Perlindungan Terhadap Narapidana Anak Ditinjau Dari Undang-Undang Pemasyarakatan Nomor 12 Tahun 1995

(1)

PERLINDUNGAN TERHADAP NARAPIDANA ANAK DITINJAU

DARI UNDANG-UNDANG PEMASYARAKATAN NOMOR 12

TAHUN 1995

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum pada

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

JONNER MANIK

077005014/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

Judul Tesis : PERLINDUNGAN TERHADAP NARAPIDANA ANAK DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG PEMASYARAKATAN NOMOR 12 TAHUN 1995 Nama Mahasiswa : Jonner Manik

Nomor Pokok : 077005014

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, M.H) Ketua

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH,MS) (Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM) Anggota Anggota

Ketua Program Studi Direktur,

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc)


(3)

Telah diuji pada Tanggal : 24 Juli 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, M.H Anggota : 1. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH,MS

2. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM 3. Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum


(4)

ABSTRAK

Keberadaan anak-anak dalam tempat penahanan dan pemenjaraan bersama orang-orang yang lebih dewasa, menempatkan anak-anak pada situasi rawan menjadi korban berbagai tindak kekerasan. Anak-anak dalam kondisi demikian disebut dengan anak yang berkonflik dengan hukum (children in conflict with the law). Anak yang berkonflik dengan hukum dapat didefinisikan anak yang disangka, dituduh atau diakui sebagai telah melanggar hukum pidana.

Penelitian tentang Perlindungan Terhadap Narapidana Anak Ditinjau Dari Undang-Undang Pemasyarakatan Nomor 12 Tahun 1995 terdiri atas 2 (dua) masalah, yaitu: bagaimanakah pengaturan perlindungan terhadap anak di Lembaga Pemasyarakatan Anak?, dan bagaimanakah konsep dan program binaan anak di Lembaga Pemasyarakatan?

Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian, maka sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu menafsirkan data yang ada, misalnya tentang situasi yang dialami, pandangan, sikap yang nampak dan sebagainya. Analitis yaitu suatu penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan mengatasi masalah-masalah tertentu.

Hasil penelitian menunjukkan konsep perkembangan moral anak dalam kajian psikologi awalnya dipusatkan pada kajian disiplin, yaitu jenis disiplin terbaik untuk mendidik anak menjadi individu yang mematuhi hukum, dan pengaruh disiplin tersebut pada penyesuaian pribadi dan sosial.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang secara spesifik mengatur mengenai penanganan anak yang disangka atau didakwa melakukan pelanggaran hukum. Disamping itu PP Nomor 32 tahun 1999 Tentang Hak-Hak Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai implementasi dari UU Nomor 12 tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, telah secara jelas mencantumkan hak-hak anak didik pemasyarakatan secara limitatif.

Peneliti menyarankan kepada pemerintah untuk lebih serius menangani kesejahteraan anak dan perlindungan anak, khususnya kepada pembimbing kemasyarakatan anak agar dapat melakukan penyuluhan dalam melakukan penelitian kemasyarakatan anak, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan tidak mengatur secara jelas dan rinci mengenai kewajiban Anak Didik Pemasyarakatansehingga perlu adanya pengaturan lebih lanjut dengan peraturan pelaksanaan.


(5)

ABSTRACT

Children existence in place of detention and incarceration with people who more adult, placing children at gristle situation become the victim of various act of hardness. Children in a condition is that way referred as with the child which have conflict with the law (children in conflict with the law). Child which have conflict [to] with the law can be defined [by] a child which is on suspected, alleged or confessed [by] as have impinged criminal law.

Research about Protection To Child Convict Evaluated From Law of Community Number 12 Year 1995 consisted of by 2 (two) problem, that is : what will be protection arrangement to child in Institute of Community Child?, and what will be concept and program the binaan child in Institute Community?

As according to problems and research target, hence the nature of this research is analytical descriptive, that is interpret the existing data, for example about situation that experienced of the, view, attitude which look etcetera. that is a[n research addressed to get the suggestion hit what must be done overcome the certain problem.

Result of research show the concept of growth of child moral in psychology study [of] initially concentrated on by a discipline study, that is best discipline type to educate the child become the individual obeying law, and the discipline influence at social and personal adjustment.

Number Code 3 Year 1997 about Child Justice as speciffically arrange to hit the child handling which is on suspected or asserted to do the transgression. Beside that PP Number 32 year 1999 About Rights of Citizen of Binaan Pemasyarakatan as implementation from UU Number 12 year 1995 About Pemasyarakatan, have clearly mention the rights of protege commnity by limitatif.

Researcher suggest to government to more serious handle the prosperity of child and child protection, specially to counsellor of child social so that can do counselling in doing research of child social, and Number Code 12 Year 1995 about Pemasyarakatan do not arrange clear and specificly hit the obligation of Protege Pemasyarakatansehingga need the existence of furthermore arrangement with the execution regulation.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Penulisan tesis ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan dari Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH; Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS; dan Syafruddin Sulung Hasibuan, SH, MH dengan judul penelitian “Perlindungan Terhadap Narapidana Anak Ditinjau Dari Undang-Undang Pemasyarakatan Nomor 12 Tahun 1995”

Penulisan tesis merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam rangka menyelesaikan studi pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Peneliti mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setulus-tulusnya kepada:

1. Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Bapak Andi Matalata atas kesempatan diberikannya program beasiswa Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia di Universitas Sumatera Utara Medan. 2. Kepala BPSDM (Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia) Departemen

Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Bapak Drs. Mulki Manrafi, SH, MM atas kepercayaan memberikan kepercayaan program beasiswa Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia di Universitas Sumatera Utara Medan.

3. Dirjen Pemasyarakatan Republik Indonesia Bapak Untung Sugiono, BC.Ip, SH, MH atas kesempatan memberikan dispensasi dalam menjalani program beasiswa Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia di Universitas Sumatera Utara Medan.

4. Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&Sp. A.(K) atas dibukanya kerjasama program beasiswa Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dengan Universitas Sumatera Utara.


(7)

5. Direktur Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc atas kesempatan untuk menjadi mahasiswa di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.

6. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH selaku Ketua Program Sudi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.

7. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS selaku Komisi Pembimbing yang telah memberikan saran dalam penelitian.

8. Syafruddin Sulung Hasibuan, SH, MH, DFM selaku Komisi Pembimbing yang telah memberikan waktu dan nasehat dalam penulisan.

9. Dr. Mahmud Mulyadi, SH, MHum selaku penguji tesis penelitian yang telah memberikan kontribusi dalam pemikiran.

10.Dr. Sunarmi, SH, MHum selaku penguji tesis yang telah memberikan masukan dalam penelitian tesis ini.

11.Alm. Bapak saya Kolman Manik dan Ibunda Dame Sibuea yang telah banyak meberikan dorongan semangat kepada penulis.

12.Bapak Mertua Cornelius Turnip dan Ibu Mertua Elveria Malau yang telah banyak memberikan dorongan semangat kepada penulis.

13.Teristimewa kepada istri tercinta Narti Turnip dan anak-anakku Evelyn, Sonia, David dan Patrik Moses yang telah memberikan motivasi bagi penulis untuk menyelesaikan studi dan tesis ini.

14.Keluarga yang telah banyak memberikan dorongan dan semangat kepada penulis terutama adik-adikku Nelson, Nelly, Horas, Rudolf, adik-adik iparku Mangatas, Simon, Windy, Nata, Juni.


(8)

Ibarat pepatah yang mengatakan “tidak ada gading yang tak retak”, maka peneliti memohon maaf bilamana dalam penulisan terdapat kesalahan yang tidak semestinya. Semoga penelitian ini dapat berguna bagi agama, bangsa, dan negara.

Medan, 3 Agustus 2009 Penulis,


(9)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Jonner Manik Tempat/Tgl. Lahir : Medan/ 16 April 1969 Jenis Kelamin : Laki-Laki

Status : Menikah Agama : Kristen

Alamat : Jl. Pemasyarakatan Gg. Gitar No. – Tanjung Gusta

PENDIDIKAN FORMAL

- Sekolah Dasar Candra Kirana P. Sidempuan tahun 1983.

- Sekolah Menengah Pertama Putra Yani Panti P. Siantar tahun 1986. - STM HKBP P. Siantar tahun 1989.

- Fakultas Hukum Universitas Panca Budi tahun 2002

- Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (USU) Medan tahun 2007 s/d sekarang.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR ISTILAH ... x

DAFTAR SINGKATAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 14

C. Tujuan Penelitian ... 14

D. Manfaat Penelitian ... 14

E. Keaslian Penelitian ... 15

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 16

G. Metode Penelitian ... 25

BAB II PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK ... 28

A. Perlindungan Hukum Terhadap Anak ... 28

B. Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia ... 49

C. Perlindungan Narapidana Anak ... 65


(11)

BAB III KONSEP PEMBINAAN NARAPIDANA ANAK ... 78

A. Doktrin Pemidanaan ... 78

B. Proses dan Program Pembinaan ... 84

C. Petugas Lembaga Pemasyarakatan Anak ... 92

D. Anak Didik Pemasyarakatan dan Hak-Haknya ... 97

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 100

A. Kesimpulan ... 100

B. Saran ... 100


(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

3.1 Data Penghuni Klas II A Anak Medan

Berdasarkan Klasifikasi Penghuni pada Maret 2009... 93 3.2 Data Penghuni Klas II A Anak Medan

Berdasarkan Usia pada Maret 2009 ... 93 3.3 Data Penghuni Klas II A Anak Medan Berdasarkan

Tindak Pidana pada Maret 2009 ... 94 3.4 Data Petugas Klas II A Anak Medan Berdasarkan Pejabat

Struktural pada Maret 2009 ... 95 3.5 Data Petugas Klas II A Anak Medan Berdasarkan Tingkat

Pendidikan pada Maret 2009 ... 96 3.6 Data Petugas Klas II A Anak Medan Berdasarkan Tingkat

Golongan Pada Maret 2009 ... 96 3.7 Data Penghuni Klas II A Anak Medan Berdasarkan


(13)

DAFTAR ISTILAH

Child Abused : Pemaksaan Kepada Anak Declaration of the Rights of the Child : Deklarasi Hak-Hak Anak

Jongdrecht : Hukum Anak Muda Kinderrecht : Aspek Hukum Anak Minderjarig : Sudah Dewasa

Problem Oriented : Berorientasi Permasalahan Secondary Prevention : Pencegahan Sekunder Sense of Justice : Rasa Keadilan

Sense of Responsibility : Rasa Tanggungjawab The Law Abiding Citizen : Warga Taat Hukum The Law Breaker : Warga Pelanggar Hukum


(14)

DAFTAR SINGKATAN

CEDC : Children in Especially Difficult Circumstances DEPKUMHAM : Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia KHA : Konvensi Hukum Anak

KUHP : Kitab Undang-undang Hukum Pidana LAPAS : Lembaga Pemasyarakatan

MCK : Mandi Cuci Kakus

PP : Peraturan Pemerintah UU : Undang-Undang


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak-hak Anak, tepatnya pada tanggal 25 Agustus 1990 melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990 karena Indonesia belum mempunyai kebijakan dan peraturan perundang-undangan tentang perlindungan anak yang berorientasi pada Konvensi Hak-hak Anak. Namun pada tanggal 22 Oktober 2002, Indonesia menetapkan Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berorientasi pada hak-hak anak seperti yang tertuang dalam Konvensi Hak-hak Anak. Perjuangan melahirkan kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang memihak kepada kepentingan terbaik anak cukup panjang, seiring dengan pasang surut berbagai kepentingan dan situasi multi krisis berkepanjangan di segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia sejak lima tahun terakhir.

