Perbedaan kedua, pada Undang-Undang no. 5 Pnps tahun 1959 menegaskan tindak pidana itu akan menghalang-halangi terlaksananya program pemerintah, jadi
dapat diartikan bahwa tindak pidana itu sudah pasti menghalang-halangi program pemerintah, sedangkan pada Undang-Undang no. 21 Prp tahun 1959 tidak
mengisyaratkan telah terjadinya akibat mengacaukan perekonomian, tetapi cukup asalkan perbuatan itu dapat menimbulkan akibat kekacauan dibidang perekonomian.
Perbedaan ketiga, pada Undang-Undang no. 5 Pnps tahun 1959 penahanan preventif dapat dilakukan oleh Jaksa Agung selama satu tahun dengan tidak perlu
meminta perpanjangan dari hakim, sedangkan pada Undang-Undang no. 21 Prp tahun 1959 penahanan dilakukan sesuai dengan prosedur biasa.
4. Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1985
Selanjutnya sejak tanggal 4 April 1985, dikeluarkan Instruksi Presiden no. 4 tahun 1985 dengan maksud untuk :
1. Memperlancar arus barang ekspor dan terhitung sejak tanggal tersebut
diatas terhadap barang-barang ekspor tidak lagi dilakukan pemeriksaan pebean, kecuali bila Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menetapkan
dengan instruksi tertulis pada aparatur bea dan cukai untuk mengadakan pemeriksaan pabean terhadap pengiriman barang-barang dalam hal ada
kecurigaan.
2. Memperlancar arus barang impor, sehingga ketentuan-ketentuan tentang
harga patokan ditiadakan. 3.
Mencegah penyelundupan karena : a.
Terhadap barang-barang yang memperoleh sertifikat ekspor SE, dilakukan pemeriksaan ditempat tujuan ekspor oleh surveyor yang
ditetapkan pemerintah dan bila ada pajak ekspor tambahan pembayarannya dilakukan eksportir kepada bank devisa pada waktu
menyerahkan pemberitahuan Ekspor Barang, sehingga dengan adanya kebijakan dalam hal ekspor mempersulit eksportir untuk
melakukan penyelundupan .
Yushfi Munif Nasution: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan, 2008. USU e-Repository © 2008
b. Terhadap barang-barang impor hanya dapat dimasukkan kewilayah
pabean Indonesia, apabila ada laporan kebenaran pemeriksaan yang diterbitkan oleh surveyor yang ditetapkan oleh pemerintah. Laporan
kebenaran yang dilakukan surveyor di negara asal barang itu.
Sehingga dengan adanya kebijakan ini sulitlah bagi importir atau eksportir melakukan perbuatan penyelundupan baik dengan cara mengelabui pihak pelabuhan
dengan cara kerja sama dengan aparatur Bea dan Cukai. Mungkin menjadi pertanyaan adalah bagaimana kedudukan tindak pidana ekonomi setelah adanya Instruksi
Presiden no. 4 tahun 1985. Secara prinsipil tidak ada sama sekali perubahan kedudukan tindak pidana ekonomi, karena instruksi presiden tersebut hanyalah
peraturan memperlancar arus barang-barang import dan ekspor. Hanya sebagai suatu peraturan yang mempunyai daya preventif, instruksi
presiden ini hanya pasti mengurangi timbulnya perbuatan penyelundupan, karena tidak bisa lagi sekongkol dengan petugas pelabuhan manapun aparat Bea dan Cukai
mengenai jumlah barang, kualitas kecuali para suveryor yang melakukan penelitian terhadap barang-barang tersebut dalam impor dan ekspor turut pula bersekongkol, hal
mana tentu saja bisa terjadi. Namun demikian Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi masih tetap harus
berjalan apakah ini yang disebut penyelundupan fisik atau administrasi, jika ada laporan dari para surveryor tentang terjadinya penyelundupan.
Yushfi Munif Nasution: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan, 2008. USU e-Repository © 2008
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang
Kepabeanan
Undang-Undang nomor 10 tahun 1995 mengatur dan menetapkan tentang Tata Cara atau Kewajiban yang harus dipenuhi apabila seseorang mengimpor atau
mengekspor barang dalam hal seseorang mengimpor atau mengekspor barang tanpa mengindahkan ketentuan atau prosedur yang telah ditetapkan undang-undang dapat
diancam dengan pidana berupa hukuman penjara dan denda. Sanksi pidana berupa hukuman penjara dan denda dalam Undang-Undang nomor 10 tahun 1995 diatur
dalam pasal 102, yang berbunyi : “Barang siapa yang mengimpor atau mengekspor atau mencoba mengimpor
atau mengekspor barang tanpa mengindahkan ketenuan Undang-Undang ini di pidana karena melakukan penyelundupan dengan pidana penjara paling
lama 8 tahun dan paling banyak Rp. 500.000.000,00 lima ratus juta rupiah.”
63
Yang dimaksud tanpa mengindahkan dalam pasal di atas adalah sama sekali tidak memenuhi ketentuan atau prosedur sebagaimana telah ditetapkan undang-
undang ini. Dengan demikian apabila seseorang mengimpor atau mengekspor barang yang telah mengindahkan ketentuan undang-undang ini walaupun tidak sepenuhnya
tidak termasuk perbuatan yang dapat dipidana berdasarkan pasal tersebut. Pasal 102 tersebut kemudian diubah di dalam Undang-Undang nomor 17 tahun 2006 tentang
63
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 10 tahun 1955 Tentang Kepabeanan, Pasal 102.
