Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana

dilindunginya atau memakai dokumen palsu. Penyelundupan ini memberikan informasi salah tentang jumlah, jenis atau harga barang-barang dalam pemberitahuan impor, penyimpanan dalam enterpot, pengiriman kedalam atau keluar daerah pabean atau pembongkaran atau dalam suatu pemberitahuan tidak menyebutkan barang-barang yang dikemas dengan barang-barang lain Pasal 25 IIc RO. Dari uraian pengertian diatas, maka hanya pasal 26b RO-lah yang sejak semula dikatakan sebagai kejahatan, sedangkan dalam pasal-pasal lainnya dalam perbuatan penyelundupan yang melanggar pasal 26b yang ditetapkan sebagai penyelundupan fisik atau penyelundupan murni adalah penyelundupan administratif. 77

C. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana

Penyelundupan Dalam Undang-Undang no.10 tahun 1995 tentang Kepabeanan ada beberapa pasal yang mengatur tentang pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap tindak pidana penyelundupan yaitu: Pasal 102 : Barangsiapa yang mengimpor atau mengekspor atau mencoba mengimpor atau mengekspor barang tanpa mengindahkan ketentuan undang-undang ini, dipidana 77 Pasal 26e RO berbunyi, “tindak-tindak pidana yang dimaksud dalam pasal 26b dianggap sebagai kejahatan.” Yushfi Munif Nasution: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan, 2008. USU e-Repository © 2008 karena melakukan penyelundupan dengan pidana penjara paling lama delapan tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 lima ratus juta rupiah. 78 Kemudian pasal 108 mengatur tentang pelaku tindak pidana korporasi beserta pertanggungjawabannya. Untuk lebih lengkapnya pasal tersebut berbunyi demikian : Ayat 1 : Dalam suatu tindak pidana yang dapat dipidana menurut undang-undang ini dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi, tuntutan pidana ditujukan dan sanksi pidana dijatuhkan kepada : a badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi tersebut danatau, b mereka yang memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pimpinan atau yang melalaikan pencegahannya. Ayat 2 : Tindak pidana menurut undang-undang ini dilaksanakan juga oleh atau atas nama badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi, apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang yang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseoan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi tersebut tanpa memperhatikan apakah orang-orang tersebut masing-masing telah melakukan secara sendiri-sendiribersama-sama. 78 Undang-Undang Republik Indonesia nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan, pasal 102. Yushfi Munif Nasution: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan, 2008. USU e-Repository © 2008 Ayat 3 : Dalam hal suatu tuntutan pidana dilakukan terhadap badan hukum, perseroan atau yayasan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi, pada waktu penuntutan diwakili oleh seorang pengurus dan wakil tersebut dapat diwakili oleh kuasanya. Ayat 4 : Terhadap badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi yang dipidana dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini, pidana pokok yang dijatuhkan senantiasa berupa pidana denda paling banyak Rp. 30.000.000,00 tiga puluh juta rupiah jika atas tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara, dengan tidak menghapuskan pidana denda apabila tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara dan pidana denda. Ketentuan Pasal 102 tersebut diubah dengan Undang-Undang RI no.17 tahun 2006 tentang Kepabeanan sehingga Pasal 102 berbunyi sebagai berikut : Pasal 102 : Setiap orang yang : a. Mengangkut barang impor yang tidak tercantum dalam manifes sebagaimana dimaksud dimaksud dalam Pasal 7A ayat 2; b. Membongkar barang impor di luar kawasan pabean atau tempat lain tanpa izin kepala kantor pabean; c. Membongkar barang impor yang tidak tercantum dalam pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat 3; Yushfi Munif Nasution: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan, 2008. USU e-Repository © 2008 d. Membongkar atau menimbun barang impor yang masih dalam pengawasan pabean di tempat selain tempat tujuan yang ditentukan danatau diizinkan; e. Menyembunyikan barang impor secara melawan