Berbagai konflik komunal di sebagian wilayah Indonesia disertai instabilitas di bidang politik dan pemerintahan telah memperberat upaya-upaya peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak di Indonesia. Keadaan yang serba krisis dan kritis ini, telah mendesak pemerintah untuk menyelesaikan banyak prioritas-prioritas lain seperti politik, pemulihan ekonomi dan keamanan, ketimbang upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan anak di Indonesia. Akibatnya, berbagai permasalahan anak muncul ke permukaan karena jaminan negara terhadap


(16)

pemenuhan kebutuhan dasar anak seperti pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial dan perlindungan anak tidak maksimal. Dengan demikian perlu adanya upaya yang terus-menerus dilakukan bersama dengan semua pihak melalui tindakan nasional dan kerjasama internasional.

Komitmen bersama diperlukan untuk menempatkan anak pada arus utama pembangunan dan diarahkan pada investasi sumberdaya manusia (human investment). Keyakinan bahwa anak adalah generasi penerus dan harapan masa depan bangsa, akan mendorong semua tindakan yang menyangkut kepentingan anak, baik yang dilakukan oleh lembaga pemerintah, lembaga peradilan, lembaga legislatif maupun masyarakat akan memberikan prioritas tinggi kepada pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak, demi kepentingan terbaik anak Indonesia.

Situasi dan kondisi anak Indonesia saat ini, mencerminkan adanya penyalah gunaan anak (abuse), eksploitatif, diskriminatif dan mengalami berbagai tindakan kekerasan yang membahayakan perkembangan jasmani, rohani, dan sosial anak. Keadaan ini, tentunya sangat memprihatinkan bagi bangsa dan negara Indonesia, karena anak dari aspek agama merupakan amanah dan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijaga harkat dan martabatnya sebagai mahluk ciptaan–Nya. Dari aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah generasi penerus perjuangan bangsa dan penentu masa depan bangsa dan negara Indonesia. Untuk itu, diperlukan upaya-upaya yang akan memberikan perlindungan khusus kepada anak-anak Indonesia yang berada dalam keadaan sulit tersebut, ke dalam suatu Program


(17)

Nasional Bagi Anak Indonesia sebagai tindak lanjut Sidang Umum PBB Untuk Anak yang melahirkan deklarasi “ A World Fit For Children “.

Hakekat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Hal ini berarti bahwa pembangunan tidak hanya mengejar kemajuan lahiriah seperti pangan, sandang, perumahan, dan kesehatan dan sebagainya, melainkan keselarasan dan keserasaian serta keseimbangan secara menyeluruh.

Kelangsungan dan berhasilnya pembangunan sangat bergantung kepada situasi, kondisi, keamanan, stabilitas, dan keadaan negara yang konsisten. Oleh karena itu perlu usaha memelihara dan mengembangkan stabilitas nasional yang sehat, dinamis di bidang politik, ekonomi, serta sosial. Stabilitas di bidang politik akan tumbuh dengan tegaknya kehidupan konstitusional demokratis berdasakan hukum dan selanjutnya meningkatkan usaha memelihara ketertiban serta kepastian hkum yang mampu mengayomi masyarakat. Pembangunan nasional yang merupakan proses modernisasi membawa dampak positif maupun negatif. Hal ini dengan dapat dibuktikan dengan banyaknya perbuatan pidana (openbare orde) atau kenakalan anak-anak.1

Lebih dari 4.000 (empat ribu) anak Indonesia diajukan ke pengadilan setiap tahunnya atas kejahatan ringan seperti pencurian. Pada umumnya mereka tidak mendapatkan dukungan dari pengacara maupun dinas sosial. Maka tidaklah mengejutkan, sembilan dari sepuluh anak ini akhirnya dijebloskan ke penjara atau rumah tahanan.2

Pada tahun 2000, tercatat dalam statistik kriminal kepolisian Republik Indonesia terdapat lebih dari 11.344 (sebelas ribu tiga ratus empat puluh empat) anak yang disangka sebagai pelaku tindak pidana. Pada bulan Januari

1

Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan bahwa sistem pemerintahan negara yang ditegaskan adalah negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat)

2

Steven Allen, Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak Juvenile Justice System) di


(18)

hingga Mei 2002, ditemukan 4.325 (empat ribu tiga ratus dua puluh lima) tahanan anak di rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia. Lebih menyedihkan, sebagian besar 84 % (delapan puluh empat persen) anak-anak ini berada di dalam lembaga penahanan dan pemenjaraan untuk orang-orang dewasa dan pemuda. Jumlah anak-anak yang ditahan tersebut, tidak termasuk anak-anak yang ditahan dalam kantor polisi (Polsek, Polres, dan Polda). Pada rentang waktu yang sama, yaitu Januari hingga Mei 2002, telah tercatat 9.465 (sembilan ribu empat ratus enam puluh lima) anak-anak yang berstatus sebagai Anak Didik (Anak Sipil, Anak Negara dan Anak Pidana) tersebar di seluruh rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan. Sebagian besar, yaitu 53 % (lima puluh tiga persen) berada di rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan untuk orang dewasa dan pemuda.3

Keberadaan anak-anak dalam tempat penahanan dan pemenjaraan bersama orang-orang yang lebih dewasa, menempatkan anak-anak pada situasi rawan menjadi korban berbagai tindak kekerasan.4 Anak-anak dalam kondisi demikian disebut dengan anak yang berkonflik dengan hukum (children in conflict with the law). Anak yang berkonflik dengan hukum dapat didefinisikan anak yang disangka, dituduh atau diakui sebagai telah melanggar hukum pidana.5

Majelis Umum PBB dalam Standard Minimum Rules for the Administration

of Juvenile Justice atau yang dikenal dengan Beijing Rules mendefisinikannya

sebagai berikut: “a child or young person who is alleged to have committed or who

has been found to have committed an offence”.6

3

www.pemantauperadilan.com di unduh pada tanggal 9 September 2008

4

Steven Allen,Op-Cit., hlm. ii

5

Pasal 40 ayat (1) Konvensi Hukum Anak

6


(19)

Dalam perspektif Konvensi Hak Anak atau KHA (Convention The Rights of

The Child/CRC),7 anak yang berkonflik dengan hukum dikategorikan sebagai anak dalam situasi khusus (children in need of special protection/CNSP).8

UNICEF menyebut anak dalam kelompok ini sebagai “children in especially

difficult circumstances” (CEDC) karena kebutuhan-kebutuhannya tidak terpenuhi,

rentan mengalami tindak kekerasan, berada di luar lingkungan keluarga (berada pada lingkup otoritas institusi negara), membutuhkan perlindungan berupa regulasi khusus, dan membutuhkan perlindungan dan keamanan diri. Kebutuhan-kebutuhan ini tidak dapat dipenuhi karena anak tersebut tidak mendapatkan perlindungan dan perawatan yang layak dari orang dewasa yang berada di lingkungan tempat di mana anak biasanya menjalani hidup. 9

Seseorang yang melanggar hukum pidana akan berhadapan dengan negara melalui aparat penegak hukumnya. Sebagai sebuah instrumen pengawasan sosial, hukum pidana menyandarkan diri pada sanksi karena fungsinya memang mencabut hak orang atas kehidupan, kebebasan, atau hak milik mereka. Invasi terhadap hak dasar ini dibenarkan demi melestarikan masyarakat dan melindungi hak-hak fundamental dari gangguan orang lain.10

Pencabutan kebebasan seseorang dalam doktrin Hukum Hak Asasi Manusia Internasional termasuk rumpun Hak Sipil dan Hak Politik, karena menyangkut

7

Pemerintah Republik Indonesia telah meratifikasi KHA melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990

8

Lihat KHA Pasal 37, 39 ,dan 40

9

Judith, Difficult Circumstances:Some Reflections on “Street Children” in Africa, Children, Youth and Environments 13 (1), Spring 2003, hlm. 7

10

Noor Muhammad, Proses Hukum Bagi Orang yang Didakwa Melakukan Kejahatan, dalam


(20)

pemajuan dan perlindungan martabat dan keutuhan manusia secara individual. Terdapat 3 (tiga) hak yang bersifat lebih fundamental daripada hak lain untuk mencapai maksud tersebut, yakni hak atas hidup, keutuhan jasmani, dan kebebasan. Pada ketiga hak inilah semua hak lain bergantung, tanpa ketiga hak ini, hak-hak lain sedikit atau sama sekali tidak bermakna.11

Dalam konteks pencabutan kebebasan seseorang, doktrin Hak Asasi Manusia memberikan legitimasi yakni sepanjang seseorang melakukan tindak pidana. Kovenan Internasional Hak Sipil dan Hak Politik (International Covenant

Civil and Politic Rights/ICCPR), sebagai instrumen Hukum Hak Asasi

Manusia Internasional utama (core instrument of human rights) yang memayungi hak sipil dan hak politik, mengatur persoalan pencabutan kebebasan seseorang terkait dengan tindak pidana yang dilakukannya setidaknya dalam pasal-pasal berikut: Pasal 9, Pasal 10, Pasal 14, dan Pasal 15. Namun dalam pelaksanaan proses peradilan pidana, terdapat larangan dan pembatasan untuk melakukan tindakan sebagai berikut: diskriminasi (Pasal 2 ayat (1), Pasal 26), melakukan penyiksaan (Pasal 7), dan menjatuhkan hukuman mati (Pasal 4 ayat (2), Pasal 6 ayat (1 sampai dengan 6).12

Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang menyatakan Kepala LAPAS berwenang memberikan tindakan disiplin atau menjatuhkan hukuman disiplin terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan yang melanggar peraturan keamanan dan ketertiban di lingkungan LAPAS yang dipimpinnya, maka anak akan berada pada sebuah institusi yang berpotensi melakukan tindakan kekerasan. Potensi kekerasan semakin ditampakkan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menetapkan bahwa pada saat menjalankan tugasnya, petugas LAPAS diperlengkapi dengan senjata api dan sarana keamanan yang lain. Kondisi ini jelas menempatkan anak pada suatu institusi yang mengancam kehidupan anak karena ketentuan tersebut tidak memberikan pengecualian kepada petugas LAPAS Anak. Seharusnya petugas LAPAS Anak tidak perlu dilengkapi dengan senjata api atau peralatan keamanan lain. Peraturan PBB bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan Kebebasannya, Butir 65 menetapkan bahwa pembawaan dan penggunaan senjata oleh personil fasilitas pemasyarakatan harus dilarang pada setiap fasilitas di mana anak-anak ditahan.13

11

Yoram Dinstein, Hak Atas Hidup, Keutuhan Jasmani, dan Kebebasan, dalam Hak Sipil dan

Politik, Esai-Esai Pilihan, hlm. 128 12

Pemerintah Republik Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil dan Hak Politik melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005.

