Problematika Okupasi Liar Di Atas Lahan Perkebunan Di Sumatera Utara : Studi Pada Areal Perkebunan Ptpn-IV Medan (Tahun 2000-2009)

(1)

PROBLEMATIKA OKUPASI LIAR DI ATAS LAHAN PERKEBUNAN DI SUMATERA UTARA : STUDI PADA AREAL PERKEBUNAN PTPN-IV

MEDAN (TAHUN 2000-2009)

TESIS

Oleh

DEBORA DEWI CHRISTY GULTOM 077011013/MKn

S

E K O L AH

P A

S C

A S A R JA

NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

PROBLEMATIKA OKUPASI LIAR DI ATAS LAHAN PERKEBUNAN DI SUMATERA UTARA : STUDI PADA AREAL PERKEBUNAN PTPN-IV

MEDAN (TAHUN 2000-2009)

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan pada

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

DEBORA DEWI CHRISTY GULTOM 077011013/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Judul Tesis : PROBLEMATIKA OKUPASI LIAR DI ATAS LAHAN PERKEBUNAN DI SUMATERA UTARA : STUDI PADA AREAL PERKEBUNAN PTPN-IV MEDAN (TAHUN 2000-2009)

Nama Mahasiswa : Debora Dewi Christy Gultom Nomor Pokok : 077011013

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) Ketua

(Dr.Pendastaren Tarigan, SH,MS) (Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof.Dr.Muhammad Yamin, SH,MS,CN) (Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B, MSc)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 28 September 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Anggota : 1. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS

2. Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn

3. Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, MHum 4. Hj. Chairani Bustami, SH, SPN, MKn


(5)

ABSTRAK

Secara umum masalah pertanahan yang paling menonjol di Sumatera Utara terdapat pada areal perkebunan, khususnya pada areal HGU PTPN-IV yang ditandai dengan adanya tuntutan/garapan rakyat dan tuntutan pengembalian hak ulayat serta permohonan tapak perumahan/pondok karyawan. Dengan adanya permasalahan tuntutan/garapan/permohonan tersebut, perlu diteliti bagaimana pola penyelesaian yang ditempuh oleh pemerintah untuk menuntaskan masalah pertanahan pada areal perkebunan tersebut.

Penelitian dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai Problematika Okupasi Liar Di Atas Lahan Perkebunan Di Sumatera Utara yang terjadi pada areal perkebunan PTPN-IV Medan, untuk mengetahui hasil yang diperoleh dan upaya penyelesaian masalah pertanahan yang dilaksanakan dalam rangka kepastian hukum. Penelitian dilakukan dengan metode pendekatan yuridis normatif, menggunakan bahan penelitian dari data sekunder dan alat penelitian berupa studi dokumen dan wawancara dengan responden yang ditentukan. Kemudian data dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif.

Hasil penelitian menunjukan bahwa upaya penyelesaian masalah lahan garapan di daerah kebun Balimbingan dan kebun Bah Jambi tersebut mempunyai problema yang berbeda. Oleh karena itu, dari kedua kebun yang memiliki areal yang bermasalah itu sudah bisa dijamin keabsahannya, karena pertama di daerah kebun Balimbingan telah setuju dengan kesepakatan PTP Nusantara IV Unit Usaha Balimbingan dengan kelompok penggarap yaitu sepakat dengan penentuan harga ganti untung tanam tumbuh di areal garapan Afdeling II dan Afdeling III PTP Nusantara IV (persero) Unit Usaha Balimbingan, berarti telah selesai permasalahan tanah garapan antara kelompok penggarap dengan PTPN-IV Unit Usaha Balimbingan. Sedangkan penyelesaian masalah lahan garapan di daerah kebun Bah Jambi ini belum dapat diselesaikan masalah tanah garapan antara kelompok tani dengan PTPN-IV Unit Usaha Bah Jambi. Namun, disamping itu PTPN-IV Unit Usaha Bah Jambi membuat suatu upaya penyelesaian masalah tanah garapan antara kelompok tani dengan PTPN-IV Unit Usaha Bah Jambi dengan melalui pengadilan.Yang mana hal masalah tanah garapan tersebut masih dalam proses pengadilan yang saat ini masih berjalan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa masalah tanah garapan antara kelompok tani dengan PTPN-IV Unit Usaha Bah Jambi tersebut belum terselesaikan karena masih dalam proses pengadilan. Oleh karena itu, dapat kita menyarankan mengenai masalah tanah garapan antara kelompok tani dengan PTPN-IV Unit Usaha Bah Jambi ini agar dapat terselesaikan dengan baik demi terjamin nya kepastian hukum sekaligus penyelesaian masalah pertanahan ini benar-benar dapat terwujud.


(6)

ABSTRACT

In general, the most apparent land problem in the province of Sumatera Utara is found in plantation area especially in the concession area of PTPN-IV signed by the plots of land claimed/occupied by the people, the people’s demand to have their right to the land being worked by PTPN-IV back, and the plantation workers’ application for the site of their housing. With these problems of demand, illegal occupancy on the plantation land area, and application, it is a need to study the pattern of settlement taken by the government to settle the land problem in the plantation area.

The purpose of this study with normative juridical method is to describe the problem of illegal occupacy on the plantation area in Sumatera Utara as occurred in the plantation area of PTPN-IV Medan, and to analyze the attempts done and the result obtained from the land problem settlement done to get a legal certainty. The data for this study were obtained through documentation study and interviewing the respondents selected through purposive sampling technique. The data obtained were then qualitatively and quantitatively analyzed.

The result of this study shows that the attempts done to settle the problem of illegally occupied land in the plantation area of Balimbingan and Bah Jambi estates were of different problems. Therefore, the problem of land occupancy in Balimbingan estate has been settled because PTP Nusantara IV through the business unit of Balimbingan estate and the groups of those illegally occupied the plantation area have agreed the amount of beneficial compensation for all of the plants grown in the area of Afdeling II and Afdeling III of Balimbingan estate. The problem of land occupancy in Bah Jambi estate has not yet been settled. PTP Nusantara IV through the business unit of Bah Jambi estate is doing its best to settle the dispute with the farmers’ groups occupied the land through a court of law whose process is still going on. Therefore, it is suggested that the dispute between PTP Nusantara IV through the business unit of Bah Jambi estate and the farmers’ groups occupied the land can be settled well that settlement of this land dispute can guarantee the existence of legal certainty.


(7)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat dan hidayahnya, maka tesis ini telah dapat diselesaikan dengan judul : Problematika Okupasi Liar Di Atas Lahan Perkebunan Di

Sumatera Utara : Studi Pada Areal Perkebunan PTPN-IV Medan ( Tahun 2000-2009)

Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam menyelesaikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Dalam penyusunan tesis ini telah banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Terima kasih yang mendalam dan tulus saya ucapkan secara khusus kepada yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN selaku Ketua Komisi Pembimbing serta Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS dan Bapak Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn, masing-masing selaku anggota Komisi Pembimbing, yang telah memberikan pengarahan, nasehat serta bimbingan kepada saya, dalam penulisan tesis ini.

Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih secara khusus kepada Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, MHum dan Ibu Hj. Chairani Bustami, SH, SPN, MKn, masing-masing selaku dosen tamu dan dosen penguji yang selama ini


(8)

telah membimbing dan membina penulis dan pada kesempatan ini dipercayakan menjadi dosen penguji sekaligus sebagai panitia penguji tesis.

Selanjutnya ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, Sp.A (K), selaku Rektor

Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T Chairun Nisa B, MSc, selaku Direktur Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, dan Ibu Dr. T. Keizerina

Devi Azwar, SH, CN, MHum selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak-bapak dan Ibu-ibu Guru Besar dan Staf Pengajar lainnya, diantaranya

Bapak Prof. Dr. M. Solly Lubis, SH, Prof. Dr. Tan Kamelo, Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, MHum, Ibu Hj. Chairani Bustami, SH, SPN, MKn, Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum, dan lain-lain serta para karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara diantaranya Ibu Fatimah, Kak Sari, Kak Lisa, Kak Afni, bang Adi, Bang Rizal dan lain-lain yang telah banyak membantu dalam penulisan ini dari awal hingga selesai.


(9)

5. Rekan-rekan serta teman-temanku tercinta di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara di Program Magister Kenotariatan khususnya teman-teman aku semua yang ada di kelas grup C yang paling oke gto loh dan teman-teman spesialku diantaranya maria, lisa’caem, natal, novi, b’bangun, b’cory, junita, okto veri, k’vina, melda, k’susi, k’eva, afni, b’juni, dan semuanya yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu dan juga kepada teman-teman dan sahabat-sahabat ku yang ada di grup A dan di Grup B semuanya saya ucapkan banyak terima kasih atas dukungan dan dorongan maupun semangat kepada saya didalam menyelesaikan penulisan tesis ini dalam rangka untuk menyelesaikan studi.

Secara khusus, penulis menghaturkan sembah dan sujud dan ucapkan terima kasih yang tak terhingga, kepada yang tercinta Ayahanda Drs. Parsaulian Gultom dan Ibunda Romaida Pangaribuan yang telah bersusah payah melahirkan, membesarkan dengan penuh pengorbanan, kesabaran, ketulusan dan kasih sayang, serta memberikan doa restu, sehingga penulis dapat melanjutkan dan menyelesaikan pendidikan di Program Studi Magister Kenotariatan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, serta ucapan terima kasih kepada adik-adikku tercinta Ika Kartika Maharani Gultom “caem” dan Julio Cesar Barata Yudha Gultom yang selama ini telah banyak memberikan perhatian dan dukungan kepada saya di dalam meyelesaikan penulisan tesis saya ini.

Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis, mendapat rahmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa, agar selalu


(10)

dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rejeki yang melimpah kepada kita semua.

Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, terutama kepada penulis dan kalangan yang mengembangkan ilmu hukum, khususnya dalam bidang ilmu kenotariatan.

Medan, Juni 2009

Penulis,


(11)

RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

Nama : Debora Dewi Christy Gultom

Tempat/Tanggal Lahir : Pematang Siantar/ 15 Desember 1984

II. ORANG TUA

Nama Ayah : Drs. Parsaulian Gultom

Nama Ibu : Romaida Pangaribuan

III. PENDIDIKAN

1. SD : SD Negeri 1 Bahjambi

2. SMP : SMP Taman Asuhan Pematang Siantar

3. SMA : SMA Methodist Pematang Siantar

4. S-1 : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI... viii

BAB I. PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Keaslian Penelitian... 8

F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 9

1. Kerangka Teori... 9

2. Konsepsi... 14

G. Metode Penelitian ... 15

1. Spesifikasi Penelitian ... 15

2. Sumber Data Penelitian... 16

3. Teknik Pengumpulan Data... 16

4. Alat Pengumpulan Data ... 16

5. Analisis Data ... 17

BAB II. LATAR BELAKANG TIMBULNYA MASALAH PERTANAHAN MENGENAI OKUPASI DI ATAS LAHAN HGU PTPN-IV ... 18

A. Latar belakang timbulnya masalah pertanahan... 18


(13)

Di Atas Lahan HGU PTPN-IV ... 18

BAB III PENYELESAIAN MASALAH PERTANAHAN YANG DITEMPUH OLEH PTPN-IV DALAM KASUS TUNTUTAN MASYARAKAT ATAS AREAL HGU ... 26

A. Jenis-Jenis Penyelesaian Masalah Pertanahan Yang Ditempuh Oleh PTPN-IV Dalam Kasus Tuntutan Masyarakat Atas Areal HGU ... 26

B. Mekanisme Penyelesaian Masalah Pertanahan Yang Ditempuh Oleh PTPN-IV Dalam Kasus Tuntutan Masyarakat Atas Areal HGU... 27

C. Penyelesaian Masalah Pertanahan Yang Ditempuh Oleh PTPN-IV Dalam Kasus Tuntutan Masyarakat Atas Areal HGU ... 27

BAB IV HASIL MUSYAWARAH PTPN-IV ATAS TUNTUTAN MASYARAKAT AKAN LAHAN HGU PTPN-IV ... 34

A. Hasil musyawarah terhadap penelitian Masalah Pertanahan PTPN-IV Secara Umum Dibeberapa Daerah Areal Perkebunan... 34

B. Lembaga Yang Berperan Dalam Menyelesaikan Masalah Pertanahan Pada Areal Perkebunan ... 37

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 39

A. Kesimpulan ... 39

B. Saran... 39


(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebelum membahas mengenai judul proposal tesis yang berjudul tentang “Problematika Okupasi Liar Di Atas Lahan Perkebunan Di Sumatera Utara :

Studi Pada Areal Perkebunan PTPN- IV Medan (Tahun 2000-2009)” ini.

