Alat Pengumpulan Data Penyelesaian Secara Teknis Administratif

Sesuai dengan penelitian ini yang menggunakan pendekatan yuridis-normatif, langkah awal yang dilakukan adalah dengan menginventarisasi perundangan di bidang pertanahan dan peraturan-peraturan lainnya. Setelah itu dibuat inti sari dari setiap peraturan. Terhadap data yang ditemukan dicocokkan dengan pelaksanaannya di lapangan dengan mengumpulkan dokumen-dokumen yang relevan terutama yang berkaitan dengan problematika okupasi liar di atas lahan perkebunan khususnya pada areal PT. Perkebunan Nusantara IV Medan. Data yang diperoleh kemudian dilengkapi dengan wawancara terhadap narasumber yang ditentukan, yaitu Pejabat dan Petugas yang berkompeten di kantor pusat PTPN-IV Medan, khususnya bagian umum yang menangani masalah agraria dan juga oleh rakyat penggarap itu sendiri.

4. Alat Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini yang digunakan adalah 2 dua alat pengumpulan data, yaitu studi dokumen atau bahan pustaka dan wawancara. Studi dokumen atau bahan pustaka dipakai terhadap kajian buku-buku, hasil penelitian dalam bentuk tesis, peraturan perundangan, terbitan berkala seperti majalah, buletin, dan surat kabar yang berkaitan dengan masalah penelitian. Metode yang dipakai untuk mengetahui isi dokumen tersebut adalah analisis isi content analysis. Wawancara yang dilakukan adalah terhadap narasumberinforman yang ditentukan. Model wawancara yang dipilih adalah wawancara langsung tatap muka dengan menggunakan pedoman wawancara. Tujuannya untuk mendapatkan data yang mendalam, utuh dan lengkap, sehingga dapat dipakai untuk membantu dalam menjawab permasalahan.

5. Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini dianalisa dengan cara kwalitatif. Dan setelah selesai pengolahan data baru maka ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif.

BAB II LATAR BELAKANG TIMBULNYA MASALAH PERTANAHAN

MENGENAI OKUPASI DI ATAS LAHAN HGU PTPN-IV

A. Latar Belakang Timbulnya Masalah Pertanahan

Masalah pertanahan lebih ditekankan pada perbedaan yang terletak pada tataran teknis dan penyelesaiannya cukup dilaksanakan secara internal pada instansi pertanahan, sedang pengertian sengketa pertanahan telah masuk pada tataran yuridis yang penyelesaiannya melibatkan pihak lain ataupun melalui lembaga peradilan. Dalam Peraturan Menteri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 tahun 1999 tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan, 56. pada pasal 1 diatur bahwa yang dimaksud dengan sengketa pertanahan adalah perbedaan pendapat mengenai : a. keabsahan suatu hak, b. pemberian hak atas tanah, c. pendaftaran hak atas tanah termasuk peralihannya dan penerbitan tanda bukti haknya antara pihak-pihak yang berkepentingan maupun antara pihak-pihak yang berkepentingan dengan instansi di lingkungan Badan Pertanahan Nasional. Lutfi I Nasution lebih tertarik memakai istilah konflik pertanahan, 57 sama halnya dengan istilah yang dipakai dalam Ketetapan MPR Nomor IXMPR2001 56 Peraturan Menteri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 tahun 1999 Tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan 57 Lutfi I Nasution, Op cit., h. 215. tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam pasal 6 angka 1 huruf d disebutkan “menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang timbul selama ini…” Rachmadi Usman berpendapat bahwa sengketa merupakan kelanjutan dari konflik. Sebuah konflik akan berubah menjadi sengketa bila tidak dapat terselesaikan. Konflik dapat diartikan “pertentangan” di antara para pihak untuk menyelesaikan masalah yang apabila tidak terselesaikan dengan baik maka dapat mengganggu hubungan di antara mereka. Sepanjang para pihak dapat menyelesaikan masalahnya dengan baik, maka sengketa tidak akan terjadi, namun bila terjadi sebaliknya, para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai solusi pemecahan masalahnya, maka sengketa lah yang timbul. 58 Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai istilah tersebut di atas, maka istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah “masalah pertanahan mengenai okupasi di atas lahan HGU PTPN-IV”, yang mencakup pengertian adanya suatu persoalan, perselisihan, perbedaan pendapat antara para pihak yang berkepentingan maupun antara pihak dengan instansi Pemerintah menyangkut sumber daya tanah baik yang penyelesaiannya disampaikan kepada Pemerintah maupun diajukan melalui lembaga peradilan.

