Kerangka Teori Dan Konsepsi 1.

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1.

Kerangka Teori Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi, 10 dan satu teori harus diuji dengan menghadapnya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya. 11 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan problem yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis. 12 Teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam tesis ini, sebagaimana yang dikemukakan Effendi Perangin, bahwa hukum tanah adalah sebagai keseluruhan peraturan-peraturan hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah yang merupakan lembaga-lembaga hukum dan hubungan hukum yang konkret. 13 Berdasarkan pengertian di atas, kerangka hukum tanah kemudian dirasakan tepat untuk mendefenisikan dan menguraikan peraturan hukum yang mengatur hak- hak penguasaan atas tanah areal HGU antara pihak masyarakat dengan pihak perkebunan PTPN-IV tersebut. Salah satu pranata hukum yang termasuk dalam kerangka hukum tanah, adalah yang sebagaimana telah dikemukakan bahwa kasus permasalahan tuntutan 10 J. J. J. M. Wuisman, dalam M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, FE-UI, Jakarta, 1996, h. 203. 11 Ibid., h. 3. 12 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994, h. 27. 13 Effendi Perangin, Hukum Agraria di Indonesia Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, Rajawali, Jakarta, 1989, h. 195. masyarakat atas areal HGU tersebut tidak terlepas dari konteks kebijakan pemerintah orde baru, pada saat itu. Dimana struktur hukum pertanahan itu diatur dalam Undang-undang Pokok Agraria UUPA 51960 yang awalnya merupakan payung hukum bagi kebijakan pertanahan di Indonesia menjadi tidak berfungsi dan bahkan secara substansial terdapat pertentangan. Namun menurut Maria S. W. Sumardjono, secara garis besar peta permasalahan tanah dapat dikelompokkan menjadi 5 : 14 1. Masalah penggarapan rakyat atas tanah areal HGU pada areal Perkebunan PTPN- IV 2. Masalah yang berkenaan dengan pelanggaran ketentuan tentang landreform 3. Ekses-ekses dalam penyediaan tanah untuk keperluan pembangunan 4. Sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah 5. Masalah yang berkenaan dengan hak ulayat masyarakat hukum adat Namun di dalam UUPA No. 5 Tahun 1960 yang tersebut di atas adalah sebagai bentuk UU baru tentang ketentuan pokok agraria yang dikenal dengan UUPA, berlaku sebagai induk dari segenap peraturan pertanahan di Indonesia. UUPA ini mengandung asas prinsip bahwa semua hak atas tanah dikuasai oleh negara, dan asas bahwa hak milik atas tanah “dapat dicabut untuk kepentingan umum”. Kedua prinsip tersebut dengan tegas telah dituangkan dalam Pasal 2 dan Pasal 18 UUPA. 14 Maria. S. W. Sumardjono ,Sengketa Pertanahan dan Penyelesaian Secara Hukum, disampaikan pada Seminar Penyelesaian Konflik Pertanahan, diselenggarakan oleh Sigma Conferences, 26 Maret 1996 di Jakarta. Berdasarkan Pasal 2 UUPA ini negara menjadi pengganti semua pihak yang mengaku sebagai penguasa tanah yang sah. Negara dalam hal ini merupakan lembaga hukum sebagai organisasi seluruh rakyat Indonesia. Pemerintah sebagai lembaga pelaksana UU negara dalam proses ini bertindak sebagai pihak yang melaksanakan dan menerapkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 2 UUPA tersebut. Adapun kekuasaan negara yang dimaksud itu mengenai semua bumi, air dan ruang angkasa, baik sudah yang dimiliki dengan hak seseorang maupun tidak. Kekuasaan negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan suatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai seberapa negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyai untuk menggunakan haknya, sampai disitulah batas kekuasaan negara. 