13

Butir 66 Peraturan PBB bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan Kebebasannya, menyatakan bahwa tindakan-tindakan dan prosedur-prosedur penghukuman apa pun harus mempertahankan kepentingan keamanan dan kehidupan masyarakat yang teratur dan harus konsisten


(21)

Negara dibebani kewajiban untuk melakukan tindakan-tindakan berikut: memperlakukan secara manusiawi (Pasal 10 ayat (1)), menyamakan kedudukan di muka hukum (Pasal 14(1)), menerapkan asas praduga tidak bersalah (Pasal 14 ayat (2)), menjamin proses peradilan pidana yang efektif dan imparsial (Pasal 14), dan menerapkan asas retroaktif (Pasal 15). Pasal-pasal ini dapat dielaborasi dan diinterpretasikan dengan merujuk pada ketentuan Hukum Hak Asasi Manusia Internasional lain guna melihat kewajiban negara lebih jauh dalam menghargai, melindungi, dan memenuhi hak asasi seseorang yang tengah menghadapi proses hukum. Implementasi kewajiban-kewajiban tersebut di atas nampak dalam praktik negara melalui aparatnya dalam mewujudkan sistem peradilan pidana (integrated criminal

justice system). 14

Keterpaduan sistem peradilan pidana dimaknai sebagai “…the collective

institutions through which in accused offender passes until the accusations have been dispossed of or the assessed punishment concluded…”. Sistem peradilan pidana

terpadu bukanlah suatu sistem yang bekerja dalam satu unit kerja atau bagian yang menyatu secara harfiah melainkan adanya kombinasi yang serasi antar sub-sistem untuk mencapai satu tujuan. 15

Hal keterpaduan, sebagaimana yang dinyatakan Pillai, yaitu :

“…the concept of an Integrated Criminal Justice System does not envisage the entire system working as one unit or department or as different section on one unified service. Rather, it might be said to work on the principle of ‘unity in diversity’ somewhat like that under which the armed forces function. Each of the three main armed services own its distinctive roles, its training schemes, its own personnel, and its own operational method”.16

dengan penghormatan martabat yang melekat pada anak itu dengan tujuan dasar pengasuhan pada fasilitas pemasyarakatan, yaitu menanamkan ras keadilan, harga diri dan penghormatan bagi hak-hak asasi dasar setiap orang

14

Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks Ke Indonesiaan, (Bandung ; Utomo, 2006), hlm. 213

15

www.pemantauperadilan.com di unduh pada tanggal 9 September 2008

16

Editorial, Lembaga Pengawasan Sistem Peradilan Pidana Terpadu, (Jakarta : MAPPI FHUI, 2003)


(22)

Merujuk pada makna di atas maka lembaga-lembaga yang terkait dalam sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia, dalam hal ini dimulai dari lembaga yang bertugas dalam proses penyelidikan hingga pada lembaga yang bertugas dalam tahap pelaksanaan putusan, yakni diawali pada institusi kepolisian, institusi kejaksaan, institusi kehakiman, hingga diakhiri institusi lembaga pemasyarakatan.

Dengan demikian rangkaian proses hukum bagi orang yang dituduh melakukan tindak pidana akan melalui tahapan penyelidikan, tahapan penyidikan, tahapan penuntutan, tahapan persidangan, dan tahapan menjalani eksekusi. Artinya sejak penangkapan sampai menjalani hukuman orang ini akan berhadapan dengan institusi yang mempunyai kewenangan monopoli secara eksklusif untuk melakukan kekerasan, yakni negara. Selain hal itu, negara secara sah membuat instrumen represi dan mendayagunakan instrumen tersebut secara legal dan terlegitimasi.17

Instrumen tersebut termanifestasi dalam perangkat hukum pidana. Padahal negara secara definitif berpotensi melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena itu dapat pula dikatakan keseluruhan rangkaian tersebut berpotensi pula melanggar hak asasi manusia. Kesemua rangkaian ini jika dianalisis dengan alas pijak ketentuan-ketentuan Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik dengan koridor proses hukum yang semestinya, maka terdiri dari: hak terdakwa dalam pra pemeriksaan

17

Samuel Gultom, Mengadili Korban : Praktek Pembenaran Terhadap Kekerasan Negara, (Jakarta : Elsam, 2003), hlm. 7.


(23)

pengadilan; hak terdakwa atas pemeriksaan pengadilan yang adil; dan pembatasan-pembatasan hukum.18

Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan samapi anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif, maka Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak meletakkan kewajiban memberikan perlidungan kepada anak berdasarkan asas-asas sebagai berikut:

a. Nondiskriminasi;

b. Kepentingan yang terbaik bagi anak;

c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan d. Penghargaan terhadap pendapat anak.

Demikian pula halnya jika anak-anak berhadapan dengan hukum, maka potensi hak-haknya dilanggar oleh negara lebih besar ketimbang orang dewasa yang melakukan tindak pidana. Potensi ini dikarenakan anak merupakan sosok manusia yang dalam hidup kehidupannya masih menggantungkan pada intervensi pihak lain.19

18

Noor Muhammad, Op-Cit., hlm. 183.

19

Lihat Mukadimah KHA: Mengingat bahwa dalam Deklarasi Universal HAM, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyatakan bahwa anak-anak berhak atas pengasuhannya dan bantuan khusus. Kemudian mengingat bahwa seperti yang ditunjuk dalam Deklarasi mengenai Hak-hak Anak, "anak, karena alasan ketidakdewasaan fisik dan jiwanya, membutuhkan perlindungan dan pengasuhan khusus, termasuk perlindungan hukum yang tepat, baik sebelum dan juga sesudah kelahiran. Lebih lanjut Pasal 2 menegaskan:

(1). Negara-negara pihak harus menghormati dan menjamin hak-hak yang dinyatakan dalam Konvensi ini pada setiap anak yang berada di dalam yurisdiksi mereka, tanpa diskriminasi macam apa pun, tanpa menghiraukan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lain, kewarganegaraan, etnis, atau asal-usul sosial, harta kekayaan, cacat, kelahiran atau status yang lain dari anak atau orang tua anak atau wali hukum anak.


(24)

Doktrin Hak Asasi Manusia mengkategorikan kelompok ini sebagai kelompok rentan

(vulnerable group).20 Konsekuensi yuridisnya kelompok ini seharusnya mendapatkan perhatian lebih dari negara. Terkait dengan kelompok tersebut, Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik menegaskan bahwa setiap anak berhak untuk mendapatkan hak atas langkah-langkah perlindungan karena statusnya sebagai anak di bawah umur, terhadap keluarga, masyarakat dan negara (Pasal 24 (1)).

Muladi dalam kapita selekta sistem peradilan pidana menjelaskan:

1) Jangan menggunakan hukum pidana dengan emosional untuk melakukan pembalasan semata-mata.

2) Hukum pidana hendaknya jangan di gunakan untuk memidana perbuatan yang tidak jelad korban atau kerugiannya.

3) Hukum pidana jangan di pakai guna mencari sesuatu tujuan yang pada dasarnya dapat di capai dengan cara lain yang sama efektifnya dengan penderitaan atau kerugian yang lebih sedikit.

4) Jangan memakai hukum pidana apabila kerugian yang di timbulkan lebih daripada kerugian yang di akibatkan oleh tindak pidana yang akan di rumuskan.

5) Hukum pidana jangan di gunakan apabila hasil sampingan (by product) yang lebih merugikan di bandingkan dengan perbuatan yang di kriminalisasikan. 6) Jangan menggunakan hukum pidana apabila tidak sebanding oleh masyarakat

secara luas.

7) Jangan mempergunakan hukum pidana apabila penggunaannya di perkirakan tidak dapat efektif (enforceable).

8) Hukum pidana harus universalistic. 9) Hukum pidana harus rasional.

10)Hukum pidana harus menjaga keserasian antara order legitimation and

competence.

11)Hukum pidana harus menjaga keselarasan antara social defence, prosedural,

fearness and subtantive justice.

(2). Negara-negara pihak harus mengambil semua langkah yang tepat untuk menjamin bahwa anak dilindungi dari semua bentuk diskriminasi atau hukuman atas dasar status, aktivitas, pendapat yang diutarakan atau kepercayaan orang tua anak, wali hukum anak atau anggota keluarga anak.

20

Menurut Human Rights Reference disebutkan, bahwa yang tergolong ke dalam kelompok rentan adalah: a. Refugees, b, Internally Displaced Persons (IDPs); c. National Minorities, d. Migrant


(25)

12)Hukum pidana harus menjaga keserasian antara moralis komunal, moralis, kelembagaan, dan moralis sipil.

13)Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan korban kejahatan.

14)Dalam hal-hal tertentu hukum pidana harus mempertimbangkan secara khusus, skala prioritas kepentingan pengaturan.

15)Penggunaan hukum pidana sebagai sarana represif harus di dayagunakan secara serentak dengan pencegahan non penal prevention without

punishment.21

Masalah pembinaan generasi muda merupakan bagian integral dari masalah pembangunan. Oleh sebab itu sebagian masalah pembinaan yaitu pembinaan yustisial terhadap generasi muda khususnya anak-anak perlu mendapat perhatian serta pembahasan tersendiri. Hal ini dapat direalisasikan dengan adanya peradilan khusus agar terdapat jaminan bahwa penyelesaian dilakukan dengan benar-benar untuk kesejahteraan anak yang bersangkutan dan kepentingan masyarakat tanpa mengabaikan terlaksananya hukum dan keadilan.

