Sifat Rahasia Bank Menjaga Kerahasiaan Bank Sebagai Wujud Perlindungan Nasabah

Agustinus Sayur Matua Purba : Menjaga Kerahasiaan Bank Sebagai Wujud Perlindungan Nasabah, 2009. USU Repository © 2009 Pengertian rahasia bank dalam Undang-Undang Nomor. 7 Tahun 1992 yang dimuat Pasal 1 ayat 16 mengatakan bahwa Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan lain-lain dari nasabah bank yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan. Pengertian ini kemudian diubah dengan pengertian baru oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang mengatakan bahwa Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan ketentuan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. 38

2. Sifat Rahasia Bank

Mengenai sifat rahasia bank, ada dua teori yang dapat dikemukakan, yaitu teori yang mengatakan rahasia bank yang bersifat mutlak absolute theory dan yang mengatakan bersifat relatif relative theory. Kedua teori ini masing-masing berpegang pada alasan atau argumentasinya. Adapun dua teori mengenai kekuatan berlakunya asas rahasia bank, yaitu: a. Teori Mutlak Absolute Theory Menurut teori ini, Rahasia Bank bersifat mutlak . Semua keterangan mengenai nasabah dan keuangannya yang tercatat di bank wajib dirahasiakan tanpa pengecualian dan pembatasan. Dengan alasan apa pun dan oleh siapapun 38 Sentosa Sembiring. 1, Himpunan Lengkap Undang-Undang tentang Perbankan disertai peraturan perundang-undangan yang terkait,Bandung: Penerbit Nuansa Aulia, 2006 hal 16. Agustinus Sayur Matua Purba : Menjaga Kerahasiaan Bank Sebagai Wujud Perlindungan Nasabah, 2009. USU Repository © 2009 kerahasiaan mengenai nasabah dan keuangannya tidak boleh dibuka diungkapkan. Apabila terjadi pelanggaran terhadap kerahasiaan tersebut, bank yang bersangkutan harus bertanggung jawab atas segala akibat yang ditimbulkannya. Keberatan terhadap teori mutlak adalah terlalu individulis, artinya hanya mementingkan hak Individu perseorangan. Di samping itu, teori mutlak juga bertentangan dengan kepentingan negara atau masyarakat banyak dikesampingkan oleh kepentingan individu yang merugikan Negara atau masyarakat banyak. Teori mutlak ini terutama dianut di Negara Swiss sejak tahun 1934. 39 Sifat mutlak rahasia bank tidak dapat diterobos dengan alasan apapun. Hal ini dapat dilihat di dalam Undang-Undang Pemerintah Swiss No. 47 mengenai “Perbankan dan bank Tabungan” November 1934. 40 39 Abdulkadir Muhamad dan Rilda Murniati, Lembaga Keuangan dan Pembiayaan, Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti,2004 hal 77. 40 Undang-Undang Pemerintah Swiss Nomor 47 mengenai “Perbankan dan Bank Tabungan” November 1934, menyatakan bahwa: Dengan demikian, para koruptor atau pedagang narkotika kelas kakap didunia merasa aman menyimpan uang hasil kejahatannya di bank-bank Swiss. Salah satu contoh 1. Barang siapa sebagai badan, pegawai, pelaksana, likuidator, atau komisi sebuah bank, sebagai pengawat komisi bank, sebagai organ, atau pegawai dari bagian revisi yang diakui atau yang menerima tugas ini membuka rahasia yang dipercayakan kepadanya atau barang siapa yang melanggar rahasia pekerjaan profesi, akan didenda hukuman kurungan selama enam bulan atau denda sampai 50.000 farnc. 2. Jika itu merupakan kecerobohan si pelaku, maka ia dikenakan denda sebesar 30.000 franc 3. Pelaku pelanggaran rahasia bank akan dikenakan hukuman juga, meskipun masa jabatannya atau masa dinasnya telah berakhir. 4. Keterangan hanya dapat diberikan berdasarkan Kanton Negara bagian dan dibawah sumpah mengenai kewajiban memberikan keterangan kepda yang berwajib. Muhamad Djumhana. 1. Op.Cit, hal 116 Agustinus Sayur Matua Purba : Menjaga Kerahasiaan Bank Sebagai Wujud Perlindungan Nasabah, 2009. USU Repository © 2009 pelaku yang memanfaatkan teori mutlak tentang kerahasiaan bank di bank-bank Swiss adalah mantan Presiden Ferdinand Marcos dari Filipina, dan gembong narkotika Dennis Levine. Ketatnya rahasia bank dilaksanakan di Swiss, mengakibatkan beberapa Negara tidak dapat menjangkau uang hasil kejahatan warga negaranya yang merugikan Negara atau masyarakat banyak, yang disimpan di bank-bank Swiss. Oleh karena itu, teori mutlak yang dianut oleh Negara Swiss mendapat reaksi keras dari beberapa negara yang kepentingannya dirugikan. Sebagai contoh adalah kasus gugatan pemerintah Amerika Serikat melalui Stock Exchange Commission SEC kepada sejumlah bank di Swiss sehubungan dengan penampungan dana hasil insider trading yang disimpan di beberapa bank di Swiss, Agar bank-bank yang bersangkutan membuka rahasia keuangan nasabahnya. Ternyata rahasia bank yang bersifat mutlak itu dapat dikompromikan. Sifat mutlak ini ditinggalkan oleh bank-bank di Swiss sejak tahun 1991 dengan menghapuskan nama samaran dari kode rekening nasabah yang terkenal dengan “Formulir B”, yang harus diganti dengan nama aslinya melalui pendaftaran ulang. Jika para nasabah yang bersangkutan tidak mendaftar ulang, mereka harus menutup rekeningnya. 