Yushfi Munif Nasution: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan, 2008. USU e-Repository © 2008
Perubahan Atas Undang-Undang nomor 10 tahun 2006 tentang Kepabeaan, menjadi pasal 102, 102A, 102B, 102C dan 102D.
Disamping itu ketentuan pasal 103 Undang-Undang nomor 10 tahun 1995 yang berhubungan dengan keadaan dimana seseorang ditemukan menimbun,
memiliki, menyimpan, membeli, menjual, menukar, memperoleh atau memberikan barang impor yang berasal dari tindak pidana penyelundupan dimana barang tersebut
ditemukan sebagai hasil dan pemeriksaan buku atau informasi intelejen, penyidik dapat menyita barang tersebut dengan wewenang yang ia miliki. Orang yang
melakukan hal tersebut diatas dapat dikenakan hukuman pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp. 250.000.000,00 dua ratus lima puluh juta
rupiah. Akan tetapi jika yang bersangkutan memperoleh barang tersebut dengan itikad baik maka yang bersangkutan tidak dapat dituntut. Namun kemungkinan lain
terjadi bias pada pelaku kejahatan tersebut dapat diketahui, sehingga kedua-duanya dapat dihukum. Begitu pula dengan pasal 103 ini diubah menjadi pasal 103 dan
103A, dalam Undang-Undang nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang- Undang nomor 10 tahun 2006 tentang Kepabeaan, yang mana pemidanaannya
menjadi pidana penjara paling singkat dua tahun dan paling lama delapan tahun. Untuk pidana denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 seratus juta rupiah dan
paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 lima miliar rupiah. Perihal sanksi pidana yang diberikan pada suatu badan hukum yang
melakukan suatu Tindakan Pidana Ekonomi dapat dilihat pada Pasal 108 Undang- Undang nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeaan. Dalam pasal ini dimungkinkan
Yushfi Munif Nasution: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan, 2008. USU e-Repository © 2008
dapat dipidananya suatu badan hukum, perseroan atau perusahaan, termaksud badan usaha milik negara atau daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, bentuk usaha
tetap atau bentuk usaha lainnya, perkumpulan termasuk persekutuan, firma atau kongsi, yayasan atau organisasi sejenis, atau koperasi yang dimana kadang-kadang
orang melakukan tindak pidana tersebut tersembunyi, dibelakang atau mengatasnamakan badan-badan tersebut diatas. Oleh sebab itu selain badan-badan
tersebut diatas harus dipidana juga mereka yang telah memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana atau yang sesungguhnya melakukan tindak pidana tersebut.
Dengan demikian orang yang bertindak tersebut tidak untuk diri sendiri tetapi wakil dari badan tersebut, tapi harus juga mengindahkan peraturan dan larangan yang
diancam dengan hukuman pidana, seolah-olah mereka sendirilah yang melakukan tindak pidana tersebut atas dasar hasil penyidikan, dapat ditetapkan tuntutan pidana
yang akan dikenakan pada badan-badan yang bersangkutan dan atau pimpinannya. Terhadap badan-badan tersebut diatas dapat dipidana berupa denda paling banyak Rp.
300.000.000,00 tiga ratus juta rupiah. Jika atas tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara dengan tidak menghapuskan pidana denda apabila atas tindak
pidana tersebut diancam dengan pidana penjara atau denda. Pasal inipun telah diubah dalam Undang-Undang nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang nomor 10 tahun 2006 tentang Kepabeaan, dengan pidana pokok berupa pidana denda paling banyak Rp. 1.5000.000.000,00 satu miliar lima ratus juta
rupiah, jika atas tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara, dengan tidak
Yushfi Munif Nasution: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan, 2008. USU e-Repository © 2008
menghapuskan pidana denda apabila atas tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara dan pidana denda.
64
6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 Tentang Cukai
Pasal 50 Undang-undang no. 11 tahun 1995 dinyatakan juga bahwa barang siapa yang memiliki izin dalam menjalankan usaha pabrik, tempat penyimpanan atau
mengimpor barang kena cukai yang pelunasan cukainya dengan cara pelekatan pita cukai yang mengakibatkan kerugian bagi negara, dipidana dengan pidana penjara
paling lama empat tahun dan denda paling banyak sepuluh kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.
65
Dalam pelaksanaan keputusan pengadilan tentang tindak pidana penyelundupan dalam hal ekspor dan impor barang dilakukan oleh Penuntut Umum.
Namun barang impor atau ekspor sebagai hasil penyelundupan berdasarkan keputusan pengadilan dinyatakan dirampas untuk negara yang mana pemanfaatannya
ditetapkan oleh menteri. Tindak pidana di bidang kepabeanan termasuk di dalamnya penyelundupan
tidak dapat dituntut oleh Penuntut Umum setelah lampau waktu 10 tahun sejak diserahkannya pemberitahuan pabean atau sejak terjadinya Tindak Pidana
Penyelundupan. Kadaluarsa penuntutan tindak pidana tersebut di atas dimaksudkan
64
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeaan.
65
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 11 Tahun 1995 Tentang Cukai.
Yushfi Munif Nasution: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan, 2008. USU e-Repository © 2008
untuk memberikan suatu kepastian hukum, baik kepada masyarakat maupun penegak hukum.
7. Peraturan Pemerintah RI Nomor 22 Tahun 1996 Tentang Pengenaan Sanksi Administrasi Kepabeanan