Kewajiban negara sangat dominan dalam perkembangan perundang-undangan yang berlaku bagi anak-anak, khususnya dengan dikeluarkannya Surat Edaran Kejaksaan Agung pada Mahkamah Agung No. P 1/20 tertanggal 30 \Maret 1951 yan menjelaskan tentang penjahat anak-anak adalah mereka yang menurut hukum pidana melakukan perbuatan yang dapat dihukum, belum berusia 16 tahun.22 Jaksa Agung dalam hal ini menekankan bahwa menghadapkan penjahat anak-anak ke muka hakim (pengadilan) hanya sebagai langkah terakhir atau ultimum remedium. Sedangkan bagi penjahat anak-anak yang dimungkinkan ada penyelesaian lain, maka perlu

21

Hardi Widioso, “Tindakan/Pidana Atas Kasus Tindak Pidana Anak”, Warta

Pemasyarakatan Nomor 29 Tahun IX-April 2008, (Jakarta : Dirjen Pemasyarakatan, 2008), hlm. 23 22


(26)

dipertimbangkan. Lembaga yang tepat untuk menyelesaikan masalah tersebut adalah Kantor Pejabat Sosial dan Pro Juventure.23 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 telah mencabut Pasal 45, 46, dan 47 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatur straf modus dan straf sort tentang sistem pemidanaan untuk anak, dengan tujuan semata-mata untuk memberikan perlindungan dari stigma pada jiwa anak dalam menjalani proses perkara pidana. Akantetapi pada tataran implementasinya dirasakan tidak dapat memenuhi tujuan dilahirkannya Undang-undang yang dimaksud, karena pendekatan yuridis formal lebih ditonjolkan dan tertutup dilakukannya upaya diskresi dalam mencari solusi perkara anak nakal.

Model peradilan restoratif yang lebih menekankan diskresi untuk penyelesaian masalah anak nakal, memberikan alternatif sebagai upaya menghindarkan stigma mental anak pada proses hokum. Model peradilan restoratif ini, pada tataran ius constotuendum peradilan anak Indonesia adalah suatu pemikiran dalam rangka perumusan undang-undang peradilan anak.

Hebohnya dunia hukum anak di Indonesia pada tahun 2006 yang terangkat kepermukaan adalah kasus Raju. Anak berusia 8 (delapan) tahun ini ditahan selama 19 (sembilan belas) hari untuk menjalani proses hukum yang menimbulkan trauma. Proses persidangan yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Stabat Cabang Pangkalan Brandan Kabupaten Langkat Sumut telah sesuai dengan prosedural ketentuan hukum peradilan anak yang berlaku, namun tetap timbul berbagai protes dari para pemerhati

23

Jaksa Agung R. Suprapto pada tahun 1951 telah menganggap bahwa masalah penjahat anak-anak memerlukan penanganan khusus sesuai dengan keadaan khusus dari anak-anak untuk masa depannya.


(27)

anak Indonesia.

Sebagaimana dilansir Berita Harian Kompas yang memberitakan kasus Raju, menimbulkan berbagai tanggapan terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 yang bermunculan dari para pemerhati anak. Aparat penegak hukum sudah melakukan tugasnya dengan baik, tetapi justru menimbulkan masalah lain.24 Ketua Komnas Perlindungan Anak dan Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta meminta kasus Raju dijadikan pintu masuk untuk mengamandemen Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.25 Berbagai kelemahan formulasi corak atau model sistem peradilan anak dipertaruhkan, padahal dianggap formulator sebagai model peradilan anak yang lebih baik dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berkaiatan dengan masalah pengaturan tentang tindak pidana dan, pertanggungjawaban pidana serta pidana dan pemidanaannya.

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka peneliti akan membahas ”Perlindungan Terhadap Narapidana Anak Ditinjau Dari Undang-Undang Pemasyarakatan Nomor 12 Tahun 1995”.

24

Kompas, 3 Maret 2006

25


(28)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan, yaitu :

1. Bagaimanakah pengaturan perlindungan terhadap anak di Lembaga Pemasyarakatan Anak?

2. Bagaimanakah konsep dan program binaan anak di Lembaga Pemasyarakatan?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan penelitian yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini, yaitu:

1. Untuk mengetahui pengaturan perlindungan terhadap anak dalam sistem peradilan pidana.

2. Untuk menjelaskan konsep dan program binaan anak di Lembaga Pemasyarakatan.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah:

a. Penelitian tesis ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam memberikan perlindungan terhadap anak.

b. Sebagai sumbang saran bagi instasni terkait, khususnya yang berkaitan dengan anak di Lembaga Pemasyarakatan


(29)

c. Penelitian tesis ini diharapkan memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat peraturan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyaraktan yang berlaku saat ini.

d. Sebagai bahan kajian kalangan akademisi dalam upaya menambah wawasan ilmu pengetahuan tentang perlindungan anak.

e. Sebagai bahan masukan bagi peradilan jika menghadapi kasus yang berkaitan dengan anak, khususnya di Sumatera Utara.

E. Keaslian Penelitian

Agar tidak terjadi pengulangan suatu penelitian terhadap masalah yang sama, peneliti biasanya akan mengumpulkan data tentang masalah tersebut sebelum melakukan kegiatan ilmiah tersebut.

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan (library research) terdapat beberapa penelitian khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara Medan yang membahas tentang ”Perlindungan Terhadap Narapidana Anak Ditinjau dari Undang-Undang Pemasyarakatan Nomor 12 Tahun 1995” ini belum pernah dilakukan dalam judul dan permasalahan yang sama. Dengan demikian penelitian ini asli serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.


(30)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori bertujuan untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spsesifik atau proses tertentu terjadi,26 dan suatu kerangka teori harus diuji untuk menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya. 27 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butis-butir pendapat, teori, tesis dari penulis dan ahli hukum di bidangnya yang menjadi bahan perbandingan, pegangan toeritas, yang mungkin disetujui atau tidak disetujui yang merupakan masukan eksternal bagi penulisan tesis.28

Teori ini sendiri adalah serangkaian proposisi yang berisi konsep abstrak atau konsep yang sudah didefinisikan dan saling berhubungan antar variabel sehingga menghasilkan pandangan sistematis dari fenomena yang digambarkan oleh suatu variabel dengan variabel lainnya dan menjelaskan bagaimana hubungan antar variabel tersebut.

Sedangkan fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk mensistematiskan penemuan-penemuan penelitian, membuat ramalan atau prediksi atas dasar penemuan dan menyajikan penjelasan yang dalam hal ini untuk menjawab pertanyaan. Artinya teori merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang

26

Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, Penyunting: M. Hisyam, (Jakarta : FE UI, 1996), hlm. 203.

27

Ibid, hlm. 16. 28


(31)

harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan dengan benar.29 Hal ini sesuai dengan pendapat Peter M. Marzuki yang menyatakan bahwa penelitian hukum silakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori, ataupun konsep baru sebagai preskrepsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.30

a. Teori pemidanaan

Teori tentang pemidanaan adalah upaya untuk menyadarkan narapidana atau anak pidana agar menyesali perbuatannya, dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagamaan, sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib, dan damai. Anak yang bersalah pembinaannya ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak. Penempatan anak yang bersalah ke dalam Lembaga Pemasyaraktan Anak, dipisah-pisahkan sesuai dengan status mereka masing-masing yaitu anak pidana, anak negara, dan anak sipil. Perbedaan status anak tersebut menjadi dasar pembedaan pembinaan yang dilakukan terhadap mereka.31

Untuk meletakkan anak ke dalam pengertian subjek hukum seperti orang dewasa dan badan hukum, maka faktor internal maupun eksternal sanagt berpengaruh untuk menggolongkan status anak. Unsur internal dan eksternal tersebut, yaitu:32

a. Unsur internal pada diri anak

1) Subjek hukum, sebagai seorang manusia anak juga digolongkan sebagai

human rights yang terikat dalam peraturan perundang-undangan. Yang

diletakkan golongan orang yang belum dewasa, seorang yang berada dalam perwalian, orang yang tidak mampu melakukan perbuatan hukum. 2) Persamaan hak dan kewajiban anak, yang sama dengan orang dewasa

yang diberikan oleh ketentuan perundang-undangan. Hukum meletakkan anak sebagai perantara hukum untuk dapat memperoleh hak dan kewajiban sebagai subjek hukum.

b. Unsur eksternal pada diri anak

29

M. Solly Lubis, Op-Cit, hlm. 17.

30

Peter M. Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana Prenada Media, 2005), hlm. 35.

31

Penjelasan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

32

Maulana Hasan Wadong, Advokat dan Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta : Grasindo, 2000), hlm. 6.


(32)

1) Persamaan kedudukan dalam hukum, dapat memberikan legalitas formal terhadap anak sebagai seorang yang tidak mampu untuk berbuat peristiwa hukum, yang ditentukan oleh peraturan hukum.

2) Hak-hak privilege yang diberikan negara atau pemerintah yang timbul dari Undang-Undang Dasar 1945 dan perundang-undangan.

Perlindungan khusus bagi anak berawal dari Deklarasi Jenewa tentang Hak-Hak Anak pada tahun 1924 yang diakui dalam Universal Declaration of Human

Rights pada tahun 1984. Pada tanggal 20 November 1958, Majelis Umum

Perserikatan Bangsa-Bangsa mengesahkan Declaration of the Rights of the Child (Deklarasi Hak-Hak Anak).

Sementara itu masalah anak terus dibahas dalam beberapa kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai The Prevention of Crime and the Treatment of

Offenders. Pada kongres pertama di Geneva tahun 1955 dibicarakan permasalahan Prevention of Juvenile Deliquency. Sedangkan pada kongres kedua di London pada

tahun 1960 dibicarakan masalah New Forms of Juvenile Deliquency dan masalah

Juvenile Deliquency tetap dibahas di Stockhlom pada tahun 1965.33

Permasalahan anak di Indonesia yang telah dibahas di Perserikatan Bangsa-Bangsa belum mempunyai dasar perundang-undangan yang jelas pada saat berbenturan dengan proses peradilan anak.

b. Teori peradilan anak

Gordon Bazomore dalam tulisannya “Three Paradigms of Juvenile Justice” memperkenalkan tiga corak atau model peradilan anak, yaitu:

33

Seminar Kriminologi I pada tahun 1969 di Semarang memasukkan masalah Juvenile


(33)

1) Model pembinaan pelaku perorangan (individual treatment model);

2) Model retributive (retributive model); 3) Model restorative (restorative model).