41 b. Teori Relatif Relative Theory 41 Abdulkadir Muhamad dan Rilda Murniati, Op.cit, hal. 77-78 Agustinus Sayur Matua Purba : Menjaga Kerahasiaan Bank Sebagai Wujud Perlindungan Nasabah, 2009. USU Repository © 2009 Menurut teori ini, rahasia bank bersifat relatif terbatas. Semua keterangan mengenai nasabah dan keuangannya yang tercatat di bank wajib dirahasiakan. Namun bila ada alasan yang dapat dibenarkan oleh undang-undang, rahasia bank mengenai keuangan nasabah yang bersangkutan boleh dibuka diungkapkan kepada pejabat yang berwenang, misalnya pejabat perpajakan, pejabat penyidik tindak pidana ekonomi. Keberatan terhadap teori relatif adalah rahasia bank masih dapat dijadikan perlindungan bagi pemilik dana yang tidak halal, yang kebetulan tidak terjangkau oleh aparat penegak hukum law enforcer karena tidak terkena penyidikan. Dengan demikian, dana tetap aman. Tetapi teori relatif sesuai dengan rasa keadilan sense of justice, artinya kepentingan negara atau kepentingan masyarakat tidak dikesampingkan begitu saja. Apabila ada alasan dan sesuai dengan prosedur hukum maka rahasia keuangan nasabah boleh dibuka diungkapkan. Dengan demikian, teori relatif melindungi kepentingan semua pihak, baik individu, masyarakat, ataupun negara. Teori relatif dianut oleh negara- negara pada umumnya antara lain Amerika Serikat, Belanda, Malaysia, Singapura, Indonesia. Rahasia bank yang berdasarkan teori relatif diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. 42 42 Abdulkadir Muhamad dan Rilda Murniati, Loc.cit, hal 78 Agustinus Sayur Matua Purba : Menjaga Kerahasiaan Bank Sebagai Wujud Perlindungan Nasabah, 2009. USU Repository © 2009

B. Penerapan Rahasia Bank di Indonesia

Ketentuan Hukum Rahasia Bank Berdasarkan penelitian kepustakaan tidak ditemui adanya peraturan perundang-undangan Indonesia yang mengatur masalah rahasia bank sebelum tahun 1960. Walaupun demikian terdapat pendapat yang menyatakan bahwa sesuai dengan prinsip konkordansi, maka ketentuan rahasia bank yang ada di negeri Belanda sebagai negeri yang menjajah Indonesia dapat diberlakukan di Indonesia sebagai negeri jajahannya. Setelah merdeka, peraturan dari negeri Belanda tersebut berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945 yang mengatakan bahwa masih berlaku sampai diadakannya ketentuan mengenai masalah rahasia bank ini. Sebelum tahun 1964 diketahui bahwa di Negeri Belanda tidak memiliki undang-undang atau ketentuan tertulis lainnya yang mengatur tentang kewajiban bank untuk merahasiakan keterangan tentang nasabahnya, Tetapi ditahun1964 Asosiasi Perbankan Belanda membuat suatu ketentuan mengenai rahasia bank ini dimana bank memiliki kewajiban bank untuk merahasiakan itu didasarkan pada “General Conditions” yang disusun oleh Asosiasi Perbankan Belanda. 43 43 Yunus Husein . 1,Ibid, hal. 191 Agustinus Sayur Matua Purba : Menjaga Kerahasiaan Bank Sebagai Wujud Perlindungan Nasabah, 2009. USU Repository © 2009 Sebelum tahun 1960 jumlah bank tidak banyak dan kesadaran masyarakat untuk menggunakan jasa bank bank mindedness dan usaha bank begitu maju, lagi pula masalah rahasia bank ini belum menonjol, sehingga belum memerlukan pengaturan secara tertulis. Kekosongan pengaturan rahasia bank tersebut diisi dengan kelaziman yang berlaku, dan demikian pula halnya dengan perjanjian antara bank dan nasabah. Pada priode sebelum tahun 1960 ini ditemukan adanya masalah rahasia bank antara tahun 1857-1858. Pada waktu itu, Kantor besar jawatan pajak sebelum bernama Direktorat Jenderal Pajak mengeluarkan ketentuan mengenai keharusan setiap bank untuk melaporkan kegiatan bank dengan nasabahnya kepada Kantor Inspeksi Keuangan nama kantor daerah sebagai pelaksana dari instansi perpajakan pusat yang sejak tahun 1970 bernama Inspeksi Pajak. Kewajiban tersebut menggoyahkan usaha perbankan karena banyaknya penarikan dana dari bank oleh nasabah. Sebahagian dari nasabah bank tersebut ketakutan karena dengan adanya ketentuan tersebut maka semua simpanan mereka akan diketahui oleh petugas pajak fiskus. 44 “Bank tidak boleh memberikan keterangan tentang keadaan keuangan langganannya yang tercatat padanya dan hal-hal lain yang harus dirahasiakan oleh bank menurut Oleh sebab itulah maka di dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang PERPU Nomor 23 Tahun 1960 dibuat ketentuan berikut: 44 Yunus Husein . 1, Ibid , hal 191-192 Agustinus Sayur Matua Purba : Menjaga Kerahasiaan Bank Sebagai Wujud Perlindungan Nasabah, 2009. USU Repository © 2009 kelaziman dalam dunia perbankan, kecuali dalam hal yang ditentukan pada Pasal 3 yang mengatakan bahwa : 1. Menteri Keuangan atas permintaan tertulis dari Kepala Jawatan Pajak berwenang untuk memerintahkan kepada bank, supaya memberikan keterangan-keterangan dan memperlihatkan buku-buku, bukti-bukti tertulis atau surat-surat kepada pejabat pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Ordonansi Pajak Pendapatan 1944, Pasal 54a Ordonansi Pajak Kekayaan 1932, Pasal 43a Ordonansi Pajak Perseroan 1925, Pasal 16 Peraturan Pajak Deviden 1959. Permintaan tersebut di atas harus menyebutkan wajib pajak yang dikehendaki keterangannya. 