Terlebih dahulu pertama-tama kita membahas mengenai sejarah singkat PTPN-IV Medan tersebut, yang mana PT Perkebunan Nusantara IV (Persero) merupakan Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang perkebunan yang berkedudukan di Medan, Propinsi Sumatera Utara dan dimana luas areal konsesi PTPN-IV yang dikuasai seluas 175.366,65 Ha, selain dari luas areal konsesi tersebut tetapi ada juga

luas areal yang diusahai PTPN-IV terdiri dari :1

a. Areal konsesi luas tanaman……… = 174.990,74 Ha

b. Areal konsesi luas bangunan………….. = 21.752,80 Ha

Dan disamping itu, ada juga luas areal yang dikuasai PTPN-IV :

a. Luas areal yang sudah HGU……….. = 150.025,21 Ha

b. Luas areal yang belum HGU………. = 25.341,44 Ha

Yang mana lokasi areal yang belum HGU dan sertifikat HGU masih dalam pengurusan di BPN masing-masing :

1


(15)

a. Kebun Madina seluas………. = 19.211,00 Ha

b. Kebun Panai Jaya seluas……… = 4.065,00 Ha

Dan sisanya tidak dapat diterbitkan HGU-nya, alasannya karena merupakan Daerah

Aliran Sungai (DAS) seluas………. = 2.065,44 Ha

Selain dari luas areal konsesi PTPN-IV, luas areal konsesi tanaman maupun

luas areal konsesi bangunan, luas areal yang sudah HGU maupun luas areal yang belum HGU, lokasi areal yang belum HGU dan sertifikat HGU dan juga alasan mengapa sisa dari sebagian kebun tidak dapat diterbitkan HGU-nya itu, yang mana ada juga proses (prosedur) penerbitan perpanjangan SK. HGU PTPN-IV dan HGU baru :

a. HGU yang akan berakhir masa berlakunya, pemegang hak dapat segera mengajukan permohonan perpanjangan HGU ke Kanwil BPN Sumut untuk diteruskan ke BPN RI di Jakarta.

b. Setelah SK. HGU diterbitkan oleh BPN RI PTPN-IV sebagai penerima hak

diwajibkan mendaftarkan ke BPN Kabupaten dengan memenuhi kewajiban sesuai yang tertulis di SK. HGU, sehingga BPN Kabupaten setempat dapat

segera menerbitkan sertifikat HGU.2

Pada umumnya perusahaan-perusahaan perkebunan di Sumatera Utara mempunyai sejarah panjang sejak zaman Belanda. Pada awalnya keberadaan perkebunan ini merupakan milik Maskapai Belanda yang dinasionalisasi pada tahun 1959, dan selanjutnya berdasarkan kebijakan pemerintah telah mengalami beberapa

2


(16)

kali perubahan organisasi sebelum akhirnya menjadi PT Perkebunan Nusantara IV (Persero).

Secara kronologis riwayat PT Perkebunan Nusantara IV (Persero), dapat

disajikan sebagai berikut :3

1. Tahun 1959, Tahap Nasionalisasi

Perusahaan-perusahaan swasta asing (Belanda) seperti NV HVA ( Namblodse Venotschaaf Handels Vereeniging Amsterdam) dan NV RCMA ( Namblodse Venotschaaf Rubber Cultuur Maatschappij Amsterdam) pada tahun 1959 dinasionalisasi oleh Pemerintah RI dan kemudian dilebur menjadi Perusahaan Milik Pemerintah atas dasar Peraturan Pemerintah (PP) No. 19.

2. Tahun 1967, Tahap Regrouping I

Pada tahun 1967-1968 selanjutnya Pemerintah melakukan regrouping menjadi Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) Aneka Tanaman, PPN Karet dan PPN Serat.

3. Tahun 1968, Tahap Perubahan menjadi Perusahaan Negara Perkebunan (PNP) Dengan Kepres. No. 144 tahun 1968, Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) yang ada di Sumatera Utara dan Aceh di regrouping ulang menjadi PNP I s.d. IX

3


(17)

4. Tahun 1971, Tahap Perubahan menjadi Perusahaan Perseroan

Dengan dasar Peraturan Pemerintah tahun 1971 dan tahun 1972, Perusahaan Negara Perkebunan (PNP) dialihkan menjadi Perusahaan Terbatas Persero dengan nama resmi PT Perkebunan I s.d. IX (Persero).

Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perkebunan VI didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1971, Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perkebunan VII didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 1971 dan Perusahaan Perseroan (Persero) dan PT Perkebunan VIII didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun 1972.

5. Tahun 1996, Tahap Peleburan menjadi PTPN

Berdasarkan Peraturan Pemerintah pada tahun 1996, semua PTP yang ada di Indonesia diregrouping kembali dan dilebur menjadi PTPN I s.d. XIV dan PT Perkebunan Nusantara IV dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1996 tanggal 14 Februari 1996 tentang Peleburan Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perkebunan VI, Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perkebunan VII dan Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perkebunan VIII menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perkebunan Nusantara IV.

PT Perkebunan Nusantara IV merupakan hasil peleburan dari 3 (tiga) Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perkebunan VI, Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perkebunan VII, dan Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perkebunan VIII yang berada di wilayah Sumatera Utara. Sedangkan Proyek Pengembangan PTP VI, PTP


(18)

VII dan PTP VIII yang ada di luar Sumatera Utara diserahkan kepada PTPN yang dibentuk di masing-masing Propinsi.

PT Perkebunan Nusantara IV (Persero) didirikan di Bah Jambi, Simalungun, Sumatera Utara berdasarkan Akta Pendirian No. 37 tanggal 11 Maret 1996 dari Harun Kamil, SH., Notaris di Jakarta dan telah mendapat pengesahan Menteri Kehakiman Republik Indonesia dengan Surat Keputusan No. C2-8332.HT.01.01 tahun 1996 tanggal 8 Agustus 1996 dan telah diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia No. 81 tanggal 8 Oktober 1996, Tambahan No. 8675/1996, serta telah didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Perusahaan Tingkat I Sumatera Utara c.q. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Simalungun No. 001/BH.2.15/ IX/1996 tanggal 16 September 1996 dan telah diperbaharui dengan Nomor 07/BH/0215/ VIII/01 tanggal 23 Agustus 2001.

Anggaran Dasar Perusahaan telah diubah berdasarkan Akta No. 18 dari Notaris Sri Rahayu H. Prasetyo, SH. tanggal 26 September 2002, tentang tempat kedudukan Kantor Pusat (dari Bah Jambi Kabupaten Simalungun ke Medan) dan Modal Dasar Perusahaan dari 425.000 lembar saham prioritas dan 550.000 lembar saham biasa yang ditempatkan dan disetor penuh menjadi 975.000 lembar saham). Akta perubahan anggaran dasar ini telah disetujui oleh Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dengan Surat Keputusan No. C-20652.HT.01.04. tahun 2002 tanggal 23 Oktober 2002.

Selanjutnya sejarah tanah PTPN-IV yang dikaji pada zaman Jepang tersebut yaitu dimana pada zaman jepang ketika pemerintahan balatentara Jepang memerlukan


(19)

bahan makanan untuk balatentara Jepang dan rakyat. Harus diketahui bahwa Sumatera Timur sejak dahulu tidak pernah swasembada pangan.

Akibat daripada pendudukan rakyat atas areal perkebunan tersebut maka timbullah beberapa peristiwa di daerah Sumatera Timur berikut dikeluarkannya beberapa peraturan bagi penyelesaiannya antara lain ialah :

1. Undang-undang Darurat No. 8/1956 dan Undang-undang No. 51/Prp/1960, telah

meletakkan dasar-dasar penyelesaian dari tanah-tanah perkebunan yang telah diduduki rakyat.

2. Surat Edaran dari Menteri Agraria No. Sekra 9/2/4 tanggal 4 Mei 1962,

menyebutkan beberapa kebijaksanaan yakni :

a. tanah perkebunan/kehutanan dan tanah-tanah lain yang langsung dikuasai oleh

Negara yang telah dipakai untuk kepentingan Pemerintah misalnya untuk perluasan kota, bangunan pemerintah, lapangan olahraga untuk umum dan sesamanya itu supaya tetap terjamin.

b. tanah-tanah perkebunan/kehutanan dan lain-lainnya yang dikuasai langsung

oleh Negara, yang telah diduduki rakyat untuk perumahan/perkampungan agar tetap terjamin baik pun perumahan/perkampungan itu tetap di tempat masing-masing, maupun di kelompok-kelompok demikian rupa hingga merupakan perkampungan yang teratur baik, dengan usaha penukaran/penggantian tanah yang lain agar kompleks tersebut tidak terganggu satu sama lain.

c. tanah-tanah perkebunan/kehutanan dan tanah-tanah lain yang langsung


(20)

yang ditanami bahan makanan, jangan diadakan perobahan sebelum tanamannya di panen; apabila tanah-tanah tersebut memang masuk rencana perluasan perkebunan/kehutanan lagi, maka pelaksanaannya agar ditempuh jalan kebijaksanaan melalui musyawarah antara pihak-pihak yang bersangkutan untuk membentuk unit-unit yang ekonomis bagi perkebunan/ kehutanan dan untuk mencarikan kemungkinan tempat-tempat lain bagi rakyat.

d. tanah-tanah perkebunan/kehutanan dan tanah-tanah lain yang dikuasai

langsung oleh Negara dan telah digarap oleh rakyat, lagi pula tidak akan dipergunakan lagi oleh pemerintah cq. Instansi yang berkepentingan, pada dasarnya akan dijadikan tanah pertanian dan dibagikan kepada rakyat yang mengerjakan sendiri tanah-tanah tersebut demi untuk meningkatkan produksi pertanian rakyat sambil memperbaiki sosial ekonominya.

e. Mengingat hal yang tersebut pada ayat d) di atas perlu meninjau kembali areal

tanah-tanah yang dipakai dan yang dipakai oleh instansi perkebunan/kehutanan agar semua tanah penggunaannya (land use) dilakukan secara tepat dan sesuai dengan kepentingan nasional.

Di dalam zaman Jepang perkebunan tetap berproduksi, namun tidak seluas seperti sebelum perang oleh karena pasaran tidak lagi luas.

