaknya perbuatan pidana openbare orde atau kenakalan anak-
anak.
1
Lebih dari 4.000 empat ribu anak Indonesia diajukan ke pengadilan setiap tahunnya atas kejahatan ringan seperti pencurian. Pada umumnya mereka tidak
mendapatkan dukungan dari pengacara maupun dinas sosial. Maka tidaklah mengejutkan, sembilan dari sepuluh anak ini akhirnya dijebloskan ke penjara atau
rumah tahanan.
2
Pada tahun 2000, tercatat dalam statistik kriminal kepolisian Republik Indonesia terdapat lebih dari 11.344 sebelas ribu tiga ratus empat puluh
empat anak yang disangka sebagai pelaku tindak pidana. Pada bulan Januari
1
Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan bahwa sistem pemerintahan negara yang ditegaskan adalah negara Indonesia berdasar atas hukum rechtstaat, tidak berdasar atas
kekuasaan belaka machtsstaat
2
Steven Allen, Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak Juvenile Justice System di Indonesia, Indonesia : UNICEF, 2003, hlm. i
Jonner Manik : Perlindungan Terhadap Narapidana Anak Ditinjau Dari Undang-Undang Pemasyarakatan Nomor 12 Tahun 1995, 2009
hingga Mei 2002, ditemukan 4.325 empat ribu tiga ratus dua puluh lima tahanan anak di rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan di seluruh
Indonesia. Lebih menyedihkan, sebagian besar 84 delapan puluh empat persen anak-anak ini berada di dalam lembaga penahanan dan pemenjaraan
untuk orang-orang dewasa dan pemuda. Jumlah anak-anak yang ditahan tersebut, tidak termasuk anak-anak yang ditahan dalam kantor polisi Polsek,
Polres, dan Polda. Pada rentang waktu yang sama, yaitu Januari hingga Mei 2002, telah tercatat 9.465 sembilan ribu empat ratus enam puluh lima anak-
anak yang berstatus sebagai Anak Didik Anak Sipil, Anak Negara dan Anak Pidana tersebar di seluruh rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan.
Sebagian besar, yaitu 53 lima puluh tiga persen berada di rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan untuk orang dewasa dan pemuda.
3
Keberadaan anak-anak dalam tempat penahanan dan pemenjaraan bersama
orang-orang yang lebih dewasa, menempatkan anak-anak pada situasi rawan menjadi korban berbagai tindak kekerasan.
4
Anak-anak dalam kondisi demikian disebut dengan anak yang berkonflik dengan hukum children in conflict with the law. Anak
yang berkonflik dengan hukum dapat didefinisikan anak yang disangka, dituduh atau diakui sebagai telah melanggar hukum pidana.
5
Majelis Umum PBB dalam Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice atau yang dikenal dengan Beijing Rules mendefisinikannya
sebagai berikut: “a child or young person who is alleged to have committed or who has been found to have committed an offence”.
6
3
www.pemantauperadilan.com di unduh pada tanggal 9 September 2008
4
Steven Allen,Op-Cit., hlm. ii
5
Pasal 40 ayat 1 Konvensi Hukum Anak
6
General Assembly Resolution, 4030 of 29 November 1985
Jonner Manik : Perlindungan Terhadap Narapidana Anak Ditinjau Dari Undang-Undang Pemasyarakatan Nomor 12 Tahun 1995, 2009
Dalam perspektif Konvensi Hak Anak atau KHA Convention The Rights of The ChildCRC,
7
anak yang berkonflik dengan hukum dikategorikan sebagai anak dalam situasi khusus children in need of special protectionCNSP.
8
UNICEF menyebut anak dalam kelompok ini sebagai “children in especially difficult circumstances” CEDC karena kebutuhan-kebutuhannya tidak terpenuhi,
rentan mengalami tindak kekerasan, berada di luar lingkungan keluarga berada pada lingkup otoritas institusi negara, membutuhkan perlindungan berupa regulasi khusus,
dan membutuhkan perlindungan dan keamanan diri. Kebutuhan-kebutuhan ini tidak dapat dipenuhi karena anak tersebut tidak mendapatkan perlindungan dan perawatan
yang layak dari orang dewasa yang berada di lingkungan tempat di mana anak biasanya menjalani hidup.