15 Dengan demikian pemerintah menjadi pihak yang wajib dan berwenang mengatasi dan menengahi sengketa hak penguasaan atas tanah yang muncul sekaligus menjadi fasilitator bagi pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa. Berbagai kasus sering terjadi dalam masyarakat dengan berbagai masalah, diantaranya yang paling menonjol adalah persoalan sengketa pertanahan antara masyarakat versus perkebunan yaitu tentang penggarapan baik yang mempunyai izin maupun penggarapan secara liar oleh masyarakat. Disamping itu penggusuran masyarakat di atas tanah sengketa baik oleh pemerintah maupun oleh pihak perkebunan baik secara paksa maupun ganti rugi tetapi bentuk dan besarnya ganti rugi yang diberikan oleh perkebunan kepada rakyat dinilai tidak layak. Bahkan proses 15 UUPA Nomor 5 Tahun 1960, Bagian II ini banyak yang menjadikan rakyat lebih miskin dari sebelumnya, karena uang ganti rugi itu tidak cukup untuk membeli lahan baru atau untuk mencari nafkah sesuai dengan keadaan semula. Dengan demikian dari sudut ekonomi tindakan tersebut sangat merugikan bagi rakyat. Rakyat terpaksa menyingkir dari lahan yang telah dibebaskan untuk kepentingan tanaman perkebunan dan harus mencari lahan baru yang tidak sesuai dengan tuntutan penanaman tanaman pangan mereka. Konflik terjadi sejak dari konsesi perkebunan yang diberikan oleh kesultananswapraja dan pemerintah kolonial pada perusahaan perkebunan. Tanah konsesi tersebut pada dasarnya menyangkut hak ulayat masyarakat. Pemberian konsesi kepada pengusaha perkebunan telah terjadi pada masa kesultanan dan masa kolonial ini berlanjut dengan modifikasi hak konsesi menjadi hak erfacht. Kondisi demikian diteruskan pula pada masa kemerdekaan, di mana tanah konsesi maupun hak erfacht yang diberikan pada perkebunan yang berakhir masa berlakunya dimodifikasi menjadi HGU. Dalam tiga periode tersebut sengketa pertanahan masih berlangsung diantara pihak pengusaha perkebunan dengan masyarakat penunggu maupun masyarakat penggarap. Pola sengketa berkisar antara rakyat dan pemerintah atau rakyat dan perkebunan yang didukung oleh orang-orang pemerintah mengenai penguasaan atas tanah antara rakyat dengan pihak perkebunan serta kehutanan mengenai tanah garapan antara rakyat dengan rakyat itu sendiri mengenai masalah kepemilikan, penggarapan, warisan dan sewa menyewa. Sengketa tersebut diantaranya karena manipulasi pejabat atau perantara-perantara yang menjadi kaki-tangan perusahaan perkebunan sejak zaman kolonial. Dalam praktek, penyelesaian masalah perkebunan itu ada yang diupayakan dengan pemberian ganti rugi lahan oleh pihak perkebunan pada petani penggarap, rakyat penunggu, maupun penggarap liar. Oleh pihak pemerintah ditempuh penyelesaian dengan jalan melepaskan hak atas tanah atau membebaskan areal perkebunan yang telah dikuasai penggarap dengan mengeluarkannya dari HGU atau terhadap HGU yang telah habis masa waktunya tidak diberikan perpanjangan lagi, kemudian lahan tersebut dibagi-bagikan oleh panitia kepada masyarakat penggarap. Namun hal ini, tidak membawa hasil yang memuaskan bahkan sengketa tanah antara pihak perkebunan versus rakyat penggarap terus berlanjut sampai saat ini. Khususnya di Sumatera Utara, berdasarkan pemantauan, yang paling besar presentasinya adalah sengketa masalah tanah. Tuntutan ini demikian derasnya di wilayah Sumatera Utara, terutama di sektor perkebunan, lahan perkebunan menjadi tumpuan penjarahan dan pendudukan dari para penggarap yang mengaku dirinya petani. Disamping itu juga, penguasaan tanah dilakukan oleh rakyat tanpa alas hak yang sah dan dokumen kepemilikan tanah yang tidak lengkap. Maka dalam posisi yang demikian pemerintah