hukum; f. Mengeluarkan barang impor yang belum diselesaikan kewajiban pabeannya dari kawasan pabean atau dari tempat penimbunan berikat atau dari tempat lain dibawah pengawasan pabean tanpa persetujuan pejabat bea dan cukai yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan negara berdasarkan undang-undang ini; g. Mengangkut barang impor dari tempat penimbunan sementara atau tempat penimbunan berikat yang tidak sampai ke kantor pabean tujuan dan tidak dapat membuktikan bahwa hal tersebut di luar kemampuannya; atau h. Dengan sengaja memberitahukan jenis danatau jumlah barang impor dalam pemberitahuan pabean secara salah, dipidana karena melakukan penyelundupan di bidang impor dengan pidana penjara paling singkat 1 satu tahun dan pidana penjara paling lama 10 sepuluh tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 lima puluh juta rupiah dan paling banyak Rp.5.000.000.000,00 lima miliar rupiah. 79 Diantara Pasal 102 dan Pasal 103 disisipkan 4 empat pasal, yaitu Pasal 102A, Pasal 102B, Pasal 102C dan Pasal 102D yang berbunyi sebagai berikut: 79 Undang-Undang Republik Indonesia nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan, pasal 102. Yushfi Munif Nasution: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan, 2008. USU e-Repository © 2008 Pasal 102A : Setiap orang yang : a. Mengekspor barang tanpa menyerahkan pemberitahuan pabean; b. Dengan sengaja memberitahukan jenis danatau jumlah barang ekspor dalam pemberitahuan pabean secara salah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11A ayat 1 yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan negara di bidang ekspor; c. Memuat barang ekspor di luar kawasan pabean tanpa izin kepala kantor pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11A ayat 3; d. Membongkar barang ekspor di dalam daerah pabean tanpa izin kepala kantor pabean; atau e. Mengangkut barang ekspor tanpa dilindungi dengan dokumen yang sah sesuai dengan pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9A ayat 1, dipidana karena melakukan penyelundupan di bidang ekspor dengan pidana penjara paling singkat 1 satu tahun dan pidana penjara paling lama 10 sepuluh tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 lima puluh juta rupiah dan paling banyak Rp.5.000.000.000,00 lima miliar rupiah. Pasal 102B : Pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 102 dan Pasal 102A yang mengakibatkan terganggunya sendi-sendi perekonomian negara dipidana penjara paling singkat 5 lima tahun dan pidana penjara paling lama 20 dua puluh tahun Yushfi Munif Nasution: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan, 2008. USU e-Repository © 2008 dan pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 lima miliar rupiah dan paling banyak Rp.100.000.000.000,00 seratus miliar rupiah. Pasal 102 C : Dalam hal perbuatan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 102, Pasal 102A, Pasal 102B dilakukan oleh pejabat dan aparat penegak hukum, pidana yang dijatuhkan dengan pidana sebagaimana ancaman pidana dalam Undang-Undang ini ditambah 13 sepertiga. Pasal 102D : Setiap orang yang mengangkut barang tertentu yang tidak sampai ke kantor pabean tujuan dan tidak dapat membuktikan bahwa hal tersebut di luar kemampuannya dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 satu tahun dan pidana penjara paling lama 5 lima tahun danatau pidana denda paling sedikit Rp.10.000.000,00 sepuluh juta rupiah dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 satu miliar rupiah. Ketentuan Pasal 103 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut : Pasal 103 : Setiap orang yang : a. Menyerahkan pemberitahuan pabean danatau dokumen pelengkap pabean yang palsu atau dipalsukan; b. Membuat, menyetujui atau turut serta dalam pemalsuan data ke dalam buku atau catatan; c. Memberikan keterangan lisan atau tertulis yang tidak benar, yang digunakan untuk pemenuhan kewajiban pabean; atau Yushfi Munif Nasution: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan, 2008. USU e-Repository © 2008 d. Menimbun, menyimpan, memiliki, membeli, menjual, menukar, memperoleh atau memberikan barang impor yang diketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102, dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 2 dua tahun dan