9
Seseorang yang melanggar hukum pidana akan berhadapan dengan negara melalui aparat penegak hukumnya. Sebagai sebuah instrumen pengawasan sosial,
hukum pidana menyandarkan diri pada sanksi karena fungsinya memang mencabut hak orang atas kehidupan, kebebasan, atau hak milik mereka. Invasi terhadap hak
dasar ini dibenarkan demi melestarikan masyarakat dan melindungi hak-hak fundamental dari gangguan orang lain.
10
Pencabutan kebebasan seseorang dalam doktrin Hukum Hak Asasi Manusia Internasional termasuk rumpun Hak Sipil dan Hak Politik, karena menyangkut
7
Pemerintah Republik Indonesia telah meratifikasi KHA melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990
8
Lihat KHA Pasal 37, 39 ,dan 40
9
Judith, Difficult Circumstances:Some Reflections on “Street Children” in Africa, Children, Youth and Environments 13 1, Spring 2003, hlm. 7
10
Noor Muhammad, Proses Hukum Bagi Orang yang Didakwa Melakukan Kejahatan, dalam Hak Sipil dan Politik : Esai-Esai Pilihan, Ifdhal Kasim Editor, Jakarta : Elsam, 2001, hlm. 180
Jonner Manik : Perlindungan Terhadap Narapidana Anak Ditinjau Dari Undang-Undang Pemasyarakatan Nomor 12 Tahun 1995, 2009
pemajuan dan perlindungan martabat dan keutuhan manusia secara individual. Terdapat 3 tiga hak yang bersifat lebih fundamental daripada hak lain untuk
mencapai maksud tersebut, yakni hak atas hidup, keutuhan jasmani, dan kebebasan. Pada ketiga hak inilah semua hak lain bergantung, tanpa ketiga
hak ini, hak-hak lain sedikit atau sama sekali tidak bermakna.
11
Dalam konteks pencabutan kebebasan seseorang, doktrin Hak Asasi Manusia memberikan legitimasi yakni sepanjang seseorang melakukan tindak pidana.
Kovenan Internasional Hak Sipil dan Hak Politik International Covenant Civil and Politic RightsICCPR, sebagai instrumen Hukum Hak Asasi
Manusia Internasional utama core instrument of human rights yang memayungi hak sipil dan hak politik, mengatur persoalan pencabutan
kebebasan seseorang terkait dengan tindak pidana yang dilakukannya setidaknya dalam pasal-pasal berikut: Pasal 9, Pasal 10, Pasal 14, dan Pasal
15. Namun dalam pelaksanaan proses peradilan pidana, terdapat larangan dan pembatasan untuk melakukan tindakan sebagai berikut: diskriminasi Pasal 2
ayat 1, Pasal 26, melakukan penyiksaan Pasal 7, dan menjatuhkan hukuman mati Pasal 4 ayat 2, Pasal 6 ayat 1 sampai dengan 6.
12
Pasal 47 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang menyatakan Kepala LAPAS berwenang memberikan
tindakan disiplin atau menjatuhkan hukuman disiplin terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan yang melanggar peraturan keamanan dan ketertiban di
lingkungan LAPAS yang dipimpinnya, maka anak akan berada pada sebuah institusi yang berpotensi melakukan tindakan kekerasan. Potensi kekerasan
semakin ditampakkan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menetapkan bahwa pada saat menjalankan tugasnya,
petugas LAPAS diperlengkapi dengan senjata api dan sarana keamanan yang lain. Kondisi ini jelas menempatkan anak pada suatu institusi yang
mengancam kehidupan anak karena ketentuan tersebut tidak memberikan pengecualian kepada petugas LAPAS Anak. Seharusnya petugas LAPAS
Anak tidak perlu dilengkapi dengan senjata api atau peralatan keamanan lain. Peraturan PBB bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan Kebebasannya,
Butir 65 menetapkan bahwa pembawaan dan penggunaan senjata oleh personil fasilitas pemasyarakatan harus dilarang pada setiap fasilitas di mana
anak-anak ditahan.