dihadapkan pada suatu keadaan yang dilematis. Keadaan ini dapat melemahkan posisi pihak perkebunan yang membutuhkan tanah dan berpotensi menimbulkan masalah, yaitu rakyat tidak memiliki bukti yang lengkap dan cukup atas tanah yang dimilikinya. Hal ini terutama terjadi pada tanah-tanah yang belum bersertifikat, yang disebabkan oleh pandangan adat yang masih melekat pada rakyat bahwa tanah merupakan hak milik komunal hak ulayat, sehingga mereka menganggap hak penguasaan otomatis melekat pada hak penghunian atas tanah tersebut secara turun-temurun. Pengaturan hak-hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah dibagi menjadi dua 2 yaitu : 1. Hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum hak penguasaan atas tanah ini belum dihubungkan dengan tanah dan orang atau badan hukum tertentu sebagai pemegang haknya. Ketentuan-ketentuan dalam hak penguasaan atas tanah, adalah sebagai berikut : a. Memberi nama pada hak penguasaan yang bersangkutan; b. Menetapkan isinya, yaitu mengatur apa saja yang boleh, wajib, dan dilarang untuk diperbuat oleh pemegang haknya serta jangka waktu penguasaannya; c. Mengatur hal-hal mengenai subjeknya, siapa yang boleh menjadi pemegang haknya, dan syarat-syarat bagi penguasaannya; d. Mengatur hal-hal mengenai tanahnya. 2. Hak penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum yang konkrit. Hak penguasaaan atas tanah ini sudah dihubungkan dengan tanah tertentu sebagai objeknya dan orang atau badan hukum tertentu sebagai subjek atau pemegang haknya. Ketentuan-ketentuan dalam hak penguasaan atas tanah adalah sebagai berikut : a. Mengatur hal-hal mengenai penciptaanya menjadi suatu hubungan hukum yang konkrit, dengan nama atau sebutan hak penguasaaan atas tanah tertentu; b. Mengatur hal-hal mengenai pembebanannya dengan hak-hak lain; c. Mengatur hal-hal mengenai pemindahannya pada pihak lain; d. Mengatur hal-hal mengenai hapusnya; e. Mengatur hal-hal mengenai pembuktiannya. 16 Namun, keadaan itu bukannya tidak diketahui oleh pihak yang memerlukan tanah dalam hal ini perkebunan, tetapi dengan berbagai alasan untuk melaksanakan usaha yang telah direncanakan tetap dilakukan penguasaan lahan. Akibatnya sulit bagi pihak yang membutuhkan tanah untuk menentukan tentang keabsahan pemegang hak penguasaan lahan yang diakui oleh rakyat. Dimana konflik ini juga terjadi antara pemerintah dengan rakyat atau antara rakyat dengan pihak perkebunan yang membutuhkan tanah, karena kurangnya koordinasi antar instansi yang terkait di bidang pertanahan, misalnya : sebagai contoh dapat kita ajukan Undang-undang Darurat Nomor 8 Tahun 1954 yang mengatur tentang penyelesaian soal pemakaian tanah perkebunan oleh rakyat, 17 Undang- undang Darurat Nomor 1 Tahun 1956 tentang perubahan dan tambahan atas perubahan Undang-undang Darurat Nomor 8 Tahun 1954 mengenai penyelesaian soal 16 Boedi Harsono I, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2003, h. 8. 17 Undang-undang Darurat Nomor 8 Tahun 1954 Tentang Penyelesaian Soal Pemakaian Tanah Perkebunan Oleh Rakyat. pemakaian tanah perkebunan oleh rakyat, 18 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1956 tentang pengawasan terhadap pemindahan hak atas tanah-tanah perkebunan, 19 Undang-undang Nomor 29 Tahun 1956 tentang peraturan-peraturan dan tindakan- tindakan mengenai tanah-tanah perkebunan, 20 Undang-undang Nomor 76 Tahun 1957 tentang perubahan Undang-undang Nomor 24 Tahun 1954 dan Undang-undang Nomor 28 Tahun 1956, 21 Undang-undang Nomor 51 Prp Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak atau Kuasanya, 22 dan Undang- undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang pencabutan hak-hak atas tanah dan benda- benda yang