2. Permintaan tertulis tersebut di atas harus menyebutkan wajib pajak yang dikehendaki keterangannya. 3. Untuk kepentingan peradilan dalam perkara tindak pidana Menteri Pertama dapat member izin kepada Jaksa Hakim untuk meminta kepada bank keterangan tentang keadaan keuangan tersangka terdakwa. Izin diberikan secara tertulis atas permintaan Jaksa Agung apabila yang memerlukan keterangan adalah jaksa, dan atas permintaan Ketua Mahkamah Agung apabila hakim yang memerlukan keterangan-keterangan itu. Apabila yang memerlukan keterangan adalah jaksa, maka harus disebutkan nama tersangka sebab-sebab keterangan diminta dan hubungan antara pidana Agustinus Sayur Matua Purba : Menjaga Kerahasiaan Bank Sebagai Wujud Perlindungan Nasabah, 2009. USU Repository © 2009 yang bersangkutan dengan keterangan-keterangan yang diminta”. Peraturan ini”. 45 Ketentuan rahasia bank yang berlaku di Indonesia sekarang ini, merupakan bagian dari ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun1992 sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-undang nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, begitu juga pada Undang-undang Perbankan sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan, pada bab VII, yaitu dalam Pasal 36 dan Pasal 37 46 1. Keadaan keuangan nasabah yang tercatat padanya, ialah keadaan mengenai keuangan yang tercatat pada bank yang meliputi segala simpanan yang tercantum dalam semua pos-pos pasiva, dan segala pos-pos aktiva yang merupakan pemberian kredit dalam pelbagai macam bentuk kepada yang bersangkutan. . Ketentuan rahasia bank tersebut pada masa Undang-Undang Perbankan Tahun 1967 ini dilengkapi dengan penafsiran yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia yang dituangkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor2337UPPBPbB, tanggal 11 September 1969 Penafsiran tentang pengertian rahasia bank yang mengatakan sebagai berikut: 2. Hal-hal lain yang harus dirahasiakan oleh bank menurut kelaziman dalam dunia perbankan, ialah segala keterangan orang, dan badan yang diketahui oleh bank 45 Lihat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang PERPU Nomor 23 tahun 1960. 46 Thomas Suyatno,dkk Kelembagaan Perbankan. cetakan ketiga, Jakarta: Penerbit PT.SUN, 2005 hal 104. Agustinus Sayur Matua Purba : Menjaga Kerahasiaan Bank Sebagai Wujud Perlindungan Nasabah, 2009. USU Repository © 2009 karena kegiatan usahanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Undang- Undang No 14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan. 47 Pada masa berlakunya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan, pemeriksaan pajak terhadap wajib pajak lembaga keuangan tidak dapat dilakukan secara tuntas hal ini disebabkan karena penegasan Direktur Jenderal Pajak dengan Surat Edaran Nomor SE-31PJ.71990 tertanggal 7 Desember 1990 perihal pemeriksaan terhadap bank. Surat ini pada intinya mengatakan bahwa ketentuan pemeriksaan terhadap bank sebagai wajib pajak, dimana di dalam pemeriksaan pajak tidak diperkenankan untuk memeriksa catatan dan dokumen mengenai rekening para nasabah bank yang bersangkutan, khusus mengenai: 1. Perkembangan Deposito, tabungan, rekening giro, dan rekening lainnya dari para nasabah; 2. Rincian bunga yang diterima dan atau yang dibayarkan oleh bank. Setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, maka peraturan sebelumnya dinyatakan tidak berlaku lagi, begitu pula dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan dinyatakan tidak berlaku lagi. Ketentuan mengenai rahasia bank pada Undang-Undang Nomor 7 47 Muhamad Djumhana. 2, Rahasia Bank Ketentuan dan Penerapannya di Indonesia, Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti. 1996 hal 137 Agustinus Sayur Matua Purba : Menjaga Kerahasiaan Bank Sebagai Wujud Perlindungan Nasabah, 2009. USU Repository © 2009 Tahun 1992 tentang Perbankan merupakan penyempurnaan, meskipun kenyataannya masih belum terwujud dengan baik. Dari ketentuan yang ada di dalam Undang-Undang nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan ternyata dirasakan belum jelas dan rinci, apa dan bagaimana kerahasiaan bank yang sesuai dengan kondisi hukum dan perkembangan perbankan Indonesia. Hal tersebut dirasakan karena belum adanya peraturan pelaksana lainnya seperti peraturan pemerintah mengenai kerahasiaan bank. Adanya keadaan belum lengkapnya peraturan perundang-undangan yang mengatur kerahasiaan bank serta belum jelasnya ketentuan rahasia bank pada perundang-undangan ada, lebih memungkinkan lagi digunakannya cara penafsiran perundang-undangan. Setelah keluarnnya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan masalah kerahasiaan bank dianggap telah lebih baik dan jelas dari pada ketentuan yang terdapat didalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. 