Universitas Sumatera Utara
shift, biasanya orang yang bekerja di malam hari merupakan pekerja yang memonitoring mesin, dan boiler atau biasa yang biasa disebut sebagai operator.
Selain bekerja sebagai operator, pekerja Tiongkok juga bekerja sebagai mekanik mesin yang bertugas melanjutkan pekerjaan yang belum selesai
dikerjakan oleh pekerja yang dilakukan pada siang harinya. Biasanya mereka berangkat pada pukul 19:00 dan kembali pulang ke mess pada keesokan harinya
pada pukul 06:00 WIB. Selama bekerja di sini mereka memakai sistem kontrak yang telah
disepakati oleh pekerja Tiongkok dengan perusahaan GPEC, dan selama bekerja di Indonesia mereka didata dan diawasi oleh pihak Indonesia yang ditangani
oleh Bagus Karya di bawah pengawasan Indonesia Power yang mengurusi segala administrasi yang diperlukan, sehingga ketika kontrak selesai mereka kembali ke
Tiongkok dan dirotasi atau digantikan dengan pekerja baru sehingga bisa dipastikan tidak ada pekerja Tiongkok yang bertahan sejak pertama sekali proyek
ini dibangun.
4.1.1.4 Deskripsi Subjek Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti melakukan wawancara secara mendalam kepada sembilan orang yang menjadi informan utama yang kriterianya telah
disepakati dan dijabarkan di unit analisis serta ada dua orang informan tambahan yang bertujuan untuk menggali lebih dalam akulturasi yang dialami oleh para
imigran. Dalam menetapkan informan, peneliti telah terlebih dahulu melakukan pengamatan dengan teliti agar data yang diperoleh mampu mewakili keseluruhan
dari akulturasi yang dialami oleh pekerja Tiongkok. Adapun deskripsi dari masing-masing informan sebagai berikut:
Informan I
Nama : Mr. Ding Zian
Jenis Kelamin : Laki - laki
Asal : Beijing, Tiongkok
Usia : 33 Tahun
Pekerjaan Jabatan : Head Civil Engineering
Universitas Sumatera Utara
Tanggal wawancara : 10 Februari 2015
Pukul : 10 : 24 WIB
Tempat : Kantor GPEC, Pangkalan Susu.
Mr. Ding Zian atau yang sering di sapa dengan sebutan Mr.Ding ini merupakan informan Tiongkok pertama yang peneliti temui. Dengan tinggi
sekitar 170 cm, berkulit putih khas Tiongkok. Ia merupakan salah satu informan yang sudah mampu berbahasa Indonesia dengan baik, walaupun sempat beberapa
kali saya ditolak olehnya untuk melakukan wawancara dengan alasan tidak paham dan tidak tahu bagaimana cara menjawab pertanyaan. Akan tetapi setelah
melakukan berbagai macam pendekatan dengan intens kepada beliau peneliti akhirnya diperbolehkan untuk mewawancarainya. Dalam penilaian peneliti akan
kepribadiannya peneliti mendapati bahwa ia adalah pribadi yang ramah kepada orang yang dikenal dan agak sedikit tertutup terhadap orang baru dan ia juga
termasuk pribadi yang baik serta disegani oleh bawahannya. Mr. Ding menjabat sebagai kepala seksi sipil yang bertugas untuk
mengkoordinir dan mengawasi segala sesuatu yang berhubungan dengan kelistrikan dan mesin. Dalam kesehariannya ia bekerja di lapangan untuk
memastikan pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja bawahannya sesuai dengan konsep yang telah ditetapkan sebelumnya. Kurang lebih sudah empat setengah
tahun lamanya ia berkecimpung di dalam proyek ini dan akan terus berlanjut hingga proyek pembangunan PLTU ini diserahterimakan secara sah kepada
pemerintah Indonesia.
Informan II
Nama : Mr. Yan Lu Zung
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Asal : Changsu, Tiongkok
Usia : 26 Tahun
Pekerjaan Jabatan : Civil
Tanggal wawancara : 24 Februari 2015
Pukul : 10: 39 WIB
Tempat : Kantor GPEC, Pangkalan Susu
Universitas Sumatera Utara
Mr. Yan Lu Zung atau yang sering disapa dengan sebutan Big Man adalah informan kedua yang peneliti temui untuk diwawancarai. Ia dipanggil Big
man dikarenakan ia memiliki postur tubuh yang cukup besar dan gempal. Dengan tinggi sekitar 185 cm, ia memiliki keunikan dalam berjalan yang agak
sedikit membungkuk. Walaupun dia besar tetapi jangan kira ia adalah pribadi yang kaku, melainkan ia pribadi yang ramah bahkan termasuk welcome ketika
peneliti menemuinya untuk diwawancarai. Mr. Big Man ini sendiri merupakan orang Tiongkok yang belum mampu berbahasa Indonesia bahkan ketika sudah 2
tahun lamanya ia bekerja di Indonesia ia belum juga mampu mengenal bahasa sehari-hari.
` Dalam proses wawancara tersebut peneliti melakukan teknik Tanya jawab yang telah disusun secara sistematis sebelumnya dan peneliti sendiri
berkomunikasi dengan beliau menggunakan bahasa Inggris. Walaupun dalam wawancara butuh sedikit perjuangan ekstra untuk mengartikan maksud yang
diucapkan oleh informan.
Informan III
Nama : Awaludin
Jenis Kelamin : Laki- Laki
s Alamat
:Desa Tanjung Pasir, Pangkalan Susu Usia
: 34 Tahun Pekerjaan Jabatan
: Pengawas Lapangan Tanggal wawancara
: 25 Februari 2015 Pukul
: 10 : 15 WIB Tempat
: Kantor Bagus Karya, Pangkalan Susu Awaludin adalah salah seorang pekerja Bagus Karya yang cukup senior
dikalangan pekerja lainnya.Dengan tinggi sekitar 165 cm, berkulit hitam, dengan gaya sederhana khas pekerja lapangan, ia merupakan Informan ke tiga yang
penulis temui yang sudah cukup lama bekerja di proyek PLTU. Beliau juga masyarakat yang tinggal di sekitar proyek PLTU, beliau sudah bisa dibilang
cukup berpengalaman dalam bekerja di proyek ini, pada awalnya ia bekerja pada Tahun 2008 akhir yaitu pada saat pembangunan proyek ini pertama sekali
Universitas Sumatera Utara
dibangun. 7 Tahun lamanya ia bekerja sehingga secara otomatis ia sudah mendapat banyak pengalaman dalam berinteraksi dengan pekerja Tiongkok, ia
juga dipanggil suhu atau guru oleh beberapa pekerja lokal karena menurut pernyataan dari rekan kerjanya ia termasuk orang yang bergaul akrab dengan
kolega yang berasal dari Tiongkok dan ia juga sering membantu para pekerja Tiongkok mempelajari bagaimana berbahasa Indonesia dengan baik .
Informan IV
Nama : Mr. Tao Yong Jie
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Asal : Guangdong, Tiongkok
Usia : 25 Tahun
Pekerjaan Jabatan : Civil Engineering
Tanggal wawancara : 18 Maret 2015
Pukul : 15: 33 WIB
Tempat : Kantor GPEC, Pangkalan Susu
Mr.Tao merupakan informan ke empat yang peneliti temui di PLTU Pangkalan Susu. Dengan usia yang tergolong muda sekitar 25 tahun, tinggi
sekitar 160 cm, berkulit putih khas Tiongkok. Beliau sendiri sudah 2 tahun bekerja di proyek PLTU namun hingga kini ia belum mampu menguasai bahasa
Indonesia dengan alasan ia selalu berkomunikasi dengan orang Indonesia memakai bahasa Inggris dan bahasa nonverbal. Ia sendiri adalah pribadi yang
ramah dan cukup terbuka dengan kedatangan orang baru,sehingga penulis tak perlu menunggu lama untuk melakukan wawancara terhadapnya, bahkan ketika
peneliti datang menemuinya ia menyempatkan untuk berfoto dengan peneliti, ia juga ingin berteman dengan peneliti dan hingga saat ini kami terus menjalin
kontak melalui BBM BlackBerryMessenger untuk hanya sekedar bertanya kabar dan hal-hal lainnya seputar penelitian ini.
Informan V
Nama : Junita
Jenis Kelamin : Perempuan
Universitas Sumatera Utara
Alamat : Jl. Gotong Royong, Pangkalan Susu
Usia : 26 Tahun
Pekerjaan Jabatan : Koki - Helper Cooking
Tanggal wawancara : 18 Maret 2015
Pukul : 19:00 WIB
Tempat : Mess GPEC.
Junita adalah informan ke lima yang peneliti temui di proyek ini. Sudah 3 tahun lamanya ia bekerja sebagai juru masak para pekerja Tiongkok. Dengan
tinggi sekitar 150 cm, berbadan sedikit gempal dan berkulit coklat ia cukup terbuka dengan peneliti, hal ini diketahui ketika ia banyak membagi pengalaman
pribadinya kepada peneliti. Ia mengatakan jika bekerja sebagai juru masak itu sangat berat karena
mereka harus dikejar waktu setiap harinya. Pada pukul 07:00 WIB pagi makanan harus sudah tersaji untuk sarapan para pekerja, sehingga mau tak mau mereka
sudah harus memulai memasak pada pukul 5 pagi dan mereka juga harus mempersiapkan makanan pada pukul 12:00 dan sore pada pukul 18:00, sehingga
setiap hari ia harus berangkat bekerja pada pukul 4:30 WIB dan pulang pada pukul 19:00 Tidak hanya di situ saja tantangan berat lainnya yang harus
dilakoninya, sebagai juru masak ia tidak memiliki hari libur. Dalam 1 bulan itu ia terus bekerja bahkan pada hari minggu serta hari besar keagaamaan sekalipun ia
dituntut harus bekerja memasak di sana. Ia berbagi kepada peneliti hal yang paling berat dan yang paling terasa bagi dirinya adalah ketika ia juga harus
kehilangan banyak waktu untuk bersama-sama mengurusi rumah tangganya dengan seluruh sanak keluarga yang ada dirumah.
Informan VI
Nama : Mr. Mao Tang
Jenis Kelamin : Laki-laki
Asal : Fulan, Tiongkok
Usia : 41 Tahun
Pekerjaan Jabatan : Civil Engineering
Tanggal wawancara : 26 Maret 2015
Universitas Sumatera Utara
Pukul : 11:37 WIB
Tempat : Kantor GPEC, Pangkalan Susu
Mr. Mao Tang merupakan informan ke enam yang peneliti wawancarai. Ia merupakan pribadi yang cukup tertutup dan sangat sulit untuk diwawancarai.
Mempunyai ciri-ciri rambut lurus meruncing, kulit putih, tinggi sekitar 172 cm. Ketika peneliti datang ke kantornya ia pun selalu menolak peneliti dengan alasan
masih sibuk, keesokan harinya peneliti kembali mendatangi ruangan beliau sambil ditemani oleh seorang translator ibu Jessi dan ibu Jessi inilah yang
memberitahu Mr. Mao Tang maksud peneliti untuk mewawancarainya. Mr.Mao tang adalah pekerja Tiongkok yang sudah cukup lama bekerja di
proyek PLTU, ia juga sudah menguasai bahasa Indonesia dengan cukup baik, walaupun begitu, aksen Tiongkoknya masih melekat dalam setiap pengucapan
kata yang disampaikannya.
