4. Perlu kiranya pemerintah lebih konsisten lagi dalam menerapkan hukum
dan memperhatikan masalah tindak pidana yang dilakukan korporasi sebagai badan usaha yang telah berbadan hukum.
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut di atas, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Ketentuan peraturan apa saja yang mengatur tentang tindak pidana
penyelundupan dan apakah ketentuan tersebut telah sinkron satu dengan lainnya.
2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap tindak pidana
penyelundupan. 3.
Hambatan apa yang dihadapi penyidik dalam pemberantasan tindak pidana penyelundupan dan bagaimana solusi hukum yang digunakan untuk
mengatasinya.
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian yang terdapat dalam rumusan masalah, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Terinventarisasinya dan sinkronisasi peraturan tindak pidana penyelundupan saat ini di Indonesia.
Yushfi Munif Nasution: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan, 2008. USU e-Repository © 2008
2. Untuk mengetahui konsep pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap tindak pidana penyelundupan
3. Untuk mengetahui hambatan yang dihadapi penyidik dalam pemberantasan tindak pidana penyelundupan dan alternatif solusi hukum yang dipergunakan
untuk mengatasinya.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan praktis. Adapun kedua kegunaan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Secara Teoritis
Manfaat penelitian ini adalah sebagai bahan atau data informasi dibidang ilmu hukum bagi kalangan akademis untuk mengetahui dinamika masyarakat dan
perkembangan hukum pidana serta proses penanganannya, khususnya masalah penyelundupan yang kerap kali terjadi pada korporasi. Selain itu penelitian ini juga
diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan pranata peraturan hukum dalam penanggulangan tindak pidana korporasi.
2. Secara Praktis
Manfaat penelitian ini secara praktis sebagai bahan masukan bagi aparat penegak hukum Polisi, jaksa, hakim, lembaga pemasyarakatan, advokat dalam
sistem peradilan pidana criminal justice system dalam menangani kasus tindak pidana penyelundupan yang dilakukan korporasi, sehingga aparat penegak hukum
mempunyai persepsi yang sama.
Yushfi Munif Nasution: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan, 2008. USU e-Repository © 2008
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa penelitian tentang “Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan,” belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama, walaupun ada beberapa topik
penelitian tentang tindak pidana korporasi, namun jelas berbeda. Jadi penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, obyektif dan
terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan serta saran-saran yang membangun sehubungan
dengan pendekatan dan perumusan masalah.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
Pengertian dari
konsep korporasi ada berbagai macam, salah satunya
menurut terminologi hukum korporasi corporation adalah sekelompok orang yang
secara bersama-sama melaksanakan urusan finansial, keuangan, ideologi atau urusan pemerintahan.
26
Di lain pihak pengertian korporasi termasuk di dalamnya pengertian
dari badan usaha, perseroan, perusahaan, perkumpulan, yayasan, perserikatan dan organisasi.
27
Sedangkan pengertian perusahaan yang dipandang dari sudut pandang
ekonomi, menurut Molengraaft diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan secara terus menerus bertindak keluar untuk memperoleh penghasilan dengan
26
I. P. M. Ranuhandoko, Terminologi Hukum Jakarta : Sinar Grafika, 2003, hal. 176.
27
Singgih, op. cit., hal. 15.
Yushfi Munif Nasution: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan, 2008. USU e-Repository © 2008
memperniagakan atau menyerahkan barang-barang atau mengadakan perjanjian- perjanjian perniagaan.
28
Seperti yang telah disebutkan bahwa suatu korporasi adalah
suatu legal person rechts-persoon menurut hukum perdata, yang juga merupakan
suatu badan hukum. Pengertian badan hukum itu sendiri menurut Wiryono
Prodjodikoro adalah suatu badan yang disamping manusia perseorangan, juga dianggap dapat bertindak dalam hukum dan yang mempunyai hak-hak, kewajiban-
kewajiban dan perhubungan hukum terhadap orang lain atau badan lain.
29
Aspek hukum pidana merupakan ketentuan-ketentuan hukum pidana yang ada beserta segala sesuatu yang terkait didalamnya. Aspek hukum pidana ini juga
mempunyai pengertian yang berdekatan dengan sistem peradilan pidana yaitu sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan dalam arti sebagai
usaha guna mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat.