48 Secara Sosiologis dapat dikatakan bahwa tidak ada peraturan tertulis yang sempurna dan jelas bila dihadapkan dengan penerapannya pada kehidupan nyata. Selesainya suatu pembuatan peraturan bukan akhir dari segalanya, tetapi awal Penerapan Ketentuan Rahasia Bank 48 Ibid. hal, 137-138 Agustinus Sayur Matua Purba : Menjaga Kerahasiaan Bank Sebagai Wujud Perlindungan Nasabah, 2009. USU Repository © 2009 permulaan dari suatu proses yang lain, yang bisa jauh lebih panjang. Hal utama yang akan dihadapi adalah kerumitan dalam penegakannya, dan keadaan itu tidak pernah berlangsung seperti garis lurus. 49 Suatu ketentuan yang tertuang dalam peraturan tidak selalu dapat secara cepat diketahui maksudnya, tetapi meskipun demikian suatu ketentuan tidak bisa karena belum jelasnya maksud ketentuan tersebut, maka penerapannya ditunda menunggu petunjuk pelaksananya dan petunjuk tekniknya. Ketentuan dari peraturan perundang- undangan harus dilaksanakan penuh bila telah diumumkan dalam lembaran negara. 50 1. Teori Penafsiran Perundang-undangan Demikian juga halnya dengan ketentuan mengenai rahasia bank yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, meskipun belum jelas dan belum ada peraturan pelaksananya, itu tidaklah harus menghambat untuk diterapkan dalam kondisi sekarang ini. Kondisi demikian dapat diatasi dengan jalan usaha penafsiran atas ketentuan tersebut. Ada dua macam teori penafsiran perundangan-undangan, yaitu: 49 Y.H. Laoly, Diktat Pengantar Ilmu Hukum Sari Kuliah, Medan: Penerbit, Universitas HKBP Nommensen, 1984, hal. 10 50 Y.H. Laoly, Ibid, hal. 16 Agustinus Sayur Matua Purba : Menjaga Kerahasiaan Bank Sebagai Wujud Perlindungan Nasabah, 2009. USU Repository © 2009 Menurut Fitzgerald, salah satu sifat yang melekat pada perundang-undangan, atau hukum tertulis adalah sifat otoritatif dari rumusan-rumusan peraturannya. Namun demikian, pengutaraan dalam bentuk tertulis itu sesungguhnya hanyalah bentuk saja dari usaha untuk menyampaikan suatu idea atau pikiran. Sehubungan dengan demikian orang menyebutnya adanya “semangat” dari suatu peraturan sehingga perlu usaha untuk mengali semangat tersebut dan hal itu biasa dilakukan oleh kekuasaan pengadilan untuk membentuk interpretasi atau konstruksi. 51 Pembuatan konstruksi dan interpretasi ini oleh Radbruch Zu-Ende-Denken eines Gedachten yaitu suatu usaha untuk mencari dengan sungguh-sungguh apa yang sebenarnya dipikirkan oleh pembuat undang-undang law making. Proses Zu- Ende-Denken tersebut tidak hanya dilakukan oleh hakim atau siapa saja yang pada suatu waktu melakukan interpretasi itu, melainkan juga merupakan hasil dari interaksi dengan masyarakat tempat keputusan itu diterapkan, oleh Scholten disebut sebagai unsur konsekuensi terhadap masyarakatnya. 52 Selanjutnya Fitzgerald menyebutkan bahwa interpretasi secara garis besar dibedakan kedalam interpretasi harafiah, dan fungsional. Interpretasi harafiah semata-mata menggunakan kalimat-kalimat dari peraturan sebagai peganganya, ia tidak keluar dari literal egis. Sedangkan interpretasi fungsional sebagai 51 Sadjipto Raharjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Cetakan Pertama, Bandung: Penerbit Alumni, 1986, hal. 123-124. 52 Ibid, hal. 136 Agustinus Sayur Matua Purba : Menjaga Kerahasiaan Bank Sebagai Wujud Perlindungan Nasabah, 2009. USU Repository © 2009 interpretasi bebas yang tidak mengikatkan diri sepenuhnya kepada kalimat dan kata-kata peraturan, melainkan mencoba untuk memahami maksud sebenarnya dari suatu peraturan dengan menggunakan sumber lain yang dianggap bisa memberikan kejelasan yang lebih memuaskan. 53 Interpretasi hukum secara harafiah, yaitu merupakan penafsiran dalam kerangka kebahasaan, pengertian dari peraturan ditarik dengan menggunakan norma- norma yang dipakai dalam tata bahasa pada umumnya. Scholten juga memberikan tempat yang penting kepada segi bahasa dan tata bahasa. Interpretasi itu dimulai dari bahasa dan diakhiri olehnya pula, yaitu berupa pengujian hasil yang ditemukan terhadap rumusan yang dipakai. Tetapi bagaimana pun, penggunaan kata-kata itu tidak boleh diberi arti tersendiri, melainkan dalam hubungannya dengan kenyataan sesungguhnya yang dapat kita amati pada kenyataan sehari-hari ataupun pada apa yang dipikirkan oleh orang yang melakukan penafsiran itu sendiri. 54 Penafsiran secara sistematis melihat makna dari kalimatperkataan yang dipakai dalam perundang-undangan tidak hanya ditentukan secara eksklusif melainkan dilihat pula secara konteks yang luas, sesuai pepatah hukum, noscitur a socis, yaitu suatu perkataan harus dinilai dari ikatannya dalam perkumpulannya. Kumpulan yang mengiringi ini bisa berupa ikatannya dengan suatu bagian dalam 53 Ibid, hal. 138 54 Ibid, hal. 131. Agustinus Sayur Matua Purba : Menjaga Kerahasiaan Bank Sebagai Wujud Perlindungan Nasabah, 2009. USU Repository © 2009 perundang-undangan, keseluruhan dari peraturan bersangkutan atau juga keseluruhan dari perundang-undangan itu sendiri. 