terletak di atasnya, 23 dll. Disamping itu, pemerintah mengeluarkan Undang-undang dan membuat aturan mengenai Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya. 24 Dan peraturan lain sebagai peraturan pelaksanaan. Untuk menertibkan penggarap di areal perkebunan dan atau menentukan batas-batas tertentu yang merupakan hak perkebunan. Tetapi apabila rekayasa sosial itu terlalu dipaksakan maka akan terkesan sistem hukum itu terus-menerus memperbaharui dan 18 Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1956 Tentang Perubahan dan Tambahan Atas Perubahan Undang-undang Darurat Nomor 8 Tahun 1954 Mengenai Penyelesaian Soal Pemakaian Tanah Perkebunan Oleh Rakyat. 19 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1956 Tentang Pengawasan Terhadap Pemindahan Hak Atas Tanah-tanah Perkebunan. 20 Undang-undang Nomor 29 Tahun 1956 Tentang Peraturan-peraturan dan Tindakan- tindakan Mengenai Tanah-tanah Perkebunan. 21 Undang-undang Nomor 76 Tahun 1957 Tentang Perubahan Undang-undang Nomor 24 Tahun 1954 dan Undang-undang Nomor 28 Tahun 1956. 22 Undang-undang Nomor 51 Prp Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin Yang Berhak atau Kuasanya. 23 Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Benda-benda Yang Terletak Di Atasnya. 24 Ibid., h.11-16. memperbaiki. Sering sekali alokasi hukum berjalan sangat berlawanan, selain merubah sesuatu, alokasi hukum bertindak sedemikian rupa menjaga atau berupaya menjaga status quo agar tetap utuh. Jika para penggarap tanah di areal hukum, pada saat yang sama berarti melindungi pihak perkebunan dengan demikian pemerintah memelihara struktur ekonomi dan sosial masyarakat. Ini memberi kesan bahwa hukum cenderung mendukung hak dan kepentingan pihak perkebunan, melawan hak dan kepentingan masyarakat penggarap petani miskin yang lemah. Sejalan dengan pendapat Lawrence Friedman tersebut yang mengatakan bahwa segala aturan mengenai larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak, seyogyanya dapat merubah perilaku masyarakat untuk tidak melakukan perbuatan melanggar hukum, dalam hal menggarap tanah perkebunan. 25 Dengan demikian, jika dianalisa dalam praktek pelaksanaannya, dapat dikatakan bahwa hukum yang telah ada itu merupakan peraturan yang tidak dapat diterapkan, atau merupakan dead letter aturan yang tidak diterapkan lagi, tetapi belum dicabut. Sementara dikalangan masyarakat, ada aturan berupa hukum yang hidup living law dalam sistem hukum yang hidup seperti misalnya hukum adat. Ketidakefektifan undang-undang larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya, menimbulkan perbuatan okupansi ilegal terhadap di areal tanah perkebunan. Menurut Friedman, bahwa ilegalitas cenderung mempengaruhi waktu, sikap dan kuantitas ketidakpatuhan, jadi undang-undang mempunyai efek riil pada 25 Lawrence Friedman, American Law, London: W. W. Norton Company, 1984, h. 9. perilaku termasuk perilaku pelanggar. 26 Faktor yang mempengaruhi perilaku hukum adalah komunikasi hukum dan pengetahuan hukum. 27 Oleh karena itu aturan harus dikomunikasikan dan seseorang harus mengetahui tentang isi aturan itu. Dalam hal ini di setiap peraturan perlu dikomunikasikan dan disosialisasikan pada masyarakat. Sehubungan dengan itu, dapat dianalisa bahwa berbagai peraturan perundang- undangan yang dikeluarkan untuk mencegah terjadinya konflik dan sengketa, serta melarang pemakaian tanah tanpa izin dari yang berhak, dan adanya polisi serta hakim yang berusaha menegakkannya adalah merupakan contoh kontrol sosial dari pemerintah untuk menyelesaikan sengketa pertanahan di Sumatera Utara. Dalam larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak, masyarakat penunggu dan petani penggarap