B. Penyebab Terjadinya Masalah Pertanahan Mengenai Okupasi Di Atas lahan

HGU PTPN-IV 58 Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003, h. 1. Akar masalah pertanahan di Indonesia adalah kenyataan bahwa luas tanah tidak pernah bertambah sedangkan manusia penghuninya terus bertambah yang diikuti dengan perkembangan masyarakat dengan berbagai kegiatan pembangunan yang senantiasa memerlukan tanah seperti halnya setiap pertambahan manusia itu. 59 Adanya ketimpangan antara keterbatasan sumber daya tanah dengan peningkatan kebutuhan manusia akan tanah merupakan penyebab yang alami terjadinya masalah pertanahan mengenai okupasi di atas lahan HGU PTPN-IV. Selain ketimpangan keadaan tersebut di atas masalah pertanahan mengenai okupasi di atas lahan HGU PTPN-IV tersebut juga disebabkan oleh ketidakserasian penggunaan tanah pertanian dengan tanah non-pertanian, kurangnya keberpihakan kepada masyarakat ekonomi lemah, kurangnya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat hak ulayat dan lemahnya posisi masyarakat pemegang hak dalam pembebasan tanah. 60 Lutfi I Nasution juga menjelaskan bahwa konflik pertanahan yang semula disebabkan adanya benturan kepentingan berkembang antara lain berkaitan dengan : 1. nilai-nilai budaya, 2. adanya perbedaan penafsiran yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan UUPA yang merupakan ketentuan dasar pertanahan yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia, 59 Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Maga Media, Yogyakarta, 1999, h. 117. 60 Lutfi I Nasution, Op cit., h. 217. 3. adanya penyimpangan dalam implementasi peraturan pelaksanaan UUPA. 61 Badan Pertanahan Nasional juga mencatat bahwa dari tahun ke tahun kuantitas dan kualitas masalah pertanahan mengenai okupasi di atas lahan HGU PTPN-IV itu semakin meningkat, disebabkan : a. Terdapatnya persepsi dan kesadaran hukum yang beragam mengenai status kepemilikan tanah maupun status tanah tertentu di kalangan masyarakat maupun Pemerintah; b. Belum tertibnya administrasi pertanahan di masa lalu sebagai akibat dari perubahan kebijakan maupun sistem hukum pada masa kolonial yang pluralistik maksudnya dengan pengertian pada masa lalu pendidikan terlalu dibatasi, sehingga pengetahuan nya masih sangat rendah; c. Okupasi liar akibat kurangnya kesadaran hukum masyarakat untuk menghormati hak-hak orang lain atas tanah; d. Meningkatnya keperluan akan tanah untuk kepentingan pembangunan maupun dalam rangka pemenuhan kebutuhan manusia; e. Pengusahaan wilayah tertentu seperti wilayah pesisir, pulau-pulau kecil dan laut dangkal yang belum dikelola secara tertib melalui peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan; f. Belum terselenggaranya peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan tanah sebagaimana yang diharapkan. 62 61 Ibid., h. 216. Setiap konflik terjadi karena adanya permasalahan meski tidak setiap permasalahan menimbulkan konflik. Permasalahan tersebut muncul karena adanya perbedaan antara yang seharusnya das sollen dengan apa yang jadi kenyataan das sein atau perbedaan antara yang diinginkan dengan yang terjadi. Yang pertama berdimensi normatif, yakni aturan hukum yang semestinya dijalankan, pada prakteknya berbeda atau menyimpang dari yang seharusnya. Yang kedua berdimensi individual atau emosional, yakni keinginan-keinginan individu atau masyarakat ternyata tidak menjadi kenyataan. Antara keduanya saling berkait satu sama lain. 63 Secara umum, sumber sengketa dapat terjadi karena berbagai faktor, yaitu : 64 a. menghambat tujuan pribadi, b. kehilangan statuskedudukan, c. kehilangan otonomikekuasaan, d. kehilangan sumber-sumber, e. tidak mendapatkan bagian yang adil dari sumber-sumber langka, f. mengancam suatu nilai, g. mengancam suatu norma, h. kebutuhan yang berbeda dan berbenturan, i. kesalahpahaman atau salah mengerti, 62 Badan Pertanahan Nasional, Masalah Pertanahan dan Program Penyelesaiannya, Makalah disampaikan pada Rapat Terbatas di Istana Negara, tanggal 26 Mei 2003, h. 12. 63 A. Mukti Arto, Mencari Keadilan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004, h. 29. 64 Ibid., h. 39-41. j. pembelaan harga diri dan lain sebagainya. Masing-masing sumber sengketa bisa berdiri sendiri, namun umumnya bersifat multi sumber. Sengketa tanah mencerminkan keadaan tidak terpenuhinya rasa keadilan bagi kelompok masyarakat yang mengandalkan hidupnya dari tanah dan kekayaan alam lainnya atau sekedar untuk survive subsisten sebagai tempat tinggal atau tanah pertanian. Bagi petani, nelayan, masyarakat adat atau kaum miskin kota, penguasaan atas tanah adalah syarat keselamatan dan keberlanjutan hidup. Akan tetapi dari hasil penelitian saya, bahwa yang melatar belakangi munculnya permasalahan tanah di PTPN-IV, masyarakat sekitar kebun di wilayah PTPN-IV menuntut agar mengembalikan sebahagian areal yang diusahai PTPN-IV dengan dalih : a. Bahwa tanah yang dituntut oleh masyarakat dahulu milik orang tua mereka, namun masyarakat tidak dapat menunjukkan bukti alas hak kepemilikan. b. Bahwa penguasaan tanah oleh masyarakat berdasarkan Kartu Registrasi Penggarapan Tanah yang didukung Undang-Undang Darurat No. 8 tahun 1958. 65 Kemudian PTPN-IV menyikapi permasalahan ini dengan melakukan musyawarah dengan masyarakat, namun apabila permasalahan lahan tidak mendapat penyelesaian pihak PTPN-IV menyarankan melalui jalur hukum di Pengadilan. 65 Wawancara dengan Bapak Benny Alfian, Kaur Hukum dan Pertanahan, tanggal 01 Juli 2009 Disamping itu, adapun bentuk dan sifat permasalahan tanah di PTPN-IV terdiri dari : 66 a. Sengketa Areal dikuasai PTPN-IV seluas……. = 3.977,00 Ha 1. Kab. Simalungun seluas……………………. …… = 1.634,00 Ha 2. Kab. Serdang Bedagai seluas………………. …… = 221,00 Ha 3. Kab. Tapanuli Selatan seluas……………………. = 2.122,00 Ha b. Okupasi Areal dikuasai masyarakat seluas…………. = 553,50 Ha 1. Kab. Simalungun seluas…………………….