13
11
Yoram Dinstein, Hak Atas Hidup, Keutuhan Jasmani, dan Kebebasan, dalam Hak Sipil dan Politik, Esai-Esai Pilihan, hlm. 128
12
Pemerintah Republik Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil dan Hak Politik melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005.
13
Butir 66 Peraturan PBB bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan Kebebasannya, menyatakan bahwa tindakan-tindakan dan prosedur-prosedur penghukuman apa pun harus
mempertahankan kepentingan keamanan dan kehidupan masyarakat yang teratur dan harus konsisten
Jonner Manik : Perlindungan Terhadap Narapidana Anak Ditinjau Dari Undang-Undang Pemasyarakatan Nomor 12 Tahun 1995, 2009
Negara dibebani kewajiban untuk melakukan tindakan-tindakan berikut: memperlakukan secara manusiawi Pasal 10 ayat 1, menyamakan
kedudukan di muka hukum Pasal 141, menerapkan asas praduga tidak bersalah Pasal 14 ayat 2, menjamin proses peradilan pidana yang efektif
dan imparsial Pasal 14, dan menerapkan asas retroaktif Pasal 15. Pasal- pasal ini dapat dielaborasi dan diinterpretasikan dengan merujuk pada
ketentuan Hukum Hak Asasi Manusia Internasional lain guna melihat kewajiban negara lebih jauh dalam menghargai, melindungi, dan memenuhi
hak asasi seseorang yang tengah menghadapi proses hukum. Implementasi kewajiban-kewajiban tersebut di atas nampak dalam praktik negara melalui
aparatnya dalam mewujudkan sistem peradilan pidana integrated criminal justice system.
14
Keterpaduan sistem peradilan pidana dimaknai sebagai “…the collective
institutions through which in accused offender passes until the accusations have been dispossed of or the assessed punishment concluded…”. Sistem peradilan pidana
terpadu bukanlah suatu sistem yang bekerja dalam satu unit kerja atau bagian yang menyatu secara harfiah melainkan adanya kombinasi yang serasi antar sub-sistem
untuk mencapai satu tujuan.
15
Hal keterpaduan, sebagaimana yang dinyatakan Pillai, yaitu : “…the concept of an Integrated Criminal Justice System does not envisage the
entire system working as one unit or department or as different section on one unified service. Rather, it might be said to work on the principle of ‘unity in
diversity’ somewhat like that under which the armed forces function. Each of the three main armed services own its distinctive roles, its training schemes,
its own personnel, and its own operational method”.
16
dengan penghormatan martabat yang melekat pada anak itu dengan tujuan dasar pengasuhan pada fasilitas pemasyarakatan, yaitu menanamkan ras keadilan, harga diri dan penghormatan bagi hak-hak
asasi dasar setiap orang
14
Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks Ke Indonesiaan, Bandung ; Utomo, 2006, hlm. 213
15
www.pemantauperadilan.com di unduh pada tanggal 9 September 2008
16
Editorial, Lembaga Pengawasan Sistem Peradilan Pidana Terpadu, Jakarta : MAPPI FHUI, 2003
Jonner Manik : Perlindungan Terhadap Narapidana Anak Ditinjau Dari Undang-Undang Pemasyarakatan Nomor 12 Tahun 1995, 2009
Merujuk pada makna di atas maka lembaga-lembaga yang terkait dalam sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia, dalam hal ini dimulai dari lembaga
yang bertugas dalam proses penyelidikan hingga pada lembaga yang bertugas dalam tahap pelaksanaan putusan, yakni diawali pada institusi kepolisian, institusi
kejaksaan, institusi kehakiman, hingga diakhiri institusi lembaga pemasyarakatan. Dengan demikian rangkaian proses hukum bagi orang yang dituduh
melakukan tindak pidana akan melalui tahapan penyelidikan, tahapan penyidikan, tahapan penuntutan, tahapan persidangan, dan tahapan menjalani eksekusi. Artinya
sejak penangkapan sampai menjalani hukuman orang ini akan berhadapan dengan institusi yang mempunyai kewenangan monopoli secara eksklusif untuk melakukan
kekerasan, yakni negara. Selain hal itu, negara secara sah membuat instrumen represi dan mendayagunakan instrumen tersebut secara legal dan terlegitimasi.