Antara tahun 1945 hingga 1950 disaat perang kemerdekaan, perkebunan praktis tidak dapat berfungsi dengan baik dan penyelesaian dari pada tanah-tanah yang diduduki rakyat pada zaman Jepang belum juga dapat di atasi. Namun ada


(21)

rencana untuk mengatur kembali penggunaan tanah-tanah tersebut oleh karena ada juga sementara perkebunan yang telah habis masa konsesinya.

Hal ini juga disinggung dalam Surat Edaran Menteri Dalam Negeri nomor H/ 4/6/18 tanggal 10 Juli 1950 tentang non uses-clausule tentang tanah-tanah hak erfacht yang sudah atau akan habis masanya yang tidak tegas oleh karena hanya memberikan kesempatan kepada perusahaan perkebunan yang sudah berakhir tahun 1970 diberi kesempatan untuk diperpanjang hingga 8 tahun saja.

Memang kita belum mempunyai policy yang tegas terhadap perkebunan ini, sehingga akibatnya tidak ada lagi semangat untuk melakukan new planting atau replanting perkebunan ataupun menanamkan modal yang lebih besar di perkebunan tersebut. Ketidak pastian ini mengundang juga okupasi liar tanah-tanah perkebunan. Demikian pula tumbuhnya organisasi tani yang sangat dipengaruhi oleh udara politik telah mempercepat proses okupasi liar tanah-tanah tersebut.

Pedoman Menteri Agraria tanggal 5 Februari 1962 tentang syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan pemberian HGU atas tanah perkebunan besar bekas konsesi, erfacht di daerah propinsi Sumatera Utara telah menyatakan bahwa yang dikecualikan dari pemberian HGU adalah :

1. tanah yang sudah merupakan perkampungan rakyat,

2. tanah yang telah diusahakan oleh rakyat secara menetap,

3. tanah yang diperlukan oleh pemerintah.4

4

A.P. Parlindungan , Kapita Selekta Hukum Agraria, Penerbit Alumni, Bandung, 1981, h. 203.


(22)

Setelah kita membahas mengenai seluk-beluk/ sejarah singkat PTPN-IV Medan tersebut di atas, barulah dapat ditinjau mengenai permasalahan tuntutan masyarakat atas areal HGU tersebut.

Dengan mana beberapa tahun belakangan ini, jelasnya sejak era reformasi tahun 2000 banyak kedengaran kasus-kasus tanah Indonesia, khususnya di lingkungan BUMN Perkebunan terutama tuntutan masyarakat di lingkungan HGU PTPN-IV, dengan memanfaatkan situasi reformasi masyarakat menggugat areal HGU

dengan cara tuntutan dan menggarap areal HGU.5 Oleh karena itu, masyarakat sekitar

kebun di wilayah PTPN-IV ingin menuntut PTPN-IV agar mengembalikan sebagian areal yang diusahakan tersebut.

Yang mana dasar tuntutan masyarakat adalah :

1. Bahwa penyelesaian ganti-rugi lahan (tanah) garapan dilakukan secara paksa dan

intimidasi.

2. Penyelesaian ganti-rugi tidak sesuai dengan harga pasaran setempat.

3. Bahwa penguasaan lahan oleh masyarakat berdasarkan Kartu Registrasi

Penggarapan Tanah yang didukung Undang-undang Darurat No. 8 Tahun 1958. Tetapi masalah Okupasi lahan PTPN-IV yang merupakan masalah yang timbul secara terus-menerus hampir semua mempunyai masalah di lahan perkebunan, yang spesifikasinya untuk lahan PTPN di dalam problemanya itu tidak ada perbedaan tuntutan masyarakat terhadap HGU di PTPN-IV.

5


(23)

Disamping itu, menurut Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1953 Lembaran Negara No. 14 tahun 1953 dimaksudkan dengan tanah negara ialah semua tanah-tanah bebas dari hak-hak perseorangan baik berdasarkan hukum adat maupun hukum barat dinyatakan vryland domein yaitu tanah yang dimiliki dan dikuasai sepenuhnya oleh negara yang disebut dengan tanah negara.

Namun menurut dari PP No. 8 tahun 1953 dirubah menjadi “tanah yang dikuasai langsung oleh negara”. Bahwa atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-undang Dasar 1945. Bumi, air, ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya “dikuasai” oleh negara (Pasal 2 ayat (1) ) untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 2 ayat (3) Undang-undang Pokok Agraria) bahwa istilah “dikuasai” menurut Undang-undang Pokok Agraria bukan berarti “dimiliki”. Istilah “dikuasai” berarti bahwa negara diberikan wewenang untuk mengatur sesuatu yang berkenaan dengan tanah. Tegasnya “Kekuasaan” ini mengenai baik tanah-tanah yang sudah dimiliki oleh seseorang maupun yang belum dimiliki. Artinya bukan saja tanah-tanah yang sudah dipegang oleh orang-orang lain juga dibawah kekuasaan negara. Khusus kekuasaan negara mengenai tanah yang sudah dipegang oleh seseorang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu sedangkan

atas tanah yang tidak dipunyai oleh seseorang adalah lebih penuh dan luas.6

Tanah-tanah tersebut oleh negara dapat diberikan kepada seseorang atau badan-badan hukum dengan sesuatu hak tertentu (misalnya Hak Milik, Hak Pakai,

6

H. Chairuddin K. Nasution, Hukum Agraria (Hak-hak Atas Tanah/Kehutanan/PIR-Transmigrasi/DLL), Penerbit Alumni, Medan, 1993, h. 104.


(24)

Hak Sewa, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan lain-lain). Penguasaan dari negara ini didelegasikan kepada suatu badan pengusaha (departemen/jawatan atau daerah swatantra dan lain-lain) untuk pengelolaannya. Demikian kita lihat dalam Pasal 24 Undang-undang Pokok Agraria yang berbunyi hak menguasai dari negara, pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat adat sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Disini kita kenal asas otonomi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang tentunya kepentingan nasional tidak boleh dikurangi.

Sejalan dengan ini maka kita kenal Undang-undang No. 51 PP tahun 1960 L. N. No. 158/1960 tentang “Larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya”. Dari UU ini penguasa daerah dapat mengambil tindakan untuk menyelesaikan pemakaian tanah yang bukan perkebunan dan bukan tanpa izin yang berhak. Dengan hak-hak “menguasai” maka negara berwenang untuk :

1. Mengatur dan menyelenggarakan; peruntukkan, penggunaan, penyediaan, dan

pemeliharaan, bumi, air, ruang angkasa.

2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang

dengan bumi, air, dan ruang angkasa.

3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan

perbuatan-perbuatan hukum mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.

Pada masa pendudukan penjajahan banyak instansi-instansi pemerintah diberi kekuasaan penuh untuk mengatur sendiri akan kebutuhan tanah. Akibatnya banyak terdapat kekacauan-kekacauan tentang penguasaan tanah. Tanah-tanah negara banyak


(25)

dipergunakan untuk keperluan yang menyimpang atau berpindah hak dari satu instansi ke instansi lainnya tanpa prosedur. Bahkan banyak pula tanah-tanah negara menjadi terlantar dan diperjualbelikan. Inilah salah satu yang menjadi pertimbangan PP No. 8/1953 yaitu larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak. Namun demikian PP No. 8/1953 memberikan kesempatan terutama kepada pemerintah daerah dimungkinkan pemberian tanah untuk keperluan perumahan rakyat, yang harus dengan harga murah yang nantinya dapat menjadi hak milik rakyat sendiri. Penyelesaian problem-problem tanah yang timbul selama masa pendudukan darurat prinsip bahwa semua tanah-tanah yang diambil pemerintah dikembalikan kepada ahli warisnya dengan ketentuan para ahli waris harus mengembalikan pembayaran ganti-rugi yang telah pernah diberikan pemerintah pada waktu pengambilan tanah tersebut. Dalam hal ini dikecualikan bila pemilik atau ahli waris tidak bersedia lagi, maka tanah-tanah tersebut dapat diberikan kepada pihak ketiga lainnya karena dianggap telah menjadi/dikuasai langsung oleh negara. Terhadap pengambilan tanah-tanah yang tercatat dengan hak-hak barat (hak eigendom, opstal, erfacht) yang diambil dengan pembayaran ganti rugi oleh pemerintah maka sebelum/selama tidak pernah balik nama (masih tetap nama semula) dari hak-hak barat tersebut maka tanah-tanah tersebut tidak dapat menjadi tanah negara. Bila sebelumnya telah ada pelaksanaan balik nama, maka barulah tanah menjadi tanah milik negara. Dalam hal tanah telah dipergunakan bagi kepentingan umum maka tidak ada keharusan untuk mengembalikan tanah-tanah tersebut kepada pemiliknya semula.


(26)

Disamping itu juga, pendudukan tanah secara liar dapat kita membatasi diri hanya yang berhubungan dengan Undang-undang No. 51/1960 Junto No. 1/1961 L. N. No. 3 tahun 1961 yaitu larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya.

Dalam Undang-undang Pokok Agraria/1960 masalah ini dibatasi hanya kepada urgensi dari Undang-undang Pokok Agraria saja sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 24 Undang-undang Pokok Agraria yang dihubungkan pula pada Pasal 27, 34, 40 Undang-undang Pokok Agraria. Yang menjadi pertimbangan dikeluarkannya undang No. 51 PP tahun 1960 ini antara lain adalah rangkaian dari Undang-undang No. 8 Darurat tahun 1954 yaitu tentang pemakaian tanah perkebunan oleh rakyat, yang disusul dengan Perpu No. 011 tahun 1958 yang dikeluarkan oleh Kepala Staf Angkatan Darat selaku Penguasa Perang Pusat tentang larangan pemakaian tanah tanpa izin pemiliknya atau kuasanya.

Oleh Undang-undang Darurat No. 8 tahun 1954 penggarap-penggarap tersebut dibagi atas 2 bagian :

1. Kelompok penggarap yang dilindungi (penggarap yang telah ada dan benar-benar

dipergunakan sebelum keluarnya Undang-undang Darurat No. 8/1954).

2. Kelompok yang tidak dilindungi UU (penggarap-penggarap liar setelah keluarnya

Undang-undang Darurat No. 8/1954).

Dimana pemerintah menyadari bahwa masalah tanah garapan ini tidak akan terselesaikan dengan pemecahan soal tanah perkebunan itu saja walaupun diakui pemakaian tanah secara liar tidak beraturan dapat menimbulkan bencana alam seperti


(27)

erosi dan lainnya serta saling rebutan yang menimbulkan korban/bentrokan antar golongan.

Akan tetapi, pemerintah menaruh perhatian akan kebutuhan penduduk pada perumahan, cocok tanam dan lain-lain yang dipertimbangkan untuk pembangunan negara, penggunaan tanah haruslah dilakukan secara teratur. Pemakaian tanah secara tidak teratur terlebih-lebih melanggar norma-norma hukum jalan menghambat rencana pembangunan diberbagai lapangan. Pemerintah menyadari lagi bahwa pemecahan masalah pemakaian tanah secara tidak sah memerlukan tindakan dalam lapangan yang lebih luas yang bermacam-macam aspek yang tidak saja terbatas pada bidang agraria dan pidana melainkan juga mengenai lapangan sosial, perindustrian, transmigrasi dan lain-lainnya, namun demikian pemerintah perlu mengambil tindakan tegas/keras untuk mencegah meluasnya pembuatan yang jelas-jelas melanggar hukum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 Undang-undang No. 51 Prp. Tahun 1960 yaitu penguasa daerah dapat mengambil tindakan untuk menyelesaikan pemakaian tanah yang bukan perkebunan dan bukan hutan tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah. Tindakan pemerintah juga tidak selamanya dilakukan dengan penentuan pidana seperti hal dalam masalah perkebunan. Dalam Pasal 5 Undang-undang No. 51 PP tahun 1960 disebutkan bahwa Pemakaian tanah-tanah perkebunan dan hutan yang menurut Undang-undang Darurat No. 8/1954 harus diselesaikan menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Agraria dengan memperlihatkan rakyat pemakai tanah yang bersangkutan, kepentingan penduduk lainnya di daerah tempat letaknya perkebunan, luas yang diperlukan untuk usaha perkebunan dan lain-lainnya.