Model pembinaan pelaku perorangan (individual treatment model) dan model retributive (retributive model) telah mempercayakan campur tangan peradilan anak dan menetapkan dengan pasti parameter-parameter kebijakan tentang peradilan anak. Di dalam model pembinaan pelaku perorangan, persidangan anak dilihat sebagai suatu agensi kesejahteraan dengan mandat peradilan yang samara-samar, pembinaan dilandaskan pada cara medik terapeutik, tentang sebab-sebab timbulnya delinkuensi anak. Atas dasar itu delinkuensi anak dipandang sebagai simptomatik dan gangguan, dan hakikat serta tingkat keseriusannya dilihat tidak lebih sebagai persoalan yang membutuhkan pelayanan terapeutik untuk mengkoreksi gangguan-gangguan yang ada sebelumnya.

Model pembinaan pelaku perorangan di negara-negara Eropa dikenal sebagai “model kesejahteraan anak”, berangkat dari satu cara pandang bahwa kejahatan atau delinkuensi anak tidak dipertimbangkan atau diharapkan pada perangkat nilai-nilai, melainkan lebih dilihat sebagai tanda tidak fungsionalnya sosialisasi. Intervensi adalah sarana untuk mencoba meralat perilaku penyimpangan social lewat pemberian sanksi terhadap masalah personal seseorang dan kebutuhan pembinaan anak pelaku

delinkuen.

Corak atau model pembinaan pelaku perorangan ini dirasakan kelemahannya terutama tidak terjaminnya timbul stigmatisasi, paternalistic, mahal, tidak memadai,


(34)

dan jaminan hukumnya lemah serta diragukan intensitasnya. Di samping itu, model ini dilihat masih belum berhasil mengarahkan secara formal kebutuhan untuk meningkatkan efektivitas sanksi terhadap anak pelaku delinkuen dan gagal memainkan peran dari peradilan anak dalam kerangka penyelamatan publik.

Keputusan bersifat ambivalen dan tidak taat asas (inconsistent) serta cenderung menyembunyikan maksud pemidanaan dengan mengatasnamakan keselamatan publik. Seiring dengan kritik terhadap model pembinaan pelaku perorangan terhadap anak tersebut, kemudian muncul tuntutan untuk segera mereformasi peradilan anak. Arah reformasi tertuju pada pengaplikasian filosofis “pemberian ganjaran”. Pengaplikasian filosofis itu dimaksudkan sebagai upaya untuk merasionalisasikan ketidakpastian pembuatan keputusan dalam persidangan anak, dan untuk menegaskan kembali pentingnya fungsi sanksi. Konsekuensi yang muncul kemudian adalah tuntutan akan perlunya mengadopsi pedoman pemberian pidana yang pasti, Undang-undang tentang anak tidak lagi menekankan rehabilitasi dan membuang kerangka acuan berorientasi pada keperluan pelaku.

Untuk beracara di persidangan, masih ada yang mempergunakan hukum acara bagi orang dewasa yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 KUHAP. Padahal Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak dapat dijadikan sebagai sumber hukum. Perlindungan adalah tempat berlindung atau perbuatan melindungi. Sedangkan hukum adalah peraturan yang dibuat oleh penguasa (pemerintah) yang berlaku bagi semua orang di suatu masyarakat. Jadi perlindungan hukum adalah tempat berlindungnya seseorang dari suatu tindak pidana melalui


(35)

peraturan yang dibuat oleh penguasa (pemerintah) yang berlaku bagi semua orang di suatu negara. Perlindungan hukum disini diberikan kepada anak yang menjadi pelaku dari kejahatan seperti perkosaan, cabul dan pencurian.

Sebagaimana diketahui bersama bahwa kepedulian umat manusia atas eksistensi anak dan masa depannya telah mendapatkan legitimasi dengan diratifikasinya konvensi perjuangan besar bangsa Indonesia tentang hak-hak anak.

Proses peradilan pidana anak akan berakhir pada institusi pemasyarakatan manakala hakim memvonis terdakwa bersalah telah melakukan tindak pidana dan diperintahkan menjalani hukuman pidana penjara. Anak yang dihukum penjara akan ditempatkan di lembaga pemasyarakatan oleh jaksa sebagai pelaksana eksekusi. Dengan demikian anak yang ditempatkan di lembaga pemasyarakatan berarti dirampas kebebasan pribadinya akibat menjalani hukuman. 34

Menghilangkan kebebasan menurut Peraturan PBB bagi Perlindungan Anak yang kehilangan kebebasannya, dimaknai bentuk penahanan atau hukuman penjara apa pun atau penempatan seseorang pada suatu tempat penahanan, dimana orang tersebut tidak diperkenankan pergi sesukanya, atas perintah suatu pihak kehakiman, administrasi atau pihak umum lainnya.35 Selanjutnya butir 12 menentukan bahwa menghilangkan kebebasan harus dikenakan pada kondisi-kondisi dan keadaan-keadaan yang menjamin penghormatan hak-hak asasi manusia para anak. Para anak

34

Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan (Lihat Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

35

Lihat Butir 11 huruf (b) Peraturan PBB bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan Kebebasannya.


(36)

yang ditahan pada fasilitas-fasilitas pemasyarakatan harus dijamin mendapatkan manfaat dari kegiatan-kegiatan dan program-program yang berarti, yang akan berfungsi untuk memajukan dan mempertahankan kesehatan dan harga diri mereka, untuk membina rasa tanggung jawab dan mendorong sikap-sikap dan keterampilan-keterampilan yang akan membantu mereka dalam mengembangkan potensi mereka sebagai anggota-anggota masyarakat.

Jika membaca legal term “menjalani pidana”, diserahkan pada negara untuk dididik, dan “atas permintaan orang tua atau walinya dididik dan ditempatkan” di LAPAS dengan didasari putusan pengadilan menunjukkan bahwa negara diberikan hak untuk mengambil alih kewenangan pengasuhan orang tua. Hal yang perlu dicemaskan adalah diberikannya kewenangan kepada petugas LAPAS menggunakan kekerasan.

Kovenan Hak Sipil dan Politik, Pasal 7 melarang segala bentuk tindak kekerasan seorang pun yang dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat setiap manusia. Segala bentuk penghukuman tersebut jelas tidak konsisten dengan ketentuan Pasal 10 Kovenan yang mengatur bahwa setiap orang yang dirampas kebebasannya wajib diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabat yang melekat pada diri manusia. Pasal 37 Konvenan Hukum Anak juga menjamin hal serupa dimana huruf a mengatakan :

Negara-negara pihak harus menjamin bahwa tidak seorang anak pun dapat dijadikan sasaran penganiayaan, atau perlakuan kejam yang lain, tidak manusiawi atau hukuman yang menghinakan. Kemudian kewajiban ini


(37)

dipertegas kembali pada huruf (c) yang mennetapkan bahwa setiap anak yang dirampas kebebasannya harus diperlakukan manusiawi dan menghormati martabat manusia yang melekat, dan dalam suatu cara dan mengingat akan kebutuhan-kebutuhan orang pada umurnya.36

2. Kerangka Konsepsi

Konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum disamping yang lain-lain, seperti asas dan standar. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu sari hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum. Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam fikiran penelitian untuk keperluan analitis.37 Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan untuk sebagai dasar penelitian hukum.38

Suatu konsep atau kerangka konsepsional pada hakekatnya merupakan suatu pengaruh atau pedoman yang lebih konkrit daripada kerangka teoritis yang seringkali masih bersifat abstrak. Namun demikian, suatu kerangka konsepsional belaka kadang-kadang dirasakan masih juga abstrak, sehingga diperlukan defenisi-defenisi operasional yang akan dapat dijadikan pegangan konkrit didalam proses penelitian.

Konsep atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian, jika masalah dan kerangka konsep teoritisnya telah jelas, biasanya sudah diketahui pula fakta mengenai gejala-gejala yang menjadi pokok perhatian, dan suatu konsep

36

Lihat Pasal 37 Konvenan Hukum Anak.

37

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung : Aditya Bakti, 1996), hlm. 306.

38

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 7.


(38)

sebenarnya adalah defenisi secara singkat dari apa yang diamati, konsep menentukan antara variabel yang ingin menetukan adanya hubungan empiris.39

Pentingnya defenisi oerasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.

Oleh karena itu dalam penelitian ini didefinisikan beberapa konsep dasar agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu:

1. Perlindungan anak adalah suatu usaha yang mengadakan kondisi dimana anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Sedangkan menurut Shanty Dellyana, perlindungan anak adalah suatu usaha mengadakan kondisi yang melindungi anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya dan harus diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. 2. Irma Setyowati Soemitri membedakan 2 (dua) pengertian perlindungan anak,

yaitu:

a. Perlindungan anak bersifat yuridis yang meliputi bidang hukum publik dan bidang hukum perdata.

b. Perlindungan anak bersifat non yuridis yang meliputi bidang sosial, bidang kesehatan, bidang pendidikan.40

39

Koentjorodiningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta : Gramedia Pustaka, 1997), hlm. 21.

40

Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta : Bumi Aksara, 1990), hlm. 13.


(39)

3. Narapidana anak adalah anak yang bersalah dan ditempatkan pembinaannya di Lembaga Pemasyarakatan Anak, dipisah-pisahkan sesuai dengan status mereka masing-masing yaitu Anak Pidana, Anak Negara, dan Anak Sipil.41 4. Lembaga Pemasyarakatan suatu instansi yang memberikan pembinaan agar

tercapainya suatu sistem pemasyarakatan berupa satu rangkaian kesatuan penegakan hukum pidana, oleh karena itu pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari pengembangan konsepsi umum mengenai pemidanaan.42

G. Metode Penelitian

1. Spesifikasi dan Sifat Penelitian

Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian, maka sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu menafsirkan data yang ada, misalnya tentang situasi yang dialami, pandangan, sikap yang nampak dan sebagainya.

Analitis yaitu suatu penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan mengatasi masalah-masalah tertentu.

Materi penelitian diperoleh melalui pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan hukum dengan melihat peraturan-peraturan, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder atau pendekatan terhadap masalah dengan cara

41

Anak Pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan paling lama samapi berumur 18 tahun. Anak Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan kepada negara untuk dididik dan ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak paling lama sampai berusia 18 tahun. Anak Sipil yaitu anak yang atas permintaan orangtua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di Lembaga Pemasyarakatan Anak paling lama sampai 18 tahun.

42


(40)

melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku, buku-buku, literatur, karya ilmiah dan pendapat para ahli dan lain sebagainya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto bahwa penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Penelitian hukum normatif mencakup penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum.

Penelitian ini menurut Ronald Dwokin dikenal dengan istilah penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law as its written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as it decided by the judge

through judicial process).

2. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan dan pengambilan data dari lapangan sehingga antara yang seharusnya (das sollen) dan kenyataan (das sein) saling memiliki keterkaitan.