17
Instrumen tersebut termanifestasi dalam perangkat hukum pidana. Padahal negara secara definitif berpotensi melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Oleh
karena itu dapat pula dikatakan keseluruhan rangkaian tersebut berpotensi pula melanggar hak asasi manusia. Kesemua rangkaian ini jika dianalisis dengan alas pijak
ketentuan-ketentuan Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik dengan koridor proses hukum yang semestinya, maka terdiri dari: hak terdakwa dalam pra pemeriksaan
17
Samuel Gultom, Mengadili Korban : Praktek Pembenaran Terhadap Kekerasan Negara, Jakarta : Elsam, 2003, hlm. 7.
Jonner Manik : Perlindungan Terhadap Narapidana Anak Ditinjau Dari Undang-Undang Pemasyarakatan Nomor 12 Tahun 1995, 2009
pengadilan; hak terdakwa atas pemeriksaan pengadilan yang adil; dan pembatasan- pembatasan hukum.
18
Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan samapi anak berumur 18 delapan belas tahun. Bertitik tolak
dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif, maka Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak meletakkan
kewajiban memberikan perlidungan kepada anak berdasarkan asas-asas sebagai berikut:
a. Nondiskriminasi;
b. Kepentingan yang terbaik bagi anak;
c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
d. Penghargaan terhadap pendapat anak.
Demikian pula halnya jika anak-anak berhadapan dengan hukum, maka potensi hak-haknya dilanggar oleh negara lebih besar ketimbang orang dewasa yang
melakukan tindak pidana. Potensi ini dikarenakan anak merupakan sosok manusia yang dalam hidup kehidupannya masih menggantungkan pada intervensi pihak lain.
19
18
Noor Muhammad, Op-Cit., hlm. 183.
19
Lihat Mukadimah KHA: Mengingat bahwa dalam Deklarasi Universal HAM, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyatakan bahwa anak-anak berhak atas pengasuhannya dan bantuan khusus.
Kemudian mengingat bahwa seperti yang ditunjuk dalam Deklarasi mengenai Hak-hak Anak, anak, karena alasan ketidakdewasaan fisik dan jiwanya, membutuhkan perlindungan dan pengasuhan khusus,
termasuk perlindungan hukum yang tepat, baik sebelum dan juga sesudah kelahiran. Lebih lanjut Pasal 2 menegaskan:
1. Negara-negara pihak harus menghormati dan menjamin hak-hak yang dinyatakan dalam Konvensi ini pada setiap anak yang berada di dalam yurisdiksi mereka, tanpa diskriminasi macam apa pun, tanpa
menghiraukan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lain, kewarganegaraan, etnis, atau asal-usul sosial, harta kekayaan, cacat, kelahiran atau status yang lain
dari anak atau orang tua anak atau wali hukum anak.
Jonner Manik : Perlindungan Terhadap Narapidana Anak Ditinjau Dari Undang-Undang Pemasyarakatan Nomor 12 Tahun 1995, 2009
Doktrin Hak Asasi Manusia mengkategorikan kelompok ini sebagai kelompok rentan vulnerable group.