(28)

Tegasnya tahap pertama harus mengadakan musyawarah dengan pihak yang bersangkutan.

Dalam menempuh prosedur musyawarah inilah kadang-kadang membawa kepada hal-hal yang diluar jangkauan musyawarah sehingga sampai kepada batas-batas harus diambil suatu tindakan-tindakan yang tegas untuk pengosongan tanah garapan tersebut. Hal ini juga dijelaskan dalam Pasal 27, 34, dan 40 Undang-undang Pokok Agraria yaitu Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha hapus jika tanahnya diterlantarkan.

Dari areal seluas 175.366,65 Ha yang diusahai secara juridis oleh PTPN-IV

terdapat permasalahan dengan masyarakat seluas 9.311,50 Ha yang terdiri dari :7

a. Sengketa (dikuasai diusahai secara juridis dan de facto) seluas : 3.977,00 Ha

b. Okupasi (dikuasai masyarakat) seluas : 5.334,50 Ha

Dengan demikian bahwa dengan berakhirnya HGU di Sumut, bukan

legitimasi pembagian lahan8 maka masyarakat bebas mengklaim eks HGU itu sebagai

hak rakyat untuk diokupasi.

Akan tetapi, peraturan-peraturan tersebut tidak ada yang bertujuan untuk menyengsarakan rakyat tetapi tetap untuk mengatur dan mensejahterakan rakyat terhadap yang berkaitan dengan hak atas tanah untuk HGU. Oleh karena itu jika ada HGU yang berakhir jangka waktunya, dan kita berkehendak atas eks areal HGU itu, sedang oleh pemerintah tidak diberikan lagi perpanjangan HGU-nya, bukanlah

7

Data dari Progress Report PTP Nusantara IV (Persero), tanggal 01 Juli 2009 8


(29)

diambil alih oleh rakyat begitu saja, tapi sebaliknya harus berdasarkan aturan hukum yang ditetapkan.

Maka setiap HGU yang sudah diatur oleh hukum harus dikembalikan berdasarkan hukum, manakala rakyat berkehendak untuk memperoleh tanah eks HGU haruslah berdasarkan hukum, sehingga masa depan HGU tidak menyengsarakan rakyat kita sendiri hanya karena kehendak jangka pendek dan pengaruh kehendak tertentu lalu atas nama tertentu itu kita dengan tidak disadari telah memberi andil dalam memperlambat perbaikan ekonomi negara yang kondisinya nyaris bangkrut ini.

Menurut aturan yang ada HGU ini diberikan atas tanah yang langsung dikuasai oleh negara, bila sebelumnya ada hak diatasnya maka yang memohon HGU itu haruslah menyelesaikan hak itu terlebih dahulu dengan pemiliknya, sehingga HGU yang dimohon itu dapat diberikan oleh negara. Dengan demikian sebenarnya, tidaklah mungkin di atas tanah HGU ada tanah milik orang lain.

Disamping itu, kita dapat memperhatikan beberapa kasus yang menonjol dalam HGU, yang mana selalu dipertentangkan antara pemegang HGU dengan rakyat, ini tidak lain karena perkembangan jumlah penduduk yang menuntut tanah untuk mendukung kehidupannya semakin lama semakin banyak, sementara rakyat melihat dalam areal HGU merupakan tanah yang bisa digarap, apalagi berdekatan dengan perkampungan penduduk atau pusat kehidupan aktivitas manusia, banyak yang bisa dimanfaatkan seperti pengalaman selama ini.


(30)

Sementara kalaupun terjadi, salah satu sebab hapusnya HGU misalnya jangka waktunya berakhir, maka tidak ada alasan tanah eks HGU menjadi tanah yang dikuasai oleh rakyat. Akan tetapi bila HGU hapus maka tanahnya akan jatuh menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara.

Yang mana kenyataan di masyarakat, bahwa ada rakyat yang mengklaim tanah areal HGU yang dulunya diberikan oleh negara dinyatakan sebagai hak ulayat masyarakat, walaupun bukan atas nama persekutuan hukum, meminta kembali tanah mereka yang dulunya sebagai areal HGU.

Namun ada ketentuan yang tegas menyatakan bahwa tanah yang berakhir HGU-nya jatuh kepada negara bukan dibagikan kepada rakyat, kecuali memang ada “political will” pemerintah untuk membagikan eks tanah HGU tersebut kepada rakyat (dilandreformkan) dan pemberian hak ini oleh negara disebut sebagai suatu “royal grant”.

Walaupun dengan berkembangnya tuntutan masyarakat yang menekan pemerintah untuk membagikan tanah eks perkebunan kepada rakyat, namun ketentuan hukum HGU tidak dapat membenarkan bahwa rakyat bebas mengusahakan eks tanah HGU dengan sekehendak hatinya tanpa mengikuti prosedur hukum.

Jadi dengan demikian berakhirnya tanah HGU yang ada di Sumatera Utara ini, tidak menimbulkan gejolak sosial dan memang benar-benar dalam rangka meningkatan taraf hidup petani, dan bila tanah eks areal HGU diberikan sebagian kepada rakyat, harus dengan ketentuan rakyat yang memperoleh tanah itu haruslah lulus diuji oleh tim khusus, dan pembagian itu mengutamakan petani setempat, bukan


(31)

suku setempat sehingga tanah itu nantinya benar-benar jatuh ke tangan yang membutuhkan.

Namun menurut teori hukum itu adalah merupakan suatu keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan dan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan keputusan-keputusan hukum, yang untuk satu bagian penting

sistem tersebut memperoleh bentuk dalam hukum positif.9 Dilihat dari teori hukum,

maka aturan-aturan hukum dan keputusan yang telah ditetapkan oleh pemerintah belum memenuhi konsepsi aturan-aturan hukum dan keputusan. Sehingga hukum terutama dalam bidang pengaturan pemilikan dan penguasaan tanah dirasakan belum memenuhi tuntutan dari masyarakat yang hidup pada era reformasi ini dengan demikian konsep budaya hukum antara aparatur atau pemerintah dengan masyarakat dalam rangka pengadaan tanah belum mempunyai persepsi yang sama.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana latar belakang timbulnya masalah pertanahan mengenai Okupasi

diatas lahan HGU PTPN-IV tersebut ?

2. Bagaimana penyelesaian masalah pertanahan yang ditempuh oleh PTPN-IV

dalam menghadapi kasus permasalahan tuntutan masyarakat atas areal HGU tersebut ?

9

J. J. H. Bruggink, Arief Sidharta (alih bahasa), Refleksi Tentang Hukum, penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, cet. Kedua, 1999, h. 4.


(32)

3. Bagaimana hasil musyawarah PTPN-IV atas tuntutan masyarakat akan lahan HGU PTPN-IV ?

C. Tujuan Penelitian

Bertitik tolak dari rumusan masalah di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui latar belakang timbulnya masalah pertanahan mengenai

Okupasi diatas lahan HGU PTPN-IV tersebut.

2. Untuk mengetahui penyelesaian masalah pertanahan yang ditempuh oleh

PTPN-IV dalam menghadapi kasus permasalahan tuntutan masyarakat atas areal HGU tersebut.

3. Untuk mengetahui hasil musyawarah PTPN-IV atas tuntutan masyarakat akan

lahan HGU PTPN-IV.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis

Dengan adanya penelitian dapat membantu kita untuk lebih memperhatikan dan berusaha untuk memberikan sumbangan pemikiran sesuai dengan kebenaran dan fakta yang terjadi di lapangan.

2. Secara Praktis

Memberikan informasi dan pendapat juridis kepada berbagai pihak, baik kepada pemerintah khususnya Badan Pertanahan Nasional dan pemerintah propinsi Sumatera Utara dalam menyelesaikan masalah pertanahan akibat adanya tuntutan


(33)

masyarakat atas areal perkebunan khususnya atas areal HGU PT. Perkebunan Nusantara-IV.

E. Keaslian Penelitian

Setelah dilakukan pengamatan terhadap tesis dan hasil penelitian yang ada di perpustakaan Universitas Sumatera Utara, sepanjang yang diketahui belum ada suatu penelitian yang membahas tentang Problematika Okupasi Liar Di Atas Lahan

Perkebunan Di Sumatera Utara : Studi Pada Areal Perkebunan PTPN-IV Medan (Tahun 2000-2009)

Pada tahun 2002, Dayat Limbong, Mahasiswa (S-2) PPS USU melakukan penelitian (tesis) dengan judul “Alas Hak Tanah yang Dikuasai Rakyat Pada Areal PTPN-II di Kabupaten Deli Serdang”, dengan permasalahan :

1. Bagaimanakah alas hak atas tanah yang dimiliki oleh rakyat penggarap atas areal

perkebunan PTPN-II di Kabupaten Deli Serdang

2. Bagaimanakah status/keabsahan alas hak atas tanah yang dimiliki oleh rakyat

penggarap pada areal perkebunan PTPN-II di Kabupaten Deli Serdang

3. Bagaimanakah upaya penanggulangan dalam mengatasi penyelesaian penguasaan

oleh rakyat penggarap atas areal perkebunan PTPN-II di Kabupaten Deli Serdang. Begitu juga tahun 2005, Elfachri Budiman, Mahasiswa (S-2) PPS USU melakukan penelitian (tesis) dengan judul “Tinjauan Hukum Terhadap Pengeluaran Areal HGU dan pelepasan Asset Negara atas Tanah yang Dikuasai oleh PTPN-II”, dengan permasalahan :


(34)

2. Bagaimanakah pelaksanaan pengeluaran areal HGU dan pelepasan asset Negara atas tanah yang dikuasai oleh PTPN-II

3. Apa yang menjadi kendala dalam pengeluaran areal HGU dan pelepasan asset

Negara yang dikuasai oleh PTPN-II.

Begitu juga pula tahun 2003, Abdul Rahim, Mahasiswa (S-2) PPS USU melakukan penelitian (tesis) dengan judul “Pola Penyelesaian Masalah Pertanahan Pada Areal Perkebunan Di Sumatera Utara”, dengan permasalahan :

1. Bagaimana pola penyelesaian masalah pertanahan pada areal perkebunan yang

ditempuh oleh pemerintah

2. Bagaimana hasil yang diperoleh dalam penyelesaian masalah pertanahan pada

areal perkebunan

3. Bagaimana agar penyelesaian masalah pertanahan pada areal perkebunan dapat

dilaksanakan berdasarkan hukum dalam rangka kepastian hukum.