….. = 301,50 Ha 2. Kab. Langkat seluas……………………………. = 252,00 Ha Disamping itu juga, adapun SK. HGU masing-masing kebun yang ada permasalahan tanahnya, misalnya : A. Kabupaten Simalungun a. Bahwa tanah yang dimohon perpanjangan jangka waktu HGU dikenal dengan nama perkebunan Bah Jambi, terletak di Kecamatan Huta Bayu Raja dahulu Kecamatan Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun, Propinsi Sumatera Utara, berdasarkan sertifikat tanggal 24 Agustus 1981 nomor 1Bah Jambi II seluas 4.209 Ha, berstatus HGU, semula tercatat atas nama Perusahaan Negara Perkebunan VII, dan pada tanggal 25 Juni 1997 telah dibalik nama menjadi PT. Perkebunan Nusantara IV; diperoleh berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri c.q. Direktur Jenderal Agraria tanggal 26 Juni 1976 nomor SK. 66 Wawancara dengan Bapak Sofyan Hadi, Staf Pegawai Bagian Pertanahan, tanggal 01 Juli 2009 23HGUDA76, dan haknya telah berakhir pada tanggal 31 Desember 2001. b. Bahwa yang dijadikan dasar balik nama tersebut adalah Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1996 Jo. Akta Notaris Harun Kamil, SH tanggal 11 Maret 1996 nomor 37 yang menyatakan bahwa PN. Perkebunan VII PT. Perkebunan VII sebagai pemegang HGU, bersama dengan PT. Perkebunan VI dan PT. Perkebunan VIII dilebur menjadi “Perusahaan Perseroan Persero PT. Perkebunan Nusantara IV”, yang telah disahkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 8 Agustus 1996 nomor C2-8332.HT.01.01.TH.96, didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Perusahaan Tingkat I Sumatera Utara tanggal 16 September 1996 nomor 02151100086. c. Bahwa terhadap tanah perkebunan tersebut setelah diadakan pengukuran kembali secara kadasteral luasnya 3.755 Ha, yang di dalamnya terdapat tuntutan masyarakat seluruhnya seluas 181,23 Ha, garapan masyarakat seluruhnya seluas 11,81 Ha dan fasilitas umum seluruhnya seluas 3,56 Ha berupa 6 lokasi SD Negeri seluas 2,28 Ha, 1 lokasi irigasi seluas 0,73 Ha, 1 lokasi tanah wakaf kuburan seluas 0,37 Ha, dan gereja seluas 0,18 Ha, sebagaimana diuraikan dalam Peta Bidang Tanah tanggal 9 Desember 2000 nomor 27092000. d. Bahwa Kepala Dinas Perkebunan Propinsi Sumatera Utara dalam suratnya tanggal 5 Nopember 2001 nomor 593.41120F, menyatakan bahwa perkebunan Bah Jambi termasuk kebun kelas I satu. e. Bahwa Panitia Pemeriksaan Tanah Panitia B Propinsi Sumatera Utara dalam Risalahnya tanggal 28 Desember 2001 nomor 12PPTB2001, menyatakan bahwa diatas tanah yang dimohon terdapat tuntutan masyarakat seluruhnya seluas 181,23 Ha Jaruddin Sirait dkk. seluas lebih kurang dari 60 Ha, Justin Silalahi seluas lebih kurang dari 44 Ha, Jumah bin Rajab dkk. seluas lebih kurang dari 67,25 Ha, Saimun Sinaga seluas lebih kurang dari 9,98 Ha. Tidak dikeluarkan dari areal yang dimohon, sedangkan garapan masyarakat seluruhnya seluas 11,81 Ha dan fasilitas umum seluruhnya seluas 3,56 Ha 6 lokasi SD Negeri seluas 2,28 Ha, 1 lokasi irigasi seluas 0,73 Ha, 1 lokasi tanah wakaf kuburan seluas 0,37 Ha, dan gereja seluas 0,18 Ha atau seluruhnya seluas 15,37 Ha, dikeluarkan dari areal yang dimohon, sehingga berkesimpulan permohonan tersebut dapat diberikan HGU atas tanah seluas 3.739,63 Ha 3.755 Ha- 15,37 Ha, sebagaimana diuraikan pada Peta Bidang Tanah tanggal 9 Desember 2000 nomor 27092000. f. Bahwa Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sumatera Utara dalam suratnya tanggal 20 Maret 2002 nomor 540.47432002, menyampaikan pertimbangan setuju diberikan perpanjangan jangka waktu HGU atas tanah perkebunan seluas 3.739,63 Ha yang sebagaimana diuraikan dalam Peta Bidang Tanah tanggal 9 Desember 2000 nomor 27092000. g. Bahwa berdasarkan Undang-undang Nomor 21 tahun 1997 Jo. Undang-undang Nomor 20 tahun 2000 pasal 3 ayat 1 dan surat Direktur Jenderal Pajak tanggal 26 Oktober 2001 nomor S- 981Pj.62001, terhadap pemohon tidak dikenakan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan mengingat pemberian perpanjangan hak ini tidak ada perubahan subyek hak. h. Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka dipandang telah cukup alasan untuk mempertimbangkan pemberian perpanjangan jangka waktu HGU atas tanah Kebun Bah Jambi kepada PT. Perkebunan Nusantara IV. 67 B. Kabupaten Langkat a. Bahwa tanah yang dimohon perpanjangan jangka waktu HGU seluas 6.475 Ha dikenal dengan nama perkebunan Sawit Langkat, terletak di Kecamatan Stabat sekarang Kecamatan Padang Tualang, Kabupaten Langkat, Propinsi Sumatera Utara, berdasarkan sertifikat tanggal 16 Juli 1996 berstatus HGU nomor 11996 seluas kurang lebih dari 10.000 Ha, tercatat atas nama PPN, Aneka Tanaman VI, diperoleh 67 Data dari Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor : 14HGUBPN2003 Tentang Pemberian Perpanjangan Jangka Waktu HGU Atas Tanah Terletak Di Kabupaten Simalungun, Propinsi Sumatera Utara, tanggal 01 Juli 2009 berdasarkan surat Keputusan Menteri Agraria tanggal 31 Januari 1996 nomor SK.1HGU66, yang telah berakhir haknya tanggal 15 Juli 1991. b. Bahwa terdapat perbedaan luas tanah yang dimohon seluas 6.475 Ha dengan luas tanah yang masih tercatat dalam sertifikat seluas kurang lebih dari 10.000 Ha berdasarkan Berita Acara tentang perubahan luas pada sertifikat HGU nomor 11996 terdaftar atas nama P.P.N. Aneka Tanaman VI yang dibuat Kepala Kantor Agraria dan Kepala Seksi Pendaftaran Tanah pada Kantor Agraria sekarang Kantor Pertanahan Kabupaten Langkat, menyatakan bahwa berdasarkan hasil peninjauan lapangan tanggal 29 s.d. 31 Maret 1986, dan dengan berdasarkan pada petagambar sebidang tanah perkebunan Sawit Langkat yang dibuat oleh Sub Direktorat Pendaftaran Tanah, Direktorat Agraria Propinsi Sumatera Utara tanggal 8 April 1983 PLL Nomor 71983, luas efektif dari tanah perkebunan tersebut adalah seluas 7.375,6 Ha, karena tanah garapan rakyat yang ada dalam areal perkebunan tersebut telah dikeluarkan, dan berdasarkan surat Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sumatera Utara bulan September 1998 Nomor 610.2.2210251998 menyatakan bahwa berdasarkan hasil pengukuran secara kadasteral luas tanah kebun Sawit Langkat menjadi seluas 6.475 Ha, sebagaimana diuraikan dalam Peta Gambar Situasi Khusus Nomor 14402IV1997 disebabkan adanya Daerah Aliran Sungai seluas 154,1 Ha yang dikeluarkan, dan