Informan VII
Nama : Bernard Patralison Girsang
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Alamat : Perumnas Simalingkar, Medan
Usia : 24 Tahun
Pekerjaan Jabatan : Civil Engineering Bagus Karya
Tanggal wawancara : 6 April 2015
Pukul : 12:25 WIB
Tempat : Kantor Bagus Karya
Bernard Patralison merupakan informan ke 7 yang peneliti wawancarai. Dengan ciri-ciri berbadan sedikit gempal, tinggi sekitar 170 cm, kulit coklat,
memakai kacamata dan selalu memakai jaket khas pecinta Liverpool. Walaupun pada awalnya kami belum pernah saling mengenal dan baru dipertemukan di
dalam proses penelitian ini, akan tetapi ia adalah salah satu orang yang banyak membantu peneliti di dalam proses penelitian di lapangan. Beliau menjadi
pendamping peneliti dalam hal mengurus izin wawancara di kantor GPEC, membantu peneliti untuk melihat bagaimana para pekerja Tiongkok dan lokal
yang ada di sekitar proyek berinteraksi, membantu mengarahkan peneliti untuk
Universitas Sumatera Utara
menemui informan yang sesuai dengan kriteria yang disepakati sebelumnya dan sekaligus menjadi teman baik peneliti selama melakukan proses penelitian di
lapangan. Ia telah bekerja selama 2 tahun di proyek tersebut dan ditempatkan untuk
mengawasi kinerja para pekerja Tiongkok, tidak hanya itu ia juga ditugaskan untuk mengurusi surat izin keluar-masuk material proyek, bahkan ia juga tinggal
dan membaur di dalammess para pekerja Tiongkok. dari keseluruhan aktivitas beliau maka tidak diragukan lagi jika ia sangat sering berinteraksi dan mengenal
betul perilaku dan kebiasaan pekerja Tiongkok.
Informan VIII
Nama : Suprayitno
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Alamat : Desa Tanjung Pasir
Usia : 48 Tahun
Pekerjaan Jabatan : Penjaga warung
Tanggal wawancara : 12 April 2015
Pukul : 21: 15 WIB
Tempat : Desa Tanjung Pasir, Pertanian
Pak Suprayitno merupakan masyarakat yang tinggal menetap di sekitarMess pekerja Tiongkok tinggal. Pak Yetno adalah sapaan akrab beliau di
desa Tanjung Pasir, dengan tinggi sekitar 165 cm, berbadan kurus dengan kulit hitam kecoklatan. Ia membuka warung makanan dan minuman di sekitarmess
pekerja Tiongkok, ia juga pribadi yang ramah, hal itu dilihat dari keantusiasannya menerima kedatangan peneliti di warungnya tersebut. Dari pernyataannya ia
sudah sangat lama menetap di desa tersebut bahkan jauh sebelum para pekerja Tiongkok datang dan bermukim di tempat itu. Ia juga mengatakan bahwa usaha
warung makanan yang dikelolanya telah ada sejak pertama sekali mess didesa ini didirikan yaitu sekitar tahun 2008 akhir.
Informan IX
Nama : Leonardo Tambunan
Universitas Sumatera Utara
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Siantar, Sumatera Utara
Usia : 45 Tahun
Pekerjaan Jabatan : Civil Engineering
Tanggal wawancara : 25 April 2015 Pukul
: 17:30 WIB Tempat
: Mess Pekerja Tiongkok, Desa Tanjung Pasir Pak Leo merupakan seorang pekerja Bagus Karya yang sudah banyak
memakan asam garam dalam urusan interaksi dengan pekerja Tiongkok. Dengan ciri-ciri berambut hitam cepak, tinggi badan sekitar 165 cm, dengan gaya yang
sederhana dan tidak berlebihan, ia juga adalah pribadi yang supel dan ramah. Pak Leo telah bekerja selama 4 Tahun lebih di dalam proyek ini, ia bekerja sebagai
asisten manajer lapangan Bagus Karya, bisa juga disebut sebagai orang nomor dua di kalangan Bagus Karya.
Setiap harinya ia bersentuhan langsung dengan kehidupan pekerja Tiongkok, mulai dari di mess pekerja Tiongkok sampai dalam pekerjaan di dalam
proyek PLTU. Ia juga ditugaskan untuk memonitoring dan mengontrol mess para pekerja Tiongkok, sehingga otomatis ia juga tinggal dan menetap di dalam area
mess pekerja Tiongkok.
Informan Tambahan Informan I
Nama : Reza
Jenis Kelamin :Laki-Laki
Alamat : Tebing Tinggi, Sumatera Utara
Usia : 26 Tahun
Pekerjaan Jabatan : Dokter
Tanggal wawancara : 12 April 2015
Pukul : 12 : 56
Tempat : Ruang Kesehatan, PLTU
Dokter Reza merupakan salah satu dokter yang khusus menangani permasalahan kesehatan pekerja Tiongkok selama bekerja di proyek tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Sebelum bekerja di sana ia menjadi dokter di sebuah rumah sakit swasta di Aceh dan walaupun beliau lahir dan berasal dari Tebing Tinggi akan tetapi ia
merupakan suku Aceh asli. Dengan tinggi sekitar 165 cm, berkulit coklat kehitaman, berbadan sedikit gempal, mempunyai aksen aceh sekaligus ia
merupakan kolektor batu akik mahal, sehingga jika tidak sedang menangani pasien tak segan-segan ia mengeluarkan batu akiknya dan dipertontonkan kepada
pekerja lainnya. Ia sendiri telah bekerja diproyek ini selama 1 Tahun, dan ia juga berjaga di mess pekerja Tiongkok sehingga aktivitas setiap hari yang ia lakukan
juga bersinggungan dengan pekerja Tiongkok.
Informan II
Nama : Jessica
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Medan
Usia : 33 Tahun
Pekerjaan Jabatan : Translator GPEC
Tanggal wawancara : 24 April 2015
Pukul : 11: 48
Tempat : Kantor GPEC Pangkalan Susu
Ibu Jessica ialah seorang translator yang membantu komunikasi antara pekerja Tiongkok terhadap pekerja lokal ataupun sebaliknya, wanita yang kerap
disapa Mama Jesi ini telah cukup lama berkecimpung di dalam pekerjaan ini. Dengan tinggi sekitar 155 cm, berkulit putih khas Indo-Tiongkok, bermata
coklat, berambut panjang tertata rapi. Walau terlihat cantik dan muda tetapi jangan tertipu dengan penampilannya, karena ia telah dikaruniakan anak laki-laki
yang juga memiliki kesamaan nama dengan nama peneliti yaitu Hans. Tidak hanya menjadi translator di dalam pekerjaan saja, ia juga bekerja
menjadi translator di mess pekerja Tiongkok sehingga keseharian aktivitasnya sangat banyak berinteraksi dengan pekerja Tiongkok. Peneliti sendiri sedikit
mengalami kesulitan untuk bertemu dengan beliau karena padatnya aktivitas sepanjang hari, sehingga ia sedikit menolak ketika diwawancarai dengan peneliti,
akan tetapi setelah melakukan pendekatan intens dan juga dibekali
Universitas Sumatera Utara
keberuntungan karena mempunyai nama yang sama dengan anaknya akhirnya ia mau peneliti wawancarai
. 4.1.2
Hasil Wawancara Akulturasi Budaya pekerja Tiongkok
Berdasarkan tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui sejauh mana Akulturasi Budaya yang dialami oleh pekerja Tiongkok selama menetap dan
bekerja di proyek PLTU desa Tanjung Pasir, kecamatan Pangkalan Susu, kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Dalam hal ini tentu saja peneliti melakukan
pengamatan langsung dan dengan jeli menetapkan siapa narasumber yang akan diwawancarai. Adapun penyajian yang akan dipaparkan dalam penelitian ini
dibuat dalam bentuk naskah teks narasi yang bersumber dari wawancara mendalam dari informan 1 sampai 9 dan 2 informan tambahan sebagai
pendukung fakta di lapangan.
Informan 1
Nama : Mr. Ding Zian
Tanggal wawancara : 10 Februari 2015
Pukul : 10 : 24 WIB
Tempat : Kantor GPEC, Pangkalan Susu.
Mr. Ding Zian merupakan informan yang pertama sekali peneliti temui untuk diwawancarai secara mendalam. Ia adalah salah satu informan yang sudah
mampu berbahasa Indonesia dengan baik walaupun tidak bisa dipungkiri jika aksen Tiongkoknya masih kental dalam setiap pengucapan kalimat. Mr. Ding
juga termasuk salah satu orang yang punya andil besar dalam proses pembangunan PLTU di desa tersebut, bisa dikatakan ia termasuk salah satu boss
yang mengkoordinir gerak pekerja yang bekerja terkhusus dalam bidang konstruksi mesin.
Walaupun pada awalnya peneliti sendiri merasakan kesulitan untuk berinteraksi dengannya dikarenakan ia termasuk orang yang tertutup, sehingga ia
selalu menolak keberadaan orang asing yang ingin bertemu, akan tetapi setelah melakukan berbagai macam pendekatan dan menceritakan latar belakang peneliti
Universitas Sumatera Utara
datang untuk menemuinya yaitu untuk menyelesaikan tugas akhir penelitian dari perkuliahan yang peneliti dalami sekarang, ia mau untuk diwawancarai oleh
peneliti. Pada awal mula pertanyaan peneliti berbincang-bincang dengan Mr.Ding
untuk sekadar mengakrabkan suasana yang sempat tegang dan terkesan sangat formal dan juga peneliti berusaha untuk menyisipkan bumbu humor di dalamnya
agar wawancara ini lebih rileks dan tenang. Setelah semuanya dalam kapasitas nyaman, peneliti melanjutkan pembicaraan seputar pertanyaan personal seperti
nama lengkap, usia, istri, anak dan sanak saudaranya di Tiongkok. Bagaimana kehidupan di Tiongkok, apakah menikmati pekerjaan di tempat ini dan lain
sebagainya. Berdasarkan pengamatan peneliti ia cukup merespon baik wawancara, hal
tersebut dapat dilihat dari sikapnya yang terlihat antusias menjawab pertanyaan peneliti, dalam situasi seperti ini peneliti menyiapkan alat rekam dan alat tulis
untuk merekam setiap pernyataan yang diutarakan olehnya, dan pada wawancara awal ia mengaku telah bekerja selama 4 tahun dalam proyek PLTU sebagai Civil
Engineering. “ Sejak 2011 saya sudah bekerja di sini, sudah 4 tahun lah sayadi
proyek ini. Awalnya saya diajak kawan dan perusahaan GPEC untuk ke tempat ini, saya sendiri sudah lama bekerja sebagai Civil
Engineering di GPEC, sudah sepuluh tahun lamanya saya bekerja di GPEC .”
Dalam hasil wawancara peneliti dengan informan ini didapati hasil jika ia
datang dan bekerja untuk membangun proyek ini tanpa informasi keadaan yang jelas baik dalam hal cakupan wilayah, cuaca dan iklim, makanan, maupun
kebudayaan. Akan tetapi karena berbekal tanggung jawab pekerjaan yang diembannya ia mau bekerja di Indonesia, ia juga mengakui jika ternyata kondisi
lingkungan di tempat tersebut lebih panas dari tempat ia berasal.