55 2. Penafsiran dan pendapat para ahli serta peraturan tentang rahasia bank Penafsiran oleh para ahli baik dari kalangan hukum atas suatu ketentuan, adalah sebagai usaha untuk mencari dengan sungguh-sungguh apa yang sebenarnya dipikirkan oleh pembuat undang-undang law maker. Mungkin hasil itu adalah hal-hal yang memang terpikirkan oleh pembuat undang-undang pada waktu itu, atau tetapi mungkin juga tidak bahkan merupakan hal yang baru. 56 Penafsiran merupakan usaha untuk mengisi kekosongan terhadap suatu ketentuan yang masih belum sempurna. Di balik itu pula mengandung konsekuensi kemungkinan terjadinya penyalahgunaan atas ketentuan tersebut dengan menafsirkannya sesuai dengan kepentingannya. Hal tersebut tidak jarang terjadi, yaitu suatu ketentuan perundang-undangan dijadikan perisai sebagai pelindung orang yang berbuat, dan beritikad tidak baik. 57 55 Ibid, hal. 138. 56 Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum , Bandung: Penerbit Alumni, 2000 hal. 9 57 Ibid, hal. 13 Rumusan tentang rahasia bank ditafsirkan absolut, maksudnya segala informasi yang menyangkut nasabah tidak boleh terbuka untuk masyarakat, keadaan inilah dijadikan bekal oleh debitur nakal dengan berlindung pada kerahasiaan bank untuk berbuat melanggar hukum, misalnya menyalahgunakan kredit yang diperolehnya. Agustinus Sayur Matua Purba : Menjaga Kerahasiaan Bank Sebagai Wujud Perlindungan Nasabah, 2009. USU Repository © 2009 Hal demikian mengakibatkan terjadinya penerapan yang tidak sempurna, ketidak sempurnaan tersebut terlihat dengan kesan berkembangnya pendapat bahwa pasal tersebut terlalu berpihak kepada nasabah khususnya debitur tertentu, sehingga terlalu berlebihan yang akibatnya untuk kepentingan umum pun yang termasuk rahasia bank tidak leluasa diungkap. 58 1. Surat Menteri Keuangan Nomor R-25MKIV71969 Rahasia tertanggal 24-7- 1969; Pada kurun waktu tahun 1969 pemerintah telah tiga kali mengeluarkan penafsiran resmi tentang Rahasia Bank seperti yang tertuang dalam: 2. Surat Menteri Keuangan Nomor R-29MKIV1969 Rahasia tertanggal 3-9- 1969; 3. Surat Edaran Bank Indonesia No.2377UPPBPb.B tanggal 11-9-1969; Dalam surat-surat tersebut pada dasarnya menjelaskan kata-kata “hal-hal lain yang harus dirahasiakan oleh Bank menurut kelaziman dalam dunia perbankan” antara lain: 1. Pemberian pelayanan dan jasa dalam lalu lintas uang, baik dalam maupun luar negeri; 2. Mendiskontokan dan jual-beli surat-surat berharga; 58 Edward W Reed dan Edwaard K. Gill, Bank Umum cetakan keempat , Jakarta: Penerbit Bumi Aksara, 1995 hal. 37 Agustinus Sayur Matua Purba : Menjaga Kerahasiaan Bank Sebagai Wujud Perlindungan Nasabah, 2009. USU Repository © 2009 3. Pemberian kredit. 59 Ketentuan mengenai rahasia bank dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan diatur pada Bab VII dari Pasal 40 sampai dengan Pasal 45, sedangkan di dalam undang-undang perbankan yang berlaku saat ini yaitu Undang- undang Nomor 10 Tahun 1998 yang merupakan perubahan terhadap Undang-undang tentang perbankan sebelumnya yakni Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 diatur dalam Pasal 40 sampai dengan Pasal 45. Adapun Pasal yang mengatur tentang rahasia bank dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan adalah sebagai berikut: Pasal 40 berbunyi: 1. Bank dilarang memberikan keterangan yang tercatat pada bank tentang keadaan keuangan dan hal lain-lain dari nasabahnya, yang wajib dirahasiakan oleh bank menurut kelaziman dalam dunia perbankan, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, dan Pasal 44. 2. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 berlaku pula bagi pihak terafiliasi. 59 Rasjim Wiraatmaja, Ketentuan Baru Rahasia Bank Menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 serta dampaknya terhadap perbankan di Indonesia dan kejahatan ekonomi, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 8, 1999, hal. 18 Agustinus Sayur Matua Purba : Menjaga Kerahasiaan Bank Sebagai Wujud Perlindungan Nasabah, 2009. USU Repository © 2009 Di dalam penjelasan Pasal 40 khususnya pada ayat 1 dikatakan bahwa dalam hubungan ini yang menurut kelaziman wajib dirahasiakan oleh bank adalah seluruh data dan informasi mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan, dan hal lain-lain dari orang, dan badan yang diketahui oleh bank karena kegiatan usahanya. Kerahasiaan ini diperlukan untuk kepentingan bank sendiri yang memerlukan kepercayaan masyarakat yang menyimpan uangnya di bank. Masyarakat hanya akan mempercayakan uangnya pada bank atau memanfaatkan jasa bank apabila dari bank ada jaminan bahwa pengetahuan bank tentang simpanan dan keadaan keuangan nasabah tidak disalahgunakan. Dengan adanya ketentuan tersebut ditegaskan bahwa bank harus memegang teguh rahasia bank. Walaupun demikian pemberian data dan informasi kepada pihak lain dimungkinkan, yaitu berdasarkan Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, dan Pasal 44. 