Penyelesaian Masalah Pertanahan Yang Ditempuh Oleh PTPN IV Dalam

Namun menurut hasil penelitian saya, bahwa proses mekanisme penyelesaian permasalahan lahan HGU di PTPN-IV dilakukan dengan ganti-rugi tanam tumbuh dan melalui jalur hukum. 75

C. Penyelesaian Masalah Pertanahan Yang Ditempuh Oleh PTPN IV Dalam

Kasus Tuntutan Masyarakat Atas Areal HGU Khusus tentang penyelesaian masalah yang terjadi pada areal perkebunan, sebagaimana diutarakan oleh Maria SW Sumardjono, penyelesaiannya dititikberatkan pada pelaksanaan peraturan secara konsekwen. Ketentuan peraturan perundangan berkenaan dengan penyelesaian status rakyat sebagai penggarap sudah memadai, yang diperlukan adalah sikap yang bijak dalam menghadapi tuntutan rakyat yang beritikad baik disertai kesediaan melepaskan diri dari pendekatan yang bersifat legalistik. 76 Pada dasarnya, penyelesaian masalah pertanahan pada areal perkebunan harus tetap mengacu kepada hukum yang berlaku dengan mekanisme yang ditentukan oleh lembaga yang berwenang menanganinya. Namun kadangkala rakyat menuntut penyelesaian tidak melalui pendekatan hukum yuridis, tetapi melalui pendekatan politik yakni mengharapkan campur tangan pemerintah melalui kebijakannya untuk mengakomodir tuntutan dan mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi rakyat. 75 Wawancara dengan Bapak Benny Alfian, Kaur Hukum dan Pertanahan, tanggal 01 Juli 2009 76 Maria SW. Sumardjono, Op cit., h. 170. Alasan pihak masyarakat menempuh upaya politik dalam menyelesaikan masalah tanahnya dengan perkebunan antara lain tidak percaya lagi dengan lembaga peradilan yang dikatakan masih memihak kepada yang kuat, sungguh pun kondisi yang sebenarnya mereka masih juga mempunyai kelemahan dalam mengajukan tuntutan hukum karena tidak didukung oleh bukti-bukti yang kuat. 77 Oleh karena tidak didukung oleh bukti-bukti yang kuat, maka sering terjadi masyarakat mengupayakan penyelesaian masalahnya melalui cara-cara politik, baik dengan mengajukan tuntutan secara tertulis kepada pemerintah setempat maupun dengan pengerahan massa, dengan harapan permasalahan tersebut dapat diambil suatu jalan penyelesaian yang memihak masyarakat. Oleh karena adanya tuntutan masyarakat dan adanya dukungan dari instansi tertentu, maka untuk menampung aspirasi masyarakat serta mempertimbangkan rekomendasi dari instansi-instansi lain yang turut campur tangan dan memberikan legalitas terhadap tuntutan masyarakat, sering kali permasalahan tersebut ditindaklanjuti dengan pengambilan kebijakan oleh pemerintah yang kadangkala menyimpang dari ketentuan hukum. Masalah pertanahan yang terjadi pada areal perkebunan terkesan sulit diselesaikan, namun oleh pemerintah dihadapi dengan pendekatan politik berupa upaya penyelesaian melalui kebijakan membentuk beberapa tim untuk membuat rekomendasi penyelesaian secara tuntas terutama masalah pendudukanpenggarapan, ternyata rekomendasi tim sebagai solusi penyelesaian masalah penggarapan adalah 77 Elfachri Budiman, Op cit., h. 123. selalu berupa pengurangan areal perkebunan, sehingga terkesan melegalkan tindakan penggarapan rakyat di atas areal perkebunan. 78 Dilihat dari historisnya, tuntutan masyarakat terhadap tanah perkebunan dimulai sejak zaman pendudukan jepang, zaman kemerdekaan, era nasionalisasi, zaman orde baru, dan orde reformasi. Sekalipun penyelesaian masalah tuntutan rakyat pada areal perkebunan selalu dengan pengeluaran areal perkebunan untuk rakyat, namun tidak serta merta menyelesaikan permasalahan yang ada. Justru dengan kebijakan pengeluaran areal perkebunan sebagai solusi atas tuntutan rakyat, dalam prakteknya justru selalu memunculkan penggarapan baru. Permasalahan pertanahan makin kompleks karena perubahan struktur politik dan kebijakan pusat bersifat mendua, yaitu di satu sisi berusaha untuk membela rakyat penggarap dan di sisi lain membela pihak perusahaan perkebunan sebagai penghasil devisa Negara. 79 Pembelaan terhadap penggarap tampak pada kebijakan pemerintah yang melegalkan penggarapan, sedang pembelaan terhadap pihak perkebunan terlihat pada zaman orde baru ketika setiap gangguan terhadap perkebunan selalu dihadapi dengan keterlibatan aparat keamanan. Dalam hal ini tampak ketidakkonsistenan kebijakan pemerintah, namun karena dasarnya adalah kebijakan dengan orientasi keamanan dan stabilitas, bukan didasarkan pada aspek yuridis dengan tujuan kepastian hukum, maka dampaknya adalah ketidakpastian hukum. 78 Ibid., h. 92. 79 Syafruddin Kalo, Masyarakat dan Perkebunan : Studi Mengenai Sengketa Pertanahan Antara Masyarakat Versus PTPN-II dan PTPN-III di Sumatera Utara, Medan : Disertasi, PPS USU, 2003, h. 1. Namun, dalam hal masalah pertanahan yang sering terjadi antara masyarakat versus perusahaan perkebunan PTPN-IV yang terus-menerus berkelanjutan tersebut dapat dilakukan dengan 2 dua pola penyelesaian masalah pertanahan pada areal perkebunan, yaitu :

1. Penyelesaian Secara Teknis Administratif

Secara umum pola penyelesaian masalah pertanahan ditempuh melalui dua cara, yaitu pertama melalui penyelesaian sengketa alternatif di luar pengadilan atau secara teknis administratif yang pada dasarnya berintikan pada pendekatan konsensus atau musyawarah mufakat; dan cara kedua penyelesaian melalui lembaga pengadilan atau secara litigasi. Berdasarkan hasil penelitian, ternyata penyelesaian sengketa alternatif secara teknis administratif selalu ditempatkan sebagai upaya yang utama the first resort bagi sengketa pertanahan dengan menempatkan upaya melalui pengadilan sebagai cara yang terakhir the last resort, artinya setiap masalah pertanahan yang tidak dapat diselesaikan melalui mekanisme penyelesaian sengketa alternatif, akan dimajukan kepada pengadilan sebagai upaya terakhir. 80 Namun dalam kasus-kasus pertanahan yang terjadi antara masyarakat versus perusahaan perkebunan, pihak perusahaan perkebunan selalu mengarahkan penyelesaian masalahnya melalui lembaga pengadilan. Dalam upaya mencari penyelesaian masalah pertanahan yang melibatkan masyarakat versus perusahaan 80 Runtung Sitepu, Draf Hasil Penelitian Sengketa Tanah di Indonesia, 2003, kerjasama Program Magister Kenotariatan dengan Puslitbang Badan Pertanahan Nasional, h. 20.