Kemudian juga tahun 2004, Rahmanuddin Rangkuti, Mahasiswa (S-2) PPS USU melakukan penelitian (tesis) dengan judul “Pergeseran Pola Penguasaan Tanah Di Kecamatan Kuala Kabupaten Langkat”, dengan permasalahan :

1. Bagaimana kondisi pergeseran pola penguasaan tanah di Kecamatan Kuala dalam

kaitannya dengan pelaksanaan amanah UUPA

2. Apa saja faktor-faktor penghambat penguasaan tanah di Kecamatan Kuala agar

pelaksanaannya sesuai amanah UUPA

3. Upaya apa yang dapat dilakukan agar penguasaan tanah tersebut sesuai amanah


(35)

Demikian juga tahun 2003, Syafruddin Kalo, Mahasiswa (S-3) PPS USU Program Studi Ilmu Hukum melakukan penelitian (Disertasi) dengan judul “Studi Mengenai Sengketa Pertanahan antara Masyarakat versus PTPN-II dan PTPN-III di Sumatera Utara”, dengan permasalahan :

1. Mengapa terjadi sengketa penguasaan lahan antara masyarakat dan perkebunan di

PTPN-II dan PTPN-III

2. Mengapa sengketa yang terjadi atas penguasaan lahan antara masyarakat dan

perkebunan sulit diatasi dan selalu terulang lagi

3. Bagaimana kedudukan hak ulayat di Sumatera Utara dalam kasus pertanahan

antara masyarakat dan perkebunan dikaitkan dengan UUPA No. 5 tahun 1960

4. Bagaimana seharusnya penyelesaian sengketa tanah di perkebunan-perkebunan

Sumatera Utara dilakukan.

Sementara penelitian ini ditekankan pada Problematika Okupasi Liar Di Atas Lahan Perkebunan Di Sumatera Utara khususnya yang terjadi pada areal Hak Guna Usaha PT. Perkebunan Nusantara-IV Medan, beserta hasilnya dan menawarkan jalan keluar penyelesaian dari permasalahan pertanahan yang terjadi pada areal perkebunan tersebut. Dengan demikian penelitian ini benar-benar asli dan bukan hasil ciplakan dari penulisan atau penelitian orang lain.


(36)

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik

atau proses tertentu terjadi,10 dan satu teori harus diuji dengan menghadapnya pada

fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.11 Kerangka teori adalah

kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau

permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.12

Teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam tesis ini, sebagaimana yang dikemukakan Effendi Perangin, bahwa hukum tanah adalah sebagai keseluruhan peraturan-peraturan hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah yang merupakan lembaga-lembaga hukum dan

hubungan hukum yang konkret.13

Berdasarkan pengertian di atas, kerangka hukum tanah kemudian dirasakan tepat untuk mendefenisikan dan menguraikan peraturan hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah (areal HGU) antara pihak-hak masyarakat dengan pihak-hak perkebunan PTPN-IV tersebut.

Salah satu pranata hukum yang termasuk dalam kerangka hukum tanah, adalah yang sebagaimana telah dikemukakan bahwa kasus permasalahan tuntutan

10

J. J. J. M. Wuisman, dalam M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, FE-UI, Jakarta, 1996, h. 203.

11

Ibid., h. 3. 12

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994, h. 27. 13

Effendi Perangin, Hukum Agraria di Indonesia Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, Rajawali, Jakarta, 1989, h. 195.


(37)

masyarakat atas areal HGU tersebut tidak terlepas dari konteks kebijakan pemerintah (orde baru, pada saat itu). Dimana struktur hukum pertanahan itu diatur dalam Undang-undang Pokok Agraria (UUPA 5/1960) yang awalnya merupakan payung hukum bagi kebijakan pertanahan di Indonesia menjadi tidak berfungsi dan bahkan secara substansial terdapat pertentangan. Namun menurut Maria S. W. Sumardjono,

secara garis besar peta permasalahan tanah dapat dikelompokkan menjadi 5 :14

1. Masalah penggarapan rakyat atas tanah areal HGU pada areal Perkebunan

PTPN-IV

2. Masalah yang berkenaan dengan pelanggaran ketentuan tentang landreform

3. Ekses-ekses dalam penyediaan tanah untuk keperluan pembangunan

4. Sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah

5. Masalah yang berkenaan dengan hak ulayat masyarakat hukum adat

Namun di dalam UUPA No. 5 Tahun 1960 yang tersebut di atas adalah sebagai bentuk UU baru tentang ketentuan pokok agraria yang dikenal dengan UUPA, berlaku sebagai induk dari segenap peraturan pertanahan di Indonesia. UUPA ini mengandung asas (prinsip) bahwa semua hak atas tanah dikuasai oleh negara, dan asas bahwa hak milik atas tanah “dapat dicabut untuk kepentingan umum”. Kedua prinsip tersebut dengan tegas telah dituangkan dalam Pasal 2 dan Pasal 18 UUPA.

14

Maria. S. W. Sumardjono ,Sengketa Pertanahan dan Penyelesaian Secara Hukum, disampaikan pada Seminar Penyelesaian Konflik Pertanahan, diselenggarakan oleh Sigma Conferences, 26 Maret 1996 di Jakarta.


(38)

Berdasarkan Pasal 2 UUPA ini negara menjadi pengganti semua pihak yang mengaku sebagai penguasa tanah yang sah. Negara dalam hal ini merupakan lembaga hukum sebagai organisasi seluruh rakyat Indonesia. Pemerintah sebagai lembaga pelaksana UU negara dalam proses ini bertindak sebagai pihak yang melaksanakan dan menerapkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 2 UUPA tersebut.

Adapun kekuasaan negara yang dimaksud itu mengenai semua bumi, air dan ruang angkasa, baik sudah yang dimiliki dengan hak seseorang maupun tidak. Kekuasaan negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan suatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai seberapa negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyai untuk menggunakan haknya, sampai disitulah batas

kekuasaan negara.15

Dengan demikian pemerintah menjadi pihak yang wajib dan berwenang mengatasi dan menengahi sengketa hak penguasaan atas tanah yang muncul sekaligus menjadi fasilitator bagi pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa.

Berbagai kasus sering terjadi dalam masyarakat dengan berbagai masalah, diantaranya yang paling menonjol adalah persoalan sengketa pertanahan antara masyarakat versus perkebunan yaitu tentang penggarapan baik yang mempunyai izin maupun penggarapan secara liar oleh masyarakat. Disamping itu penggusuran masyarakat di atas tanah sengketa baik oleh pemerintah maupun oleh pihak perkebunan baik secara paksa maupun ganti rugi tetapi bentuk dan besarnya ganti rugi yang diberikan oleh perkebunan kepada rakyat dinilai tidak layak. Bahkan proses

15


(39)

ini banyak yang menjadikan rakyat lebih miskin dari sebelumnya, karena uang ganti rugi itu tidak cukup untuk membeli lahan baru atau untuk mencari nafkah sesuai dengan keadaan semula. Dengan demikian dari sudut ekonomi tindakan tersebut sangat merugikan bagi rakyat. Rakyat terpaksa menyingkir dari lahan yang telah dibebaskan untuk kepentingan tanaman perkebunan dan harus mencari lahan baru yang tidak sesuai dengan tuntutan penanaman tanaman pangan mereka.

Konflik terjadi sejak dari konsesi perkebunan yang diberikan oleh kesultanan/swapraja dan pemerintah kolonial pada perusahaan perkebunan. Tanah konsesi tersebut pada dasarnya menyangkut hak ulayat masyarakat. Pemberian konsesi kepada pengusaha perkebunan telah terjadi pada masa kesultanan dan masa kolonial ini berlanjut dengan modifikasi hak konsesi menjadi hak erfacht. Kondisi demikian diteruskan pula pada masa kemerdekaan, di mana tanah konsesi maupun hak erfacht yang diberikan pada perkebunan yang berakhir masa berlakunya dimodifikasi menjadi HGU. Dalam tiga periode tersebut sengketa pertanahan masih berlangsung diantara pihak pengusaha perkebunan dengan masyarakat penunggu maupun masyarakat penggarap.

Pola sengketa berkisar antara rakyat dan pemerintah atau rakyat dan perkebunan (yang didukung oleh orang-orang pemerintah) mengenai penguasaan atas tanah antara rakyat dengan pihak perkebunan serta kehutanan mengenai tanah garapan antara rakyat dengan rakyat itu sendiri mengenai masalah kepemilikan, penggarapan, warisan dan sewa menyewa. Sengketa tersebut diantaranya karena


(40)

manipulasi pejabat atau perantara-perantara yang menjadi kaki-tangan perusahaan perkebunan sejak zaman kolonial.

Dalam praktek, penyelesaian masalah perkebunan itu ada yang diupayakan dengan pemberian ganti rugi lahan oleh pihak perkebunan pada petani penggarap, rakyat penunggu, maupun penggarap liar. Oleh pihak pemerintah ditempuh penyelesaian dengan jalan melepaskan hak atas tanah atau membebaskan areal perkebunan yang telah dikuasai penggarap dengan mengeluarkannya dari HGU atau terhadap HGU yang telah habis masa waktunya tidak diberikan perpanjangan lagi, kemudian lahan tersebut dibagi-bagikan oleh panitia kepada masyarakat penggarap. Namun hal ini, tidak membawa hasil yang memuaskan bahkan sengketa tanah antara pihak perkebunan versus rakyat penggarap terus berlanjut sampai saat ini.

Khususnya di Sumatera Utara, berdasarkan pemantauan, yang paling besar presentasinya adalah sengketa masalah tanah. Tuntutan ini demikian derasnya di wilayah Sumatera Utara, terutama di sektor perkebunan, lahan perkebunan menjadi tumpuan penjarahan dan pendudukan dari para penggarap yang mengaku dirinya petani.

Disamping itu juga, penguasaan tanah dilakukan oleh rakyat tanpa alas hak yang sah dan dokumen kepemilikan tanah yang tidak lengkap. Maka dalam posisi yang demikian pemerintah dihadapkan pada suatu keadaan yang dilematis. Keadaan ini dapat melemahkan posisi pihak perkebunan yang membutuhkan tanah dan berpotensi menimbulkan masalah, yaitu rakyat tidak memiliki bukti yang lengkap dan cukup atas tanah yang dimilikinya. Hal ini terutama terjadi pada tanah-tanah yang


(41)

belum bersertifikat, yang disebabkan oleh pandangan adat yang masih melekat pada rakyat bahwa tanah merupakan hak milik komunal (hak ulayat), sehingga mereka menganggap hak penguasaan otomatis melekat pada hak penghunian atas tanah tersebut secara turun-temurun.

Pengaturan hak-hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah dibagi menjadi dua (2) yaitu :

1. Hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum

hak penguasaan atas tanah ini belum dihubungkan dengan tanah dan orang atau badan hukum tertentu sebagai pemegang haknya. Ketentuan-ketentuan dalam hak penguasaan atas tanah, adalah sebagai berikut :

a. Memberi nama pada hak penguasaan yang bersangkutan;

b. Menetapkan isinya, yaitu mengatur apa saja yang boleh, wajib, dan dilarang

untuk diperbuat oleh pemegang haknya serta jangka waktu penguasaannya;

c. Mengatur hal-hal mengenai subjeknya, siapa yang boleh menjadi pemegang

haknya, dan syarat-syarat bagi penguasaannya;

d. Mengatur hal-hal mengenai tanahnya.

2. Hak penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum yang konkrit.

Hak penguasaaan atas tanah ini sudah dihubungkan dengan tanah tertentu sebagai objeknya dan orang atau badan hukum tertentu sebagai subjek atau pemegang haknya.