“Dari Tiongkok saya ke tempat ini, dan saya tidak pernah bayangkan bagaimana nanti bekerja di sini. Waktu itu diajak
perusahaan ke Indonesia, terus ada banyak teman saya ikut kerja. Saya juga diajak sama mereka, ya sudah saya mau dan sampai
sekarang masih bekerja di sini sampai selesai proyek ini baru saya pulang ke Tiongkok”
Universitas Sumatera Utara
Peneliti juga mengetahui jika Mr.Ding sendiri memahami bahasa Indonesia itu dikarenakan adanya interaksi yang baik yang ia jalin dengan rekan
kerja Indonesia yang ada di sekitar ia bekerja. Hal ini jelas terlihat dari pengamatan peneliti sendiri sebelum melakukan wawancara dikarenakan posisi
pekerjaan yang ia miliki sekarang sangat sering bersentuhan dengan para pekerja Indonesia, maka tidak diragukan lagi jika ia sering sekali bertemu dengan pekerja
Indonesia dalam berbagai macam keperluan dan mereka selalu memakai bahasa Indonesia setiap kali berinteraksi. Hal yang sama yang didapatkan setelah
melakukan proses wawancara terhadapnya namun ada yang unik dan baru peneliti temui dalam proses wawancara ini, Mr.Ding sendiri mengakui jika ia
mengetahui bahasa Indonesia hanya secara lisan saja, akan tetapi terbatas atau kurang mengetahui bahasa Indonesia secara tulisan. Kemudian dari
penjelasannya terkait dengan interaksi dengan masyarakat, ia juga cukup baik dalam hal berinteraksi pada masyarakat sekitaran desa Tanjung Pasir tempat di
mana ia tinggal. Biasanya setiap malam ia selalu mengunjungi warung-warung makan yang buka di sekitarmess dan berkomunikasi dengan masyarakat sekitar
seraya melepas lelah dan penat selama aktivitas pekerjaan. “ Wah saya ngerti bahasa Indonesia dari kerjaan, ya ngomong-
ngomong sama pekerja Indonesia saja, terus lama-lama saya mengerti bagaimana bicaranya, tapi saya kurang mengerti
menulisnya. Kalau kamu orang suruh saya tulis dengan bahasa Indonesia saya tidak mengertilah, kalau bersosialisasi di mess
pernah biasanya cuma ngomong-ngomong sama orang sama Bernard, Robert , terus waktu malam-malam setelah pulang kerja,
itu saya sering ngomong-ngomong di warung sama orang-orang desa sambil makan dan beli barang keperluan hari-hari”
Setelah mendapatkan penjelasan bagaimana ia bisa menguasai bahasa Indonesia dengan baik dan seberapa intens beliau berinteraksi dengan masyarakat
pribumi, peneliti kemudian bertanya mengenai gegar budaya atau yang biasa disebut dengan Culture shock. Seperti yang telah dijelaskan pada bab
sebelumnya jika gegar budaya biasa dialami oleh para imigran yang baru menetap didaerah yang mempunyai kultur yang berbeda dari kediriannya.
Dalam penelitian ini didapatkan jika Mr. Ding sendiri tidak merasakan gegar budaya yang terlalu dalam dan tidak melalui tahap gegar budaya yang dijelaskan
Universitas Sumatera Utara
di bab sebelumnya yang dalam teorinya mampu membuat fisik dan psikis seseorang menjadi berubah seperti merasa ditolak oleh lingkungan sekitar, atau
orang yang berada di sekitarnya mulai tidak peka dengan keadaan dirinya, bahkan sakit yang menyerang tubuh seperti demam, sakit perut dan lain
sebagainya. Hanya saja ia mengatakan jika pada awal ia bekerja di PLTU ini ia sangat merindukan kampung halamannya beserta keluarga yang terdiri dari orang
tua, istri dan anaknya, ia sendiri mengatakan jika selama bekerja di Indonesia ia sering sekali menghubungi istri dan anaknya yang ada di Tiongkok baik melalui
telepon HP maupun sosial media.
“ Selama bekerja di tempat ini saya tidak pernah merasa takut, saya juga tidak pernah merasa dijauhi oleh orang sekitar atau
para pekerja Indonesia.Mereka baik-baik sama saya, saya suka sama semua orang Indonesia yang di dekatmess, ramah-ramah,
baik mereka, bagus lah orang di sini tidak ada yang jahat. Kalau selama di sini rindu keluarga ya sangat rindu,tidak boleh tidak
rindu, keluarga di sana ada orang tua, istri ada juga anak, biasanya kalau sedang rindu saya hubungi mereka melalui telepon
ataupun melalui website . Peneliti terus menggali banyak informasi yang terkait dengan penelitian
yang sedang dikerjakan ini. Setelah mengetahui gegar budaya peneliti bertanya mengenai sejauh mana pengenalan beliau akan budaya yang dimiliki oleh
penduduk setempat. Pertanyaan ini di buat agar peneliti mengetahui sejauh mana kepekaan Mr.Ding sendiri dalam menilai lingkungan budaya yang ditempatinya
tersebut. Dari pernyataan informan sendiri didapatkan hasil jika ia cukup menyadari
ada perbedaan yang cukup mencolok antara kebudayaan yang dimiliki oleh penduduk pribumi dengan kebudayaan yang ada di Tiongkok, perbedaan yang
paling ia soroti ialah terkait dengan bahasa, bahasa yang digunakan jelas sangat berbeda dari bahasa yang dipakainya sehari-hari di Tiongkok, dan yang kedua ia
menyoroti jika perbedaan juga terletak pada rasa makanan yang berbeda, dan juga ia menyoroti tahun baru yang berbeda, pengertiannya perayaan tahun baru yang
berbeda jika tahun baru China tidak ada dirayakan di tempat tersebut dan juga jikapun ada tidak begitu semenarik dan semeriah yang ada di negara asalnya.
Bahkan ia juga menyoroti perbedaan budaya dalam hal keagamaan, yaitu
Universitas Sumatera Utara
khususnya dalam hal berpuasa, yang biasa ada setiap tahun dan dijalankan oleh mayoritas penduduk yang beragama muslim di tempat tersebut.
“Banyak sekali perbedaan budaya yang ada di China sama di Indonesia, bahasanya beda kalau di sana tidak ada orang yang
ngomong pakai bahasa Indonesia, makanannya juga beda, kalo di sini makanan sedikit pedas, kalau di sana tidak pedas tapi asin,
orang di sini ramah-ramah sering menyapa “halo”, kalo di sana jarang menyapa. trus orang di sini tahun baru nya beda sama di
sana, juga kalau di sini ada puasa kalau di sana tidak ada.”
Informan ke II
Nama : Mr. Yan Lu Zung
Tanggal wawancara : 24 Februari 2015
Pukul : 10: 39 WIB
Tempat : Kantor GPEC, Pangkalan Susu
Mr. Yan Lu Zung atau yang sering disapa dengan sebutan Big Manadalah informan kedua yang peneliti temui untuk diwawancarai, ia adalah pekerja asing
yang telah bekerja selama 2 tahun di dalam pembangunan proyek PLTU ini, Big Man bekerja sebagai tenaga sipil dalam departemen Civil Engineering yang
bekerja di bidang mesin, pada hari itu saya dibantu oleh Pak Bernard selaku pekerja lokal yang bisa dikatakan cukup akrab dengan Mr. Yan tersebut, ketika
peneliti bertemu dengannya, peneliti langsung menjelaskan maksud dan tujuan untuk mewawancarai beliau.
Awalnya suasana agak kaku, dikarenakan Mr. Yan adalah seorang yang tidak mampu berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia dan juga peneliti
yang agak sedikit kesulitan dalam mengartikan maksud pembicaraan beliau yang menggunakan bahasa Inggris, namun masih berlogat mandarin. Akan tetapi tidak
menjadi suatu masalah yang sangat besar bagi peneliti, dengan berusaha tetap tenang sambil tetap fokus dan menganalisis satu persatu kata yang dilontarkannya
kepada peneliti dan secara perlahan-lahan terkadang meminta beliau untuk mengulang pernyataannya sehingga dengan begitu peneliti mengerti makna pesan
yang disampaikan oleh beliau. Setelah mengetahui jika peneliti adalah mahasiswa yang sedang
melakukan suatu riset, ia pun memberi sedikit waktunya untuk diwawancarai oleh peneliti. Pertama-tama peneliti memperkenalkan diri dan bertanya hal-hal yang
Universitas Sumatera Utara
ringan seputar kegiatan sehari-hari yang dilakukan olehnya baik di proyek maupun di mess, kemudian setelah obrolan terasa semakin nyaman dan beliau pun
mulai membuka diri kepada peneliti,maka peneliti mulai bertanya mengenai hal yang telah dikonsep sebelumnya di lembar kuesioner.
Dari pernyataan Mr. Yan maka peneliti mendapatkan jawaban jika ia memang sudah ditugaskan oleh perusahaan untuk bekerja di Indonesia, dan dalam
penugasan tersebut tanpa pikir panjang ia pun menyanggupi kontrak kerja, hal ini tampak dari pernyataan beliau yang mengatakan jika sebelum datang ke Indonesia
ia tidak pernah mempelajari atau membayangkan bagaimana Indonesia yang sebenarnya, hanya saja ia berpikir jika Indonesia adalah negara yang beragama
hanya itu saja tanpa berpikir bagaimana keadaan lingkungan nantinya apakah berbeda, atau bagaimana dengan keadaan cuaca apakah mampu beradaptasi
dengan baik, juga mengetahui dan mempelajari perbedaan budaya yang ada ditengah-tengah masyarakat dan lain sebagainya. Setelah itu peneliti beralih ke
pertanyaan lainnya ketika ditanyakan apakah lingkungan di sini membuat anda nyaman, ia menjawab lingkungan di sini cukup nyaman baginya dan tidak pernah
bermasalah dengan para penduduk lokal . Selang beberapa waktu kemudian peneliti mulai mengarahkan pertanyaan
menjurus kedalam hal bagaimana ia berinteraksi dengan para pekerja lokal, dan juga tidak ketinggalan dengan para masyarakat lokal yang tinggal di sekitar
messdi mana ia menetap. Dalam pernyataannya tersebut jika ia memang tidak bisa berbahasa Indonesia, hal ini dikarenakan sangat sulit mempelajari bahasa
Indonesia. Dari pengalaman beliau sejauh ini hanya sedikit kosakata yang ia pahami dan itu pun adalah hal yang mendasar dan terkesan sangat kaku, seperti
yang dicontohkannya pada saat wawancara, ia mengatakan: “makan, mohon datang, terima kasih, sama-sama.”
Dari pernyataannya peneliti menarik kesimpulan jika hanya segelintir kosakata dari bahasa Indonesia sederhana yang baru dipahaminya. Padahal jika
dilihat dari lamanya bekerja ia telah bekerja cukup lama kurang lebih sekitar 2 tahun. Ia mengakui jika banyak pekerja lokal yang bekerja di dalam divisinya
tersebut, seperti yang dikatakannya ada Marino,Safarudin, Doni, Irwanto dan lain- lain. Akan tetapi ia memberikan alasan mengapa ia tidak juga mengerti bahasa
Universitas Sumatera Utara
Indonesia. Penyebab utama tidak mengertinya beliau dalam mengalihbahasakan pesan kedalam bentuk bahasa Indonesia ternyata dikarenakan mereka biasanya
menjalin interaksi menggunakan bahasa Inggris yang sederhana. Maksdunya ialah bahasa Inggris yang tidak memperdulikan struktur teks akan tetapi sama-sama
memiliki pengertian dan memiliki persepsi yang sama dari pesan yang dimaksudkan mereka.
Dan jikalau dalam interaksi tersebut mereka tidak mengerti juga maksud pesan yang disampaikan maka, biasanya mereka akan memanggil translator untuk
menerjemahkan maksud pesan yang mereka sampaikan. ” For me, it’s too hard to learn Indonesia language, so since the
first time I working here, i always use English and we have translator to translate what we want to talking about.”Bagi saya,
sangat sulit untuk belajar bahasa Indonesia, jadi sejak pertama sekali saya bekerja di sini, saya selalu menggunakan bahasa
Inggris, dan juga kami punya penerjemah untuk menterjemahkan apa yang hendak kami bicarakan.