Pengambilan data primer dilakukan dengan wawancara (interview) kepada informan di Lembaga Pemasyarakatan Anak Medan di antaranya :

1. Pegawai administrasi Lembaga Pemasyarakatan Anak Medan. 2. Anak Didik Lembaga Pemasyarakatan Anak Medan.


(41)

Sedangkan pengumpulan data sekunder dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library research).

Adapun data sekunder mencakup:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri dari KUHP, Peraturan Pemerintah dan lain sebagainya.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku teks, hasil-hasil penelitian dan sebagainya.

c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya : kamus, ensiklopedi dan sebagainya.

3. Analisis Data

Salah satu ciri dari penelitian hukum normatif adalah menganalisis data secara kualitatif. Pada tahap awal dilakukan pengumpulan data primer dan sekunder, kemudian data dikelompokkan sesuai dengan rumusan masalah yang ditetapkan. Data-data tersebut selanjutnya dikelompokkan untuk mendapat gambaran yang utuh, menyeluruh dan tepat masalah-masalah yang akan dijawab. Data-data tersebut dianalisis dengan melakukan interpretasi atau ditafsirkan dan selanjutnya hasil penafsiran dideskripsikan kemudian disimpulkan secara deduktif.


(42)

BAB II

PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK

DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK

A. Perlindungan Hukum Terhadap Anak 1. Dimensi Psikologis Anak

Konsep perkembangan moral anak dalam kajian psikologi awalnya dipusatkan pada kajian disiplin, yaitu jenis disiplin terbaik untuk mendidik anak menjadi individu yang mematuhi hukum, dan pengaruh disiplin tersebut pada penyesuaian pribadi dan sosial.

Kajian terhadap perkembangan moral anak tidak bisa terlepas dari perilaku moral itu sendiri. Sebagaimana dinyatakan oleh Hurlock bahwa perilaku moral anak adalah:

“Perilaku yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial, perilaku moral dikendalikan oleh konsep-konsep moral-peraturan perilaku yang telah menjadi kebiasaan bagi anggota suatu budaya dan yang menentukan pola perilaku yang diharapkan dan seluruh anggota kelompok”.43

Perilaku yang dapat disebut moralitas yang sesungguhnya, tidak saja sesuai dengan standar sosial melainkan juga dilaksanakan secara sukarela. Hal ini rnuncul bersamaan dengan peralihan kekuasaan eksternal ke internal dan terdiri atas tingkah

43

Mandiana, Pola Pembinaan Anak Didik Pemsyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Anak

Tangerang Menuju Pada Innovation Treatment System Sesuai PP No. 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan (Surabaya : FH UNS, 2005), hlm. 74


(43)

laku yang diatur dari dalam, disertai parasaan tanggung jawab pribadi untuk tindakan masing-masing.

Perkembangan moral mempunyai aspek kecerdasan dan aspek impulsif. Anak harus belajar apa saja yang benar dan yang salah. Selanjutnya, segera setelah mereka cukup besar, mereka harus diberi penjelasan mengapa ini benar dan itu salah. Mereka juga harus mempunyai kesempatan untuk mengarnbil bagian dalam kelompok sehingga mereka dapat belajar mengenai harapan kelompok.

Hal yang lebih penting lagi, mereka harus mengembangkan keinginan. untuk melakukan hal yang benar, bertindak untuk kebaikan bersama dan menghindari yang salah. Ini dapat dicapai dengan hasil yang paling baik dengan mengaitkan reaksi menyenangkan dengan hal benar, dan reaksi yang tidak menyenangkan dengan reaksi yang salah. Untuk menjamin kemauan untuk bertidak sesuai dengan cara yang diinginkan masyarakat, anak harus menerima persetujuan kelompok.

Bagi seorang anak, belajar berperilaku dengan cara yang disetujui masyarakat merupakan proses yang panjang dan lama yang terus hingga masa remaja. Belajar berperilaku merupakan salah satu tugas perkembangan yang penting di masa kanak-kanak. Sebelum anak masuk sekolah, mereka diharapkan mampu membedakan yang benar dan yang salah dalam situasi yang sederhana dan meletakkan dasar bagi perkembangan hati nurani. Dalam mempelajari sikap moral, menurut pendapat Hurlock, terdapat (4) empat hal yang paling pokok untuk mempelajari apa yang diharapkan kelompok sosial dan anggotanya sebagaimana terkandung dalam hukum-kebiasaan-peraturan, mengembangkan nurani, belajar mengalami perasaan bersalah,


(44)

dan rasa malu bila berperilaku tidak sesuai dengan harapan kelompok, dan mempunyai kesernpatan untuk berinteraksi sosial untuk belajar apa saja yang diharapkan anggota kelompok. Secara lebih jauh Hurlock menyatakan bahwa ada beberapa peranan yang mempengaruhi perkembangan moral anak, yaitu peranan pertama, hukum-kebiasaan-peraturan dalam perkembangan moral mempunyai kedudukan yang strategis yaitu menuntut anak untuk belajar apa yang menjadi harapan kelompok sosialnya.

Dalam setiap kelompok sosial, tindakan tertentu dianggap benar atau salah karena tindakan itu dianggap menunjang, atau menghalangi kesejahteraan kelompok. Kebiasaan yang palmg penting dibakukan menjadi peraturan hukum, dengan hukuman tertentu bagi yang melanggarnya. Dan yang lainnya, yang sama mengikat, seperti hukum, bertahan sebagai kebiasaan tanpa adanya hukuman bagi yang melanggarnya.

Peran kedua, dalam perkembangan moral adalah peran hati nurani, dimana pengembangan hati nurani sebagai kendali internal perilaku individu. Pada masa kini telah ada anggapan bahwa tidak seorang anak pun dilahirkan dengan hati nurani dan bahwa tidak saja setiap anak harus belajar mana yang benar dan mana yang salah, tetapi juga harus menggunakan hati nurani sebagai pengendali perilaku. Hal ini dianggap sebagai salah satu tugas perkembangan yang penting dimasa anak-anak. Hati nurani juga memiliki peran sebagai tanggapan terkondisikan terhadap kecemasan mengenai beberapa situasi dan tindakan tertentu, yang telah dikembangkan dengan mengasosiasikan tindakan agresif dengan hukum.


(45)

Peran ketiga, untuk belajar menjadi anak bermoral adalah pengembangan rasa bersalah dan rasa malu. Rasa bersalah telah dijelaskan sebagai sejenis evaluasi diri khusus yang negatif yang terjadi bila seorang individu mengakui perilakunya berbeda dengan nilai moral yang dirasakannya wajib untuk dipenuhi. Anak yang merasa bersalah tentang apa yang telah dilakukannya, telah mengakui pada dirinya bahwa perilakunya jatuh dibawah standar yang ditetapkannya. Adapun untuk terciptanya perasaan bersalah pada diri anak paling tidak harus memenuhi empat kondisi, yaitu pertama anak-anak harus menerima standar tertentu mengenai hal yang benar dan salah atau baik dan buruk. Kedua, mereka harus menerima kewajiban mengatur perilaku mereka agar sesuai dengan standar yang mereka terima. Ketiga, mereka harus merasa bertanggungjawab atas setiap penyelewengan dan standar tersebut dan mengaku bahwa mereka, dan bukan orang lain yang harus disalahkan, dan keempat, mereka harus memiliki kemampuan mengkritik diri yang cukup besar untuk menyadari bahwa ketidaksesuaian antara mereka telah terjadi. Keempat, kondisi kehidupan tersebut, bahwa untuk belajar menjadi orang bermoral adalah mempunyai kesempatan melakukan interaksi dengan anggota kelompok sosial. Dimana interaksi sosial mempunyai peranan penting dalam perkembangan moral dengan mernberi anak standar perilaku yang disetujui kelompok sosialnya dan dengan memberi mereka sumber motivasi untuk mengikuti standar tersebut rnelalui persetujuan dan ketidaksetujuan sosial.


(46)

2. Kebijakan Perlindungan Anak

a. Pengertian perlindungan anak

Anak dalam pemaknaan yang umum memiliki aspek yang sangat luas, tidak saja hanya disoroti dan satu bidang kajian ilmu saja, melainkan dari berbagai bidang kajian baik dari sudut pandang agama, hukum, sosial-budaya, ekonomi, politik, dan aspek disiplin ilmu yang lainnya. Makna anak dari berbagai cabang ilmu akan memiliki perbedaan baik secara subtansial, fungsi, dan tujuan. Bila kita soroti dan sudut pandang agama, maka pemaknaan anak diasosiasikan bahwa anak adalah makhluk ciptaan Tuhan YME dimana keberadaannya melalui proses penciptaan yang berdimensi kewenangan kehendak Yang Kuasa. Secara rasional, seorang anak terbentuk dari unsur gaib yang transendental dari prosesi ratifikasi sains (ilmu pengetahuan) dengan unsur-unsur lahiriah yang diambil dari nilai-nilai material alam semesta dan nilai-nilai spiritual yang diambil dan prosesi keyakinan beragama.

Dari konsep dasar agama sebagaimana telah dikemukakan diatas dan dikaitkan dengan proses hukum perlindungan anak, baik dalam melakukan pembinaan anak, pemeliharaan anak, yang pada akhirnya akan menjadikan anak sebagai pemimpin di tengah-tengah masyarakat pada saat sekarang. Tentunya hal ini berbeda dengan pandangan yang diberikan dari dunia barat yang berpatokan kepada filsafat, sosial, budaya, politik, dan ekonomi yang telah dikemukakan oleh para ahli dari dunia barat, seperti pendapat Darwin, Herbert Spencer, Karl Marx, August Comte, dan yang lainnya, dimana mereka memandang tentang eksistensi anak melalui proses evolusi fisik, kultur, dan peradaban tentang status anak secara


(47)

transparansi. Pemaknaan anak yang diberikan oleh para ahli hukum berlandaskan pada teori-teori alam semesta (natural law) yang menekankan pada prinsip-prinsip

“the struggle for life and survival of the fittest” (perjuangan untuk hidup dan yang

kuat akan bertahan).