(42)

Ketentuan-ketentuan dalam hak penguasaan atas tanah adalah sebagai berikut :

a. Mengatur hal-hal mengenai penciptaanya menjadi suatu hubungan hukum yang

konkrit, dengan nama atau sebutan hak penguasaaan atas tanah tertentu;

b. Mengatur hal-hal mengenai pembebanannya dengan hak-hak lain;

c. Mengatur hal-hal mengenai pemindahannya pada pihak lain;

d. Mengatur hal-hal mengenai hapusnya;

e. Mengatur hal-hal mengenai pembuktiannya.16

Namun, keadaan itu bukannya tidak diketahui oleh pihak yang memerlukan tanah dalam hal ini perkebunan, tetapi dengan berbagai alasan untuk melaksanakan usaha yang telah direncanakan tetap dilakukan penguasaan lahan. Akibatnya sulit bagi pihak yang membutuhkan tanah untuk menentukan tentang keabsahan pemegang hak penguasaan lahan yang diakui oleh rakyat.

Dimana konflik ini juga terjadi antara pemerintah dengan rakyat atau antara rakyat dengan pihak perkebunan yang membutuhkan tanah, karena kurangnya koordinasi antar instansi yang terkait di bidang pertanahan, misalnya : sebagai contoh dapat kita ajukan Undang-undang Darurat Nomor 8 Tahun 1954 yang mengatur

tentang penyelesaian soal pemakaian tanah perkebunan oleh rakyat,17

Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1956 tentang perubahan dan tambahan atas perubahan Undang-undang Darurat Nomor 8 Tahun 1954 mengenai penyelesaian soal

16

Boedi Harsono (I), Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2003, h. 8.

17

Undang-undang Darurat Nomor 8 Tahun 1954 Tentang Penyelesaian Soal Pemakaian Tanah Perkebunan Oleh Rakyat.


(43)

pemakaian tanah perkebunan oleh rakyat,18 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1956

tentang pengawasan terhadap pemindahan hak atas tanah-tanah perkebunan,19

Undang-undang Nomor 29 Tahun 1956 tentang peraturan-peraturan dan

tindakan-tindakan mengenai tanah-tanah perkebunan,20 Undang-undang Nomor 76 Tahun

1957 tentang perubahan Undang-undang Nomor 24 Tahun 1954 dan Undang-undang

Nomor 28 Tahun 1956,21 Undang-undang Nomor 51 Prp Tahun 1960 tentang

Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak atau Kuasanya,22 dan

Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang pencabutan hak-hak atas tanah dan

benda-benda yang terletak di atasnya,23 dll.

Disamping itu, pemerintah mengeluarkan Undang-undang dan membuat aturan mengenai Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau

Kuasanya.24 Dan peraturan lain sebagai peraturan pelaksanaan. Untuk menertibkan

penggarap di areal perkebunan dan atau menentukan batas-batas tertentu yang merupakan hak perkebunan. Tetapi apabila rekayasa sosial itu terlalu dipaksakan maka akan terkesan sistem hukum itu terus-menerus memperbaharui dan

18

Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1956 Tentang Perubahan dan Tambahan Atas Perubahan Undang-undang Darurat Nomor 8 Tahun 1954 Mengenai Penyelesaian Soal Pemakaian Tanah Perkebunan Oleh Rakyat.

19

Undang-undang Nomor 28 Tahun 1956 Tentang Pengawasan Terhadap Pemindahan Hak Atas Tanah-tanah Perkebunan.

20

Undang-undang Nomor 29 Tahun 1956 Tentang Peraturan-peraturan dan Tindakan-tindakan Mengenai Tanah-tanah Perkebunan.

21

Undang-undang Nomor 76 Tahun 1957 Tentang Perubahan Undang-undang Nomor 24 Tahun 1954 dan Undang-undang Nomor 28 Tahun 1956.

22

Undang-undang Nomor 51 Prp Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin Yang Berhak atau Kuasanya.

23

Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Benda-benda Yang Terletak Di Atasnya.

24


(44)

memperbaiki. Sering sekali alokasi hukum berjalan sangat berlawanan, selain merubah sesuatu, alokasi hukum bertindak sedemikian rupa menjaga atau berupaya menjaga status quo agar tetap utuh. Jika para penggarap tanah di areal hukum, pada saat yang sama berarti melindungi pihak perkebunan dengan demikian pemerintah memelihara struktur ekonomi dan sosial masyarakat. Ini memberi kesan bahwa hukum cenderung mendukung hak dan kepentingan pihak perkebunan, melawan hak dan kepentingan masyarakat penggarap petani miskin yang lemah.

Sejalan dengan pendapat Lawrence Friedman tersebut yang mengatakan bahwa segala aturan mengenai larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak, seyogyanya dapat merubah perilaku masyarakat untuk tidak melakukan perbuatan

melanggar hukum, dalam hal menggarap tanah perkebunan.25 Dengan demikian, jika

dianalisa dalam praktek pelaksanaannya, dapat dikatakan bahwa hukum yang telah ada itu merupakan peraturan yang tidak dapat diterapkan, atau merupakan dead letter (aturan yang tidak diterapkan lagi, tetapi belum dicabut). Sementara dikalangan masyarakat, ada aturan berupa hukum yang hidup (living law) dalam sistem hukum yang hidup seperti misalnya hukum adat.

Ketidakefektifan undang-undang larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya, menimbulkan perbuatan okupansi ilegal terhadap di areal tanah perkebunan. Menurut Friedman, bahwa ilegalitas cenderung mempengaruhi waktu, sikap dan kuantitas ketidakpatuhan, jadi undang-undang mempunyai efek riil pada

25


(45)

perilaku termasuk perilaku pelanggar.26 Faktor yang mempengaruhi perilaku hukum

adalah komunikasi hukum dan pengetahuan hukum.27 Oleh karena itu aturan harus

dikomunikasikan dan seseorang harus mengetahui tentang isi aturan itu. Dalam hal ini di setiap peraturan perlu dikomunikasikan dan disosialisasikan pada masyarakat.

Sehubungan dengan itu, dapat dianalisa bahwa berbagai peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan untuk mencegah terjadinya konflik dan sengketa, serta melarang pemakaian tanah tanpa izin dari yang berhak, dan adanya polisi serta hakim yang berusaha menegakkannya adalah merupakan contoh kontrol sosial dari pemerintah untuk menyelesaikan sengketa pertanahan di Sumatera Utara.

Dalam larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak, masyarakat penunggu dan petani penggarap dilarang untuk menggarap tanah di areal perkebunan. Aturan ini merupakan aturan yang sah. Namun hukum yang hidup dalam masyarakat, membenarkan mereka untuk menggarap tanah di areal perkebunan, berdasarkan ketentuan hukum adat mereka, yang memberikan kewenangan bagi mereka untuk memungut hasil hutan dan bercocok tanam di daerah persekutuan hukum, yang dikenal dengan hak ulayat.

Berdasarkan pendapat Lawrence Friedman tersebut, maka konteksnya dengan konflik dan sengketa pertanahan di areal perkebunan, dengan peristiwa penggarapan tanah yang dilakukan oleh rakyat penunggu dan petani penggarap, menimbulkan interaksi tertentu diantara berbagai sistem hukum, tidak hanya undang-undang,

26

Ibid., h. 10. 27


(46)

peraturan, dan lembaga-lembaga yang termasuk dalam struktur hukum, tetapi yang terpenting adalah mengenai perilaku dan budaya hukum dari masyarakat. Apakah itu perilaku pengusaha-pengusaha perkebunan, dan masyarakat itu sendiri terhadap

hukum dan sistem hukum yang ada.28

Namun keberadaan dari semua peraturan tersebut di atas, ternyata tidak dapat meredam terjadinya kasus pertanahan yang menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat. Dalam realita banyak terjadi konflik antara pemerintah dan rakyat atau antara rakyat dengan pihak badan usaha perkebunan yang masing-masing pihak membutuhkan tanah. Sengketa pertanahan ini kita jumpai hampir pada setiap daerah perkebunan yang ada di Indonesia.

Dengan adanya berbagai peraturan dan kebijakan mengenai tanah yang telah dikemukakan di atas, seharusnya dapat dijadikan patokan dalam dua hal yaitu: di satu pihak peraturan itu merupakan landasan bagi pihak pemerintah untuk membuat larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak, sedangkan di lain pihak ia merupakan suatu jaminan hukum bagi rakyat agar tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh pemerintah atau penguasa. Tetapi ternyata keberadaan peraturan itu tidak dapat menjamin adanya perlindungan bagi rakyat dari tindakan sewenang-wenang oleh pihak pemerintah.

Yang mana masalah mengenai penggarapan rakyat atas tanah-tanah bekas perkebunan, tanah kehutanan, dan lain-lain, yang meliputi : status tanah yang digarap,

28


(47)

penguasaan de facto oleh rakyat, dan prinsip-prinsip penyelesaian sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Namun menurut Undang-undang Pokok Agraria (Undang-undang Nomor 5 tahun 1960) tidak mengatur adanya tanah garapan ini, karena tanah garapan bukanlah status hak atas tanah. Dalam peraturan perundang-undangan terdapat istilah hukum untuk tanah garapan ini yaitu : pemakaian tanah tanpa ijin pemilik atau kuasanya dan pendudukan tanah tidak sah (onwettige occupatie), sedangkan jenis tanah garapan dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) yaitu :

a.Tanah garapan di atas tanah yang langsung dikuasai oleh negara (vrij landsdomein),

b.Tanah garapan di atas tanah instansi atau badan hukum milik pemerintah c.Tanah garapan di atas tanah perorangan atau badan hukum swasta.

Disamping itu juga, dari uraian tersebut di atas adapun faktor penyebab terjadinya masalah pertanahan sebagai berikut ;

Menurut pandangan Lutfi I Nasution juga menjelaskan bahwa konflik pertanahan yang semula disebabkan adanya benturan kepentingan berkembang antara lain berkaitan dengan :

1. nilai-nilai budaya;

2. adanya perbedaan penafsiran yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan UUPA yang merupakan ketentuan dasar pertanahan yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia;


(48)

3. adanya penyimpangan dalam implementasi peraturan pelaksanaan UUPA.29 Khusus masalah pertanahan pada areal perkebunan, hasil penelitian menunjukan bahwa faktor penyebab terjadinya sengketa pertanahan tidak dapat dilepaskan dari latar belakang historis itu maksudnya bahwa PTP pada waktu mengelola lahan HGU mengambil lahan garapan secara paksa (intimidasi) menurut pengakuan masyarakat, adanya konflik kepentingan antara perusahaan perkebunan, masyarakat dan Pemerintah, tidak efektifnya hukum yang berlaku dan penyelesaian konflik selaku dilakukan dengan pendekatan politik dan keamanan.

Akan tetapi dengan adanya teori dan konsep penguasaan tanah, serta larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya. Berlaku di Indonesia baik secara yuridis mapun hukum yang hidup dalam masyarakat (living law), berakibat cenderung menimbulkan konflik pertanahan dalam masyarakat, bahkan konflik tersebut cenderung sulit untuk diselesaikan. Kesulitan dalam penyelesaian konflik sengketa atas tanah ini sangat rumit. Dalam hal ini penulis menggunakan teori Kelsen tentang hubungan antara aturan hukum dan peran. Ada lima alasan yang menyebabkan kesulitan dalam penyelesaian konflik:

1. Hukum mencakup aturan universal saja dan sistem hukum masih agak kabur dari

pengertian masyarakat sendiri.

