Sedangkan pada Pasal 26 Ordonansi Bea ini terdapat mengenai sanksi denda yang diberikan bagi pelanggar ketentuan yang terdapat pada Pasal 25 tersebut diatas.
Dengan demikian, pelanggaran terhadap Ordonansi Bea dengan sendirinya menjadi suatu delik ekonomi. Akibat yuridis dari ketentuan ini adalah bahwa semua
ketentuan-ketentuan khusus dalam Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi tersebut juga berlaku bagi delik Penyelundupan delik yang melanggar Ordonansi Bea.
Ketentuan tersebut antara lain mengenai sanksi pidana didalam Ordonansi Bea menjadi larut dan tidak berlaku lagi, dihisap oleh ketentuan mengenai sanksi pidana
dan tindakan tata tertib yang ada dalam Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi. Misalnya pasal itu disebut dalam Pasal 21 KUHAP sebagai delik yang pelakunya
dapat ditahan, padahal pasal tersebut tidak ada artinya lagi. Khusus untuk Pasal 26b perumusan delik yang tercantum disitu masih tetap berlaku, hanya ancaman
pidananya yang dicabut disitu tidak berlaku lagi. Tetapi ketentuan Pasal 6 Undang- Undang Tindak Pidana Ekonomi dan pasal 1 dan 2 Undang-Undang nomor 21 Prp
tahun 1959-lah yang berlaku ditambah dengan kemungkinan penjatuhan tindak pidana tertib dalam Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi.
60
2. Undang-Undang Drt nomor 7 tahun 1995 tentang Tindak Pidana Ekonomi.
Sesuai dengan ruang lingkup masalah dalam tesis ini, yang dibahas adalah mengenai Tindak Pidana Ekonomi yang dimuat dalam Undang-Undang drt no. 7
tahun 1995 dan selanjutnya dari sekian banyak Tindak Pidana Ekonomi yang akan
60
Sumantoro, Aspek-Aspek Pidana Bidang Ekonomi Jakarta : Ghalia Indonesia, 1990, hal. 97.
Yushfi Munif Nasution: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan, 2008. USU e-Repository © 2008
dibahas adalah tentang Tindak Pidana Penyelundupan mengingat masalah penyelundupan merupakan masalah yang penting untuk dicarikan solusi hukum untuk
penegakannya. Undang-Undang no. 7 drt tahun 1995 sejak dilahirkan melalui Undang-
Undang Darurat no. 7 tahun 1995 hingga sah berlaku sebagai Undang-Undang melalui Undang-Undang no. 1 tahun 1961, telah banyak mengalami perubahan-
perubahan baik mengenai sanksi pidananya maupun mengenai materilnya sendiri. Perubahan-perubahan yang dimaksud adalah untuk menyesuaikan dengan
perkembangan pada waktu itu, yaitu disesuaikan dengan politik pemerintah dibidang perekonomian.
Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi, maka sanksi Tindak Pidana Penyelundupan mengikuti sanksi yang berlaku bagi tindak pidana
ekonomi. Dengan berlakunya Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi UU drt. no. 7 tahun 1995 maka sanksi tindak pidana ekonomi menjadi lebih berat dari sanksi-
sanksi pidana RO, karena dalam RO sebelum berlakunya UUTPE, yang selama- lamanya 2 tahun atau dengan denda setinggi-tingginya sepuluh ribu rupiah; sesuai
dengan berlakunya UU TPE, menjadi tahun denda tiga puluh juta rupiah sesudah mengalami perubahan. Perlu juga ditegaskan disini bahwa ancaman pidana yang
tercantum dalam Rechten Ordonantie itu telah hilang lenyap dihisap oleh Undang- Undang Tindak Pidana Ekonomi UU drt no. 7 tahun 1995.
61
61
Djoko Prakoso dkk, op. cit., hal. 14.
Yushfi Munif Nasution: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan, 2008. USU e-Repository © 2008
Adapun sanksi tindak pidana ekonomi tersebut dimuat dalam Bab II UUTPE, yaitu berupa Hukuman Pidana dan Tindakan Tata Tertib. Sedangkan tindakan tata
tertib sendiri dapat bersifat tetap berdasarkan putusan hakim dan dapat bersifat sementara, yang dikenakan pada waktu pemeriksaan pendahuluan sebelum
pemeriksaan dimuka pengadilan oleh jaksa maupun hakim. Terhadap hukuman pidana tindak pidana ekonomi sama dengan yang
tercantum dalam Pasal 10 KUHP, hanya saja di dalam UUTPE terdapat lebih banyak hukuman tambahan dibandingkan dengan yang tercantum di dalam KUHP, yaitu
berdasarkan Pasal 7 UUTPE : 1. Hukuman tambahan adalah:
a. Pencabutan hak-hak tersebut dalam pasal 35 KUHP untuk waktu
sekurang-kurangnya 6 bulan dan selama-lamanya 6 tahun. b.
Penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan si terpidana di mana tindak pidana ekonomi dilakukan, untuk waktu selama-lamanya 1
tahun.
c. Perampasan barang-barang tak tetap yang berwujud dan yang tidak
berwujud, dengan mana atau mengenai mana tindak pidana ekonomi itu dilakukan, atau yang seluruhnya atau sebagian diperolehnya
dengan tindak pidana ekonomi itu, begitu pula harga barang lawan barang-barang itu yang menggantikan barang-barang itu, tak perduli
apakah barang-barang atau harga lawan itu kepunyaan si terhukum atau bukan.
d. Perampasan barang-barang tak tetap yang berwujud dan yang tidak
berwujud, yang termasuk perusahaan si terhukum, dimana tindak pidana ekonomi itu dilakukan, begitu pula harga lawan barang-
barang itu yang menggantikan barang-barang itu sejenis dan, mengenai tindak pidananya, bersangkutan dengan barang-barang
yang dapat dirampas menurut ketentuan tersebut sub c di atas.
e. Pencabutan sebagian atau seluruh hak-hak tertentu atau penghapusan
seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan kepada si terhukum oleh pemerintah berhubung dengan
perusahaannya, untuk waktu selama-lamanya dua tahun.
f. Pengumuman keputusan hakim.
Yushfi Munif Nasution: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan, 2008. USU e-Repository © 2008
2. Perampasan barang-barang yang bukan kepunyaan si terhukum tidak dijatuhkan, sekedar hak-hak pihak ketiga dengan itikad baik akan
terganggu. 3. Dalam hal perampasan barang-barang, maka Hakim dapat
memerintahkan bahwa hasil seluruhnya atau sebagian akan diberikan kepada si terhukum.
Diantara yang menarik perhatian pada sanksi-sanksi yang diuraikan dalam pasal 7 tersebut ialah hukuman perampasan, yang pengertiannya lebih luas dari pada
yang diuraikan dalam pasal 39 KUHP. Karena hukuman perampasan tidak dibatasi pada benda bergerak dan benda berwujud akan tetapi dapat dilakukan juga terhadap
barang yang tidak bergerak dan tidak berwujud misalnya saldo bank.
62
Sebagaiman dikemukakan diatas, bahwa pidana pokok di dalam UUTPE sama jenisnya dengan pidana pokok yang tercantum di dalam Pasal 10 KUHP. Bedanya
bukanlah terletak pada jenis pidana pokoknya, melainkan pada “penjatuhan pidana,” yaitu di dalam KUHP tidak dimungkinkan penjatuhan pidana pokok secara kumulatif,
artinya hanya salah satu saja di antara pidana pokok itu yang dapat dijatuhkan, misalnya apabila telah dijatuhkan pidana penjara, tidak dimungkinkan lagi dijatuhkan
pidana denda. Sedangkan dalam UUTPE, dimungkinkan penjatuhan pidana penjara atau kurungan kumulatif dengan pidana denda pasal 6 ayat 1 UUTPE.
Untuk lebih jelasnya, berikut dikutip Pasal 6 ayat 1 UUTPE setelah diubah dengan LN 1958 nomor 156 yang berbunyi :
1. Barangsiapa melakukan
suatu tindak pidana ekonomi: a.
Dalam hal kejahatan sekedar yang mengenai tindak pidana ekonomi termasuk dalam Pasal 1 sub 1e dihukum dengan hukuman penjara
62
Baharuddin Lopa, op .cit., hal. 187.
Yushfi Munif Nasution: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan, 2008. USU e-Repository © 2008
selama-lamanya enam tahun dan dendan setinggi-tingginya satu juta rupiah, atau dengan salah satu dari hukuman pidana itu.
b. Dalam hal kejahatan sekedar yang mengenai tindak pidana ekonomi
termasuk dalam pasal 1 sub 2e dan berdasar sub 3e, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun dan hukuman denda
setinggi-tingginya seratus ribu rupiah atau dengan salah satu dari hukuman pidana itu;
c. Dalam pelanggaran sekedar yang mengenai tindak pidana ekonomi
tersebut dalam pasal 1 sub 1e, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun dan hukuman denda setinggi-tingginya
seratus ribu rupiah atau dengan salah satu dari hukuman pidana itu.
d. Dalam hal pelanggaran yang disebut berdasarkan pasal 1 sub 3e,
dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan dan denda setinggi-tingginya lima puluh ribu rupiah, atau dengan
salah satu dari hukum pidana itu.
Butir a kejahatan dan c pelanggaran ialah yang berhubungan dengan delik penyelundupan Ordonansi Bea, karena Ordonansi Bea termasuk dalam Pasal 1 sub
1 UUTPE. Terhadap kejahatan pasal 26b OB, ancaman pidananya tercantum dalam Pasal 6 ayat 1 sub a UUTPE diatas, sedangkan mengenai delik pelanggarannya
yang tercantum dalam pasal 25 angka I dan II OB, ancaman pidananya terdapat pada Pasal 6 ayat 1 sub c tersebut diatas. Selain dari pada sanksi-sanksi berupa
pidana tersebut diatas dikenal juga sanksi-sanksi lain yang secara formal disebut tindakan tata tertib lihat Pasal 8 UUTPE.