terdapatnya perbedaan jarak sisi antara peta lama PLL Nomor 7 tahun 1983 dengan Peta Baru Peta Gambar Situasi Khusus Nomor 14402IV1997 yang mengakibatkan berkurangnya seluas 746,5 Ha atau berkurang seluruhnya seluas 900,1 Ha. c. Bahwa PPN, Aneka Tanaman VI sebagai pemegang hak berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun 1968 dilebur menjadi PN. Perkebunan VIII, dan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun 1972, dialihkan bentuknya menjadi PT. Perkebunan VIII, dan selanjutnya PT. Perkebunan VIII bersama-sama dengan PT. Perkebunan VI dan PT. Perkebunan VII dilebur menjadi “Perusahaan Perseroan Persero PT. Perkebunan Nusantara IV” berdasarkan Pertauran Pemerintah Nomor 9 tahun 1996 Akta Notaris Harun Kamil, SH tanggal 11 Maret 1996 Nomor 37, yang telah disahkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 8 Agustus 1996 Nomor C2- 8332.HT.01.01.TH.96, didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Perusahaan Tingkat I Sumatera Utara tanggal 16 September 1996 Nomor 02151100086. d. Bahwa Kepala Dinas Perkebunan Propinsi Sumatera Utara dalam suratnya tanggal 24 Oktober 2005 Nomor 525951F, menyatakan bahwa Kebun Sawit Langkat berdasarkan Hasil Klasifikasi termasuk kebun Kelas II Baik. e. Bahwa berdasarkan Risalah Panitia Pemeriksaan Tanah Konstatering Rapport Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sumatera Utara tanggal 24 Maret 2006 Nomor 09PPTKR2006, menyatakan bahwa terhadap garapan masyarakat yang dikuasai secara fisik di lapangan seluaskurang lebih dari 301,5 Ha diusulkan untuk ditangguhkan dari pemberian HGU sampai ada penyelesaiannya, sehingga berkesimpulan dapat menyetujui pemberian perpanjangan jangka waktu HGU atas tanah yang dimohon seluas 6.173,5 Ha. f. Bahwa terhadap tanah yang dimohon setelah dilakukan pengukuran secara kadasteral dengan menangguhkan garapan masyarakat seluas kurang lebih dari 301,5 Ha luasnya menjadi 6.173,5 Ha, sebagaimana diuraikan dalam Salinan Peta Gambar Situasi Khusus tanggal 24 Maret 2006 Nomor 14402IV1997. g. Bahwa Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sumatera Utara dalam suratnya tanggal 28 Maret 2006 Nomor 540- 505 menyampaikan pertimbangan setuju diberikan perpanjangan jangka waktu HGU kepada PT. Perkebunan Nusantara IV Persero atas tanah seluas 6.173,5 Ha. h. Bahwa berdasarkan Undang-undang Nomor 21 tahun 1997 Jo. Undang-undang Nomor 20 tahun 2000 pasal 3 ayat 1 dan surat Direktur Jenderal Pajak tanggal 26 Oktober 2001 Nomor S- 981Pj.62001, terhadap pemohon tidak dikenakan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan mengingat perpanjangan jangka waktu HGU ini tidak ada perubahan subyek hak. i. Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka dipandang telah cukup alasan untuk mempertimbangkan pemberian perpanjangan jangka waktu HGU selama 25 tahun atas tanah yang dimohon kepada PT. Perkebunan Nusantara IV Persero. 68 C. Kabupaten Tapanuli Selatan a. Bahwa tanah yang dimohon HGU oleh PT. Perkebunan Nusantara IV Persero berdasarkan Risalah Panitia Pemeriksaan Tanah Konstatering Rapport Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sumatera Utara tanggal 24 April 2007 Nomor 04PPTKR2006 adalah tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, yang semula telah diterbitkan Surat Keputusan Pemberian Haknya berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Cq. Direktur Jenderal Agraria tanggal 19 April 1988 Nomor SK. 33HGUDA88 dan Surat Keputusan Menteri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 11 Mei 1999 Nomor 46HGUBPN99, tetapi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Surat Keputusan Menteri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 11 Mei 1999 Nomor 46HGUBPN99 tersebut tidak dipenuhi kewajibannya 68 Data dari Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor : 16HGUBPN2006, Tentang Pemberian Perpanjangan Jangka Waktu HGU Atas Tanah Terletak Di Kabupaten Langkat, Propinsi Sumatera Utara, tanggal 01 JUli 2009 oleh pemohon sampai jangka waktunya berakhir, sehingga Surat Keputusan tersebut batal demi hokum dan tanahnya kembali menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara. b. Bahwa tanah yang dimohon HGU oleh PT. Perkebunan Nusantara IV Persero tersebut merupakan Kawasan Pengembangan Produksi KPP dan Kawasan Pemukiman dan Penggunaan Lain KPPL, terletak di Desa Ampolu, Kecamatan Sosa dan Desa Huta Raja Lama, Panyabungan serta Tanjung Ale, Kecamatan Huta Raja Tinggi dh. Sosa, Kabupaten Tapanuli Selatan, Propinsi Sumatera Utara dan telah dilakukan pengukuran secara kadasteral seluas 7.294,20 Ha, sebagaimana diuraikan dalam Peta Situasi tanggal 13 Desember 2007 Nomor 2021987 seluas 2.175 Ha dan Peta Situasi tanggal 13 Desember 2007 Nomor 2031987 seluas 5.119,20 Ha yang diterbitkan oleh Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sumatera Utara. c. Bahwa terhadap tanah yang dimohon seluas 7.294,20 Ha terdapat garapan masyarakat seluas 400,39 Ha dan fasilitas umum berupa SMP, SD, dan jalan umum seluruhnya seluas 10,7 Ha yang dikecualikan dari pemberian HGU, sehingga yang dapat diberikan HGU adalah seluas 7.294,20 Ha- 400,39 Ha + 10,7 Ha = 6.883,11 Ha. 69 d. Bahwa berdasarkan Surat Kepala Dinas Perkebunan Propinsi Sumatera Utara tanggal 9 Mei 2007 Nomor 525.26394F, memberikan klasifikasi Kebun Kelas I dengan kategori Baik Sekali terhadap Kebun Sosa. e. Bahwa Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sumatera Utara dengan suratnya tanggal 5 Juni 2007 Nomor 540-1104 menyampaikan pertimbangan setuju diberikan HGU kepada PT. Perkebunan Nusantara IV Persero atas tanah yang dimohon tersebut. f. Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, permohonan hak dimaksud telah memenuhi peraturan perundang-undangan dan kebijakan Pemerintah, sehingga dapat dipertimbangkan untuk dikabulkan. 69 Data dari Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor : 77- HGU-BPN RI-2008, Tentang Pemberian HGU Atas Nama PT. Perkebunan NUsantara IV Persero Atas Tanah TErletak Di Kabupaten Tapanuli Selatan, Propinsi Sumatera Utara, tanggal 01 Juli 2009