20
Konsekuensi yuridisnya kelompok ini seharusnya mendapatkan perhatian lebih dari negara. Terkait dengan kelompok tersebut, Kovenan Hak Sipil
dan Hak Politik menegaskan bahwa setiap anak berhak untuk mendapatkan hak atas langkah-langkah perlindungan karena statusnya sebagai anak di bawah umur,
terhadap keluarga, masyarakat dan negara Pasal 24 1. Muladi dalam kapita selekta sistem peradilan pidana menjelaskan:
1 Jangan menggunakan hukum pidana dengan emosional untuk melakukan
pembalasan semata-mata. 2
Hukum pidana hendaknya jangan di gunakan untuk memidana perbuatan yang tidak jelad korban atau kerugiannya.
3 Hukum pidana jangan di pakai guna mencari sesuatu tujuan yang pada
dasarnya dapat di capai dengan cara lain yang sama efektifnya dengan penderitaan atau kerugian yang lebih sedikit.
4 Jangan memakai hukum pidana apabila kerugian yang di timbulkan lebih
daripada kerugian yang di akibatkan oleh tindak pidana yang akan di rumuskan.
5 Hukum pidana jangan di gunakan apabila hasil sampingan by product yang
lebih merugikan di bandingkan dengan perbuatan yang di kriminalisasikan. 6
Jangan menggunakan hukum pidana apabila tidak sebanding oleh masyarakat secara luas.
7 Jangan mempergunakan hukum pidana apabila penggunaannya di perkirakan
tidak dapat efektif enforceable. 8
Hukum pidana harus universalistic. 9
Hukum pidana harus rasional. 10
Hukum pidana harus menjaga keserasian antara order legitimation and competence.
11 Hukum pidana harus menjaga keselarasan antara social defence, prosedural,
fearness and subtantive justice.
2. Negara-negara pihak harus mengambil semua langkah yang tepat untuk menjamin bahwa anak dilindungi dari semua bentuk diskriminasi atau hukuman atas dasar status, aktivitas, pendapat yang
diutarakan atau kepercayaan orang tua anak, wali hukum anak atau anggota keluarga anak.
20
Menurut Human Rights Reference disebutkan, bahwa yang tergolong ke dalam kelompok rentan adalah: a. Refugees, b, Internally Displaced Persons IDPs; c. National Minorities, d. Migrant
Jonner Manik : Perlindungan Terhadap Narapidana Anak Ditinjau Dari Undang-Undang Pemasyarakatan Nomor 12 Tahun 1995, 2009
12 Hukum pidana harus menjaga keserasian antara moralis komunal, moralis,
kelembagaan, dan moralis sipil. 13
Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan korban kejahatan. 14
Dalam hal-hal tertentu hukum pidana harus mempertimbangkan secara khusus, skala prioritas kepentingan pengaturan.
15 Penggunaan hukum pidana sebagai sarana represif harus di dayagunakan
secara serentak dengan pencegahan non penal prevention without punishment.
21
Masalah pembinaan generasi muda merupakan bagian integral dari masalah pembangunan. Oleh sebab itu sebagian masalah pembinaan yaitu pembinaan yustisial
terhadap generasi muda khususnya anak-anak perlu mendapat perhatian serta pembahasan tersendiri. Hal ini dapat direalisasikan dengan adanya peradilan khusus
agar terdapat jaminan bahwa penyelesaian dilakukan dengan benar-benar untuk kesejahteraan anak yang bersangkutan dan kepentingan masyarakat tanpa
mengabaikan terlaksananya hukum dan keadilan. Kewajiban negara sangat dominan dalam perkembangan perundang-undangan
yang berlaku bagi anak-anak, khususnya dengan dikeluarkannya Surat Edaran Kejaksaan Agung pada Mahkamah Agung No. P 120 tertanggal 30 \Maret 1951 yan
menjelaskan tentang penjahat anak-anak adalah mereka yang menurut hukum pidana melakukan perbuatan yang dapat dihukum, belum berusia 16 tahun.