dilarang untuk menggarap tanah di areal perkebunan. Aturan ini merupakan aturan yang sah. Namun hukum yang hidup dalam masyarakat, membenarkan mereka untuk menggarap tanah di areal perkebunan, berdasarkan ketentuan hukum adat mereka, yang memberikan kewenangan bagi mereka untuk memungut hasil hutan dan bercocok tanam di daerah persekutuan hukum, yang dikenal dengan hak ulayat. Berdasarkan pendapat Lawrence Friedman tersebut, maka konteksnya dengan konflik dan sengketa pertanahan di areal perkebunan, dengan peristiwa penggarapan tanah yang dilakukan oleh rakyat penunggu dan petani penggarap, menimbulkan interaksi tertentu diantara berbagai sistem hukum, tidak hanya undang-undang, 26 Ibid., h. 10. 27 Ibid., h. 11. peraturan, dan lembaga-lembaga yang termasuk dalam struktur hukum, tetapi yang terpenting adalah mengenai perilaku dan budaya hukum dari masyarakat. Apakah itu perilaku pengusaha-pengusaha perkebunan, dan masyarakat itu sendiri terhadap hukum dan sistem hukum yang ada. 28 Namun keberadaan dari semua peraturan tersebut di atas, ternyata tidak dapat meredam terjadinya kasus pertanahan yang menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat. Dalam realita banyak terjadi konflik antara pemerintah dan rakyat atau antara rakyat dengan pihak badan usaha perkebunan yang masing-masing pihak membutuhkan tanah. Sengketa pertanahan ini kita jumpai hampir pada setiap daerah perkebunan yang ada di Indonesia. Dengan adanya berbagai peraturan dan kebijakan mengenai tanah yang telah dikemukakan di atas, seharusnya dapat dijadikan patokan dalam dua hal yaitu: di satu pihak peraturan itu merupakan landasan bagi pihak pemerintah untuk membuat larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak, sedangkan di lain pihak ia merupakan suatu jaminan hukum bagi rakyat agar tidak diperlakukan sewenang- wenang oleh pemerintah atau penguasa. Tetapi ternyata keberadaan peraturan itu tidak dapat menjamin adanya perlindungan bagi rakyat dari tindakan sewenang- wenang oleh pihak pemerintah. Yang mana masalah mengenai penggarapan rakyat atas tanah-tanah bekas perkebunan, tanah kehutanan, dan lain-lain, yang meliputi : status tanah yang digarap, 28 Ibid., h. 12. penguasaan de facto oleh rakyat, dan prinsip-prinsip penyelesaian sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Namun menurut Undang-undang Pokok Agraria Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tidak mengatur adanya tanah garapan ini, karena tanah garapan bukanlah status hak atas tanah. Dalam peraturan perundang-undangan terdapat istilah hukum untuk tanah garapan ini yaitu : pemakaian tanah tanpa ijin pemilik atau kuasanya dan pendudukan tanah tidak sah onwettige occupatie, sedangkan jenis tanah garapan dapat dikelompokkan menjadi 3 tiga yaitu : a.Tanah garapan di atas tanah yang langsung dikuasai oleh negara vrij landsdomein, b.Tanah garapan di atas tanah instansi atau badan hukum milik pemerintah c.Tanah garapan di atas tanah perorangan atau badan hukum swasta. Disamping itu juga, dari uraian tersebut di atas adapun faktor penyebab terjadinya masalah pertanahan sebagai berikut ; Menurut pandangan Lutfi I Nasution juga menjelaskan bahwa konflik pertanahan yang semula disebabkan adanya benturan kepentingan berkembang antara lain berkaitan dengan : 1. nilai-nilai budaya; 2. adanya perbedaan penafsiran yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan UUPA yang merupakan ketentuan dasar pertanahan yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia; 3. adanya penyimpangan dalam implementasi peraturan pelaksanaan UUPA. 29 Khusus masalah pertanahan pada areal perkebunan, hasil penelitian menunjukan bahwa faktor penyebab terjadinya sengketa