BAB III PENYELESAIAN MASALAH PERTANAHAN

YANG DITEMPUH OLEH PTPN-IV DALAM KASUS TUNTUTAN MASYARAKAT ATAS AREAL HGU

A. Jenis-jenis Penyelesaian Masalah Pertanahan Yang Ditempuh Oleh PTPN-

IV Dalam Kasus Tuntutan Masyarakat Atas Areal HGU Secara umum, penyelesaian masalahsengketa dapat dilakukan melalui beberapa cara. Pada dasarnya keberadaan cara penyelesaian sengketa setua dengan keberadaan manusia itu sendiri. Penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui dua proses, yaitu proses litigasi di dalam pengadilan dan proses kerjasama di luar pengadilan. .70. Sedang dilihat dari upaya penyelesaian masalah yang ditempuh oleh para pihak, pola penyelesaian masalah dapat dilihat dari mekanisme yang dilakukan oleh para pihak dan yang ditempuh oleh pemerintah. Dari mekanisme yang dilakukan oleh para pihak pola penyelesaian masalah pertanahan dilaksanakan secara musyawarah mufakat, atau diselesaikan melalui lembaga sosial atau oleh pemuka masyarakat atau juga melalui badan-badan peradilan. Sedang mekanisme yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan mengambil kebijakan sehubungan adanya permintaan dari para pihak dan dengan mempertimbangkan berbagai aspek yang melingkupinya. Khusus terhadap masalah pertanahan, misalnya terhadap masalah pertanahan yang bersifat teknis dan rutinitas dapat ditempuh oleh instansi pertanahan secara 70 Erna Herlinda, Penyelesaian Sengketa Alternatif Oleh Kepala Desa Di Kecamatan Tualang Kabupaten Siak, Medan : Tesis, PPS USU, 2005; h. 36. intern berdasarkan petunjuk teknisinstruksi dinas, sedang masalah pertanahan yang menyangkut usultuntutan seseorang yang merasa dirugikan oleh suatu penetapan seorang pejabat, penyelesaiannya dapat dilakukan oleh instansi pertanahan melalui pendekatan musyawarah mufakat sebagai bagian dari tugas pelayanan masyarakat yang merupakan fungsi penyelesaian sengketa hukum atau sengketa mengenai hak- hak atas tanah. 71 Apabila upaya musyawarah dalam penanganan masalah pertanahan yang menyangkut penetapan seorang pejabat, atau terhadap sengketa yang mengenai status kepemilikan atas tanah dan kebenaran data fisikyuridis mengalami jalan buntu, diselesaikan melalui lembaga peradilan. Sedang masalah pertanahan yang bersumber dari perbedaan kepentingan untuk memanfaatkan tanah, diusulkan melalui penyelesaian sengketa alternatif seperti perwasitan, mediasi atau arbitrase. Sementara terhadap masalah pertanahan yang cenderung sebagai akibat dari konflik struktural yang terjadi karena kebijakan pemerintah, khususnya dalam rangka keadilan pada masa transisi, diselesaikan oleh suatu komisi atau badan peradilan khusus yang dibentuk dengan undang-undang. 72 Terhadap masalah pertanahan yang timbul di areal perkebunan, masalah yang berkenaan dengan pelanggaran ketentuan landreform, eksis-eksis dalam penyediaan tanah untuk keperluan pembangunan, penyelesaiannya dititikberatkan pada 71 Rusmadi Murad, Op cit., h. 23-28. 72 Lutfi I Nasution, Pembaruan Agraria Dalam Konteks Pembangunan Ekonomi, Makalah pada Seminar Reformasi Hukum dan Ekonomi dalam rangka Dies Natalis ke-52 Universitas Sumatera Utara, Medan, 14 Agustus 2004, h. 24. pelaksanaan peraturan secara konsekuen dan konsisten, sedang sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah pada umumnya diselesaikan melalui pengadilan, baik melalui Peradilan Umum maupun Peradilan Tata Usaha Negara. 73