22
Jaksa Agung dalam hal ini menekankan bahwa menghadapkan penjahat anak-anak ke muka hakim
pengadilan hanya sebagai langkah terakhir atau ultimum remedium. Sedangkan bagi penjahat anak-anak yang dimungkinkan ada penyelesaian lain, maka perlu
21
Hardi Widioso, “TindakanPidana Atas Kasus Tindak Pidana Anak”, Warta Pemasyarakatan Nomor 29 Tahun IX-April 2008, Jakarta : Dirjen Pemasyarakatan, 2008, hlm. 23
22
Lihat Pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Jonner Manik : Perlindungan Terhadap Narapidana Anak Ditinjau Dari Undang-Undang Pemasyarakatan Nomor 12 Tahun 1995, 2009
dipertimbangkan. Lembaga yang tepat untuk menyelesaikan masalah tersebut adalah Kantor Pejabat Sosial dan Pro Juventure.
23
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 telah mencabut Pasal 45, 46, dan 47 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang
mengatur straf modus dan straf sort tentang sistem pemidanaan untuk anak, dengan tujuan semata-mata untuk memberikan perlindungan dari stigma pada jiwa anak
dalam menjalani proses perkara pidana. Akantetapi pada tataran implementasinya dirasakan tidak dapat memenuhi tujuan dilahirkannya Undang-undang yang
dimaksud, karena pendekatan yuridis formal lebih ditonjolkan dan tertutup dilakukannya upaya diskresi dalam mencari solusi perkara anak nakal.
Model peradilan restoratif yang lebih menekankan diskresi untuk penyelesaian masalah anak nakal, memberikan alternatif sebagai upaya
menghindarkan stigma mental anak pada proses hokum. Model peradilan restoratif ini, pada tataran ius constotuendum peradilan anak Indonesia adalah suatu pemikiran
dalam rangka perumusan undang-undang peradilan anak. Hebohnya dunia hukum anak di Indonesia pada tahun 2006 yang terangkat
kepermukaan adalah kasus Raju. Anak berusia 8 delapan tahun ini ditahan selama 19 sembilan belas hari untuk menjalani proses hukum yang menimbulkan trauma.
Proses persidangan yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Stabat Cabang Pangkalan Brandan Kabupaten Langkat Sumut telah sesuai dengan prosedural ketentuan hukum
peradilan anak yang berlaku, namun tetap timbul berbagai protes dari para pemerhati
23
Jaksa Agung R. Suprapto pada tahun 1951 telah menganggap bahwa masalah penjahat anak-anak memerlukan penanganan khusus sesuai dengan keadaan khusus dari anak-anak untuk masa
depannya.
Jonner Manik : Perlindungan Terhadap Narapidana Anak Ditinjau Dari Undang-Undang Pemasyarakatan Nomor 12 Tahun 1995, 2009
anak Indonesia. Sebagaimana dilansir Berita Harian Kompas yang memberitakan kasus Raju,
menimbulkan berbagai tanggapan terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 yang bermunculan dari para pemerhati anak. Aparat penegak hukum sudah
melakukan tugasnya dengan baik, tetapi justru menimbulkan masalah lain.
24
Ketua Komnas Perlindungan Anak dan Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta meminta
kasus Raju dijadikan pintu masuk untuk mengamandemen Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
25
Berbagai kelemahan formulasi corak atau model sistem peradilan anak dipertaruhkan, padahal dianggap formulator sebagai
model peradilan anak yang lebih baik dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berkaiatan dengan masalah pengaturan tentang tindak pidana dan,
pertanggungjawaban pidana serta pidana dan pemidanaannya. Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka peneliti akan
membahas ”Perlindungan Terhadap Narapidana Anak Ditinjau Dari Undang-Undang Pemasyarakatan Nomor 12 Tahun 1995”.
24
Kompas, 3 Maret 2006
25
Kompas, 7 Maret 2006
Jonner Manik : Perlindungan Terhadap Narapidana Anak Ditinjau Dari Undang-Undang Pemasyarakatan Nomor 12 Tahun 1995, 2009
B. Rumusan Masalah