60 Kenyataan yang ada dan di hadapi saat ini, ternyata menunjukkan belum dapatnya ketentuan rahasia bank yang ada untuk menjawab secara tuntas dan tepat Dari ketentuan rahasia bank tersebut, kalangan teoritisi dan praktisi masih banyak mempertanyakan apa yang dimaksud sebenarnya rahasia bank. Kerahasiaan bank karenanya harus diberi penjelasan lebih lanjut agar bank ataupun oknum-oknum tertentu tidak berlindung di balik pasal itu. Masalah di atas adalah sebagian dari persoalan yang timbul sekitar kerahasiaan bank. 60 Lihat Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, khususnya Pasal 40. Agustinus Sayur Matua Purba : Menjaga Kerahasiaan Bank Sebagai Wujud Perlindungan Nasabah, 2009. USU Repository © 2009 permasalahan tersebut. Keadaan demikian mengakibatkan cara penyelesaiannya dengan mengandalkan penafsiran ketentuan rahasia bank yang ada secara meluas, bahkan terlihat sering menimbulkan kontroversial. Dari pendapat serta penafsiran yang berkembang, ternyata begitu jelas terlihat adanya ketidakserangaman penafsiran yaitu, terutama pada kata “Kelaziman dalam dunia perbankan”, serta data-data informasi perbankan mana yang bukan termasuk kategori sebagai rahasia bank. Penafsiran yang begitu luas, bahkan seringkali kontroversial ini dikarenakan ketentuan rahasia bank yang ada saat ini terlalu umum. Melihat keadaan yang menunjukan terlalu umumnya suatu ketentuan serta disusun secara tergesa-gesa, jelas menunjukkan bahwa ketentuan demikian telah cacat sejak lahir. Dari keadaan demikian sudah wajar bila Indonesia saat ini menghadapi permasalahan, yaitu ketegangan-ketegangan antara peraturan perundang-undangan dengan kenyataan masyarakat. Salah satu penyebab hal itu terjadi karena norma-norma yang ditetapkan pembentuk peraturan perundang-undangan tersebut tidak lagi sesuai dengan perkembangan hukum yang ada. 61 Permasalahan yang ada di sekitar rahasia bank ini, memerlukan jalan keluarnya. Lembaga yang berwenang di bidang perbankan dan hukum seharusnya cepat tanggap untuk menyelesaikan permasalan ini. Lembaga yang berwenang di bidang perbankan seperti Bank Indonesia, seharusnya berkonsultasi dengan lembaga 61 Muhamad Djumhana. 2, Op.cit, hal. 147. Agustinus Sayur Matua Purba : Menjaga Kerahasiaan Bank Sebagai Wujud Perlindungan Nasabah, 2009. USU Repository © 2009 yang berwenang di bidang hukum dalam hal ini adalah Mahkamah Agung untuk menuntaskan dan menyelesaikan persoalan ini. Kekuasaan Mahkamah Agung sebagai lembaga yang mempunyai wewenang di bidang peradilan berkewajiban menyingkap dan mendasarkan tindakannya pada maksud sesungguhnya dari badan pembuat undang-undang. 62 Scholten mengatakan bahwa hukum itu ada dalam perundang-undangan, sehingga orang harus memberikan tempat yang tinggi kepadanya, sekalipun hukum itu ada di situ, tetapi ia masih harus dicari, karena tidak bisa memunggutnya begitu saja dari kata-kata dan kalimat-kalimat dari undang-undang tersebut. 63 1. Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai Nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A. Setelah keluarnya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan sebagai perubahan dari Undang-undang Nomor 7 tahun 1992, maka secara otomatis Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 ini tidak berlaku lagi , dimana undang-undang perbankan yang baru ini memberikan penambahan-penambahan pasal tentang rahasia bank. Pasal 40 berbunyi: 62 Lihat Undang-undang No 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. 63 Sadjipto Raharjo, Op.cit, hal.147 Agustinus Sayur Matua Purba : Menjaga Kerahasiaan Bank Sebagai Wujud Perlindungan Nasabah, 2009. USU Repository © 2009 2 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 berlaku pula bagi Pihak yang terafiliasi. Pasal 41 berbunyi: 1. Untuk kepentingan perpajakan, Pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada pejabat pajak. 2. Perintah tertulis sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 harus menyebutkan nama pejabat pajak dan nama nasabah wajib pajak yang dikehendaki keterangannya. Pasal 41 A berbunyi: 1. Untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang NegaraPanitia Urusan Piutang Negara, Pimpinan Bank Indonesia memberikan izin kepada pejabat Badan Urusan Piutang dan Lelang NegaraPanitia Urusan Piutang Negara untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan Nasabah Debitur. 2. Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diberikan secara tertulis atas`permintaan tertulis dari Kepala Badan Urusan Piutang dan Lelang NegaraKetua Panitia Urusan Piutang Negara. Agustinus Sayur Matua Purba : Menjaga Kerahasiaan Bank Sebagai Wujud Perlindungan Nasabah, 2009. USU Repository © 2009 3. Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 harus menyebutkan nama dan jabatan Badan Urusan Piutang dan Lelang NegaraPanitia Urusan Piutang Negara, nama Nasabah Debitur yang bersangkutan dan alasan diperlukannya keterangan. Pasal 42 berbunyi: 1. Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, Pimpinan Bank Indonesia dapat memberikan izin kepada polisi, jaksa atau hakim untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan tersangka atau terdakwa pada bank. 2. Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diberikan secara tertulis atas permintaan tertulis dari Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa Agung, atau Ketua Mahkamah Agung. 3. Permintaan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 2 harus menyebutkan nama dan jabatan polisi, jaksa atau hakim, nama tersangkaterdakwa, alasan yang diperlukannya keterangan dan hubungan perkara pidana yang bersangkutan dengan keterangan yang diperlukan. Pasal 42 A berbunyi: Agustinus Sayur Matua Purba : Menjaga Kerahasiaan Bank Sebagai Wujud Perlindungan Nasabah, 2009. USU Repository © 2009 Bank wajib memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41 A dan Pasal 42 Pasal 43 berbunyi: Dalam perkara perdata antar bank dengan nasabahnya, Direksi bank yang bersangkutan dapat menginformasikan kepada pengadilan tentang keadaan keuangan nasabah yang bersangkutan dan memberikan keterangan lain yang relevan dengan perkara tersebut. Pasal 44 berbunyi: 1. Dalam tukar-menukar informasi antar bank, Direksi bank dapat memberitahukan keadaan keuangan nasabahnya kepada bank lain. 2. Ketentuan mengenai tukar-menukar informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diatur lebih lanjut oleh Bank Indonesia. Pasal 44 A berbunyi: 1. Atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari Nasabah Penyimpan yang dibuat secara tertulis bank wajib memberikan keterangan mengenai simpanan Nasabah Penyimpan pada bank yang bersangkutan kepada pihak yang ditunjuk oleh Nasabah Penyimpan tersebut. Agustinus Sayur Matua Purba : Menjaga Kerahasiaan Bank Sebagai Wujud Perlindungan Nasabah, 2009. USU Repository © 2009 2. Dalam hal Nasabah Penyimpan telah meninggal dunia, ahli waris yang sah dari Nasabah Penyimpan yang bersangkutan berhak memperoleh keterangan mengenai simpanan Nasabah Penyimpan tersebut. Pasal 45 berbunyi: Pihak yang merasa dirugikan oleh keterangan yang diberikan oleh bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43 dan Pasal 44, berhak untuk mengetahui isi keterangan tersebut dan meminta pembetulan jika terdapat kesalahan dalam keterangan yang diberikan.

C. Hubungan Bank dengan Nasabah

Hubungan hukum antara bank dengan para nasabahnya adalah hubungan kontraktual, begitu seorang nasabah menjalin hubungan dengan bank maka pada dasarnya terciptalah hubungan kontraktual antara mereka. Hubungan hukum antara nasabah dengan bank terjadi setelah kedua belah pihak menandatangani penjanjian untuk memanfaatkan produk jasa yang ditawarkan bank, dimana setiap produk bank selalu terdapat ketentuan-ketentuan yang ditawarkan oleb bank. Dengan adanya persetujuan dari nasabah ini berarti nasabah telah menyetujui isi serta maksud perjanjian, dengan demikian berlaku facta sun servanda, yaitu perjanjian tersebut Agustinus Sayur Matua Purba : Menjaga Kerahasiaan Bank Sebagai Wujud Perlindungan Nasabah, 2009. USU Repository © 2009 mengikat kedua belah pihak sebagai undang-undang, dimana asas ini terdapat di dalam Pasal 1338 Kitab undang-undang Hukum Perdata BW. 64 1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri. Azas kebebasan berkontrak tersebut tidak berarti para pihak bebas untuk melakukan perjanjian apa saja menurut kepentingan dan kehendak para pihak tersebut. Kebebasan sebagaimana diutarakan di atas, dibatasi oleh ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yaitu: 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. 3. Suatu hal tertentu. 4. Suatu sebab yang halal. 65 Syarat sahnya perjanjian sebagaimana dijelaskan di atas berkaitan dan dijelaskan oleh pasal-pasal lain, misalnya dengan kecakapan untuk membuat suatu perikatan diatur lebih lanjut dalam Pasal 1329 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, berkaitan dengan sesuatu hal tertentu diatur dalam Pasal 1332, 1333 dan Pasal 1334 64 Pasal 1338 mengatakan bahwa: Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang karena undang-undang dinyatakan cukup. Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik. R. Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: Penerbit Negara Pradja Paramitha, 1960 hal. 295 65 Try Widiyono, Aspek Hukum Operasional Transaksi Produk Perbankan di Indonesia ,Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2006 hal. 18 Agustinus Sayur Matua Purba : Menjaga Kerahasiaan Bank Sebagai Wujud Perlindungan Nasabah, 2009. USU Repository © 2009 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan berkaitan dengan suatu yang halal dalam Pasal 1335, 1334, dan 1337 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 66 Hubungan kontraktual antara bank dengan para nasabahnya juga dapat dikatakan merupakan suatu kontrak campuran. Ia menampakkan ciri-ciri perjanjian pemberian kuasa lastgeving, sebagaimana diatur oleh Pasal 1792. Tampil pula dalam bentuknya sebagai perjanjian penitipan barang misalnya Pasal 1694. Untuk sebahagian terbesar muncul sebagai perjanjian pinjam-meminjam yang diatur oleh Pasal 1754 dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan dapat pula sebagai perjanjian untuk melakukan pekerjaan memberikan jasa-jasa tertentu misal Pasal 1601. 