dipidana penjara paling lama 8 delapan tahun danatau pidana denda paling sedikit Rp.100.000.000,00 seratus juta rupiah dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 lima miliar rupiah. Diantara Pasal 103 dan Pasal 104 disisipkan 1 satu pasal, yaitu Pasal 103A yang berbunyi sebagai berikut : Pasal 103A : 1 Setiap orang yang secara tidak sah mengakses sistem elektronik yang berkaitan dengan palayanan danatau pengawasan di bidang kepabeanan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 satu tahun dan pidana penjara paling lama 5 lima tahun danatau pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 lima puluh juta rupiah dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 satu miliar rupiah. 2 Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan negara berdasarkan undang-undang ini dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 dua tahun dan pidana penjara paling lama 10 sepuluh tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 satu miliar rupiah dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 lima miliar rupiah. Yushfi Munif Nasution: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan, 2008. USU e-Repository © 2008 Ketentuan Pasal 104 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut : Pasal 104 : Setiap orang yang : a. Mengangkut barang yang berasal dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102, Pasal 102A atau Pasal 102B; b. Memusnahkan, memotong, menyembunyikan atau membuang buku atau catatan yang menurut undang-undang ini harus disimpan; c. Menghilangkan, menyetujui atau turut serta dalam penghilangan keterangan dari pemberitahuan pabean, dokumen pelengkap pabean atau catatan; atau d. Menyimpan danatau menyediakan blangko faktur dagang dari perusahaan yang berdomisili diluar negeri yang diketahui dapat digunakan sebagai kelengkapan pemberitahuan pabean menurut undang-undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 satu tahun dan pidana penjara paling lama 3 tiga tahun danatau pidana denda paling sedikit Rp. 500.000.000,00 lima ratus juta rupiah dan paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 tiga miliar rupiah. Ketentuan Pasal 104 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut : Pasal 105 : Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak membuka, melepas atau merusak kunci, segel atau tanda pengaman yang telah dipasang oleh pejabat bea dan cukai dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 satu tahun dan pidana penjara Yushfi Munif Nasution: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan, 2008. USU e-Repository © 2008 paling lama 3 tiga tahun danatau pidana denda paling sedikit Rp.500.000.000,00 lima ratus ribu rupiah dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 satu miliar rupiah. Pasal 106 dihapus kemudian Pasal 107 tetap dengan perubahan penjelasan pasal 107 sehingga penjelasan Pasal 107 menjadi sebagaimana ditetapkan dalam penjelasan pasal demi pasal undang-undang ini. Ketentuan Pasal 108 ayat 3 dan ayat 4 diubah sehingga Pasal 108 berbunyi sebagai berikut : 1 Dalam hal suatu tindak pidana yang dapat dipidana menurut undang- undang ini dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi, tuntutan pidana ditujukan dan sanksi pidana dijatuhkan kepada : a. Badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi tersebut; danatau b. Mereka yang memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pimpinan atau yang melalaikan pencegahannya. 2 Tindak pidana menurut undang-undang ini dilakukan juga oleh atau atas nama badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi, apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang yang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi tersebut tanpa memperhatikan apakah Yushfi Munif Nasution: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan, 2008. USU e-Repository © 2008 orang tersebut masing-masing telah melakukan tindakan secara sendiri- sendiri atau bersama-sama. 3 Dalam hal suatu tuntutan pidana dilakukan terhadap badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi, pada waktu penuntutan diwakili oleh pengurus yang secara hukum dapat dimintai pertanggungjawaban sesuai bentuk badan hukum yang bersangkutan. 