Dari hasil wawancara dengan Mr. Yan terkait dengan gegar budaya maka peneliti mendapati jika Mr. yan juga pernah mengalami gegar budaya, namun
gegar budaya yang dialaminya tidak seperti fase-fase yang secara runtut terjadi yang telah dijelaskan dalam teori. Ia mengaku jika ia tidak pernah merasa
dikucilkan oleh para pekerja lokal maupun masyarakat yang tinggal di sekitarmess-nya, bahkan ia menganggap jika selama ini masyarakat dan para
pekerja sangat ramah kepadanya dan juga ketika peneliti bertanya akan bagaimana kepedulian para penduduk lokal padanya ia menyatakan jika para
penduduk lokal sangat baik sikapnya terhadap dirinya. Salah satu bukti yang dikatakan olehnya ialah ketika ia sering diberi tumpangan oleh warga dengan
naik sepeda motor ketika ingin pergi keluar dari desa Tanjung Pasir untuk sekedar bersantai seperti berenang di kolam berenang yang letaknya agak jauh
dari mess-nya. Peneliti mendapati jika gegar budaya yang ia alami lebih menjurus kearah
sakit secara fisik yaitu ia sering demam dan juga pernah mengalami cacar pada saat awal-awal ia bekerja di sini, hal ini disebabkan oleh cuaca yang menurutnya
sangat panas dan berbeda dari lingkungan tempat tinggalnya. Selanjutnya gegar budaya yang ia alami lebih menjurus kepada perasaan untuk segera pulang,
Universitas Sumatera Utara
karena ia sangat merindukan rumah beserta keluarganya sebab baginya keluarga adalah bagian yang penting dan tak bisa dipisahkan dari kehidupannya.
Pada tahap terakhir wawancara peneliti bertanya mengenai seberapa jauh pengenalan beliau akan kebudayaan yang dimiliki oleh warga setempat.
Sebenarnya ia cukup sadar jika banyak perbedaan budaya yang terjadi diantara Tiongkok dengan Indonesia terkhusus dalam lingkup masyarakat desa Tanjung
Pasir, ia menyoroti jiika perbedaan yang paling mencolok terletak pada agama, ia mengakui jika secara keseluruhan dari masyarakat setempat menganut suatu
agama tertentu namun ia tidak mengetahui secara spesifik ketika peneliti tanya lebih dalam lagi agama apa yang masyarakat pada umumnya anut.
Kemudian ia juga mengatakan jika masyarakat setempat tidak bisa makan daging babi dan anjing hal ini juga masuk dalam sorotan perbedaan yang dilihat
olehnya, selanjutnya ia menyoroti perbedaan musim yang terjadi antara Tiongkok dan desa di mana ia tinggal. Ia mengatakan di Tiongkok memiliki
empat musim yaitu musim gugur, musim panas, musim semi, musim salju, sedangkan Indonesia hanya ada musim panas. Terakhir ia mengatakan jika
makanan Indonesia manis dan lebih terasa pedas dibandingkan dengan negaranya di Tiongkok, ia menyatakan jika makanan yang paling ia sukai ialah nasi goreng,
ayam, dan udang. “Indonesia have a Religion ,they don’t eat pig or dog and about
the season, in China we have four season, but in here always panas. The language is very different, the Indonesian food are
sweet and hot spicy too. The most food that i like are nasi goreng, ayam,dan udang”Indonesia mempunyai agama,mereka tidak
makan babi atau anjing, di Tiongkok memiliki 4 musim akan tetapi di sini selalu panas, bahasa juga sangat berbeda, makanan
Indonesia manis dan sedikit pedas, makanan yang paling saya sukai ialah nasi goreng, ayam dan udang.
Informan III
Nama : Awaludin
Tanggal wawancara : 25 Februari 2015
Pukul : 10 : 15 WIB
Tempat : Kantor Bagus Karya, Pangkalan Susu
Universitas Sumatera Utara
Awaludin merupakan pekerja lokal yang telah lama berkecimpung dalam proyek PLTU desa Tanjung Pasir. Sejak awal proyek ini dibangun ia telah
direkrut oleh perusahaan ini yaitu pada sekitar pada tahun 2008 akhir ia telah direkrut untuk menjadi pekerja. Soal urusan berinteraksi dengan pekerja asing
Tiongkok ia juga sangat sering sebab selain pekerjaan yang menuntutnya untuk bekerja bersama pekerja Tiongkok, ia juga bertempat tinggal di sekitarmess
sehingga tak diragukan lagi jika kesehari-hariannya banyak bersinggungan dengan pekerja asing tersebut.
Alasan peneliti memilih beliau menjadi salah satu informan kunci dari proses penelitian ini yaitu dikarenakan adanya keunikan yang peneliti temui pada
nama panggilannya, ketika itu salah satu koleganya memanggil ia dengan sebutan Suhu, mendengar hal tersebut peneliti merasa tertarik apa maksud dari
“suhu” tersebut. Pertanyaan itu langsung terjawab setelah peneliti bertanya kepada pekerja lokal yang menjadi koleganya. Istilah suhu merupakan bahasa
mandarin yang berarti guru. Kata suhu adalah julukan yang awalnya diberikan oleh pekerja Tiongkok kepadanya, hal ini dikarenakan ia disebut-sebut
membantu beberapa pekerja Tiongkok untuk belajar bahasa Indonesia. Setelah mengetahui hal tersebut rasa penasaran saya pun muncul, dalam
benak peneliti timbul satu pertanyaan, bagaimana pak awal mampu membuat beberapa pekerja Tiongkok mampu berbahasa Indonesia, untuk menjawab
penasaran itu saya langsung menemuinya dan sekedar bertegur sapa dan sekaligus menjelaskan maksud kedatangan peneliti di tempat ini. Pada hari itu ia
tak bisa diwawancarai oleh peneliti, dikarenakan ia sedang sibuk mengurus segala keperluan yang dibutuhkan dalam percepatan pembangunan proyek PLTU
tersebut. Namun ia berjanji jika keesokan harinya ia punya waktu kosong yang bisa digunakan untuk wawancara.
Pagi hari sekitar pukul 10:00 WIB peneliti mendatangi kantor Bagus Karya untuk melakukan wawancara dengan beliau, dalam wawancara tersebut
juga telah disiapkan rekaman suara dan konsep pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya. Pada awalnya peneliti bertanya mengenai pertanyaan pribadi seperti
nama lengkap, tempat tinggal, bagaimana bekerja selama di proyek dan lain
Universitas Sumatera Utara
sebagainya, kemudian peneliti bertanya seputar interaksi beliau dengan para pekerja Tiongkok.
Dari hasil wawancara dengan Pak Awal, ia menjelaskan selama bekerja di lapangan ia sering bekerjasama dengan para pekerja Tiongkok terkhusus dalam
hal penimbunan lokasi proyek, sehingga ketika ada tanah timbunan masuk ke dalam proyek maka pihak PT. Bagus Karya dan GPEC harus mengetahui hal
tersebut. Pak Awal merupakan perwakilan dari Bagus Karya dan pekerja Tiongkok juga diikutsertakan sebagai perwakilan dari GPEC sehingga dalam
pekerjaan tersebut terjalin kerjasama antar kedua belah pihak beda budaya ini. Beliau menjelaskan jika pada awalnya mereka berinteraksi menggunakan
bahasa nonverbal, langkah ini terpaksa diambil dikarenakan Pak Awal sendiri tidak mengerti bahasa mandarin dan begitu juga sebaliknya pekerja Tiongkok
tidak mengerti bahasa Indonesia. Namun para pekerja Tiongkok yang ditempatkan di lapangantersebut mau belajar dengan Pak Awal maupun dengan
pekerja lokal lainnya, sehingga lama-kelamaan mereka mulai mengerti menyebutkan satu-persatu kata dalam bahasa Indonesia dan terus berkembang
sampai mereka mengerti berbicara menggunakan bahasa Indonesia. Ia juga mengatakan jika banyak juga pekerja Tiongkok yang sudah lama
bekerja di proyek ini namun mereka tetap juga tidak mengerti berbahasa Indonesia. Hal tersebut bisa terjadi dikarenakan faktor dari kedirian pekerja
Tiongkok itu sendiri yang tidak mau belajar berbahasa Indonesia, ia juga membandingkan dirinya yang walaupun sudah lama berkecimpung di dalam
proyek tersebut bahkan hampir setiap hari berinteraksi dengan pekerja Tiongkok, ia juga tidak bisa menguasai bahasa mandarin, hanya sedikit-sedikit saja bahasa
mandarin yang diketahuinya. Dari pernyataan Pak Awal juga didapatkan jika pekerja yang mampu berbahasa Indonesia ini ternyata ada juga yang bukan kali
pertamanya mereka bekerja di Indonesia. Mereka juga pernah bekerja membangun proyek di pulau Jawa jauh-jauh hari sebelum proyek PLTU ini
dibangun sehingga ia pernah menemukan pekerja Tiongkok yang bukan hanya mampu berbahasa Indonesia dengan lancar, melainkan juga sudah mampu
menguasai bahasa Jawa dengan fasih.
Universitas Sumatera Utara
Walaupun pekerja Tiongkok ada yang sudah mampu menguasai bahasa Indonesia dengan baik, ternyata mereka tidak mengetahui cara berkomunikasi
lewat tulisan atau mereka juga tidak mampu membuat teks Indonesia yang mereka ketahui hanya menggunakan bahasa Indonesia melalui lisan saja.
“Wah gak tau juga kenapa, kalau yang bisa bahasa Indonesia ini ada juga yang belajar sama pekerja Indonesia, kayak Mao Tang
sama yang lain-lain orang itu nanya-nanya sama pekerja kita. Biasanya dia nanya ke kita kayak contohnya “ini namanya apa”,
baru kita bilanglah apa namanya dalam bahasa Indonesia. Lama- lama mereka ngerti, ada juga yang bukan baru sekali ini datang ke
Indonesia, orang yang udah bisa bahasa Indonesia ini udah pernah kerja di Jawa, udah lama lah kerja di sana bahkan udah
ada yang bisa bahasa jawa. Aku pun belum tau bahasa jawa orang itu udah pande, kalo yang gak ngerti bahasa Indonesia ya kurang
mau tanya-tanya ke kita lah, tapi pun aku kurang tau juga, orang aku pun sebenarnya udah lama kerja sama orang itu, tapi gak
ngerti juga bahasa china, ya sama aja. Dan orang itu menuliskan bahasa kita kurang ngerti, Cuma ngomong aja pandai mereka..”
Peneliti juga menanyakan hal-hal yang terkait dengan gegar budaya yang dialami oleh para pekerja Tiongkok. Dari hasil wawancara dengan beliau peneliti
mendapatkan kesimpulan jika para pekerja Tiongkok memang tidak pernah merasa takut selama bekerja di tempat tersebut. Hal ini dikarenakan masyarakat
dan pekerja lokal memperlakukan mereka dengan baik di sana sehingga ia menilai jika hubungan antara pekerja lokal dan pekerja Tiongkok saat ini masih
dalam keadaan baik. Ia juga mengatakan jika selama ia bekerja di proyek tersebut para pekerja
lokal tidak pernah bertindak sesuatu yang kasar atau terlihat melecehkan pekerja Tiongkok begitu juga sebaliknya, para pekerja Tiongkok tidak pernah bertindak
kasar ataupun terkesan melecehkan pekerja lokal, hanya saja menurut pengamatan beliau para pekerja Tiongkok pernah mengalami sakit yang
ditimbulkan akibat cuaca panas dan keadaan lingkungan yang berdebu seperti sakit demam, batuk pilek, flu. Kemudian peneliti juga mendapatkan gegar
budaya yang dialami pekerja Tiongkok lebih banyak kedalam hal merindukan kampung halamannya.