Khususnya di negara Indonesia kedudukan anak menjadi bagian utama dalam sendi kehidupan keluarga, agama, bangsa, dan negara, baik dalam menumbuhkembangkan inteligensi anak maupun mental spiritual. Hal ini dilandasi dengan ciri khas kepribadian bangsa Indonesia sendiri yang memiliki sistem hukum yang berasal dari sendi-sendi hukum adat dan ras. Dalam tataran realitas tersebut bangsa Indonesia telah menempatkan anak selain sebagai aset masa depan pelanjut estafet pembangunan, juga telah menempatkan anak pada tempat yang seyogyanya mampu melakukan tugas perkembangannya. Namun seiring dengan kemajuan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi), dan dampak negatif dari perkembangan teknologi informasi serta dampak krisis multidimensi telah memporakporandakkan seluruh tatanan fungsi dan peran pelayanan, perhatian, dan pendidikan anak baik di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Begitupun anak didik yang berada di Lembaga Pemasyarakatan Anak yang berasal dari berbagai dimensi kehidupan serta latar belakang yang mengantarkannya untuk dididik di Lembaga Pemasyarakatan Anak tersebut. Adapun faktor melatarbelakangi anak didik Lembaga Pemasyarakatan Anak tersebut melakukan tindak kriminalitas sangat beraneka ragam sebagaimana diakui oleh Sutherland dan Cressey bahwa “kejahatan adalah hasil dari faktor-faktor yang beraneka ragam dan bermacam-macam. Dan bahwa faktor-faktor-faktor-faktor itu dewasa ini dan untuk selanjutnya tidak bisa disusun rnenurut suatu ketentuan yang berlaku umum tanpa ada pengecualian”.44

44


(48)

Secara garis besar faktor-faktor yang dapat menimbulkan tindak kriminalitas yang dilakukan oleh anak didik di Lembaga Pemasyarakatan ada 2 (dua) faktor yaitu : faktor internal (dalam diri anak didik) dan faktor eksternal yaitu faktor yang berasal dari luar diri individu. Adapun faktor-faktor internal yang bersumber dari diri individu terbagi ke dalam 2 (dua) bagian yaitu faktor internal yang bersifat khusus dan faktor internal yang bersifat umum.

Faktor internal yang bersifat khusus adalah lebih menitikberatkan pada kondisi psikologis anak didik Lembaga Pemasyarakatan, dimana kondisi psikologis anak tersebut dalam keadaan sakit dan tertekan. Menurut Abdulsyani, ada beberapa sifat khusus yang dapat menimbulkan kejahatan antara lain :

1) Keadaan sakit jiwa, individu yang sedang mengalami sakit jiwa mempunyai kecenderungan untuk bersikap anti sosial. Sakit jiwa ini bisa disebabkan oleh adanya konflik mental yang berlebihan, atau dimungkinkan anak didik Lembaga Pemasyarakatan tersebut pernah melakukan perbuatan yang dirasakan sebagai dosa besar dan berat, dimana orang yang sakit jiwa mempunyai kecenderungan untuk melakukan penyimpangan.

2) Daya emosional, dimana daya emosional erat kaitannya dengan masalah sosial bila tidak tumbuh dalam keadaan seimbang, tidak menutup kemungkinan bahwa anak didik tersebut melakukan penyimpangan yaitu tindak kriminal.

3) Rendahnya mentalitas, hal ini lebih disebabkan oleh adanya kemampuan seseorang untuk mampu melakukan adaptasi dengan lingkungan sosialnya. 4) Anomi, dimana secara psikologis kepribadian manusia itu sifatnya dinamis,

yang ditandai dengan adanya kehendak, berorganisasi, mengembangkan budaya dan sejenisnya.45

Masa anomi ini ditandai dengan ditinggalkannya keadaan yang lama dan mulai menginjak dengan keadaan baru. Sebagai ukuran orang akan mengalami anomi (kebingungan) ketika :

45


(49)

1) la berhadapan dengan suatu kejadian atau perubahan yang belum pernah dialaminya.

2) la berhadapan dengan situasi yang baru, ketika ia harus menyesuaikan diri dengan cara-cara yang baru pula.46

Sedangkan faktor eksternal yaitu faktor-faktor yang berasal dari luar diri individu yang menyebabkan individu tersebut melakukan kejahatan kriminalitas, diantaranya meliputi hal-hal sebagai berikut :

1) Faktor ekonomi, bagaimanapun faktor-faktor ekonomi merupakan salah satu penyebab terjadinya perbuatan tindak kriminalitas, karena kebutuhan ekonomi adalah merupakan kebutuhan pokok, bila seseorang merasa tidak terpenuhinya kebutuhan pokok tersebut berusaha mencari jalan seoptimal mungkin, bahkan tidak menutup kemungkinan akan melakukan segala macam cara untuk meraihnya. Secara lebih rincinya faktor-faktor ekonomi yang menimbulkan tindak kriminalitas diantaranya adanya perubahan harga barang-barang, pengangguran, dan urbanisasi.

2) Faktor agarna, norma-norma yang terkandung dalam agama (semua agama menganjurkan kebenaran dan kebaikan) mempunyai nilai-nilai yang tinggi dalam hidup manusia, sebab norma-norma tersebut merupakan norma ketuhanan, dan sesuatu yang telah digariskan oleh agama itu senantiasa baik dan membimbing manusia kearah jalan yang benar. Bagaimanapun lebih jauhnya agama memberikan landasan yang paling esensial bagi kehidupan manusia, dan agama merupakan salah satu sosial kontrol yang utama organisasinya/orgarnisasi keamanan, agama sendiri dapat menentukan tingkah laku manusia sesuai dengan nilai-nilai keagamaannya. Namun sebaliknya bila agama hanya dijadikan sebagai formalitas ritual saja dan tidak larut memberikan warna terhadap seluruh aktifitas manusia, maka agama tersebut tidak memiliki apa-apa atau akan hilang kebermaknaannya.

3) Pengaruh negatif dari dunia informasi baik melalui media elektronik maupun media cetak, hal ini akan mempengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap seluruh tatanan kehidupan anak didik Lapas, bahkan ada sebagian anak didik lapas yang melakukan pelanggaran kriminal setelah mereka menonton/melihat tayangan-tayangan atau membaca bacaan yang bersifat porno dan informasi lainnya yang tak layak ditonton oleh anak.47

46

Ibid., hlm. 46

47


(50)

Dalam berbagai peraturan perundang-undangan Indonesia, tidak terdapat pengaturan yang tegas tentang kriteria anak. Lain peraturan perundang-undangan, lain pula kriteria anak. Pasal 330 Kitab Undang-undang Hukum menentukan bahwa belum dewasa apabila belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak menentukan bahwa anak seseorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun dan belum pernah kawin. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang 12 Tahun 1948 tentang Pokok Perburuhan menentukan bahwa anak adalah orang laki-laki atau perempuan 14 (empat belas) tahun ke bawah. Menurut Hukum Adat seseorang belum dewasa bilamana seseorang itu belum menikah dan berdiri belum terlepas dari tanggung jawab orang tua.48

Hukum Adat menentukan bahwa ukuran seseorang telah dewasa bukan dari umurnya, tetapi ukuran yang dipakai adalah: dapat bekerja sendiri; cakap melakukan yang disyaratkan dalam kehidupan masyarakat; dapat mengurus kekayaan sendiri.49

Hukum Islam menentukan bahwa anak di bawah umur adalah yang belum akil baligh.50 Batas umur seseorang belum atau sudah dewasa (minderjarig), apabila ia belum berumur 15 (lima belas) tahun kecuali apabila sebelumnya itu sudah memperlihatkan telah matang untuk bersetubuh (geslachtssrijp) tetapi tidak boleh kurang dari 9 (sembilan) tahun. Menurut Zakariya Ahmad Al Barry, dewasa

48

Hilman Hadikusuma, Hukum Adat dalam Yurisprudensi, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 11.

49

Irma Setyowati Sumitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta : Bumi Aksara, 1990), hlm. 19.

50


(51)

maksudnya adalah cukup umur untuk berketurunan dan muncul tanda laki-laki dewasa pada putra, muncul tanda-tanda wanita dewasa pada putri. Inilah dewasa yang wajar, yang biasanya belum ada sebelum anak putra berumur 12 (dua belas) tahun dan putri berumur 9 (sembilan) tahun. Kalau anak mengatakan bahwa dia dewasa, keterangannya dapat diterima karena dia sendiri yang mengalami. Kalau sudah melewati usia tersebut diatas tetapi belum nampak tanda-tanda yang menunjukkan bahwa ; dewasa, harus ditunggu sampai ia berumur 15 (lima belas) tahun.51

Sugiri mengatakan bahwa selama di tubuhnya berjalan proses pertumbuhan perkembangan, orang itu masih menjadi anak dan baru menjadi dewasa bila proses perkembangan dan pertumbuhan itu selesai, jadi batas usia anak adalah sama dengan permulaan menjadi dewasa, yaitu 18 (delapan belas) tahun untuk wanita dan 20 (dua puluh) tahun untuk laki-laki, seperti di Amerika, Yugoslavia, dan negara-negara Barat lainnya.52

Zakiah Darajat mengatakan bahwa mengenai batas usia anak-anak dan dewasa berdasarkan pada usia remaja adalah bahwa masa usia 9 (sembilan) tahun antara 13 (tiga belas) tahun sampai 21 (dua puluh satu) tahun sebagai masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak dan masa dewasa, dimana anak-anak mengalami pertumbuhan yang cepat di segala bidang dan mereka bukan lagi

51

Zakariya Ahmad Al Barry, Hukum Anak dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1990), hlm. 114

52

Romli Atmasasmita, Problema Kenakalan Anak dan Remaja, (Bandung : Armico, 1984), hlm. 34.


(52)

anak-anak baik bentuk badan, sikap, cara berpikir dan bertindak bukan pula orang dewasa.53

Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa menarik batas antara belum dewasa dengan sudah dewasa, tidak perlu dipermasalahkan karena pada kenyataannya walaupun orang belum dewasa namun ia telah dapat melakukan perbuatan hukum, misalnya anak yang belum dewasa telah melakukan jual-beli, berdagang, dan sebagainya, walaupun berwewenang kawin.54

Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 pada Pasal 1 angka 1 ditentukan bahwa anak adalah orang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menentukan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,termasuk anak yang masih dalam kandungan. Hal penting yang perlu diperhatikan dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan anak adalah konsekuensi penerapannya dikaitkan dengan berbagai faktor seperti kondisi ekonomi, sosial budaya masyarakat.

Dalam berbagai peraturan perundang-undangan perbedaan ketentuan yang mengatur tentang anak, hal ini dilatarbelakangi berbagai faktor yang merupakan prinsip dasar yang terkandung dalam dasar pertimbangan dikeluarkannya peraturan

53

Zakiah Darajat, Kesehatan Mental, (Jakarta : Inti Idayu Press, 1983), hlm. 101.

54

Maulana Hassan Wadong, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta : Gramedia Widiasarana Indonesia, 2000), hlm. 27


(53)

perundang-undangan yang bersangkutan yang berkaitan dengan kondisi dan perlindungan anak.