B. Mekanisme Penyelesaian Masalah Pertanahan Yang Ditempuh Oleh PTPN-

IV Dalam Kasus Tuntutan Masyarakat Atas Areal HGU Sebagaimana diuraikan pada bab terdahulu bahwa setiap masalah pertanahan dapat diselesaikan melalui pendekatan yuridis berdasarkan peraturan perundangan yang ada sehingga hasil akhirnya diperoleh kepastian hukum, misalnya bila ada tuntutangarapan rakyat di atas areal perkebunan, maka penyelesaiannya diupayakan oleh perusahaan perkebunan sebagai pemegang hak, bila tidak dapat dituntaskan maka dapat dilakukan penyelesaiannya oleh instansi pertanahan maupun pihak ketiga lainnya yang bertindak selaku mediatorfasilitator melalui pendekatan musyawarah mufakat, apabila upaya musyawarah mengalami jalan buntu atau tidak tercapai kata mufakat, disarankan penyelesaiannya melalui lembaga peradilan. Artinya setiap masalah pertanahan diselesaikan oleh Pemerintah secara yuridis sebagai konsekwensi dari amanat konstitusi pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan UUPA dalam rangka pengaturan pemanfaatan tanah dengan menentukan hubungan- hubungan hukum antara subyek hak dengan sumber daya tanah untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat termasuk dalam penyelesaian masalah pertanahan dalam memberikan jaminan kepastian, oleh karena itu tidak dibenarkan penyelesaian 73 Ibid., h. 170. dengan cara-cara politis seperti pemberian legalisasi atau rekomendasi kepada kelompok tertentu oleh lembaga di luar instansi pertanahan yang pada akhirnya menimbulkan ketidakpastian hukum. UUPA sebagai suatu hukum yang juga tentunya dapat dijadikan pedoman dalam menyelesaikan masalah pertanahan dengan cara melaksanakan ketentuan yang ada dalam kenyataan kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan. Akan tetapi pada kenyataannya bahwa apa yang diatur secara formal dalam kaedah-kaedah hukum terutama dalam UUPA tersebut tidak selalu diikuti secara seksama. 74 Berdasarkan Peraturan Menteri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 tahun 1999 tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan telah dibentuk Sekretariat Penanganan Sengketa Pertanahan pada instansi Badan Pertanahan Nasional, yang diberi tugas : 1. Menerima dan mencatat semua sengketa pertanahan yang diterima, baik berupa surat gugatan, pengaduan tertulis maupun secara lisan. 2. Meneliti masalah yang disengketakan untuk menentukan tim kerja yang akan ditugasi menelaah dan merumuskan kebijaksanaan dan atau langkah-langkah penyelesaian sengketa yang bersangkutan. 3. Mengusulkan pembentukan Tim Kerja Pengolah Sengketa Pertanahan dan mempersiapkan surat penugasannya. 74 Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, Jakarta : Gramedia, 1978 h. 249. 4. Memonitor tahap-tahap penyelesaian sengketa secara periodik dan memperingatkan Tim Kerja Pengolah Sengketa Pertanahan mengenai penanganan sengketa yang belum diselesaikannya. 5. Secara periodik membuat laporan mengenai penyelesaian sengketa yang diterima kepada pejabat pimpinan instansi Badan Pertanahan Nasional. Apabila berdasarkan pertimbangan Sekretariat Penanganan Sengketa Pertanahan diperlukan penanganan secara koordinatif, maka dibentuk Tim Kerja Pengolah Sengketa Pertanahan yang bertugas : 1. Menelaah secara mendalam sengketa pertanahan yang bersangkutan 2. Berkoordinasi dengan pihak-pihak yang terkait 3. Merumuskan penyelesaian sengketa yang bersangkutan 4. Menangani permasalahan sengketa yang berupa gugatan terhadap Pemerintah atau instansi Badan Pertanahan Nasional. Mekanisme Kerja Sekretariat Penanganan Sengketa Pertanahan adalah : 1. Mencatat dan meneliti permasalahan sengketa tersebut dan merumuskan untuk menangani sendiri sengketa yang bersangkutan apabila masalah tersebut dipandang sebagai sengketa yang sederhana dan mengusulkan dibentuknya Tim Kerja Pengolah Sengketa Pertanahan untuk menangani sengketa pertanahan yang dianggap rumit dan untuk merumuskan penyelesaiannya diperlukan keikutsertaan pejabat lain. 2. Dalam hal Sekretariat Penanganan Sengketa memutuskan untuk merumuskan sendiri penyelesaian permasalahan sengketa yang diterimanya, maka ditugaskan anggota sekretariat untuk merumuskan penyelesaian sengketa tersebut dan menyiapkan suratdokumen yang perlu dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dengan menetapkan batas waktu penyelesaiannya. 3. Dalam hal Sekretariat memutuskan untuk mengusulkan dibentuknya Tim Kerja Pengolah Sengketa Pertanahan, maka tim diberi tugas untuk meneliti secara mendalam permasalahan yang bersangkutan dan apabila diperlukan mengadakan koordinasi dengan instansi lain, meminta informasi dari instansi terkait atau pihak-pihak yang berkepentingan dan mengadakan peninjauan lapangan. 4. Tim mengusulkan kebijaksanaan penyelesaian sengketa dan langkah-langkah yang diperlukan untuk melaksanakannya kepada pimpinan instansi Badan Pertanahan Nasional dan menyiapkan keputusan, instruksi atau suratdokumen lain yang perlu dikeluarkan. Mekanisme penyelesaian masalah pertanahan tersebut di atas hanya sebagai pedoman. dalam prakteknya, mekanisme tersebut tergantung pada data masalahnya, apakah permasalahan yang rumit atau hanya sederhana saja. Namun sekalipun telah ada mekanisme penyelesaian masalah pertanahan, pada prinsipnya penyelesaian masalah pertanahan tetap mengutamakan cara musyawarah mufakat sebagai penyelesaian yang paling bijaksana dan optimal hasilnya. Akan tetapi disadari bahwa tidak semua permasalahan pertanahan dapat diselesaikan secara musyawarah mufakat, jalan penyelesaian tergantung kemauan para pihak untuk memilih jalur yang dianggap sesuai dan menguntungkan, dengan catatan, cara apapun yang ditempuh harus berlandaskan pada hukum yang berlaku. Namun menurut hasil penelitian saya, bahwa proses mekanisme penyelesaian permasalahan lahan HGU di PTPN-IV dilakukan dengan ganti-rugi tanam tumbuh dan melalui jalur hukum. 75