.”kalau cerita gak pernahlah, tapi orang ini pasti cepat kali kalau urusan pulang, orang keluarganya banyak di sana, ya pasti
rindulah pulang.”
Universitas Sumatera Utara
Informan IV
Nama : Mr. Tao Yong Jie
Tanggal wawancara : 18 Maret 2015
Pukul : 15: 33 WIB
Tempat : Kantor GPEC, Pangkalan Susu
Mr.Tao merupakan informan ke empat yang peneliti wawancarai, di bawah perusahaan GPEC ia sudah mengabdi sekitar 2 tahun dalam membangun
proyek PLTU Pangkalan Susu tersebut. Ia termasuk salah satu pekerja Tiongkok yang tidak mampu berbahasa Indonesia sehingga setiap hari ia selalu
menggunakan bahasa Inggris dalam setiap interaksinya terhadap pekerja lokal. Dengan posisi sebagai salah seorang administrasi yang mengurusi segala surat
perlengkapan dan dokumen di departemen sipil J.O GPEC dan Bagus Karya sehingga lingkup pekerjaannya selalu berhubungan dengan pekerja lokal, maka
dari berbagai alasan di atas maka ia adalah orang yang tepat untuk dijadikan salah satu informan kunci dalam proses penelitian ini.
Dalam proses wawancara ini peneliti tidak terkonsep pada pertanyaan- pertanyaan yang sudah di buat sebelumnya, namun ketikapun peneliti bertanya
kepada Mr.Tao, pertanyaan itu tidak terlepas dari bahan atau pertanyaan yang sudah dikonsep sebelumnya, hal ini dilakukan agar beliau merasa lebih rileks dan
peneliti pun mampu menggali data lebih dalam lagi tanpa ada intervensi. Pada awalnya sama seperti informan sebelumnya yaitu dimulai dengan pertanyaan
pribadi seperti nama, umur, asal, tempat tinggal dan lain sebagainya, dalam wawancara itu juga peneliti bertanya tentang apakah ada persiapan tertentu
sebelum datang ke Indonesia seperti belajar bagaimana kebudayaan yang Indonesia miliki dan apakah ia mengetahui bagaimana iklim dan cuaca yang ada
di Indonesia, namun ia menjawab jika ia sama sekali tidak pernah berfikir sejauh itu, yang ia tau ia datang untuk bekerja, bagaimanapun medan yang ada di lokasi
pekerjaannya ia sudah siap menjalaninya. “when the first time i come here, i feel all of things is very different
from my country. And I never learn anything about Indonesia. ketika pertama sekali saya datang, saya merasa segalanya sangat
berbeda dari Negara saya. Dan saya tidak pernah belajar apapun mengenai Indonesia
Universitas Sumatera Utara
Dari pernyataan Mr. Tao sendiri, ia memang tidak mengerti berbahasa Indonesia, hal ini disebabkan ia memang tidak mau mempelajarinya. Ia
mengatakan jika dari pertama datang ke Indonesia ia tidak pernah mengetahui bagaimana berbahasa Indonesia, meskipun di dalam pekerjaannya ia banyak
berurusan dengan pekerja lokal akan tetapi mereka menggunakan bahasa inggris setiap kali berkomunikasi dan juga ia berfikir jika tujuan utamanya di sini hanya
untuk bekerja sehingga ia secara professional menggunakan bahasa Inggris dalam pekerjaannya sehari-hari. Tidak hanya itu saja, beliau juga mengatakan selain
berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris ia juga dibantu oleh translator bahasa dalam melakukan aktivitas komunikasi dan jikapun tidak ada translator dan para
penduduk lokal maupun pekerja lainnya yang tidak mengerti bahasa Inggris, biasanya ia menggunakan bahasa Nonverbal untuk berinteraksi dengan mereka.
“ I never know how to speak Indonesian language. I come to here just for working, so I always use English and sometimes I call the
translator, and i also use nonverbal language to communicate with them .pertama sekali saya datang ke tempat ini, saya tidak pernah
mengetahui bagaimana cara berbicara menggunakan bahasa Indonesia, dan juga saya datang ke tempat ini hanya untuk
bekerja, jadi saya selalu menggunakan bahasa Inggris setiap harinya, dan terkadang saya memanggil penerjemah , dan juga
menggunakan bahasa nonverbal untuk berkomunikasi dengan mereka.
Walaupun Mr.Tao terlihat menutup diri untuk mempelajari bahasa Indonesia ternyata dalam hal sosial ia cukup “Friendly”, hal ini peneliti dapatkan
ketika peneliti bertanya mengenai aktivitas-aktivitas apa saja yang pernah beliau lakukan bersama pekerja maupun penduduk lokal yang berhubungan dengan adat
istiadat. Ia menjelaskan jika ia bersama teman-teman lainnya, pernah diundang dan ikut dalam suatu acara pesta pernikahan kolega atau teman kerja mereka, ia
menjelaskan kronologi bagaimana pesta pernikahan itu terjadi, dan juga sempat membandingkan kebudayaan pernikahan yang ada di negaranya, hal kecilnya
saja ia mengatakan jika di tempat itu ketika tamu yang datang diwajibkan mengambil makanan sendiri dan duduk dilantai yang beralaskan tikar, hal ini
tidak pernah terjadi di Tiongkok. “yes I have , my civil colleague had marriage, and we come to her
home and I see that local culture is so different with ours. For
Universitas Sumatera Utara
example, when we gonna eat, so we must sit down in the floor, but in china we never do that.”ya saya pernah, teman kerja saya di
bagian sipil menikah, dan kami datang kerumahnya dan melihat kebudayaan lokal sangat berbeda dengan kebudayaaan yang kami
miliki, contohnya saja, ketika kami akan makan, kami harus duduk dilantai, akan tetapi di Tiongkok tidak pernah melakukan hal yang
seperti itu.
Mengenai gegar budaya atau culture shock, Mr.Tao sendiri mengatakan
dia tak pernah merasakan dijauhi ataupun dimusuhi oleh masyarakat lokal, bahkan sebaliknya para masyarakat maupun pekerja lokal tersebut sangat baik terhadap
dirinya dan secara keseluruhan mereka menerima kedatangan pekerja asing di daerah mereka dengan senang hati. Akan tetapi peneliti juga mendapatkan jika
Mr.Tao pernah mengalami fase gegar budaya selama ia bekerja di proyek tersebut, beliau menyatakan jika pada pertama-tama ia datang ia merasa cukup takut dalam
menghadapi hal-hal asing yang tak biasa ia lihat di tempat asalnya, dan juga kondisi tersebut diperparah jika keluarganya sebenarnya tidak pernah
mengijinkannya untuk pergi bekerja ke Indonesia, hal inilah yang membuatnya cukup khawatir dengan keputusan yang ia ambil.
“yes I have, because my families don’t allow me to go to Indonesia, and then when I came here, I found many people have different
culture from me. ya saya pernah merasakan takut, karena keluarga saya tidak memperbolehkan saya untuk pergi ke
Indonesia, dan juga ketika saya datang ke tempat ini, saya menemukan banyak orang yang mempunyai budaya yang amat
berbeda dari saya
Tidak hanya berbicara persoalan takut untuk menghadapi budaya barunya, ia juga terserang penyakit yaitu demam, dan panas tinggi, ia juga
menyatakan penyebab utama hal itu bisa terjadi dikarenakan adanya perbedaan dari suhu yang begitu besar antara negerinya Tiongkok dan tempat di mana ia
bekerja tersebut, sehingga pada minggu-minggu pertama bekerja ia sangat sulit untuk beradaptasi dengan lingkungan yang panas dan berdebu.
“yes I ever had some sickness,when the first time I came here I got fever”ya saya pernah merasakan sakit, ketika pertama sekali saya
datang ke tempat ini saya pernah demam.
Di lain hal gegar budaya yang dialami oleh Mr.Tao berkisar tentang kerinduannya akan kampung halaman beserta sanak dan saudaranya di Tiongkok,
Universitas Sumatera Utara
ia menyatakan kerinduannya terhadap orang tua, adik, kakak, dan tak ketinggalan juga pacarnya.
”I have mother, father, one sister, and one brother, and i have a girl friend in there,and I missing all of them very much. everybody
missing the family, andsometimes I call them, and take some pictures of them.saya punya ibu, ayah, satu orang kakak, satu
orang adik, dan juga saya mempunyai pacar di sana, dan saya sangat merindukan mereka, setiap orang pasti merindukan
keluarga, dan terkadang saya menelepon mereka, dan mengambil beberapa gambar mereka”
Peneliti juga bertanya sejauh mana tingkat pengenalan beliau dalam melihat perbedaan-perbedaan yang terjadi dan yang telah ia alami selama ia
bekerja di proyek tersebut. Hal ini peneliti tanya agar peneliti tahu sudah sampai sejauh mana pengenalan beliau terhadap kebudayaan yang dimiliki oleh
masyarakat setempat dengan cara membandingkan kebudayaan yang terjadi dalam ruang lingkup penduduk yang ada di sekitar ia tinggal dengan kebudayaan
asli yang ia miliki di Tiongkok. Dalam pertanyaan tersebut ia menceritakan banyak hal, mulai dari
lingkungan yang menurutnya sangat panas, dari transportasi publik yang menurutnya jauh dari kata standard jika dibandingkan dengan transportasi yang
ada di negaranya,juga berkisar mengenai makanan yang berbeda, kebiasaan hidup para penduduk lokal yang menurutnya juga berbeda dengan kebiasaan
yang ada di Tiongkok dan ia juga menjelaskan hal yang spesifik mengenai sikap hidup dari penduduk pribumi. Ia menyatakan jika rata-rata penduduk pribumi
punya penghasilan yang rendah akan tetapi mereka terlihat sangat bahagia dengan keadaannya, hal ini sangat berbanding terbalik dengan negaranya.
Ia menyatakan jika di Tiongkok mereka harus bekerja keras setiap hari untuk mendapatkan banyak uang, karena di Tiongkok segala seuatu yang dijual
di sana harganya amatlah mahal, jadi mereka harus mengumpulkan banyak uang untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari dan ia juga menyoroti tingkat
perekonomian yang ada di tempat tersebut dengan yang ada dinegaranya, jika di negaranya terutama jika dikota-kota besar kita akan melihat banyak orang dan
kita tak akan punya waktu untuk berbicara satu sama lain, hal ini dikarenakan mereka harus bekerja sangat cepat di pagi hari.
Universitas Sumatera Utara
“many different, from the environment, from the public transportation, for example I ever go to medan by bus, and the bus
is very small. The habbit , the food, and i see all of local people are very good and kindly person. They only have little money, but they
are seems very happy, in china we must hard working everyday to get much money, because in my country everything are very
expensive, so we need much money to fulfill our daily needed. And then If you go to china and go to the big city, you’ll find much
people and we have no time to talk to each other because we must work very early in the morning.”