pertanahan tidak dapat dilepaskan dari latar belakang historis itu maksudnya bahwa PTP pada waktu mengelola lahan HGU mengambil lahan garapan secara paksa intimidasi menurut pengakuan masyarakat, adanya konflik kepentingan antara perusahaan perkebunan, masyarakat dan Pemerintah, tidak efektifnya hukum yang berlaku dan penyelesaian konflik selaku dilakukan dengan pendekatan politik dan keamanan. Akan tetapi dengan adanya teori dan konsep penguasaan tanah, serta larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya. Berlaku di Indonesia baik secara yuridis mapun hukum yang hidup dalam masyarakat living law, berakibat cenderung menimbulkan konflik pertanahan dalam masyarakat, bahkan konflik tersebut cenderung sulit untuk diselesaikan. Kesulitan dalam penyelesaian konflik sengketa atas tanah ini sangat rumit. Dalam hal ini penulis menggunakan teori Kelsen tentang hubungan antara aturan hukum dan peran. Ada lima alasan yang menyebabkan kesulitan dalam penyelesaian konflik: 1. Hukum mencakup aturan universal saja dan sistem hukum masih agak kabur dari pengertian masyarakat sendiri. 2. Model ini hanya bermaksud mengungkapkan hukum yang diberikan oleh pembuat UU kepada pemegang peran atas pelanggaran yang terkena sanksi. 29 Lutfi I Nasution, Dalam Buku Menuju Keadilan Agraria 70 Tahun Gunawan Wiradi, Bandung : Akatiga, 2002, h. 216. 3. UU yang disahkan berubah sejak saat pengundangannya baik melalui amandemen formal maupun karena kepentingan birokrasi. 4. UU tidak dibuat oleh seorang penyusun UU namun berasal dari proses pembuatan hukum yang melibatkan banyak peran dalam hubungan yang kompleks. 5. langkah-langkah untuk mencapai musyawarah bisa langsung ditujukan pada pemegang peran dengan merubah batasan dan sumber daya lingkungan atau persepsi pemegang peran tersebut, sehingga sanksi menjadi terlalu terbatas. 30 Dengan melihat uraian tersebut, bisa ditarik kesimpulan bahwa ada tiga jalur utama bagi penyelesaian konflik sengketa yang dilandasi dengan budaya hukum : musyawarah, penerapan sanksi dan proses pengadilan. Pengertian musyawarah harus dipisahkan dengan pengertian dari mufakat. Musyawarah menunjuk kepada pembentukan kehendak bersama dalam urusan mengenai kepentingan hidup bersama, dalam masyarakat yang bersangkutan sebagai keseluruhan, sedangkan mufakat menunjuk kepada pembentukan kehendak bersama antara dua orang atau lebih, dimana masing-masing berpangkal dari perhitungan untuk melindungi kepentingan masing-masing sejauh mungkin. 31 Dan di dalam permasalahan kasus tuntutan masyarakat atas areal HGU tersebut pada areal perkebunan PTPN-IV yang dilakukan dengan asas musyawarah untuk mufakat 32 Dimana dalam pelaksanaan pembangunan nasional yang sedang kita jalankan, kesadaran dan kerjasama yang baik, yang 30 Robert B. Seldman, The State, Law and Development, New York: St. Martin’s Press, 1978, h. 74-75. 31 Ibid., h. 76. 32 Hasim Purba, Sengketa Tanah dan Alternatif Pemecahan, Jilid 1 Cahaya Ilmu, 2006, h. 5. mewujudkan dengan asas musyawarah dan mufakat dalam setiap mengambil keputusan adalah suatu yang diperlukan. Sebab pembangunan nasional hanya dapat terlaksana dengan baik dan membawa manfaat yang baik. Yang mana tanpa membawa adanya suatu sikapkondisi dan persepsi yang sama dalam memahami hakikat dan tujuan pembangunan, maka pembangunan tersebut akan sulit mencapai sasaran utamanya. Penyelesaian sengketa pertanahan dalam areal konsesi perkebunan, yang dilakukan oleh tiga orang penengah, pada dasarnya cukup ideal, jika dibandingkan dengan penyelesaian melalui proses yudisial atau pengadilan secara legitasi. Proses legitasi baru dipergunakan apabila telah dilakukan penyelesaian melalui tiga orang penengah, atau sudah