4 Terhadap badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi yang dipidana dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini, pidana pokok yang dijatuhkan senantiasa berupa pidana denda paling banyak Rp.1.500.000.000,00 satu miliar lima ratus juta rupiah, jika atas tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara, dengan tidak menghapuskan pidana denda apabila atas tindak pidana tersebut diancam dengan pidana pnjara dan pidana denda. Ketentuan Pasal 109 ayat 1 dan ayat 2 diubah dan diantara ayat 2 dan ayat 3 disisipkan 1 satu ayat, yaitu ayat 2a sehingga Pasal 109 berbunyi sebagai berikut : Pasal 109 : 1 Barang impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102, Pasal 103 huruf d, atau Pasal 104 huruf a, barang ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal Yushfi Munif Nasution: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan, 2008. USU e-Repository © 2008 102A, atau barang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102D yang berasal dari tindak pidana, dirampas untuk negara. 2 Sarana pengangkut yang semata-mata digunakan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 102 dan Pasal 102A, dirampas untuk negara. 2a Sarana pengangkutan yang digunakan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102D, dapat dirampas untuk negara. 3 Barang sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diselenggarakan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 73. Demikian pula pada Undang Undang no. 11 tahun 1995 tentang Cukai, yakni dinyatakan sebagai berikut : Pasal 50 : Barang siapa tanpa memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 14, menjalankan usaha pabrik, tempat penyimpanan atau mengimpor barang kena cukai yang pelunasan cukainya dengan dengan cara pelekatan pita cukai yang mengakibatkan kerugian negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun dan denda paling banyak sepuluh kali nilai cukai yang seharusnya dibayar. 80 Ketentuan pasal 50 diubah dengan keluarnya Undang-Undang RI nomor 39 tahun 2007 tentang Cukai, berbunyi sebagai berikut : 80 Undang-Undang Republik Indonesia nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai, pasal 50. Yushfi Munif Nasution: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan, 2008. USU e-Repository © 2008 Pasal 50 : Setiap orang tanpa memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 14, menjalankan kegiatan pabrik, tempat penyimpanan atau mengimpor barang kena cukai dengan maksud mengelakkan pembayaran cukai dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1satu tahun dan paling lama 5 lima tahun dan pidana denda paling sedikit 2 dua kali nilai cukai dan paling banyak 10 sepuluh kali nilai cukai yang seharusnya dibayar. 81 Sedangkan pada pasal 61 undang-undang tersebut menentukan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, penuntutan dan pertanggungjawabannya seperti halnya diatur dalam pasal 108 Undang Undang no 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan seperti yang telah dikutip sebelumnya. Perumusan perbuatan-perbuatan yang dilarang dilakukan oleh korporasi sebagaimana tersebut dalam beberapa undang-undang di muka pada hakikatnya merupakan perbuatan manusia alamiah, namun dapat pula dilakukan oleh korporasi. Perumusan yang demikian itu dapat pula ditemui dalam UU Darurat no. 71995 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi dan UU no. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah UU no. 20 tahun 2001. Pasal 15 UU Darurat no. 71995 berbunyi sebagai berikut : 81 Undang-Undang Republik Indonesia nomor 39 tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai, pasal 50. Yushfi Munif Nasution: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan, 2008. USU e-Repository © 2008 Ayat 1 : Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang yang lainnya atau yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu, maupun terhadap keduanya. Ayat 2 : Suatu tindak pidana ekonomi dilakukan juga oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau suatu yayasan, jika tindak pidana itu dilakukan oleh orang-orang yang, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu, tak peduli apakah orang-orang itu masing-masing tersendiri melakukan tindak pidana ekonomi itu pada mereka bersama ada anasir-anasir tindak pidana tersebut. Ayat 