Informan V
Nama : Junita
Tanggal wawancara : 18 Maret 2015
Pukul : 19:00 WIB
Tempat : Mess GPEC
Ibu Junita adalah pekerja lokal yang bekerja di proyek pembangunan PLTU, ia bekerja sebagai juru masak yang mengelola ketersedian bahan
makanan bagi para pekerja Tiongkok,. ia sendiri telah bekerja selama 3 tahun bersama dengan koki – koki yang sengaja dibawa oleh pihak perusahaan dari
Tiongkok untuk menjaga agar makanan yang mereka makan di tempat tersebut tidak jauh berbeda dengan apa yang mereka konsumsi di negaranya.
Ibu Juni bekerja mulai dari pukul 05:00 pagi untuk menyediakan sarapan pagi dan ia akan selesai bekerja ketika petang tiba karena ia juga harus
mempersiapkan makan malam pekerja Tiongkok. Ia banyak bercerita tentang suka dukanya bekerja di tempat tersebut, mulai dari sulitnya bekerja menjadi juru
masak karena banyak waktu yang harus dihabiskannya, sehingga ia kurang memiliki waktu untuk mengurusi anak-anaknya, dan dengan intensitas kerja yang
cukup tinggi dalam mempersiapkan makanan 3 kali sehari, yaitu pada pagi hari, siang hari dan malam hari, tapi itulah pengorbanan yang harus ia pikul sebagai
seorang ibu dan sekaligus tulang punggung keluarganya.
Dalam suasana yang sedikit prihatin, peneliti mencoba perlahan-lahan
mengalihkan pembicaraan kearah konsep yang telah peneliti buat, pada awalnya peneliti bertanya mengenai bagaimana ia mengelola makanan tersebut agar
semua pekerja mendapatkan porsi yang sama setiap harinya,dan tidak berlebihan
Universitas Sumatera Utara
dan juga tidak kekurangan, dari pernyataan ibu tersebut peneliti mendapati jika mereka sudah mempunyai takaran-takaran tertentu dalam membuat makanan
yang disediakan agar sesuai dengan porsinya masing-masing, ia juga mencontohkan jika ketika pekerja Tiongkok yang bekerja di tempat ini berjumlah
lebih dari 1000 orang, maka mereka cukup kerepotan dan mengeluarkan tenaga ekstra agar suplai makanan tidak datang dengan terlambat setiap harinya.
“ya kan kita udah punya takarannya, contoh kita dapat informasi jumlah pekerja China ini berapa ya udah tinggal kita sesuaikan
aja takarannya, pernah dulu pekerja nya berjumlah 1000 orang lebih malah, kami masak banyak kali, kalau beras setiap hari
ditakar 34 goni beras, minyak makan sampai 28 bungkus habis, semua tungku yang ada di sini hiduplah kemarin itu, cukup
kerepotan lah masaknya waktu itu” Ada hal yang cukup unik dalam data yang disajikan di sini,yaitu jumlah
pekerja Tiongkok yang berjumlah 1000 orang lebih, sedangkan ketika peneliti melihat arsip bank data yang dimiliki oleh Bagus Karya berjumlah kurang lebih
800 orang, artinya ada selisih 200 orang lebih yang tidak terdata dan hal ini masih menjadi tanda tanya yang besar dalam diri peneliti sendiri.
Dalam hal interaksi dengan mereka beliau mengatakan pada dasarnya mereka sama-sama tidak mengetahui bahasa lawan bicaranya, ibu Juni tidak
mengerti bahasa Tiongkok, dan juga sebaliknya, tentu hal ini sangat menimbulkan kendala bagi keefektivitasan komunikasi yang mereka jalin,
sehingga baik Bu Juni maupun pekerja Tiongkok berkomunikasi menggunakan bahasa dalam bentuk komunikasi nonverbal. Namun tidak terhadap semua
pekerja Tiongkok ia menggunakan bahasa nonverbal, ia mengatakan jika terhadap kepala koki yang berasal dari Tiongkok ia tidak susah payah lagi
menggunaikan bahasa nonverbal sebab, kepala koki tersebut sudah menguasai bahasa Indonesia dengan lumayan baik, walaupun lagi-lagi tak bisa dipungkiri
gaya bahasa, dan aksen nya masih kental dengan gaya khas Tiongkok. “ Ya ada juga kendala, orang kami gak bisa bahasa China kan,
orang itu ga bisa bahasa Indonesia, ya pake bahasa isyarat lah, Jadi kalo dia ngomong kita udah pahamlah sikit-sikit, orang udah
lama kerja sama orang itu, dan kalau udah ada apa enggak yang bisa berbahasa Indonesia, kepala koki kami di sini udah bisa
bahasa Indonesia, cuma dia ngerti-ngerti sedikitlah, istilahnya kalo dikita masih berpasir-pasir bahasanya. Kalo kita bicara
“ambil sayur itu, ambil ini” dia taulah ..”
Universitas Sumatera Utara
Peneliti juga mendapatkan data jika kepala koki tersebut bernama Sakau dan ia ternyata telah bekerja selama 6 tahun bekerja sebagai kepala koki di dalam
proyek ini, waktu yang cukup lama dalam mempelajari dan menginternalisasi budaya yang ada di Indonesia, namun di atas telah dikatakan jika koki tersebut
hanya bisa berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia dalam hal-hal yang mendasar.
“Kayak kepala koki yang dari China itu , si Sakau namanya, memang udah lama dia kerja di sini udah sekitar 6 tahun makanya dia ngerti
bahasa Indonesia”
Kemudian peneliti bertanya bagaimana akulturasi yang dialami oleh pekerja Tiongkok dalam hal makanan, seperti yang sudah diketahui jika akulturasi
mencakup penginternalisasian segala lambang, simbol,dan budaya yang dimiliki oleh penduduk pribumi termasuk juga dalam hal makanan. Dari pernyataan beliau
peneliti mendapatkan jika makanan yang disediakan memang mendapatkan atensi yang serius dari perusahaan sehingga pihak perusahaan sengaja mempekerjakan
juru masak langsung dari Tiongkok, sehingga cita rasa makanan yang ada di Indonesia tidak jauh berbeda dengan makanan yang mereka konsumsi setiap hari
di Tiongkok. “Yang pastinya menu pokok orang itu setiap hari pasti daging babi
lah, ga pernah ganti-ganti lagi, istilahnya kalau di kita ikan nya orang itulah daging babi itu, kadang digoreng, di tumis,semur,di
sop, ya itu-itu ajalah tukar-tukar tiap hari, kalo sayurnya sama juga keseringan di tumis , orang ini suka tumis-tumisan tapi agak
beda tumisan nya sama di kita, orang ini tumisnya pake minyak banyak – banyak, kayak kuah lah istilahnya minyak makan itu.”
Akan tetapi bukan berarti semua bahan makanan dan bumbu olahannya
juga berasal dari negara mereka, bahan-bahan makanan beserta bumbu olahannya didapat langsung dari pasar tradisional yang ada di sekitar tempat tersebut, dan
sudah ada orang yang memang khusus memasok bahan makanan untuk mereka. “Ya gak lah, kokinya aja dari sana, kalo bahan-bahannya asli dari
Indonesia semua, bumbu-bumbunya juga dari sini, sayur juga dari Indonesia kita udah ada penyuplainya bang, orang China juga, tapi
penduduk setempat, Hasan namanya”
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya ibu Juni juga mengatakan selama bekerja di sini sudah banyak makanan yang mereka sukai baik dari segi jenis makanan, maupun cita rasa
olahan khas Indonesia. “Kalau makanan Indonesia orang itu suka nasilah, kalau di negaranya
sana orang ini jarang makan nasi, makan mie sama makan sejenis gandum. Paling kalo ada sikit-sikitlah makan nasi, makanya kalo kerja di
sini gemuk-gemuk badan orang ini. Trus kayak sayur lah kan, orang ini kalau sayur ada yang suka ada yang enggak, kayak buncis sama labu,
kacang tanah, ada yang suka orang itu , tapi ada juga yang enggak, tapi kalau sayur yang paling orang ini suka itu kangkung bang, hampir semua
suka sayur kangkung orang ini, kadang mau nambah-nambah pun, sampe kami pun terpaksa masak lagi karna ada yang belum kebagian.
Informan VI
Nama : Mr. Mao Tang
Tanggal wawancara : 26 Maret 2015
Pukul : 11:37 WIB
Tempat : Kantor GPEC, Pangkalan Susu
Mr. Mao Tang atau yang sering disapa dengan panggilan Tang adalah pekerja Tiongkok yang sudah mampu berkomunikasi menggunakan bahasa
Indonesia. Pada awal telah di deskripsikan jika Mr. Mao Tang ini merupakan salah satu pekerja yang mempunyai hubungan interaksi yang baik terhadap
pekerja lokal, bahkan sempat disebut didapatkan lnformasi jika ia merupakan salah satu pekerja asing Tiongkok yang belajar berbahasa Indonesia dari pekerja
lokal terkhusus beliau belajar dari salah satu rekan kerjanya yaitu Pak. Awal yang juga merupakan salah satu informan peneliti.
Ketika peneliti menemui Mr.Tang peneliti cukup sulit mendekati Mr.Tao untuk diwawancarai, sebab selain tuntutan pekerjaan yang tinggi ia juga tidak
mau berbicara sembarangan terhadap orang asing yang belum pernah dilihat dan dikenalnya sama-sekali. Hal ini memang disampaikan langsung oleh penerjemah
mereka, ketika peneliti melistkan nama beliau dalam daftar informan penelitian, tapi beruntunglah peneliti bisa mewawancarai beliau dikarenakan bantuan oleh
juru bahasa GPEC Ibu Jessi, Ibu Jessi tersebut bersedia untuk memperkenalkan
Universitas Sumatera Utara
peneliti dengan beliau dan menyatakan jika peneliti adalah seorang mahasiswa yang ingin bertanya seputar kehidupan selama menetap di Indonesia.
Mr. Mao Tang sendiri bekerja sebagai teknik sipil dan telah bekerja selama lima tahun lebih di proyek ini, ketika peneliti bertanya, apakah ia pernah
membayangkan bagaimana keadaan lingkungan kerjanya sebelum ia berangkat, beliau menjawab jika ia sama sekali tidak pernah belajar bagaimana lingkungan
dan kebudayaan yang dimiliki oleh lokasi tersebut, namun ia cukup bersyukur ketika lokasi di mana ia bekerja tidak terisolasi dengan penduduk makanya ia
katakan jika lokasi tempat ia bekerja cukup bagus, hanya saja keadaan cuaca di proyek tersebut cukup panas.
Dalam hal interaksi dengan penduduk pribumi, ia menyatakan biasanya beliau berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia, walaupun ia sendiri
mengakui dalam hal berbahasa ia masih memiliki banyak kekurangan, namun para penduduk pribumi merasa maklum dan mereka terus mengajari Mr.Tang
dalam mendalami bahasa Indonesia. Walaupun di atas telah disinggung jika ia sama sekali tidak tahu menahu
mengenai kultur di lokasi tersebut, namun ia mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya. Ia menyatakan jika kemampuan berbahasa Indonesia yang
ia miliki sekarang tidak terlepas dari bantuan teman-teman kerja nya yang berasal dari penduduk pribumi, ia sering sekali menanyakan sesuatu kedalam bahasa
Indonesia, baik benda maupun maksud dari kata-kata atau kalimat Indonesia kepada pekerja lokal dan ia mencoba untuk mengingatnya dan mengulangi apa
yang disebutkan tersebut, dengan cara ini perlahan-lahan ia mengerti sendiri bagaimana berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia, walaupun ia
menyadari ada waktu yang cukup lama sampai ia mampu menguasai bahasa Indonesia seperti sekarang ini.