diupayakan negoisasi tetapi gagal, dan para pihak yang bersengketa telah mengabaikan atau menolak negoisasi, maka proses penyelesaian melalui pengadilan adalah jalan yang harus ditempuh, meskipun demikian, tetap ada kemungkinan untuk mengadakan perdamaian, sebelum maupun sesudah adanya keputusan hakim vonis. Negoisasi dalam penyelesaian sengketa pertanahan di Sumatera Utara, berdasarkan penelitian dari kasus-kasus yang ada dapat disimpulkan, bahwa salah satu pihak menganggap, bahwa mereka mempunyai hak yang sah terhadap tanah sengketa, misalnya pihak pengusaha perkebunan menganggap bahwa mereka mempunyai hak yang sah berupa HGU di atas tanah perkebunan. Sedangkan pihak masyarakat menganggap bahwa mereka juga mempunyai hak yang sah terhadap tanah sengketa, berdasarkan hak ulayat mereka. Karena itu ada pemikiran bagi para pihak untuk membawa penyelesaian sengketa melalui pengadilan, dengan harapan bahwa mereka akan mendapatkan hasil yang lebih baik melalui proses pengadilan, daripada negoisasi ataupun musyawarah. Mengajukan suatu penyelesaian sengketa pertanahan melalui proses pengadilan, adalah awal suatu proses pengalihan sengketa aktual, ke dalam suatu kontes perlawanan yang dapat diselesaikan melalui sistem hukum. 33 Hal ini berarti proses pengadilan legitasi, secara formal melakukan legalisasi sengketa, dengan pengertian membuat kerangka konsep, bukti dan argumentasi legal, yang dapat diproses oleh sistem hukum, melalui struktur dan substansi hukum, dalam sistem hukum tersebut. Jika proses ini dilakukan dalam upaya penyelesaian sengketa pertanahan di Sumatera Utara, maka secara yuridis formal, posisi pihak perkebunan lebih kuat, daripada posisi pihak petani penggarap. Karena secara yuridis formal, pihak perkebunan dapat mengajukan bukti-bukti HGU yang sah. Sedangkan masyarakat hanya mempunyai bukti-bukti berupa hukum yang tidak tertulis hukum adat. Terlebih lagi, apabila hakim ataupun penegak hukum yang mengadili, hanya berorientasi pada aliran positivisme yang legalistik, yang ditafsirkan sering berdasarkan hukum barat BW-KUHPerdata, yang pada dasarnya sangat bertentangan dengan sistem hukum adat yang hidup dalam masyarakat. 33 Gary goodpaster, Seri Dasar Hukum Ekonomi 9, Panduan Negoisasi dan Mediasi, ELIPS, Jakarta, 1999, h. 219. Dalam penyelesaian sengketa pertanahan melalui pengadilan, seyogyanya hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami, nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. 34 Dalam masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan. Oleh karena itu, hakim merupakan perumus, dan penggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam kalangan rakyat. Khusus mengenai masalah pertanahan di Sumatera Utara sesuai dengan undang-undang tersebut, hakim harus terjun ke tengah- tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian, hakim baru dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Akan tetapi, dalam hal ini penyelesaian masalah pertanahan yang dilakukan secara politik itu adalah dengan mengakomodir kepentingan di luar kepentingan hukum, dengan maksud penyelesaian masalah pertanahan tersebut dapat menciptakan stabilitas atau sekedar mengurangi benturan kepentingan dalam masyarakat pada masa itu, sehingga masalah pertanahan tersebut tidak dapat diselesaikan secara tuntas, karena tujuan penyelesaian dimaksud bukan dalam rangka kepastian hukum dan 34 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 Pasal 27 ayat 1 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman menuntaskan permasalahan, tetapi hanya untuk tujuan “aman” di lingkungan kekuasaannya. 