3 : Jika suatu tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau yayasan, maka badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu pada waktu penuntutan itu diwakili oleh seorang pengurus atau jika ada lebih seorang pengurus oleh salah seorang dari mereka itu. Wakil dapat diwakili orang lain. Hakim dapat memerintahkan supaya seseorang pengurus menghadapi Yushfi Munif Nasution: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan, 2008. USU e-Repository © 2008 sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus itu dibawa ke hadapan hakim. Ayat 4 : Jika suatu tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan, suatu perserikatan orang atau suatu yayasan, maka segala pangilan untuk menghadap dan segala penyerahan surat-surat panggilan itu akan dilakukan kepada kepala pengurus di tempat tinggal panggilan itu akan dilakukan kepada kepala pengurus di tempat tinggal panggilan itu akan dilakukan kepada kepala pengurus di tempat tinggal kepala pengurus atau ditempat pengurus mengadakan sidang atau berkantor. Contoh yang dikemukakan Santoso Pudjosubroto sebagai berikut, suatu perseroan terbatas mempunyai toko besar yang di dalamnya terdapat terdapat ruangan-ruangan yang dipimpin oleh kepala bagian. Apabila seorang kepala bagian memerintahkan untuk menaikkan harga, yang tidak sesuai dengan harga eceran tertinggi, maka penuntutannya dapat ditujukan baik kepada bagian yang memegang peranan penting dalam penaikan harga. Contoh ini kiranya dapat diterima, selanjutnya mengenai kata-kata “pemimpin dalam perbuatan dan kelalaian,” dapatkah dibentuk konstruksi pemimpin dalam kelalaian? Tentang hal ini Andi Hamzah menyatakan bahwa dalam praktik pernah terjadi seorang dimajukan kepersidangan. Dalam kasus ini Andi Hamzah bertindak sebagai jaksanya, dengan konstruksi seorang yang bernama AP dituntut karena kelalaiannya sebagai direktur dari suatu perseroan terbatas di mana terdakwa Yushfi Munif Nasution: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan, 2008. USU e-Repository © 2008 membubuhkan tanda tangannya atas suatu dokumen pemberitahuan masuk barang pada dokumen yang salah dibuat mengenai jenis barang oleh bawahannya, yaitu kunci kuningan ditulis kunci besi, satu dan lain karena bawahannya itu kurang mengerti bahasa asing yang tertera pada keterangan barang impor itu. Sang direktur dengan tidak memperhatikan terus menandatangani dokumen yang dibuat bawahannya itu. Dia adalah pemimpin karena dialah direktur perusahaan tersebut, dia pulalah yang menandatangani dokumen. Mengenai hubungan pengurus dengan tindakannya yang membawa akibat suatu badan hukum dan lain-lain itu dapat dituntut dan dijatuhi pidana berserta tindakan tata tertib. Pada pasal 15 ayat 2 dikatakan jika perbuatan itu dilakukan oleh orang-orang yang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasar hubungan yang lain bertindak dalam hubungan badan hukum dan lain-lain itu. Selanjutnya pelaku korporasi sebagai subyek tindak pidana korupsi, dapat dilihat dalam pasal 20 UU no.311999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah UU no. 20 2001 sebagai berikut. Ayat 1 : Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terrhadap korporasi dan atau pengurusnya. Ayat 2 : Tindak Pidana korupsi dilakukan korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan Yushfi Munif Nasution: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan, 2008. USU e-Repository © 2008 lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama- sama. Ayat 3 : Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus. Ayat 5 : Hakim dapat memerintahkan supaya supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan. Ayat 6 : Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan menyerahkan surat penggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor. Ayat 7 : Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 13 sepertiga. Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa disamping manusia alamiah, secara normatif korporasi dapat melakukan tindak pidana dalam bidang ekonomi dan sekaligus pertanggungjawabannya bisa dibebankan kepada korporasi yang bersangkutan. Badan hukum atau korporasi melakukan perbuatan hukum dengan perantaraan orang. Jadi badan hukum pada umumnya berwenang untuk melakukan Yushfi Munif Nasution: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan, 2008. USU e-Repository © 2008 perbuatan-perbuatan hukum. Yang mana pengurus bertindak untuk badan hukum atau dengan kata lain pengurus suatu badan hukum atau korporasi berkuasa untuk bertindak atas nama perkumpulan dan mengikat perkumpulan tersebut pada orang- orang pihak ketiga dan sebaliknya begitu pula bertindak di muka Hakim, baik sebagai penggugat ataupun sebagai tergugat. 82 Artinya para wakil dari badan hukum yang melakukan perbuatan hukum untuk badan hukum itu. Segala sifat dari perbuatan hukum si wakil tersebut dianggap sifat perbuatan badan hukum itu sendiri. Dasar dari kewenangan mewakili itu adalah karena wakil dari badan hukum ini merupakan orgaan alat perlengkapan dari badan hukum. Orgaan adalah orang-orang atau kelompok orang-orang yang bertugas di dalam badan hukum tersebut yang merupakan esensial dari organisasi tersebut. Tempatnya ditentukan oleh anggaran dasar, yaitu pengurus, direktur, direksi, komisaris dan dewan komisaris. Karena mereka orgaan maka mempunyai kewenangan mewakili. Disamping itu badan hukum dapat juga membuat perjanjian dengan mewakilkan kepada orang ketiga, yang tugasnya tidak merupakan bagian dari organisasi itu, baik kepada orang luar maupun orang yang bekerja pada badan hukum itu. Jadi kalau tugasnya tidak disebut dalam anggaran dasar, maka bukan sebagai esensial dari badan hukum tersebut. Jadi dibedakan orang yang bekerja sebagai orgaan dan orang yang bekerja berdasarkan pemberian kuasa. Ukurannya apakah dasar tugasnya disebut dalam anggaran dasar atau tidak. Kalau tugasnya disebut dalam anggaran dasar maka disebut orgaan dan kalau tidak maka disebut bukan 82 Chidir Ali, op. cit., hal. 185. Yushfi Munif Nasution: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan, 2008. USU e-Repository © 2008 orgaan melainkan lasthebber. Pengurus dari badan hukum yang merupakan orgaan itu boleh mengikatkan badan hukum pada pihak ketiga, badan hukum atau pengurusnya dapat melakukan perbuatan-perbuatan seperti orang biasa dan wakil dari badan hukum biasanya disebut orgaan. Masalah perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh badan hukum adalah persoalan yang perlu diketahui, bahwa badan hukum adalah “bertanggung jawab” aansprakelijkheid, artinya dapat digugat untuk perbuatan-perbuatannya yang melawan hukum yang dilakukan oleh orgaan-nya sebagai orgaan. Mengenai pertanggungjawaban ini menurut Theorie Juridische Realiteit adalah bahwa segala yang diperbuat oleh pengurus dalam fungsinya dapat dipertanggungjawabkan terhadap badan hukum itu sendiri. Jadi perbuatan melawan hukum itu dapat terjadi sewaktu orgaan-nya sebagai wakil badan hukum melakukan perbuatan hukum dan juga akibat sebagai pemeliharaan suatu hak dan pelaksanaan suatu hak oleh orgaan itu sebagai orgaan. Hal-hal yang dapat dipakai sebagai dasar pembenar atau alasan-alasan bahwa korporasi sebagai pembuat dan sekaligus yang bertanggung jawab adalah pertama karena, dalam berbagai tindak pidana ekonomi dan fiskal, keuntungan yang diperoleh korporasi atau kerugian yang diderita masyarakat dapat sedemikian besar sehingga tidak akan mungkin seimbang bilamana pidana hanya dijatuhkan pada pengurus saja. Kedua adalah dengan hanya memidana pengurus saja, tidak akan atau belum ada jaminan bahwa korporasi tidak akan mengulangi tindak pidana lagi. Dengan Yushfi Munif Nasution: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan, 2008. USU e-Repository © 2008 memidana korporasi dengan jenis dan berat sesuai sesuai sifat korporasi itu, diharapkan korporasi dapat mentaati peraturan yang bersangkutan. Peraturan perundang-undangan yang menempatkan korporasi sebagai subyek tindak pidana dan secara langsung dapat dipertanggungjawabkan secara pidana adalah pasal 15 UU no. 7 Drt tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, pasal 15 ayat 1 yang berbunyi : “Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana dan tindakan tata tertib dijatuhkan baik terhadap badan hukum perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana ekonomi itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu, maupun terhadap kedua-duanya.” 