30
Salah satu aspek hukum pidana yang menarik dibandingkan dengan
bidang hukum lainnya ialah, bahwa hukum pidana mengandung sifat kontradiktif, dualistik atau paradoksal.
31
Di satu pihak hukum pidana bermaksud melindungi kepentinganbenda hukum dan hak asasi manusia dengan merumuskan norma-norma
perbuatan yang terlarang, namun di lain pihak hukum pidana menyerang kepentingan hukumHAM seseorang dengan menggunakan sanksi pidanatindakan kepada si
pelanggar norma. Sifat paradoksal dari hukum pidana ini sering digambarkan dengan
28
Gatot Supramono, op. cit., hal. 2.
29
Chidir Ali, Badan Hukum Bandung : Alumni, 2005, hal. 20.
30
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dan Pembangunan Bandung : Alumni, 2002, hal. 13 dan 74.
31
Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1998, hal. 187.
Yushfi Munif Nasution: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan, 2008. USU e-Repository © 2008
ungkapan yang sangat terkenal, “Rechts guterschutz durch Rechtsguterverletzung”
perlindungan benda hukum melalui penyerangan benda hukum. Oleh karena itu sering dikatakan, bahwa ada sesuatu yang menyedihkan tragik dalam hukum
pidana, sehingga hukum pidana sering dinyatakan pula sebagai “pedang bermata dua.”
32
Istilah tindak pidana dipakai sebagai pengganti strafbaar feit. Dalam
perundang-undangan dijumpai istilah-istilah lain yang maksudnya juga strafbaar feit, misalnya :
1. Peristiwa Pidana Undang-Undang Dasar Sementara 1950 pasal 14 ayat 1.
2. Perbuatan Pidana Undang-Undang no. 1 tahun 1951, Undang-Undang
mengenai tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuatan dan acara pengadilan-pengadilan sipil, pasal 5 ayat 3b.
3. Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum Undang-Undang Darurat no. 2
tahun 1951 tentang Perubahan Ordonantie tijdekijke byzondere straf bepalingen S.1948 dan Undang-Undang RI dahulu no. 8 tahun 1948 Pasal
3.
4. Hal yang diancam dengan hukuman dan perbuatan-perbuatan yang
dapat dikenakan hukuman Undang-Undang Darurat no. 16 tahun 1951 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, Pasal 19, 21, 22.
5. Tindak Pidana Undang-Undang Darurat no. 7 tahun 1953 tentang Pemilihan
Umum, pasal 129. 6.
Tindak pidana Undang-Undang Darurat no. 7 tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, pasal 1
7. Tindak pidana Penetapan Presiden no. 4 tahun 1964 tentang Kewajiban
kerja bakti dalam rangka pemasyarakatan bagi terpidana karena melakukan tindak pidana yang merupakan kejahatan, pasal 1.
Ada lain istilah yang dipakai dalam hukum pidana, yaitu tindak pidana.
Istilah ini karena tumbuhnya dari pihak kementerian kehakiman, sering dipakai dalam
perundang-undangan. Meskipun kata tindak lebih pendek dari perbuatan tapi
32
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1998, hal.17.
Yushfi Munif Nasution: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan, 2008. USU e-Repository © 2008
tindak tidak menunjuk kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tapi hanya
menyatakan keadaan konkrit, sebagaimana halnya dengan peristiwa dengan perbedaan bahwa tindak adalah kelakuan, tingkah laku, gerak-gerik atau sikap
jasmani seseorang, hal mana lebih dikenal dalam tindak-tanduk, tindakan dan
bertindak dan belakangan juga sering dipakai ditindak.
33
Oleh karena itu tindak
sebagai kata tidak begitu dikenal, maka dalam perundang-undangan yang menggunakan istilah tindak pidana baik dalam pasal-pasal sendirinya, maupun dalam
penjelasannya hampir selalu dipakai kata perbuatan.
Jika melihat pengertian-pengertian di atas maka dalam pokoknya ternyata : 1.
Bahwa feit dalam strafbaar feit berarti handeling, kelakuan atau tingkah
laku; 2.