67 1. Terdorongnya bank untuk berkewajiban memberikan informasi, dan syarat- syarat dengan jelas dan memadai kepada nasabah dan calon nasabah. Hubungan kontraktual bank dengan nasabah yang ternyata mempunyai dasar yang dapat dikaitkan pada beberapa ketentuan, sesuai dengan perikatan yang dilakukan antara mereka. Dalam kepentingan perlindungan konsumen perlu dijelaskan tanggung jawab hukum yang dipikul oleh kedua belah pihak. Dengan demikian harus terbentuk semangat saling mempercayai, sehingga terwujud suatu praktek perbankan yang sehat, secara nyata terpraktekkan dalam bentuk: 66 Ibid, hal. 19 67 Muhamad Djumhana. 2, Op.cit, hal. 104. Agustinus Sayur Matua Purba : Menjaga Kerahasiaan Bank Sebagai Wujud Perlindungan Nasabah, 2009. USU Repository © 2009 2. Baik bank maupun nasabah sebelum melaksanakan transaksi bisnis, harus menandatangani kontrak yang rasional. 3. Baik bank maupun nasabah harus menetapkan didalam kontrak mereka sistem, dan prosedur untuk menyelesaikan perselisihan secara bersahabat jika terjadi masalah. Tetapi meskipun demikian kenyataan saat ini hal-hal seperti itu belum sepenuhnya terwujud. Hal itu belum sederajatnya kedudukan para pihak. 68 Hubungan antara nasabah bank dengan bank terdapat pada formulir-formulir yang telah diisi oleh nasabah dan disetujui oleh bank. Formulir-formulir tersebut berisi tentang permohonan atau perintah atau kuasa kepada bank. Nasabah yang mengisi formulir permohonan perintah atau kuasa kepada bank pada dasarnya merupakan tindak lanjut dari kepercayaan nasabah atau masyarakat kepada bank. Kepercayaan nasabah atau masyarakat diwujudkan dalam bentuk pengajuan formulir atau permohonan kepada bank yang dipercayainya, serta menyerahkan dananya kepada bank untuk dikelola oleh bank dengan baik dalam pengertian yang seluas- luasnya. Aplikasi atau permohonan tersebut bukan hanya pada bentuk penempatan dana, tetapi juga transaksi-transaksi lain yang memang didasarkan pada unsur 68 Loc.cit hal. 104-105 Agustinus Sayur Matua Purba : Menjaga Kerahasiaan Bank Sebagai Wujud Perlindungan Nasabah, 2009. USU Repository © 2009 kepercayaan, termasuk transfer dana, collection, serta produk-produk perbankan lainnya. Hubungan hukum formal antara bank dengan nasabah seringkali menunjukkan berlakunya ketentuan yang lebih luas dan ketentuan tersebut dinyatakan sebagai ketentuan yang berlaku dan merupakan bagian serta satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan aplikasi tersebut. Hal ini perlu disadari bahwa hampir semua perbankan di Indonesia dalam aplikasinya menggunakan “Klausula baku”. Dalam aplikasi tersebut sering memuat ketentuan-ketentuan yang menunjuk pada ketentuan lain yang terpisah dengan aplikasi tersebut. Dalam hal ini masyarakat atau nasabah sering kurang memahami sehingga tidak membaca mengenai ketentuan-ketentuan apa saja yang berhubungan dengan aplikasi tersebut. Lebih lanjut, ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam suatu klausula yang menyatakan pelaksanaan semua persetujuan dan hubungan antara bank dengan pemegang rekening dilakukan dengan memperhatikan “peraturan yang berlaku”. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa untuk suatu hubungan hukum antara nasabah dengan bank dalam pembukaan rekening terdapat empat ketentuan yang berlaku yaitu: 1. Ketentuan yang terdapat dalam aplikasi. 2. Ketentuan yang terdapat pada syarat-syarat umum pembukaan rekening. 3. Ketentuan yang terdapat pada produk yang digunakan oleh nasabah 4. Peraturan yang berlaku sebagaimana dijelaskan dan dirumuskan diatas. Agustinus Sayur Matua Purba : Menjaga Kerahasiaan Bank Sebagai Wujud Perlindungan Nasabah, 2009. USU Repository © 2009 Apa yang dikemukakan di atas merupakan penunjukan terhadap ketentuan- ketentuan formal yang mengatur mengenai hubungan hukum antara nasabah dengan bank. Persoalan lain apakah nasabah mengetahui hak dan kewajibannya dalam mengadakan hubungan hukum dengan bank. Persoalan ini perlu dikemukan, sebab nasabah pada dasarnya telah terlanjur percaya kepada bank sehingga mereka juga mempercayai apa yang dibuat dan termuat dalam formulir tersebut. Atas dasar kepercayaan itulah, sekalipun perjanjian-perjanjian antara nasabah dengan bank tersebut menguntungkan secara sepihak bagi bank, tetapi masyarakat tidak memperdulikan hal tersebut, sebab mereka telah mempercayai sepenuhnya terhadap bank yang dipilih. 69 Problem bagi bank adalah bagaimana membuat suatu perjanjian standar yang memenuhi rasa keadilan sebagaimana dimaksud dalam filosofi hukum tersebut. Hal ini didasarkan kepada fakta bahwa bank sebagai lembaga kepercayaan wajib melindungi dana nasabah yang disimpannya, termasuk pengelolaanpenggunaanya dalam bentuk kredit. 70

D. Mekanisme Perlindungan Nasabah

1. Alasan bank menjaga kerahasiaan bank