83 Kemampuan bertanggung jawab merupakan salah satu unsur pertanggungjawaban pidana. Tidaklah mungkin seseorang dapat dipertanggungjawabkan apabila ia tidak mampu bertanggung jawab. Dikatakan bertanggung jawab apabila ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum dan ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut. Sehubungan dengan kemampuan bertanggung jawab korporasi sebagai subyek tindak pidana, dapat diatasi dengan menerima konsep kepelakuan fungsional functioneel daderschap yaitu karya interpretasi kehakiman. Hakim menginterpretasikan tindak pidana itu sedemikian rupa sehingga pemidanaannya memenuhi persyaratan dari masyarakat. 83 H. Setiyono, op. cit., hal. 15. Yushfi Munif Nasution: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan, 2008. USU e-Repository © 2008 Ciri khas dari kepelakuan fungsional yaitu perbuatan fisik dari yang satu yang sebenarnya melakukan atau membuatnya menghasilkan perbuatan fungsional terhadap orang lain. Sedangkan untuk meyakini adanya interpretasi fungsional dari hakim harus melalui tiga tahap. Pertama, kepentingan yang manakah yang ingin dilindungi oleh pembentuk undang-undang. Kedua, pribadi yang manakah dalam kasus pidana ini yang dapat menjalankan atau melakukan tindak pidana. Siapa yang berada dalam posisi yang sangat menentukan untuk jadi atau tidaknya dilakukan atau dijalankan tindak pidana itu. Ketiga, diajukan pertanyaan pembuktian apakah ada cukup pembuktian secara sahih ternyata tidak memberikan hasil yang memuaskan. Apabila kita menerima konsep functioneel daderschap, maka kemampuan bertanggung jawab masih berlaku dalam mempertanggungjawabkan korporasi dalam hukum pidana, sebab keberadaan korporasi tidaklah dibentuk tanpa suatu tujuan dan dalam pencapaian tujuan korporasi selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia alamiah. Oleh karena itu kemampuan bertanggung jawab orang-orang yang berbuat untuk dan atas nama korporasi, dialihkan menjadi kemampuan bertanggung jawab korporasi sebagai subyek tindak pidana. Seiring peranan korporasi yang semakin besar dalam bidang perekonomian, pengaturan korporasi sebagai subyek tindak pidana dalam hukum pidana positif mengalami banyak perkembangan sejak tahun 1990-an. Perkembangan pengakuan pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai pembuat, seperti yang diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan di luar KUHP, sesuai dengan tujuan dan fungsi hukum dan hukum pidana sebagai sarana perlindungan sosial dalam rangka Yushfi Munif Nasution: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan, 2008. USU e-Repository © 2008 mencapai tujuan utama yaitu kesejahteraan masyarakat, adalah karena kecenderungan korporasi melakukan pelanggaran hukum dalam mencapai tujuan korporasi memperoleh laba yang sebesar-besarnya pada saat ini telah menjadi realitas didalam masyarakat. Oleh sebab itu, pengakuan pertanggungjawaban korporasi sebagai subyek tindak pidana dalam hukum pidana, sudah sewajarnya dirumuskan dalam KUHP Nasional Indonesia yang akan datang. Yushfi Munif Nasution: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan, 2008. USU e-Repository © 2008

BAB IV HAMBATAN YANG DIHADAPI PENYIDIK DALAM

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENYELUNDUPAN DAN SOLUSI HUKUMNYA

A. Hambatan-Hambatan Dalam Pemberantasan Tindak Pidana

Penyelundupan Upaya pemberantasan Tindak Pidana Penyelundupan sudah sejak lama dilaksanakan, antara lain terbukti dengan telah terbentuknya berbagai bentuk kejahatan lainnya, Tindak Pidana Penyelundupan masih berlangsung terus begitu kerja tim selesai atau pengawasan dikendorkan lagi oleh aparat keamanan. Tindak Pidana Penyelundupan adalah merupakan tindak pidana yang mempunyai pengaruh terhadap segi-segi kehidupan masyarakat, baik terhadap segi kehidupan sosial, ekonomi, politik maupun kebudayaan. Oleh karena itu, maka usaha-usaha penanggulangan dan pemberantasannya pun tidak semudah yang dibayangkan, melainkan banyak sekali hal-hal yang harus dihadapi antara lain : 1. Sarana dan prasarana yang belum memadai apabila dibandingkan dengan intensitas penyelundupan, yang meliputi: a. Perangkat perundang-undangan yang akan diterapkan terhadap pelaku penyelundupan. Yushfi Munif Nasution: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyelundupan, 2008. USU e-Repository © 2008