Bahwa pengertian strafbaar feit dihubungkan dengan kesalahan orang
yang mengadakan kelakuan tadi. Jadi untuk menyimpulkan apa yang diajukan di atas, maka merupakan unsur
atau elemen tindak pidana adalah : a.
Kelakuan dan akibat perbuatan. b.
Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan. c.
Keadaan tambahan yang memberatkan pidana. d.
Unsur melawan hukum yang obyektif.
e. Unsur melawan hukum yang subyektif.
34
33
Bambang Purnomo, Asas-asas Hukum Pidana Yogyakarta : Ghalia Indonesia, 1982, hal. 75.
34
K. Wantjik Saleh, Pelengkap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Jakarta : Gajah Mada, 1979, hal. 74.
Yushfi Munif Nasution: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan, 2008. USU e-Repository © 2008
Perlu ditekankan bahwa sekalipun dalam rumusan delik tidak terdapat unsur melawan hukum, namun jangan dikira bahwa perbuatan tersebut lalu tidak bersifat
melawan hukum. Sebagaimana ternyata di atas, perbuatan tadi sudah sedemikian wajarnya sifat melawan hukumnya, sehingga tak perlu untuk diyatakan tersendiri.
Sehingga pengertian tindak pidana adalah sesuatu atau seseorang yang
melakukan atau bertingkah laku serta melakukan kesalahan terhadap orang lain atau sesuatu hal yang menurut undang-undang dapat dikenakan sanksi pidana. Akhirnya
ditekankan bahwa meskipun perbuatan pidana pada umumnya adalah keadaan lahir
dan terdiri atas elemen-elemen lahir, namun ada kalanya dalam perumusan juga diperlukan elemen batin yang sifatnya melawan hukum yang subyektif.
35
Hukum pidana menempati posisi penting dalam seluruh sistem hukum di suatu negara. Meskipun masih dipertanyakan manfaatnya dalam menyusun tata
masyarakat yang tertib dan damai, tetapi semakin penting dipelajari segi-seginya untuk menunjang seluruh sistem kehidupan di masyarakat. Masalah
pertanggungjawaban pidana tidak semudah untuk merumuskannya seperti disangka orang semula. Istilah pidana dapat diberikan definisi menurut sudut pandang
seseorang dari mana aspek hukum diperhatikan serta begitu pula halnya dengan pengertian “pertanggungjawaban.”
Ilmu pengetahuan tentang hukum pidana positif dapat dikenal melalui dari beberapa asas yang sangat penting untuk diketahui, karena dengan asas-asas yang ada
35
Widyapramono, Tindak Pidana Hak Cipta, Analisis dan Penyelesaiannya Jakarta : Sinar Grafika, 1992, hal. 125.
Yushfi Munif Nasution: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan, 2008. USU e-Repository © 2008
itu dapat membuat suatu hubungan dan susunan agar hukum pidana yang berlaku dapat dipergunakan secara sistematis, kritis dan harmonis. Dapat dipidananya
seseorang, terlebih dahulu harus ada dua syarat yang menjadi satu keadaan, yaitu
perbuatan yang bersifat melawan hukum sebagai sendi perbuatan pidana dan perbuatan yang dilakukan itu dapat dipertanggungjawabkan sebagai sendi
kesalahan.
Masalah perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh badan hukum adalah persoalan yang perlu diketahui dan sangat penting bagi badan hukum. Bahwa badan
hukum adalah bertanggungjawab aansprakelijkheid, artinya dapat digugat untuk perbuatan-perbuatannya yang melawan hukum yang dilakukan oleh organ-nya
sebagai orgaan als zodenig door de orgaan. Mengenai pertanggungjawaban ini
dasarnya kalau menurut Theorie Juridiesche Realiteit dari badan hukum, adalah
bahwa segala yang diperbuat oleh pengurus dalam fungsinya in functie dapat dipertanggungjawabkan terhadap badan hukum itu sendiri.