C. Penyelesaian Masalah Pertanahan Yang Ditempuh Oleh PTPN IV Dalam

Kasus Tuntutan Masyarakat Atas Areal HGU Khusus tentang penyelesaian masalah yang terjadi pada areal perkebunan, sebagaimana diutarakan oleh Maria SW Sumardjono, penyelesaiannya dititikberatkan pada pelaksanaan peraturan secara konsekwen. Ketentuan peraturan perundangan berkenaan dengan penyelesaian status rakyat sebagai penggarap sudah memadai, yang diperlukan adalah sikap yang bijak dalam menghadapi tuntutan rakyat yang beritikad baik disertai kesediaan melepaskan diri dari pendekatan yang bersifat legalistik. 76 Pada dasarnya, penyelesaian masalah pertanahan pada areal perkebunan harus tetap mengacu kepada hukum yang berlaku dengan mekanisme yang ditentukan oleh lembaga yang berwenang menanganinya. Namun kadangkala rakyat menuntut penyelesaian tidak melalui pendekatan hukum yuridis, tetapi melalui pendekatan politik yakni mengharapkan campur tangan pemerintah melalui kebijakannya untuk mengakomodir tuntutan dan mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi rakyat. 75 Wawancara dengan Bapak Benny Alfian, Kaur Hukum dan Pertanahan, tanggal 01 Juli 2009 76 Maria SW. Sumardjono, Op cit., h. 170. Alasan pihak masyarakat menempuh upaya politik dalam menyelesaikan masalah tanahnya dengan perkebunan antara lain tidak percaya lagi dengan lembaga peradilan yang dikatakan masih memihak kepada yang kuat, sungguh pun kondisi yang sebenarnya mereka masih juga mempunyai kelemahan dalam mengajukan tuntutan hukum karena tidak didukung oleh bukti-bukti yang kuat. 77 Oleh karena tidak didukung oleh bukti-bukti yang kuat, maka sering terjadi masyarakat mengupayakan penyelesaian masalahnya melalui cara-cara politik, baik dengan mengajukan tuntutan secara tertulis kepada pemerintah setempat maupun dengan pengerahan massa, dengan harapan permasalahan tersebut dapat diambil suatu jalan penyelesaian yang memihak masyarakat. Oleh karena adanya tuntutan masyarakat dan adanya dukungan dari instansi tertentu, maka untuk menampung aspirasi masyarakat serta mempertimbangkan rekomendasi dari instansi-instansi lain yang turut campur tangan dan memberikan legalitas terhadap tuntutan masyarakat, sering kali permasalahan tersebut ditindaklanjuti dengan pengambilan kebijakan oleh pemerintah yang kadangkala menyimpang dari ketentuan hukum. Masalah pertanahan yang terjadi pada areal perkebunan terkesan sulit diselesaikan, namun oleh pemerintah dihadapi dengan pendekatan politik berupa upaya penyelesaian melalui kebijakan membentuk beberapa tim untuk membuat rekomendasi penyelesaian secara tuntas terutama masalah pendudukanpenggarapan, ternyata rekomendasi tim sebagai solusi penyelesaian masalah penggarapan adalah 77 Elfachri Budiman, Op cit., h. 123. selalu berupa pengurangan areal perkebunan, sehingga terkesan melegalkan tindakan penggarapan rakyat di atas areal perkebunan. 78 Dilihat dari historisnya, tuntutan masyarakat terhadap tanah perkebunan dimulai sejak zaman pendudukan jepang, zaman kemerdekaan, era nasionalisasi, zaman orde baru, dan orde reformasi. Sekalipun penyelesaian masalah tuntutan rakyat pada areal perkebunan selalu dengan pengeluaran areal perkebunan untuk rakyat, namun tidak serta merta menyelesaikan permasalahan yang ada. Justru dengan kebijakan pengeluaran areal perkebunan sebagai solusi atas tuntutan rakyat, dalam prakteknya justru selalu memunculkan penggarapan baru. Permasalahan pertanahan makin kompleks karena perubahan struktur politik dan kebijakan pusat bersifat mendua, yaitu di satu sisi berusaha untuk membela rakyat penggarap dan di sisi lain membela pihak perusahaan perkebunan sebagai penghasil devisa Negara. 79 Pembelaan terhadap penggarap tampak pada kebijakan pemerintah yang melegalkan penggarapan, sedang pembelaan terhadap pihak perkebunan terlihat pada zaman orde baru ketika setiap gangguan terhadap perkebunan selalu dihadapi dengan keterlibatan aparat keamanan. Dalam hal ini tampak ketidakkonsistenan kebijakan pemerintah, namun karena dasarnya adalah kebijakan dengan orientasi keamanan dan stabilitas, bukan didasarkan pada aspek yuridis dengan tujuan kepastian hukum, maka dampaknya adalah ketidakpastian hukum. 78 Ibid., h. 92. 79 Syafruddin Kalo, Masyarakat dan Perkebunan : Studi Mengenai Sengketa Pertanahan Antara Masyarakat Versus PTPN-II dan PTPN-III di Sumatera Utara, Medan : Disertasi, PPS USU, 2003, h. 1. Namun, dalam hal masalah pertanahan yang sering terjadi antara masyarakat versus perusahaan perkebunan PTPN-IV yang terus-menerus berkelanjutan tersebut dapat dilakukan dengan 2 dua pola penyelesaian masalah pertanahan pada areal perkebunan, yaitu :