Berkaitan dengan ketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengertian Anak Nakal, tidak terlepas dari kemampuan anak mempertanggungjawabkan kenakalan yang dilakukannya. Pertanggungjawaban pidana anak diukur dari tingkat kesesuaian antara kematangan moral dan kejiwaan anak dengan kenakalan yang dilakukan anak, keadaan kondisi fisik, mental, dan sosial anak menjadi perhatian. Dalam hal ini dipertimbangkan berbagai komponen seperti moral dan keadaan psikologis dan ketajaman pikiran anak dalam menentukan pertanggungjawabannya atas kenakalan yang diperbuatnya.55

Kedudukan anak sebagai generasi muda yang akan meneruskan cita-cita luhur bangsa, calon-calon pemimpin bangsa di masa mendatang dan sebagai sumber harapan bagi generasi terdahulu, perlu mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar baik secara rohani, jasmani, dan sosial. Perlindungan anak merupakan usaha dan kegiatan seluruh lapisan masyarakat dalam berbagai kedudukan dan peranan, yang menyadari betul pentingnya anak bagi nusa dan bangsa di kemudian hari. Jika mereka telah matang pertumbuhan fisik maupun mental dan sosialnya, maka tiba saatnya menggantikan generasi terdahulu.

Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi

55

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana


(54)

perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental, dan sosial. Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Kegiatan perlindungan anak membawa akibat hukum, baik dalam kaitannya dengan hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis.

Hukum merupakan jaminan bagi kegiatan perlindungan anak. Arif Gosita mengemukakan bahwa kepastian hukum perlu diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan perlindungan anak.56

Berdasarkan hasil seminar perlindungan anak/remaja oleh Prayuana Pusat pada tanggal 30 Mei 1977, terdapat 2 (dua) perumusan tentang perlindungan anak, yaitu:

1) Segala daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah dan swasta yang bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan, pemenuhan kesejahteraan fisik sosial anak dan remaja yang sesuai dengan kepentingan dan hak asasinya.

2) Segala daya upaya bersama yang dilakukan secara sadar oleh perorangan, keluarga, masyarakat, badan-badan pemerintah dan swasta untuk pengamanan, pengadaan, dan pemenuhan kesejahteraan rohaniah dan jasmaniah anak berusia 0-21 tahun, tidak dan belum pernah nikah dengan hak asasi dan kepentingannya agar dapat mengembangkan dirinya seoptimal mungkin".57

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 menentukan bahwa anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berprtisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan

56

Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, (Jakarta : Akademi Pressindo, 1989), hlm. 35.

57


(55)

diskriminasi. Perlindungan anak diartikan sebagai segala upaya yang ditujukan untuk mencegah dan memberdayakan anak yang mengalami tindak perlakuan salah (child abused), eksploitasi, dan penelantaran, agar dapat menjamin keberlangsungan hidup dan tumbuh kembang anak secara wajar, baik fisik, mental, dan sosialnya.58 Arif Gosita berpendapat bahwa perlindungan anak adalah usaha melindungi anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya.59

Perlindungan hak-hak anak pada hakikatnya menyangkut langsung pengaturan dalam peraturan perundang-undangan. Kebijaksanaan, usaha dan kegiatan yang menjamin terwujudnya perlindungan hak-hak anak, pertama-tama didasarkan atas pertimbangan bahwa anak-anak merupakan golongan yang rawan dan

dependent, di samping karena adanya golongan anak-anak yang mengalami hambatan

dalam pertumbuhan dan perkembangannya, baik rohani, jasmani, maupun sosial. Perlindungan anak bermanfaat bagi anak dan orang tuanya serta pemerintah, maka koordinasi kerjasama perlindungan anak perlu diadakan dalam mencegah ketidakseimbangan kegiatan perlindungan anak secara keseluruhan.60 Sehubungan dengan hal ini, Abdul Hakim Garuda Nusantara mengatakan bahwa “masalah perlindungan hukum bagi anak-anak merupakan satu sisi pendekatan untuk

58

Lembaga Advokasi Anak Indonesia, Konvensi : Volume II No. 2 (Medan : LAAI, 1998), hlm. 3

59

Arif Gosita, Op-Cit., hlm. 52.

60

Maidin Gultom, Aspek Hukum Pencatatan Kelahiran Dalam Usaha Perlindungan Anak


(1)

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, dapat dilihat bahwa Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Anak Medan telah memberikan program pembinaan. Kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Anak Pidana, Anak Negara maupun Anak Sipil selama berada di Lembaga Pemasyarakatan Anak adalah:

a) Wajib mengikuti secara tertib program pembinaan dan kegiatan tertentu (Pasal 23 ayat (1), Pasal 30 ayat (1), Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995);

b) Wajib mentaati peraturan keamanan dan ketertiban di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan Anak (Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995).122

Tabel 3.7 Data Penghuni Klas II A Anak Medan Berdasarkan Pembinaan pada Maret 2009

No Jenis Pembinaan Jumlah 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Pramuka Paket B Klas I Paket B Klas III Paket C Klas I Perpustakaan Melukis Teater Menjahit Pelatihan Komputer Pertukangan Pertamanan Olahraga : Bola Volley Sepak Takraw Bulu Tangkis Tenis Meja Konseling Sekolah Al-Kitab Pengajian AL-Quran Band Gondang Batak 35 orang 20 orang 20 orang 20 orang 5 orang 7 orang 5 orang 40 orang 20 orang 5 orang 20 orang 12 orang 6 orang 6 orang 8 orang 12 orang 10 orang 50 orang 5 orang 7 orang Sumber : Bagian Binadik Klas II A Anak Medan Pada Maret 2009

122


(2)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan, maka peneliti menarik kesimpulan yang merupakan jawaban atas permasahan, yaitu :

A. Kesimpulan

1. Secara garis besar faktor-faktor yang dapat menimbulkan tindak kriminalitas yang dilakukan oleh anak didik di Lembaga Pemasyarakatan ada 2 (dua) faktor yaitu : faktor internal (dalam diri anak didik) dan faktor eksternal yaitu faktor yang berasal dari luar diri individu. Adapun faktor-faktor internal yang bersumber dari diri individu terbagi ke dalam 2 (dua) bagian yaitu faktor internal yang bersifat khusus dan faktor internal yang bersifat umum.

2. Diperlukan upaya yang terus-menerus agar negara dapat berperan sesuai fungsinya, terutama dalam rangka pemajuan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak bagi anak didik pemasyarakatan.

B. Saran

1. Disarankan kepada pemerintah untuk lebih serius menangani kesejahteraan anak dan perlindungan anak, khususnya kepada pembimbing kemasyarakatan anak agar dapat melakukan penyuluhan dalam melakukan penelitian kemasyarakatan anak.


(3)

2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan tidak mengatur secara jelas dan rinci mengenai kewajiban Anak Didik Pemasyarakatan. Disarankan adanya pengaturan lebih lanjut dengan peraturan pelaksanaannya.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Pendekatan Praktis, Jakarta : Rineka Cipta, 1993

Atmasamita, Romli, Kriminologi, Bandung : Mandar Maju, 1997

Dirjosisworo, Soejono, Sinopsis Kriminologi Indonesia, Bandung : Mandar Maju 1994

Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung : Mandar Maju, 1994 Manan, Bagir, Peradilan Anak di Indonesia, Bandung : Mandar Maju, 1997 Marzuki, Peter, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana Prenada Media, 2005

Maulana, Hasan Wadong, Advokasi Anak dan Hukum Perlindungan Anak, Jakarta : Gramedia, 2000

Nawawi, Hadari, Sumber Data Penelitian, Jakarta : Gramedia, 1997

Prinst, Darwan, Hukum Anak Indonesia, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997 Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1996

Romli, Atmasasmita, Kriminologi, Bandung : Mandar Maju, 1997

Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Keindonesiaan, Bandung : Utomo, 2006

Soemitro, Irma Setyowati, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Jakarta : Bumi Aksara, 1990

Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995


(5)

2. Makalah Ilmiah

Allen, Steven, Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak Juvenile Justice System

Di Indonesia, Indonesia : UNICEF, 2003

Arrasjid, Chainur, Suatu Pemikiran Tentang Psikologi Kriminal, Kelompok Studi

Hukum dan Masyarakat, Medan : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

1998

Dinstein, Yoram, Hak Atas Hidup, Keutuhan Jasmani dan Kebebasan Dalam Hak

Sipil dan Politik: Esai-Esai Pilihan, Jakarta : ELSAM, 2001

Editorial, Lembaga Pengawasan Sistem Peradilan Pidana Terpadu, Jakarta : MAPPI FH-UI, 2003

Gultom, Samuel, Mengadili Korban: Praktek Pembenaran Terhadap Kekerasan

Negara, Jakarta : ELSAM, 2003

Manning, Chris, Peter Van Dierman, Indonesia Di Tengah Transisi, Aspek-Aspek

Sosial Reformasi dan Kritis, Yogyakarta : LKIS, 2000

Judith, “Difficult Circumstances: Some Reflections on Street Childen in Africa”,

Children, Youth and Environments, 2003

Widioso, Hardi, “Tindakan/Pidana Atas Kasus Tindak Pidana Anak”, Warta

Pemasyarakatan Nomor 29 Tahun IX-April 2008, Jakarta : Dirjen

Pemasyarakatan, 2008

Noor Muhammad, Proses Hukum Bagi orang Yang Didakwa Melakukan Kejahatan

Dalam Hak Sipil dan Politik: Esai-Esai Pilihan, Jakarta : ELSAM, 2001

Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta : FE-UI, 1996 3. Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Konsep Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tahun 2000

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan


(6)

Dokumen yang terkait

Perlindungan Hak Asasi Manusia Terhadap Narapidana Sebagai Warga Binaan Pemasyarakatan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Studi di LAPAS Labuhan Ruku)

1 87 162

Akuntabilitas Tim Pengamat Pemasyarakatan (Tpp) Pada Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Dalam Prespektif Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan

2 75 143

Perlindungan HUkum Terhadap Petugas Pemasyarakatan Di Dalam Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan

1 82 146

PEMBINAAN NARAPIDANA LAKI LAKI DAN WANITA DALAM SATU LEMBAGA PEMASYARAKATAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS IIA YOGYAKARTA DITINJAU DARI UNDANG UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN

0 7 79

PENULISAN HUKUM/SKRIPSI PELAKSANAAN PEMBINAAN NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLATEN DITINJAU DARI UNDANG – UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995.

0 3 12

PENDAHULUAN PELAKSANAAN PEMBINAAN NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLATEN DITINJAU DARI UNDANG – UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995.

0 4 12

PENUTUP PELAKSANAAN PEMBINAAN NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLATEN DITINJAU DARI UNDANG – UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995.

0 4 6

ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM NARAPIDANA PENDERITA HIVAIDS DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIA PANGKALPINANG SKRIPSI

0 0 15

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK KUTOARJO DITINJAU DARI UNDANG UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK SKRIPSI

0 0 13

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK KUTOARJO DITINJAU DARI UNDANG UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK SKRIPSI

0 0 13