“Saya ngerti bahasa Indonesia dari kerjaanlah, dari Bagus Karya sama Awal, dari kawan kerja, saya tanya-tanya dulu ini apa, itu
apa, lama-lama saya tau sedikit-sedikit, sampai sekarang. Saya bisa ngomong Indonesia, ya cukup lamalah, sekitar 3 tahun.”
Kemudian peneliti bertanya kepada beliau mengenai bagaimana
interaksinya terhadap masyarakat sekitar mess,dari pernyataan beliau ia adalah pekerja asing yang cukup aktif bersosialisasi dengan penduduk sekitar, terkhusus
pada waktu malam setelah selesai bekerja.
Universitas Sumatera Utara
“ Pernahlah, tiap malam setelah pulang kerja saya duduk – duduk di situ.”
Pada awal-awal kedatangannya untuk pertama kali bekerja di Indonesia, ia juga mengaku terkena dampak gegar budaya, terkhusus dalam hal kendala fisik
seperti sakit demam, panas tinggi, cuaca panas. Tidak hanya di situ saja penyakit yang ia derit, ia mengaku jika di lokasi ini banyak nyamuk, maklum kondisi
lingkungan yang berada di sekitar perairan membuat banyak air-air yang tergenang yang menjadi sarang nyamuk. Kemudian hal yang tidak bisa dilepaskan
dalam gegar budaya adalah merindukan jati diri lingkungan yang sebenarnya, dalam hal ini termasuk ruang lingkup lingkungan tempat tinggal, keluarga, sanak-
saudara, istri, anak, teman, dan lain sebagainya, dan untuk melepas rindu ia berhubungan secara intens baik melalui handphone, maupun media sosial.
“Wah pernah sakitlah, sakit kepala, demam juga pernah ada, terus di sini banyak nyamuklah, terus saya rindulah sama keluarga di
Cina, ada istri, orang tua, anak, biasanya saya telepon keluarga lewat Handphone, kadang lewat email, Facebook juga ada.
Kendala gegar budaya lainnya, seperti merasa ditolak oleh penduduk sekitar,merasa dikucilkan ataupun disudutkan dan lain sebagainya tidak pernah
dirasakan oleh nya. Selama ini ia merasa jika jalinan komunikasi dalam bersosialisasi dengan pihak pribumi sejauh ini masih terjalin dengan baik, bahkan
ia menilai jika para penduduk pribumi sangat Welcome terhadap dirinya sehingga dari pengenalannya akan mereka, Mr. Tang menilai penduduk pribumi dengan
predikat baik dan ramah. Setelah itu peneliti bertanya seputar perbedaan yang ada di tempat tersebut
dengan kebudayaan yang ada di negara asalnya, hal ini dilakukan agar peneliti mengetahui sejauh mana tingkat pengenalan budaya tempatan yang telah ia huni
selama kurang lebih lima tahun. Pengetahuan ia akan kebudayaan yang berlaku di tempat tersebut ialah mengetahui perbedaan dalam hal makanan dan cuaca serta ia
juga menyoroti perbedaan bahasa dan individu yang berbeda. “ Iya ada perbedaannya, seperti makanannya tidak samalah, kayak sayur
tidak sama yang ada di sini dengan di sana ,kalau di sini panas cuacanya, kalau di China dinginlah. terus orang-orangnya bedalah tidak sama,
bahasa juga tidak sama”
Universitas Sumatera Utara
Dari pernyataan beliau mengenai perbedaan kebudayaan yang di
rasakannya ia menyoroti perbedaan yang mencolok terletak pada makanan yang ada di Indonesia, sayur-sayuran yang ada di Indonesia, selanjutnya ia menyoroti
perbedaan iklim dan cuaca yang ada di lokasi tersebut, dan para penduduk yang berbeda, serta ia juga menyoroti dalam hal bahasa yang jauh berbeda dari bahasa
asalnya.
Informan VII
Nama : Bernard Patralison Girsang
Tanggal wawancara : 6 April 2015
Pukul : 12:25 WIB
Tempat : Kantor Bagus Karya
Bernard Patralison Girsang merupakan salah satu pekerja lokal yang memiliki intensitas pertemuan yang tinggi dengan para pekerja Tiongkok. Selain
ditugaskan sebagai partner kerja antara Bagus Karya dan GPEC yang mengurusi segala yang berkaitan dengan konstruksi bangunan proyek, ia juga tinggal dan
menetap di lingkungan mess pekerja Tiongkok. Peneliti sangat bersyukur bisa mengenal beliau, karena ia telah banyak
membantu berbagai macam kelengkapan administrasi dan membantu peneliti untuk membangun relasi dengan para pekerja lokal maupun pekerja Tiongkok. Ia
juga yang menjadi pendamping sekaligus pembimbing lapangan peneliti selama melakukan penelitian di proyek PLTU tersebut.
Selama berinteraksi dengan pekerja Tiongkok pak Bernard mengatakan tidak pernah mengalami kendala dalam hal komunikasi dengan pekerja Tiongkok,
hal ini disebabkan kedua belah pihak tersebut sudah mengerti trik-trik komunikasi yang harus mereka gunakan.
“Sampai saat ini belum pernah ada kendala, karna sampai saat ini kami sudah sama-sama mengerti trik-trik komunikasi yang harus
dilakukan, seperti jika mereka tidak bisa berbahasa Indonesia saya pakai bahasa Inggris, kalaupun tidak pandai berbahasa
Inggris, kita pakai bahasa isyarat, kalaupun isyarat kurang mengerti kita biasanya akan panggil penerjemah.”
Setelah itu peneliti menanyakan apa yang menyebabkan pekerja Tiongkok mampu berbahasa Indonesia dalam interaksinya sehari-hari, sedangkan dilain sisi
Universitas Sumatera Utara
banyak pula pekerja Tiongkok yang tidak mampu, bahkan sama sekali tidak mengetahui bahasa Indonesia. Dari pernyataan beliau peneliti mendapatkan
mampu atau tidaknya pekerja Tiongkok tersebut berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia disebabkan adanya kemauan untuk mempelajari bahasa
Indonesia dengan sungguh-sungguh dan yang selanjutnya dikarenakan juga adanya tingkat kedekatan yang baik dengan para penduduk pribumi.
“Ya itu bergantung pada diri mereka masing-masing juga, bagaimana mereka mau mempelajari bahasa Indonesia,
bagaimana tingkat kedekatan mereka terhadap kita pekerja. Ada juga pekerja yang sering berhubungan dengan pekerja kita, tapi
dia sampai sekarang tidak bisa berbahasa Indonesia, karena ia memang tidak mau tau tentang bahasa Indonesia. Terkadang kami
mau ajari bahasa Indonesia sama mereka, tapi mereka asal diajari terus lupa, ya sudahlah.”
Dari pernyataan pak Bernard juga peneliti mendapatkan jika sebenarnya para pekerja Tiongkok yang mampu berbahasa Indonesia ini hanya mengetahui
hal-hal dasar dari percakapan sehari-hari dan memang bisa membaca menggunakan abjad, namun jika disuruh untuk menuliskannya, pada umumnya
mereka tidak begitu mengetahuinya. “Kalau mereka menuliskan bahasa kita kurang ngerti. Cuma kalau
membaca alphabet Indonesia mereka bisa. Ya kalau sejauh mana bisa berbahasa Indonesia, seperti hal-hal dasar dari percakapan
sehari-hari bisa lah.”
Lamanya waktu dan intensitas pertemuan kedua belah kultur yang berbeda membuat dampak yang sangat signifikan terhadap perubahan pola budaya
pendatang yang dipengaruhi oleh pola budaya setempat. Seperti yang terjadi pada pekerja Tiongkok menurut pengalaman yang dilihat dan dirasakan langsung oleh
Pak Bernard, ia merasakan cukup ada perbedaan yang terjadi dari awal dia bekerja di tempat ini sampai sekarang.
“Yang saya lihat adalah sedikit-sedikit, kayak contohnya, kami pernah kemarin pergi bersama-sama dengan mereka untuk
menghadiri pesta pernikahan rekan kerja kami di dekat desa ini. Waktu itu pas makan, saya makan pakai tangan, mereka pada
tanya kesaya, kenapa makan pakai tangan, kan mereka ga pernah makan seperti itu, mereka taunya kalau makan pakai sendok,
sumpit. Trus saya bilang ini kebudayaan kami dan mereka mengikuti saya makan pakai tangan. Terus sekarang kebanyakan
Universitas Sumatera Utara
dari yang saya kenal mereka jadi ramah-ramah, tentang kebudayaan lokal kayak mereka sudah mengerti kalau mayoritas
penduduk maupun pekerja pribumi beragama Islam yang mengharamkan daging babi, sehingga mereka mengerti pada
waktu makan siang di proyek, atau mess, mereka tidak ada yang keluar dan menghargailah. Kemudian mereka mengetahui
aktivitas kerohanian masyarakat lokal di mess, contohnya pada saat maghrib mereka tidak mau keluar, karena mereka mengetahui
jika mayoritas penduduk di situ sedang melakukan ibadah sholat” Perbedaan budaya yang beliau soroti terletak pada kebiasaan memakan
makanan, biasanya mereka memakan makanan apapun memakai sumpit, namun beliau mengatakan jika mereka pernah mengikuti cara makan pak Bernard dengan
menggunakan tangan, kemudian ia menyoroti jika ada sikap toleransi yang ditunjukkan oleh para pekerja lokal terhadap penduduk pribumi yang mayoritas
muslim. Kemudian peneliti bertanya seputar gegar budaya yang pernah ia lihat dari
pekerja Tiongkok, dari pernyataan beliau tampaknya secara umum akibat dari gesekan cultural dan lingkungan yang baru para pekerja Tiongkok mengalami
demam,dan sakit perut, hal ini tentu disebabkan karena cuca dan jenis makanan yang berbeda dari negara asal mereka.
“ Ya pernah, pada saat awal-awal terkejut mungkin badan mereka, banyak yang demam, biasanya karena cuaca, dan salah makan,
mungkin dia makan yang gak sesuai dengan dirinya, jadi sakit perutnya.”
Pekerja Tiongkok ini juga tidak pernah mengalami kecemasan akibat
perilaku menyimpang masyarakat sekitar maupun pekerja lokal dan juga para pekerja Tiongkok tidak pernah merasa diasingkanoleh penduduk sekitar, maupun
para pekerja lokal. Bahkan menurut penuturan beliau, pekerja dan masyarakat tempatan saling bergantung satu sama lain sehingga masing-masing dari kedua
belah pihak menjalin hubungan interaksi dengan baik. Namun jika ditanyakan apakah para pekerja Tiongkok sering mengeluh
terhadap kinerja pekerja lokal, beliau menjawab jika ia sering menemui kasus seperti keluhan-keluhan atas kinerja pekerja lokal yang bekerja bersama mereka di
proyek tersebut, seperti sering bermalas-malasan, beristirahat sebelum waktunya, merokok sembarangan di dalam area proyek, atau tidak tepat waktu dalam
bekerja, mereka tidak menyukai hal-hal yang berbau tindakan indisipliner, karena
Universitas Sumatera Utara
kebiasaan penduduk Tiongkok yang disiplin dalam hal apapun, termasuk dalam
hal bekerja dan waktu.