2. Model ini hanya bermaksud mengungkapkan hukum yang diberikan oleh pembuat

UU kepada pemegang peran atas pelanggaran yang terkena sanksi.

29

Lutfi I Nasution, Dalam Buku Menuju Keadilan Agraria 70 Tahun Gunawan Wiradi, (Bandung : Akatiga, 2002), h. 216.


(49)

3. UU yang disahkan berubah sejak saat pengundangannya baik melalui amandemen formal maupun karena kepentingan birokrasi.

4. UU tidak dibuat oleh seorang penyusun UU namun berasal dari proses pembuatan

hukum yang melibatkan banyak peran dalam hubungan yang kompleks.

5. langkah-langkah untuk mencapai musyawarah bisa langsung ditujukan pada

pemegang peran dengan merubah batasan dan sumber daya lingkungan atau

persepsi pemegang peran tersebut, sehingga sanksi menjadi terlalu terbatas.30

Dengan melihat uraian tersebut, bisa ditarik kesimpulan bahwa ada tiga jalur utama bagi penyelesaian konflik sengketa yang dilandasi dengan budaya hukum : musyawarah, penerapan sanksi dan proses pengadilan. Pengertian musyawarah harus dipisahkan dengan pengertian dari mufakat. Musyawarah menunjuk kepada pembentukan kehendak bersama dalam urusan mengenai kepentingan hidup bersama, dalam masyarakat yang bersangkutan sebagai keseluruhan, sedangkan mufakat menunjuk kepada pembentukan kehendak bersama antara dua orang atau lebih, dimana masing-masing berpangkal dari perhitungan untuk melindungi kepentingan

masing-masing sejauh mungkin.31 Dan di dalam permasalahan kasus tuntutan

masyarakat atas areal HGU tersebut pada areal perkebunan PTPN-IV yang dilakukan

dengan asas musyawarah untuk mufakat32 Dimana dalam pelaksanaan pembangunan

nasional yang sedang kita jalankan, kesadaran dan kerjasama yang baik, yang

30

Robert B. Seldman, The State, Law and Development, (New York: St. Martin’s Press, 1978), h. 74-75.

31

Ibid., h. 76. 32


(50)

mewujudkan dengan asas musyawarah dan mufakat dalam setiap mengambil keputusan adalah suatu yang diperlukan. Sebab pembangunan nasional hanya dapat terlaksana dengan baik dan membawa manfaat yang baik. Yang mana tanpa membawa adanya suatu sikap/kondisi dan persepsi yang sama dalam memahami hakikat dan tujuan pembangunan, maka pembangunan tersebut akan sulit mencapai sasaran utamanya.

Penyelesaian sengketa pertanahan dalam areal konsesi perkebunan, yang dilakukan oleh tiga orang penengah, pada dasarnya cukup ideal, jika dibandingkan dengan penyelesaian melalui proses yudisial atau pengadilan secara legitasi. Proses legitasi baru dipergunakan apabila telah dilakukan penyelesaian melalui tiga orang penengah, atau sudah diupayakan negoisasi tetapi gagal, dan para pihak yang bersengketa telah mengabaikan atau menolak negoisasi, maka proses penyelesaian melalui pengadilan adalah jalan yang harus ditempuh, meskipun demikian, tetap ada kemungkinan untuk mengadakan perdamaian, sebelum maupun sesudah adanya keputusan hakim (vonis).

Negoisasi dalam penyelesaian sengketa pertanahan di Sumatera Utara, berdasarkan penelitian dari kasus-kasus yang ada dapat disimpulkan, bahwa salah satu pihak menganggap, bahwa mereka mempunyai hak yang sah terhadap tanah sengketa, misalnya pihak pengusaha perkebunan menganggap bahwa mereka mempunyai hak yang sah berupa HGU di atas tanah perkebunan. Sedangkan pihak masyarakat menganggap bahwa mereka juga mempunyai hak yang sah terhadap tanah sengketa, berdasarkan hak ulayat mereka. Karena itu ada pemikiran bagi para


(51)

pihak untuk membawa penyelesaian sengketa melalui pengadilan, dengan harapan bahwa mereka akan mendapatkan hasil yang lebih baik melalui proses pengadilan, daripada negoisasi ataupun musyawarah.

Mengajukan suatu penyelesaian sengketa pertanahan melalui proses pengadilan, adalah awal suatu proses pengalihan sengketa aktual, ke dalam suatu

kontes perlawanan yang dapat diselesaikan melalui sistem hukum.33 Hal ini berarti

proses pengadilan (legitasi), secara formal melakukan legalisasi sengketa, dengan pengertian membuat kerangka konsep, bukti dan argumentasi legal, yang dapat diproses oleh sistem hukum, melalui struktur dan substansi hukum, dalam sistem hukum tersebut.

Jika proses ini dilakukan dalam upaya penyelesaian sengketa pertanahan di Sumatera Utara, maka secara yuridis formal, posisi pihak perkebunan lebih kuat, daripada posisi pihak petani penggarap. Karena secara yuridis formal, pihak perkebunan dapat mengajukan bukti-bukti HGU yang sah. Sedangkan masyarakat hanya mempunyai bukti-bukti berupa hukum yang tidak tertulis (hukum adat). Terlebih lagi, apabila hakim ataupun penegak hukum yang mengadili, hanya berorientasi pada aliran positivisme yang legalistik, yang ditafsirkan sering berdasarkan hukum barat (BW-KUHPerdata), yang pada dasarnya sangat bertentangan dengan sistem hukum adat yang hidup dalam masyarakat.

33

Gary goodpaster, Seri Dasar Hukum Ekonomi 9, Panduan Negoisasi dan Mediasi, ELIPS, Jakarta, 1999, h. 219.


(52)

Dalam penyelesaian sengketa pertanahan melalui pengadilan, seyogyanya hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan

memahami, nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.34 Dalam masyarakat

yang masih mengenal hukum tidak tertulis serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan. Oleh karena itu, hakim merupakan perumus, dan penggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam kalangan rakyat. Khusus mengenai masalah pertanahan di Sumatera Utara sesuai dengan undang-undang tersebut, hakim harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian, hakim baru dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Akan tetapi, dalam hal ini penyelesaian masalah pertanahan yang dilakukan secara politik itu adalah dengan mengakomodir kepentingan di luar kepentingan hukum, dengan maksud penyelesaian masalah pertanahan tersebut dapat menciptakan stabilitas atau sekedar mengurangi benturan kepentingan dalam masyarakat pada masa itu, sehingga masalah pertanahan tersebut tidak dapat diselesaikan secara tuntas, karena tujuan penyelesaian dimaksud bukan dalam rangka kepastian hukum dan

34

Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 Pasal 27 ayat (1) Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman


(53)

menuntaskan permasalahan, tetapi hanya untuk tujuan “aman” di lingkungan

kekuasaannya.35

Yang mana selama ini konflik tanah perkebunan cenderung diselesaikan secara politis tanpa memperhatikan aspek kepastian hukum, misalnya pemberian legalisasi kepada para penggarap yang tidak mampu menyelesaikan persoalan tersebut. Namun kenyataannya, penguasaan tanah (lahan) perkebunan yang dilakukan

oleh masyarakat itu terus-menerus terjadi dengan suatu berbagai alasan tertentu,36

sehingga tidak jarang dengan kebijakan yang diambil oleh pemerintah melalui pendekatan politik dalam menyelesaikan masalah pertanahan justru menjadi pemicu terjadinya masalah pertanahan baru dan keadaan ketidakpastian hukum, selanjutnya dapat berdampak pada terganggunya stabilitas di Daerah bahkan Stabilitas

Nasional,37 juga berdampak pada turunnya minat investor asing menanamkan

modalnya di Indonesia terutama di sektor perkebunan.38

Badan Pertanahan Nasional juga mengakui bahwa permasalahan tanah pada areal perkebunan berupa pendudukan/penggarapan tanah perkebunan oleh rakyat adalah contoh permasalahan tanah yang nyata sekali terlihat bersifat politik dan penyelesaian yang bernuansa politik tersebut menimbulkan kesulitan tersendiri bagi

35

Muhammad Yamin ; Paradigma Reformasi Peraturan Perundang-Undangan Pertanahan/Agraria, Penyelesaian Sengketa Pertanahan Serta Kelembagaan, opini pada harian Analisa Medan, terbitan tanggal 22 Maret 2005, h. 16.

36

Harian Waspada Medan, terbitan tanggal 18 Januari 2005, dengan judul Konflik Tanah Perkebunan Hambat Investasi Sumut, h. 14.

37

Karl. J. Felzer, Sengketa Agraria, Pengusaha Perkebunan Melawan Petani, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1999), h. 107.

38

Harian Sumatera Medan, terbitan tanggal 30 Nopember 2004 dengan judul Penegakan Hukum Lemah, Perkebunan Tidak Berkembang, h. 8.


(54)

pemerintah, yaitu antara penegakan hukum secara konsisten dan memenuhi tuntutan

masyarakat.39

Dimana suatu pola penanganan masalah pertanahan pada areal perkebunan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan pendekatan teknis-administratif atau dengan pendekatan politik termasuk dengan pendekatan historis, dengan cara mengakomodir tuntutan masyarakat yang menggunakan alas hak yang pernah diterbitkan Pemerintah di masa lalu, tanpa melakukan penegakan hukum secara konsekuen. Misalnya terhadap kelompok masyarakat yang memanipulasi dokumen, tidak ada tindakan hukum secara tegas, sehingga hal yang demikian menjadi salah satu faktor terus bergulirnya tuntutan dan penggarapan baru pada areal perkebunan, dan tidak mengherankan apabila masalah tuntutan/garapan rakyat di atas tanah perkebunan terus bertambah.

Dengan terus bergulirnya tuntutan masyarakat pada areal perkebunan dari tahun 1940-an hingga saaat ini dan adanya kebijakan Gubernur Sumatera Utara yang bernuansa politik dalam penyelesaian masalah pertanahan serta adanya upaya pihak-pihak tertentu mengangkat masalah pertanahan menjadi masalah politik, maka adalah menarik untuk dikaji lebih lanjut bagaimana pola penyelesaian masalah pertanahan pada areal perkebunan yang ditempuh oleh Pemerintah, khususnya terhadap masalah pertanahan yang terjadi di atas areal HGU (Hak Guna Usaha) PT. Perkebunan Nusantara-IV.

39

Badan Pertanahan Nasional, Hak-Hak atas Tanah Dalam Hukum Tanah Nasional, Makalah 2002, h. 52-53.


(55)

Dimana pengertian “Pola” dalam hal ini adalah dasar atau sistem yang dipakai

atau cara yang diikuti40 untuk penyelesaian masalah pertanahan tersebut. Pola

penyelesaian masalah pertanahan yang ditempuh oleh Pemerintah Daerah cenderung dengan pendekatan politik disebabkan masyarakat mengajukan tuntutan atau mengadukan masalahnya kepada Pemerintah yang dianggapnya dapat melindungi kepentingannya, disamping itu masyarakat juga kurang percaya dengan lembaga peradilan untuk menyelesaikan secara adil atas masalah yang dihadapinya.

2. Konsepsi

Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang

konkrit, yang disebut dengan operational definition.41 Pentingnya definisi operasional

adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius)

dari suatu istilah yang dipakai.42 Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan

dalam penelitian ini harus didefenisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, sebagai berikut :

40

J. S. Badudu dan Sutan Muhammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2001), h. 1070.

41

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, h. 10.