35 Yang mana selama ini konflik tanah perkebunan cenderung diselesaikan secara politis tanpa memperhatikan aspek kepastian hukum, misalnya pemberian legalisasi kepada para penggarap yang tidak mampu menyelesaikan persoalan tersebut. Namun kenyataannya, penguasaan tanah lahan perkebunan yang dilakukan oleh masyarakat itu terus-menerus terjadi dengan suatu berbagai alasan tertentu, 36 sehingga tidak jarang dengan kebijakan yang diambil oleh pemerintah melalui pendekatan politik dalam menyelesaikan masalah pertanahan justru menjadi pemicu terjadinya masalah pertanahan baru dan keadaan ketidakpastian hukum, selanjutnya dapat berdampak pada terganggunya stabilitas di Daerah bahkan Stabilitas Nasional, 37 juga berdampak pada turunnya minat investor asing menanamkan modalnya di Indonesia terutama di sektor perkebunan. 38 Badan Pertanahan Nasional juga mengakui bahwa permasalahan tanah pada areal perkebunan berupa pendudukanpenggarapan tanah perkebunan oleh rakyat adalah contoh permasalahan tanah yang nyata sekali terlihat bersifat politik dan penyelesaian yang bernuansa politik tersebut menimbulkan kesulitan tersendiri bagi 35 Muhammad Yamin ; Paradigma Reformasi Peraturan Perundang-Undangan PertanahanAgraria, Penyelesaian Sengketa Pertanahan Serta Kelembagaan, opini pada harian Analisa Medan, terbitan tanggal 22 Maret 2005, h. 16. 36 Harian Waspada Medan, terbitan tanggal 18 Januari 2005, dengan judul Konflik Tanah Perkebunan Hambat Investasi Sumut, h. 14. 37 Karl. J. Felzer, Sengketa Agraria, Pengusaha Perkebunan Melawan Petani, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1999, h. 107. 38 Harian Sumatera Medan, terbitan tanggal 30 Nopember 2004 dengan judul Penegakan Hukum Lemah, Perkebunan Tidak Berkembang, h. 8. pemerintah, yaitu antara penegakan hukum secara konsisten dan memenuhi tuntutan masyarakat. 39 Dimana suatu pola penanganan masalah pertanahan pada areal perkebunan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan pendekatan teknis-administratif atau dengan pendekatan politik termasuk dengan pendekatan historis, dengan cara mengakomodir tuntutan masyarakat yang menggunakan alas hak yang pernah diterbitkan Pemerintah di masa lalu, tanpa melakukan penegakan hukum secara konsekuen. Misalnya terhadap kelompok masyarakat yang memanipulasi dokumen, tidak ada tindakan hukum secara tegas, sehingga hal yang demikian menjadi salah satu faktor terus bergulirnya tuntutan dan penggarapan baru pada areal perkebunan, dan tidak mengherankan apabila masalah tuntutangarapan rakyat di atas tanah perkebunan terus bertambah. Dengan terus bergulirnya tuntutan masyarakat pada areal perkebunan dari tahun 1940-an hingga saaat ini dan adanya kebijakan Gubernur Sumatera Utara yang bernuansa politik dalam penyelesaian masalah pertanahan serta adanya upaya pihak- pihak tertentu mengangkat masalah pertanahan menjadi masalah politik, maka adalah menarik untuk dikaji lebih lanjut bagaimana pola penyelesaian masalah pertanahan pada areal perkebunan yang ditempuh oleh Pemerintah, khususnya terhadap masalah pertanahan yang terjadi di atas areal HGU Hak Guna Usaha PT. Perkebunan Nusantara-IV. 39 Badan Pertanahan Nasional, Hak-Hak atas Tanah Dalam Hukum Tanah Nasional, Makalah 2002, h. 52-53. Dimana pengertian “Pola” dalam hal ini adalah dasar atau sistem yang dipakai atau cara yang diikuti 40 untuk penyelesaian masalah pertanahan tersebut. Pola penyelesaian masalah pertanahan yang ditempuh oleh Pemerintah Daerah cenderung dengan pendekatan politik disebabkan masyarakat mengajukan tuntutan atau mengadukan masalahnya kepada Pemerintah yang dianggapnya dapat melindungi kepentingannya, disamping itu masyarakat juga kurang percaya dengan lembaga peradilan untuk menyelesaikan secara adil atas masalah yang dihadapinya.

2. Konsepsi