Tindakan tata tertib sementara ini bukanlah berarti pidana yang telah diputuskan Hakim, ataupun sanksi-sanksi yang telah diputuskan demikian, tetapi
hanya merupakan tindakan sementara dalam rangka pengusutan delik ekonomi oleh jaksa.
Yushfi Munif Nasution: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan, 2008. USU e-Repository © 2008
3. Undang-Undang Nomor 21 Prp 1959 LN. 1959-130 tentang Memperberat Ancaman Hukuman Terhadap Tindak Pidana Ekonomi
Dalam pasal 1 Undang-Undang no 21 Prp tahun 1959 LN. 1959-130 memberikan ketentuan bahwa hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup
atau hukuman penjara sementara selama-lamanya 20 tahun, apabila Tindak Pidana Ekonomi yang dilakukan itu “dapat menimbulkan kekacauan di bidang perekonomian
dalam masyarakat.” Pengertian “dapat” disini, tidak perlu kekacauan itu sudah terjadi. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang ini UU no. 21 tahun 1959, maka
akan memperberat ancaman hukuman terhadap perbuatan pidana ekonomi. Dengan memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana ekonomi tersebut.
Pemerintah berharap mudah-mudahan segala tindak pidana ekonomi itu dapat dicegah atau setidak-tidaknya dikurangi.
Didalam UU no. 21 tahun 1959, penjatuhan hukuman pidana secara kumulatif telah diubah menjadi bersifat “imperatif” sebagaimana telah dimuat di dalam Pasal 1
ayat 1 nya. Sehingga dengan adanya ketentuan ini, bukan saja dimungkinkan tetapi “diharuskan” pidana penjara atau kurungan dijatuhkan bersama-sama dengan pidana
denda. Terhadap semua ancaman pidana yang disebutkan pada pasal 6 ayat 1 diatas
harus dihubungkan dengan Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang nomor 21 Prp tahun 1959, yang berbunyi sebagai berikut :
“Pelanggaran tindak pidana ekonomi seperti dimaksud dalam Undang- Undang Darurat nomor 7 tahun 1955 LN 1955 nomor 27 sebagaimana
ditambah dengan Undang-Undang Darurat nomor 8 tahun 1958 LN nomor
Yushfi Munif Nasution: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan, 2008. USU e-Repository © 2008
156, dihukum dengan hukuman penjara atau hukuman kurungan selama- lamanya seperti ditetapkan dalam Undang-Undang Darurat tersebut diatas.”
Selanjutnya, perlu juga dikemukakan disini mengenai adanya kemungkinan “pemberatan pidana” delik penyelundupan menjadi pidana mati atau seumur hidup
atau dua puluh tahun penjara, apabila delik penyelundupan yang dilakukan memenuhi kualifikasi seperti yang tercantum pada pasal satu ayat 2 Undang-Undang nomor 21
Prp tahun 1959 yang berbunyi sebagai berikut : “Jika tindak pidana yang dilakukan itu dapat menimbulkan kekacauan di
bidang perekonomian dalam masyarakat, maka pelanggar dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara
sementara selama-lamanya 20 tahun dan hukuman denda yang besarnya 30 kali jumlah yang di tetapkan dalam Undang-Undang Darurat tersebut dalam
ayat 1.”
Undang-Undang nomor 5 Pnps tahun 1959, juga menyebutkan bahwa apabila perbuatan penyelundupan telah dilakukan sedemikian rupa sehingga dinilai dapat
mengganggu program pemerintah mengacaukan perekonomian, maka sanksi hukumannya menjadi maksimum hukuman mati.
Sanksi dari Undang-Undang no. 5 Pnps tahun 1959 ini sama dengan sanksi yang ada di dalam Undang-Undang no. 21 tahun 1959. Perbedaan antara kedua
peraturan ini adalah pada Undang-Undang nomor 5 Pnps tahun 1959 beraspek pengganggu program pemerintah, disyaratkan adanya unsur sengaja dolus atau
culva, sedangkan pada Undang-Undang no. 21 Prp tahun 1959 beraspek mengacaukan perekonomian tidak disyaratkan adanya unsur sengaja dolus atau
culva tersebut.
Yushfi Munif Nasution: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan, 2008. USU e-Repository © 2008
Perbedaan kedua, pada Undang-Undang no. 5 Pnps tahun 1959 menegaskan tindak pidana itu akan menghalang-halangi terlaksananya program pemerintah, jadi
dapat diartikan bahwa tindak pidana itu sudah pasti menghalang-halangi program pemerintah, sedangkan pada Undang-Undang no. 21 Prp tahun 1959 tidak
mengisyaratkan telah terjadinya akibat mengacaukan perekonomian, tetapi cukup asalkan perbuatan itu dapat menimbulkan akibat kekacauan dibidang perekonomian.
Perbedaan ketiga, pada Undang-Undang no. 5 Pnps tahun 1959 penahanan preventif dapat dilakukan oleh Jaksa Agung selama satu tahun dengan tidak perlu
meminta perpanjangan dari hakim, sedangkan pada Undang-Undang no. 21 Prp tahun 1959 penahanan dilakukan sesuai dengan prosedur biasa.
4. Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1985