42

Tan Kamello, Perkembangan Lembaga Jaminan Fidusia : Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi, PPs-USU, Medan, 2002.


(56)

a. Hukum tanah adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum, baik tertulis

maupun tidak tertulis, yang semuanya mempunyai objek pengaturan yang sama yaitu hak-hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga-lembaga hukum dan sebagai hubungan hukum yang konkret, beraspek publik dan privat, yang dapat disusun dan dipelajari secara sistematis, hingga keseluruhannya menjadi satu

kesatuan yang merupakan satu sistem.43

b. Okupasi lahan adalah pemakaian tanah tanpa izin yang menyangkut masalah

kepentingan pihak-pihak bersangkutan dan rencana peruntukan serta penggunaan

tanah bersangkutan.44

c. HGU (Hak Guna Usaha) adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai

langsung oleh negara.45

d. Tanah perkebunan adalah merupakan pemberian wewenang kepada Menteri

Agraria dan Menteri Pertanian untuk mengadakan tindakan-tindakan agar tanah-tanah perkebunan yang mempunyai sangat penting dalam perekonomian negara

diusahakan dengan baik.46

e. Tanah garapan adalah tanah yang dipakai tanpa izin pemilik atau kuasanya dan

pendudukan tanah tidak sah (onwettige occupatie), atau tanah yang mempunyai hubungan hukum dengan penggarapnya berdasarkan surat keputusan (bukan pemberian hak atas tanah), surat izin lain atau surat lain maupun berdasar sesuatu

43

Ibid., h. 11. 44

Ibid., h. 16. 45

Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 Pasal 28 ayat (1) Tentang HGU 46


(57)

suratpun atau juga tanah yang diduduki, dipelihara dan atau dibebaskan dari penggarapnya semula, sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 1 Prp tahun 1960 tanggal 14 Desember 1960 yang mana perlakuan masyarakat yang namanya uu tidak pernah menjadi tolok ukur, sehingga masyarakat menggarap tanah tanpa mempunyai aturan-aturan tertentu. jenis tanah tersebut dapat terbagi atas :

1. tanah garapan di atas tanah yang langsung dikuasai oleh Negara (Vrij landsdomein),

2. tanah garapan di atas tanah instansi atau badan hukum milik pemerintah,

3. tanah garapan di atas tanah perorangan atau badan hukum. 47

f. Tanah Negara adalah tanah yang dibebani oleh suatu hak atas tanah dan yang

secara langsung dikuasai oleh negara.48

g. Hak penguasaan atas tanah adalah serangkaian wewenang, kewajiban, dan atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. Sesuatu yang boleh, wajib, atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriterium atau tolok ukur pembeda

diantara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam hukum tanah.49

h. pencabutan hak atas tanah adalah suatu pelepasan hubungan hukum antara orang

dengan tanah yang dilakukan demi kepentingan umum termasuk kepentingan

47

B. F. Sihombing, implementasi UU No. 51 Prp Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak atau Kuasanya di Wilayah DKI Jakarta, Makalah Pada Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Tarumanegara, Jakarta, 1996/1997.

48

B. F. Sihombing, Op cit., h. 22. 49


(1)

bahwa areal perkebunan tersebut adalah merupakan HGU yang diberikan oleh pemerintah kepada PTPN-IV.

mengajukan gugatan tersebut melalui suatu upaya penyelesaian melalui penyelesaian perdamaian, tetapi kalau tidak terdapat suatu upaya penyelesaian melalui penyelesaian perdamaian maka dilakukan suatu upaya penyelesaian melalui jalur hukum di pengadilan.

3. Hasil penelitian yang telah saya telusuri di daerah kebun Balimbingan dan kebun Bah Jambi tersebut mempunyai problema yang berbeda. Yang pertama di daerah kebun Balimbingan, dimana kebun tersebut sudah terselesaikan melalui penentuan harga Ganti untung tanam tumbuh sedangkan di daerah Bah Jambi masih dalam proses pengadilan yang saat ini masih berjalan.

B. Saran

1. Agar PTPN-IV menyikapi bahwa permasalahan ini dilakukan secara musyawarah dengan masyarakat seperti pemberian ganti untung, apabila musyawarah untuk mufakat tidak tercapai maka pihak PTPN-IV menyarankan agar permasalahan ini diserahkan kepada tim tanah di Kabupaten setempat.

2. Agar pola penyelesaian masalah pertanahan pada areal perkebunan itu dilakukan dengan pendekatan langsung kepada masyarakat secara kekeluargaan.

3. Disarankan majelis hakim dalam pengambilan putusan terhadap permasalahan


(2)

DAFTAR PUSTAKA

F. Buku-buku

Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, Jakarta : Gramedia, 1978.

Anwar Puryadi dan Al-Araf, Perebutan Kuasa Tanah, Yogyakarta : Lappera Pustaka Umum, 2002.

Arto A. Mukti, Mencari Keadilan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004.

Badudu, J. S. dan Sutan Muhammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2001.

Bruggink, J. J. H, Refleksi Tentang Hukum. Terjemahan Arief Sidharta, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, cet. Kedua, 1999.

Felzer Karl. J., Sengketa Agraria, Pengusaha Perkebunan Melawan Petani, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1999.

Friedman Lawrence, American Law, London : W.W. Norton & Company, 1984. Goodpaster Gary, Seri Dasar Hukum Ekonomi 9, Panduan Negoisasi dan Mediasi,

Elips, Jakarta, 1999.

Harahap Yahya, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997.

Harsono (I), Boedi, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2003. K..Nasution H. Chairuddin ; Hukum Agraria (Hak-hak Atas

Tanah/Kehutanan/PIR/Transmigrasi/Dll), Penerbit Alumni, Medan, 1993. Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994. _____________, Pembahasan Undang-Undang Dasar 1945, Bandung : Alumni,

1997.

Mahfud, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Mega Media, Yogyakarta, 1999.


(3)

Murad Rusmadi, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, Bandung : Alumni, 1991.

Nasution, Lutfi I, Dalam Buku Menuju Keadilan Agraria 70 Tahun Gunawan Wiradi, Bandung : Akatiga, 2002.

Parlindungan A.P. ; Kapita Selekta Hukum Agraria, Penerbit Alumni, Bandung, 1981.

Perangin-angin, Effendi,Hukum Agraria di Indonesia Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, Rajawali, Jakarta, 1989.

Purba, Hasim, Sengketa Tanah dan Alternatif Pemecahan, Jilid 1 Cahaya Ilmu, 2006. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

Jakarta : Balai Pustaka, Edisi Ketiga, 2002.

Riduan Syahrani dan Abdurachman, Hukum dan Peradilan, Bandung : Alumni, 1987. Sjahdeini, Sutan Remy, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang

Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993.

Seldman Robert. B, The State, Law, and Development, New York : St. Martin’s Press, 1978.

Soekanto, Soerjono, Beberapa Cara dan mekanisme Dalam Penyuluhan Hukum, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1986.

Solichin Abdul Wahab dan Carl Fredrich, Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, Jakarta : Bumi Aksara, Edisi Kedua, 2004.

Soemitro, Ronny Hanitijo, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1990.

Sri Mamudji dan Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif suatu Tinjauan Singkat, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995.

Sulistiyono Adi, Mengembangkan Paradigma Non-Litigasi di Indonesia, Surakarta : Sebelas Maret University Press, 2006.


(4)

Usman Rachmadi, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003.

Wahab, Amiruddin A., dkk., “Pengantar Hukum Indonesia”, Bahan Ajar Untuk Kalangan Sendiri, (Banda Aceh, FH-Unsyiah, 2007), hal. 73, menyatakan : sumber hukum adalah segala sesuatu yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat mengikat, memaksa, yaitu apabila dilanggar akan mengakibatkan timbulnya sanksi yang tegas dan nyata.

Wuisman, J. J. J. M, dalam M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, FE-UI, Jakarta, 1996.

Makalah-makalah, Seminar, Artikel-artikel, Disertasi, Surat Kabar, Dan lain-lain

Anshari Jamil, Mengungkap Permasalahan Pertanahan di Propinsi Sumatera Utara, Makalah Pada Kuliah Bedah Kasus Hukum Pada Fakultas Hukum UNPAB Medan, 27 Juni 2003.

Badan Pertanahan Nasional, Hak-Hak atas Tanah Dalam Hukum Tanah Nasional, Makalah 2002.

_______________________, Masalah Pertanahan dan Program Penyelesaiannya, Makalah Disampaikan Pada Rapat Terbatas di Istana Negara, Tanggal 26 Mei 2003.

Harsono Boedi, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Yogyakarta : Makalah Seminar Nasional Pertanahan, 2002.

Harian Sumatera Medan, terbitan tanggal 30 Nopember 2004 dengan judul “Penegakan Hukum Lemah, Perkebunan Tidak Berkembang.

Harian Waspada Medan, terbitan tanggal 18 Januari 2005, dengan judul “Konflik Tanah Perkebunan Hambat Investasi Sumut”.

Kamelo, Tan, “Perkembangan Lembaga Jaminan Fidusia : Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara”, Disertasi, PPs-USU, Medan, 2002.

Pendastaren Tarigan dan Faisal Akbar, Keadilan dan Legalisasi, Makalah, 2003, tanpa penerbit.


(5)

Sihombing, B. F, “Implementasi UU No. 51 Prp. Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin Yang Berhak atau Kuasanya di Wilayah DKI Jakarta”, Makalah Pada Program Pasca sarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Tarumanagara, Jakarta, 1996/1997.

Sumardjono, S. W. Maria; Sengketa Pertanahan dan Penyelesaian Secara Hukum”, Disampaikan pada Seminar Penyelesaian Konflik Pertanahan, Diselenggarakan oleh Sigma Conferences, 26 Maret 1996 di Jakarta.

Yamin, Muhammad ; Paradigma Reformasi Peraturan Perundang-Undangan Pertanahan/Agraria, Penyelesaian Sengketa Pertanahan Serta Kelembagaan, opini pada harian Analisa Medan, terbitan tanggal 22 Maret 2005.

___________________ ; Diterbitkan Harian Analisa-Medan, Tanggal 4 Juli 2000. Zafer, Jurisprudence An Outline, (Kuala Lumpur : International Law Book Services,

1994).

G. Perundang-undangan

Undang-undang Nomor 14 TAhun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 Tentang HGU

Undang- undang Darurat Nomor 1 Tahun 1956 Tentang Perubahan dan Tambahan Atas Perubahan Undang-undang Darurat Nomor 8 Tahun 1954 Mengenai Penyelesaian Soal Pemakaian Tanah Perkebunan Oleh Rakyat.

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan.

Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, Bagian II.

Undang-undang Darurat Nomor 8 Tahun 1954 Tentang Penyelesaian Soal Pemakaian Tanah Perkebunan Oleh Rakyat.

Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 “Tentang Pencabutan hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya”.

Undang-undang Nomor 28 Tahun 1956 Tentang Pengawasan Terhadap Pemindahan Hak Atas Tanah-tanah Perkebunan.


(6)

Undang-Undang No. 29 Tahun 1956 “Tentang Peraturan dan Tindakan-Tindakan Mengenai Tanah-Tanah Perkebunan”.

Undang-Undang No. 51 Prp. Tahun 1956-1960 “Tentang Pemakaian Tanah Tanpa Ijin yang Berhak Atau Kuasanya”.

Undang-undang Nomor 76 Tahun 1957 Tentang Perubahan Undang-undang Nomor 24 Tahun 1954 dan Undang-undang Nomor 28 Tahun 1956.