36
Di Amerika Serikat dikenal konsep untuk meminta pertanggungjawaban
pidana korporasi, yaitu doktrin respondeat superior atau vicarious liability. Menurut doktrin ini, apabila pekerja suatu korporasi melakukan suatu tindak pidana
dalam lingkup pekerjaannya dan dengan maksud menguntungkan korporasi, tanggung jawab pidananya dapat dibebankan kepada korporasi. Ini bertujuan
mencegah perusahaan melindungi diri dan melepas tanggung jawab dengan melimpahkannya pada para pekerjanyapelaku lapanganpelaku teknis. Ajaran
36
Chidir Ali, op. cit., hal. 219.
Yushfi Munif Nasution: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan, 2008. USU e-Repository © 2008
vicarious liability biasanya berlaku dalam hukum perdata tentang perbuatan melawan
hukum the law of tort, yang kemudian diterapkan pada hukum pidana. Namun, belum diaturnya korporasi sebagai subyek hukum dalam KUHP, mengakibatkan
korporasi menikmati impunity kejahatan tanpa hukuman atas berbagai kejahatannya. Ini juga disebabkan adanya pandangan pentingnya keberadaan korporasi bagi
perekonomian dan adanya anggapan kejahatan korporasi hanyalah kesalahan administratif saja.
Dalam RUU KUHP mengadopsi pendirian bahwa korporasi dapat menjadi subyek tindak pidana, sebagaimana terdapat pada pasal 47 RUU KUHP yang
bunyinya adalah: “korporasi merupakan subyek tindak pidana.” Pengaturan tentang Tanggung Jawab Pidana Korporasi dalam RUU KUHP terdapat dalam
pasal 47-53.
37
Meskipun dalam RUU tersebut pidana pokok hanya berupa denda, namun ancaman sanksi maksimum bagi korporasi dapat lebih berat dibanding
terhadap perseorangan.
38
Pidana denda yang diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun sampai dengan 15 tahun adalah denda Kategori V, yaitu sebesar tiga
ratus juta rupiah. Sedangkan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 tahun adalah denda Kategori VI, yaitu sebesar tiga miliar
rupiah. Selain denda maksimum, telah pula ditetapkan denda minimum bagi korporasi, yaitu denda Kategori IV sebesar tujuh puluh lima juta rupiah. Jika sanksi
pidana denda tak dibayar, maka korporasi dikenai pidana pengganti berupa
37
Sudarto, op. cit., hal. 82.
38
Chidir Ali, op. cit., hal. 74.
Yushfi Munif Nasution: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan, 2008. USU e-Repository © 2008
pencabutan izin usaha atau pembubaran. Korporasi diharapkan tidak lagi melarikan diri dari tanggung jawabnya dalam
hal ini tanggung jawab pidana. Apalagi korporasi kedepannya akan dibebani lebih
banyak corporate social responsibility untuk memperhatikan keadaan dan keamanan
lingkungan kerjanya, termasuk penduduk, budaya, dan lingkungan hidup. Hal ini juga bisa dilihat dalam Undang-undang Perseroan Terbatas yang baru no. 40 tahun 2007
pengganti UU Perseroan Terbatas no.1 tahun 1995 yang sudah tidak berlaku lagi.
Dalam undang-undang yang baru tersebut tercantum jelas mengenai corporate social responsibility CSR atau disebut juga “tanggung jawab sosial perusahaan.”
Di Indonesia prinsip pertanggungjawaban korporasi corporate liability
tidak diatur dalam hukum pidana umum KUHP, melainkan tersebar dalam hukum pidana khusus. Tidak dikenalnya prinsip pertanggungjawaban korporasi dalam KUHP
ini dikarenakan subyek tindak pidana yang dikenal dalam KUHP adalah orang dalam konotasi biologis yang alami natuurlijke persoon. Di samping itu, KUHP
juga masih menganut asas sociates delinquere non potest dimana badan hukum dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana. Dengan demikian, pemikiran fiksi
tentang sifat badan hukum rechspersoonlijkheid tidak berlaku dalam bidang hukum pidana.
39
Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi UU drt. no. 7 tahun 1995 dan Ordonansi Bea maupun INPRES no. 4 tahun 1985 tidak dijumpai pengertian
39
Andi Hamzah, Perkembangan Hukum Pidana Khusus, Jakarta : Rineka Cipta, 1991, hal. 34.