1. Penyelesaian Secara Teknis Administratif

Secara umum pola penyelesaian masalah pertanahan ditempuh melalui dua cara, yaitu pertama melalui penyelesaian sengketa alternatif di luar pengadilan atau secara teknis administratif yang pada dasarnya berintikan pada pendekatan konsensus atau musyawarah mufakat; dan cara kedua penyelesaian melalui lembaga pengadilan atau secara litigasi. Berdasarkan hasil penelitian, ternyata penyelesaian sengketa alternatif secara teknis administratif selalu ditempatkan sebagai upaya yang utama the first resort bagi sengketa pertanahan dengan menempatkan upaya melalui pengadilan sebagai cara yang terakhir the last resort, artinya setiap masalah pertanahan yang tidak dapat diselesaikan melalui mekanisme penyelesaian sengketa alternatif, akan dimajukan kepada pengadilan sebagai upaya terakhir. 80 Namun dalam kasus-kasus pertanahan yang terjadi antara masyarakat versus perusahaan perkebunan, pihak perusahaan perkebunan selalu mengarahkan penyelesaian masalahnya melalui lembaga pengadilan. Dalam upaya mencari penyelesaian masalah pertanahan yang melibatkan masyarakat versus perusahaan 80 Runtung Sitepu, Draf Hasil Penelitian Sengketa Tanah di Indonesia, 2003, kerjasama Program Magister Kenotariatan dengan Puslitbang Badan Pertanahan Nasional, h. 20. perkebunan, Pemerintah Daerah atas desakan masyarakat selalu tampil menjadi mediator dan fasilitator untuk membantu para pihak mencapai penyelesaian secara musyawarah dengan menfasilitasi pertemuan-pertemuan untuk mencari solusi terbaik bagi penyelesaian masalah tersebut. Sebagaimana diuraikan dalam sejarah perkebunan di atas, maka peranan yang dilaksanakan Pemerintah untuk menyelesaikan masalah pertanahan pada areal perkebunan selain melibatkan Pemerintah Pusat terutama dalam melahirkan undang- undang dan perangkat peraturan lainnya, Gubernur Sumatera Utara juga memegang peranan kunci sebagai pelaksana kekuasaan Negara di daerah, terutama untuk menindaklanjuti kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Pusat seperti membentuk Tim Khusus Penyelesaian Masalah Garapan dan menerbitkan berbagai maklumat dan keputusan sebagai kebijakan penyelesaian masalah penggarapan. Setelah itu yaitu kurun waktu 1981-1997 Gubernur Sumatera Utara tidak ada lagi membentuk tim yang menangani masalah penggarapan pada areal perkebunan, karena keadaan di areal perkebunan relatif tenang dan aparat keamanan sangat tegas terhadap rakyat penggarap sehubungan dengan keberpihakan Pemerintah orde baru terhadap perkebunan, 81 sehingga dapat dikatakan pada masa orde baru-lah bidang perkebunan mengalami suatu peningkatan pengusahaan dan mendapat perlindungan dari Pemerintah, bahkan berbagai peraturan diterbitkan oleh Pemerintah untuk keperluan industrialisasi di sektor perkebunan yang tidak jarang bertentangan dengan 81 Jamil Anshari, Mengungkap Permasalahan Pertanahan di Propinsi Sumatera Utara, Makalah pada Kuliah Bedah Kasus Hukum pada Fakultas Hukum UNPAB Medan, 27-06-2003, h. 1. ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UUPA, 82 sehingga menimbulkan perlawanan petani, namun karena keberpihakan Pemerintah kepada perusahaan perkebunan, maka perlawanan tersebut dapat diredam oleh aparat keamanan. Secara yuridis formal, perusahaan perkebunan menguasai areal yang dikelolanya berdasarkan ketentuan peraturan perundangan dengan status HGU. Hak atas tanah yang diberikan oleh Negara, misalnya kepada perusahaan perkebunan, berdasarkan ketentuan pasal 16 UUPA pada dasarnya memberikan kewenangan kepada pemegang haknya untuk menggunakan, memperoleh manfaat dan mengalihkannya, dengan kewajiban yang tertera dalam pasal 15 UUPA yaitu untuk memelihara tanahnya, mencegah kerusakan dan menambah kesuburannya. Dengan diterbitkannya sertifikat hak atas tanah tersebut menurut pasal 19 UUPA berarti telah diberikan tanda bukti hak yang kuat dan merupakan jaminan hukum terhadap kepastian hak-hak atas tanahnya. Tetapi secara Pendekatan Represif bahwa PTPN-IV itu tetap konsisten terhadap peraturan dan perundang-undangan. Oleh karena itu perusahaan perkebunan yang menguasai dan mengusahakan tanah dengan status HGU pada dasarnya mengandung sifat-sifat dapat dipertahankan terhadap gangguan dari siapapun dan setiap orang harus menghormati hak tersebut bahkan pemegang hak atas tanah berhak menuntut haknya di tangan siapa pun hak itu berada, karena sebagaimana dikatakan Allen : Right is “the legally guarenteed power 82 Al-Araf dan Anwar Puryadi, Perebutan Kuasa Tanah, Yogyakarta : Lappera Pustaka Utama, 2002, h. 44-45. to realize an interest”. hak itu adalah suatu kekuasaan yang dijamin oleh hukum untuk memenuhi kebutuhan 83 Akan tetapi, dalam hal ini penyelesaian pertanahan yang dilakukan oleh Gubernur Sumatera Utara jelas masih mengedapankan pendekatan politik. Hal tersebut tampak pada tujuannya bagaimana masalah pertanahan supaya “aman” atau untuk stabilitas Daerah, bukan bagaimana sengketa itu supaya selesai. Penyelesaian seperti ini yang tidak akan memperoleh kepastian hukum. 84 Namun demikian, dalam tataran politik kenegaraan, tindakan Gubernur Sumatera Utara untuk menyelesaikan masalah pertanahan pada areal perkebunan dengan pengambilan kebijakan yang bersifat politik, sesungguhnya dapat dipahami dan dibenarkan, karena para pejabat harus memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan sengketa setempat dan menganggap bahwa Pemerintah yang baik adalah suatu Pemerintah dengan jumlah konflik seminim mungkin. 85 Carl Fredrich menyatakan bahwa kebijaksanaan ialah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau Pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu dalam mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan. 86 83 Zafer, Jurisprudence an Outline, Kuala Lumpur : International Law Book Services, 1994, h. 121. 84 Ibid., h. 16. 85 Faisal Akbar Nasution dan Pendastaren Tarigan, Keadilan dan Legalisasi, Makalah, 2003, tanpa penerbit, h. 2. 86 Carl Fredrich dan Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijaksanaan, dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, Jakarta : Bumi Aksara, Edisi Kedua, 2004, h. 3. Dalam kaitan ini semaraknya masalah pertanahan pada areal perkebunan yang terjadi di Sumatera utara dapat dikategorikan sebagai penghambat dari tujuan penciptaan masyarakat yang aman dan sejahtera. Sehubungan dengan hal inilah tindakan aparat Pemerintah Gubernur Sumatera Utara yang mengambil kebijaksanaan tersebut pembentukan Panitia B Plus harus diberikan makna sebagai tindakan politik. 87 Maka dalam hal ini, dapatlah dimengerti bahwa tindakan politik terkait dengan kekuasaan dan kekuasaan berarti kepentingan, kepentingan akan selalu berubah sesuai dengan kebutuhan kelompok yang diwakili oleh pengambil kebijaksanaan, oleh karena itu apabila kepentingan yang dominan, bisa saja tercipta stabilitas yang bersifat sementara namun tidak akan melahirkan kepastian hukum. Dengan demikian, penyelesaian masalah pertanahan dengan pendekatan kebijakan politik untuk tujuan “aman” yang ditindaklanjuti dengan tindakan legitimasi, dapat ditafsirkan bahwa hukum difungsikan sebagai pendukung stabilitas. Hal yang demikian menurut Moh. Mahfud MD merupakan paradigma fungsi hukum di era orde baru yang menempatkan hukum tidak lebih diberi fungsi instrumen daripada sentral. Keadaan seperti ini tidak sesuai dengan prinsip Negara hukum yang dianut UUD 1945 yang menjadikan hukum sebagai pengarah, bukan instrumen. 88 Akan tetapi, fungsi hukum selain sebagai pengarah dalam tugas kenegaraan, juga sebagai sarana pengendalian sosial social-control, proses perubahan budaya 87 Ibid., h. 3. 88 Moh. Mahfud MD, Op cit., h. 40. yang terencana social-enginering juga sebagai sarana dalam penyelesaian sengketa dispute-settlement. 89

2. Penyelesaian Melalui Lembaga Peradilan