Yushfi Munif Nasution: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan, 2008. USU e-Repository © 2008
penyelundupan. Pengertian penyelundupan terdapat dalam Keputusan Presiden no. 73 tahun 1967 Pasal 1 ayat 2 yang berbunyi, “Tindak Pidana Penyelundupan
ialah tindak pidana yang berhubungan dengan pengeluaran barang atau uang dari luar negeri ekspor atau pemasukan barang atau uang dari luar negeri ke
Indonesia impor.”
40
Pengertian penyelundupan sebagaimana yang dimuat dalam Kepres no. 73
tahun 1967 mirip dengan pengertian penyelundupan yang dimuat dalam The New Grolier Webster International Dictionary of English Languange Vol. II hal. 196
yang dalam terjemahannya berbunyi, “mengimpor atau mengekspor secara diam- diam yang bertentangan dengan hukum, tanpa membayar bea yang
diharuskan.” Dalam Law Dictionary, penyelundupan diartikan dalam terjemahannya adalah pelanggaran atas impor atau ekspor barang-barang yang
dilarang atau pelanggaran atas impor atau ekspor barang-barang yang tidak dilarang, tanpa membayar bea yang diharuskan.
41
Dari pengertian penyelundupan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa hakekat dari penyeludupan
adalah untuk menghindari bea masuk atau bea keluar, supaya mendapatkan keutungan yang besar.
42
40
Baharudin Lopa, Tindak Pidana Ekonomi, Pembahasan Tindak Pidana Penyelundupan Jakarta : Pradnya Paramita, 1992, hal. 23.
41
Ibid. hal. 39.
42
Djoko Prakoso, Bambang Riyadi Lani, Amir Muhsin, Kejahatan-kejahatan yang Merugikan dan Membahayakan Negara Jakarta : PT. Bina Aksara, 1987, hal. 14.
Yushfi Munif Nasution: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan, 2008. USU e-Repository © 2008
Dalam Undang-Undang
Republik Indonesia no. 17 tahun 2006 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang no. 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan, dijelaskan
dalam pasal 102 bahwa penyelundupan di bidang impor adalah :
1. Mengangkut barang impor yang tidak tercantum dalam manifes sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7A ayat 2. 2.
Membongkar barang impor di luar kawasan pabean atau tempat lain tanpa izin kepala kantor pabean.
3. Membongkar barang impor yang tidak tercantum dalam pemberitahuan
pabean sebagaimana dimaksud dalam pasal 7A ayat 3. 4.
Membongkar atau menimbun barang impor yang masih dalam pengawasan pabean di tempat selain tempat tujuan yang ditentukandiizinkan.
5. Menyembunyikan barang impor secara melawan hukum.
6. Mengeluarkan barang impor yang belum diselesaikan kewajiban pabeannya
dari kawasan pabean atau dari tempat penimbunan berikat atau dari tempat yang lain di bawah pabean persetujuan pejabat bea dan cukai yang
mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan negara berdasarkan undang- undang ini.
7. Mengangkut barang impor dari tempat penimbunan sementara atau tempat
penimbunan berikat yang sampai ke kantor pabean dan tidak dapat membuktikan hal tersebut di luar kemampuannya.
8. Dengan sengaja memberitahukan jenis danatau jumlah barang impor dalam
pemberitahuan pabean secara salah.
Selanjutnya penyelundupan di bidang ekspor dijelaskan dalam Pasal 102A
yaitu : 1.
Mengekspor barang tanpa menyerahkan pemberitahuan pabean. 2.
Dengan sengaja memberitahukan jenis danatau jumlah barang ekspor dalam pemberitahuan pabean secara salah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11A
ayat 1 yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan negara di bidang ekspor.
3. Memuat barang ekspor di luar kawasan pabean tanpa izin kepala kantor
pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat 3. 4.
Membongkar barang ekspor di dalam daerah pabean tanpa izin kepala kantor pabean.
5. Mengangkut barang ekspor tanpa dilindungi dengan dokumen yang sah sesuai
pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9A ayat 1.
Yushfi Munif Nasution: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan, 2008. USU e-Repository © 2008
G. Metode Penelitian