“Kalau mengeluh, mereka sering mengeluh tentang kinerja pekerja lokal, pekerja lokal kita itu terkadang tidak segesit
mereka, ya saya tidak mau menjelek-jelekkan para pekerja lokal, contohnya, saya kelapangan lihat para pekerja lokal sering
bermalas-malasan kayak merokok, tidur-tidur sebelum waktu jam istirahat, sementara itu pekerja China gak pernah mau
begitu,itulah yang gak suka mereka sama orang kita. Tapi kalau waktu jam istirahat tiba, mereka makan setelah itu langsung
tidur.”
Tidak hanya itu saja, menurut pengalaman pak Bernard, para pekerja Tiongkok tersebut sangat merindukan kampung halamannya, dan sering sekali
berbagi cerita kepada beliau mengenai kerinduannya dan sanak saudaranya yang tinggaln di sana.
“Oh sering, apalagi seperti pekerja kita kayak Tao, Yen, mereka kasi tau sama saya mengenai keluarganya, hidup mereka di sana
bagaimana, ya seringlah mereka cerita.”
Informan VIII
Nama : Suprayitno
Tanggal wawancara : 12 April 2015
Pukul : 21: 15 WIB
Tempat : Desa Tanjung Pasir, Pertanian
Pak Suprayitno atau yang disapa dengan panggilan pak Yetno ini merupakan masyarakat lokal yang tinggal cukup lama di Desa Tanjung Pasir,
bahkan ia telah menetap di tempat ini sejak ia lahir hingga sekarang. Pak Suprayitno berprofesi sebagai petani dan juga membuka warung di sekitar mess
pekerja Tiongkok. Dalam penuturannya semenjak pertama kali mess ini berdiri ia telah berjualan membuka dengan warung yang menjual aneka kebutuhan para
pekerja Tiongkok seperti makanan dan minuman, jajanan, rokok, perlengkapan mandi, dan lain sebagainya.
Terkait hal interaksi terhadap pekerja Tiongkok, awalnya pak Yetno cukup cukup kesulitan dalam berkomunikasi dengan pekerja Tiongkok, hal ini
Universitas Sumatera Utara
disebabkan beliau tidak menguasai bahasa mandarin barang sedikitpun, begitu juga dengan mayoritas pekerja Tiongkok, mereka juga tidak menguasai bahasa
Indonesia, namun hal ini bisa di atasi perlahan-lahan oleh kedua belah pihak dengan beberapa bahasa nonverbal sebagai suatu metode yang diterapkan dalam
interaksi mereka. Seperti contoh, ketika pekerja Tiongkok ingin membeli sesuatu mereka mencari contoh barangnya, jenis barang tersebut diserahkan kepada
penjaga warung dan ketika penjaga warung menyatakan jumlah harga barang tersebut, sebaliknya para penjaga warung yang menunjukkan besaran nominal
rupiah kepada pekerja tersebut. Terkadang bagi pekerja Tiongkok yang memang mau mempelajari bahasa Indonesia, maka awal-awalnya ia menanyakan nama-
nama barang tersebut kepada penjaga warung dalam bahasa Indonesia. Dilain kasus dalam hal interaksi dengan pekerja Tiongkok pak Yetno juga
mencontohkan bagaimana mereka berkomunikasi, terkadang para pekerja yang ingin membeli sesuatu ke warung beliau memakai suatu aplikasi penerjemah,
berupa kamus elektronik yang diunduh mereka di dalam gadget mereka masing- masing, sehingga ketika ia ingin membeli sesuatu dan para pekerja tidak
mengetahui nama barang tersebut dalam bahasa Indonesia, maka ia menterjemahkan dari bahasa mereka. Hasil terjemahan tersebut diberikan kepada
pak Yetno, kira-kira begitulah seterusnya mereka berinteraksi. Seiring dengan berjalannya waktu dan intensitas interaksi yang cukup
tinggi dengan para pekerja Tiongkok, maka interaksi yang mereka lakukan tak lagi sekaku itu, pak Yetno sudah mampu menggunakan bahasa mandarin dalam
berkomunikasi dengan mereka, walaupun ia mengakui bahasa mandarin yang beliau ketahui hanya secara lisan yang berasal dari pengucapan pekerja Tiongkok
yang sering terdengar di telinganya ketika mereka bercengkerama diwarung miliknya sehingga ia juga sama seperti para pekerja Tiongkok pada umumnya, ia
tidak bisa menuliskan pesan kedalam tulisan Mandarin. “Pake bahasa orang itu, bahasa China, tapi saya kurang tau
bahasanya, istilahnya kita cuma ikuti apa yang orang itu bilang aja lah, orang-orang itulah yang mengaitkannya nanti.”
Ketika peneliti bertanya alasan mengapa ada pekerja yang mampu menguasai bahasa Indonesia, namun dilain sisi sangat banyak pekerja Tiongkok
Universitas Sumatera Utara
yang tidak mengetahui bahasa Indonesia bahkan para pekerja yang sudah bekerja lebih dari 1 Tahun pun tidak menguasai bahasa Indonesia sedikitpun. Menurut
beliau para pekerja Tiongkok yang mampu berbahasa Indonesia ini biasanya sangat aktif dalam hal bersosialisasi dengan masyarakat sekitar, bahkan ia juga
tak sungkan untuk bertanya dan mau belajar baik dari para pekerja lokal, masyarakat maupun belajar secara otodidak melalui kamus elektronik yang
mereka pasang di Smartphone masing-masing. “Ya yang pandai bahasa Indonesia ini biasanya lasak-lasak semua,
maksudnya orang ini mau kawan-kawani masyarakat sini,biasanya ke warung dia nanya-nanya ke saya, trus orang ini yang bisa bahasa
Indonesia, ada aplikasi translatenya, jadi belajar dari hape aja,contoh kalau orang ini ga tau bahasa Indonesia nya dari suatu barang dan
harga, biasanya dia ngomong pakai bahasa orang itu ke hapenya, trus langsung keluar bahasa Indonesia, kamusnya lah, ditunjuknya kekita
untuk dibaca,orang itu ikutin cara pengucapannya, ya gitu-gitu lama- lama ngerti juga orang itu bahasa kita”.
Biasanya para pekerja yang mampu menguasai bahasa Indonesia ini telah
bekerja dalam jangka waktu yang cukup lama dan jika pun mereka mengetahui bahasa Indonesia hal itu masih jauh dari kata sempurna. Sebab mereka juga
menguasai kata-kata umum yang sering mereka dengar di sekitar lingkungan kerja mereka dan juga mereka hanya mengerti bahasa Indonesia yang biasa
dipakai oleh masyarakat tempatan dan pekerja lokal. “Kurang tau juga berapa lama, yang pasti lama orang ini baru bisa
bahasa Indonesia, kalau pun ada masih sikit-sikitlah paling juga hanya percakapan sehari-hari kita aja yang mereka tahu.
Menurut beliau para pekerja Tiongkok yang mampu berbicara
menggunakan bahasa Indonesia tersebut dipastikan tidak bisa menuliskannya, hal ini dipandang beliau dengan alasan jika mereka menguasai bahasa Indonesia
hanya berasal dari percakapan sehari-hari atau secara lisan bukan berasal dari tulisan.
“Enggak, sudah dipastikan nggak bisa,kenapa? karena mereka bisa bahasa Indonesia kan asalnya cuma dari ngomong-ngomong aja, dia
Tanya kita jawab, ya lama-lama mereka hapal pengucapannya aja, tapi tulisan gak tau, jadi teorinya gak bisa orang ini baca atau tulis tulisan
kita”.
Selanjutnya peneliti mendapatkan data yang berkaitan dengan pola-pola perubahan budaya yang dialami oleh pekerja Tiongkok. Pak Yetno menyoroti
perubahan yang harus mereka terapkan secara sadar dalam lingkup nilai-nilai
Universitas Sumatera Utara
moral yang dimiliki oleh para penduduk pribumi, seperti nilai adat-istiadat dan norma keagamaan yang dipegang oleh masyarakat sekitar.
“Ya orang ini mengertilah kita mayoritas muslim, kan mereka tiap hari makan babi, ga mau keluar-keluar mess ini sambil bawa
makanan itu, baru-baru ini ada 2 orang dari mereka yang datang- datang ke musholla, sering-sering juga datang liat-liat pengajian,
lama-lama kami juga risih ngapain juga dia tiap hari datang kesini, kalau mau beribadah ya bagus juga, ini cuma perhatiin
kami ya kami usirlah, memang mungkin mereka penasaran juga kan dengan ibadah kita. Karena orang itu pun ga ada agamanya
jadi unik dirasanya mungkin.”
Dalam hal gegar budaya beliau tidak mengerti banyak hal, namun berbekal pengalaman hampir 8 Tahun berinteraksi dengan mereka pak Yetno
dapat mengambil kesimpulan, jika gegar budaya yang dialami oleh pekerja Tiongkok terfokus pada perbedaan lingkungan seperti keadaan cuaca yang panas
sehingga kebanyakan mereka sering mengeluh serta terkait dengan makanan yang ada di wilayah tersebut.
“Kalau mengeluh paling biasanya karena cuaca panas aja, terus sama makanan yang ada di sini. Kita kan identik dengan cabe,
pedas orang itu ga suka dan memang ga bisa makan pedas. Terus ada suatu bumbu yang ada di kita yang orang itu gak bisa makan,
kalau udah temakan itu maaf cakaplah, langsung ke kamar mandi truslah urusannya. Makanya orang itu hati-hati kali kalau makan,
soalnya kalau salah makan langsung gak bisa nerima perutnya.”
Selain itu ia juga mengatakan jika ia tidak pernah mengetahui apa saja penyakit yang diderita oleh pekerja asing tersebut selama bekerja dikarenakan
masing-masing pekerja Tiongkok telah dibekali dan membekali dirinya dengan berbagai macam obat-obatan yang sengaja mereka beli dari negaranya, sehingga
diwarungnya ia tidak pernah berjualan obat-obatan. “Gak tau saya, gak pernah dengar ataupun beli obat di sini.orang itu beli
obat dari negaranya, udah disediakan sama pihak perusahaan, kadang disiapkan orang itu juga obat mereka.”
Pengalamannya juga menyatakan jika mereka tidak pernah mengeluh
dengan masyarakat lokal, akan tetapi sebaliknya, masyarakat lokal lah yang sering mengeluhkan mereka, terkhusus dalam hal manajemen keuangan mereka yang
memang terkenal dengan teliti dan hemat.
Universitas Sumatera Utara
“Kalo itu ga pernahlah, tapi kita yang ngeluh sama mereka, karena mereka perhitungan kali kalau soal harga barang, Cuma selisih 100 perak
aja orang itu tahan ga beli, ga bisa ditokohin orang itu kalau soal uang.”
Informan IX
Nama : Leonardo Tambunan
Tanggal wawancara : 25 April 2015 Pukul
: 17:30 WIB Tempat
: Mess Pekerja Tiongkok, Desa Tanjung Pasir Leonardo Tambunan atau yang akrab disapa Pak Leo merupakan seorang
pekerja senior yang menjabat sebagai asisten manajer lapangan di Bagus Karya, ia juga menjadi penanggung jawab mess pekerja Tiongkok dan secara teknis ia juga
di percaya sebagai salah satu orang yang mengontrol rutinitas sehari-hari pekerja Tiongkok selama tinggal di messTanjung Pasir.
Pak Leo telah berkecimpung dalam pembangunan proyek ini tak kurang dari 4 Tahun, dalam masa yang terbilang cukup lama itu, ia menghabiskan
sebagian besar waktunya dalam lingkup pekerja Tiongkok, pada saat bekerja misalnya, ia bertugas memantau segala sesuatu yang berhubungan dengan proyek,
mulai dari material yang akan dipakai, pekerja Tiongkok yang bekerja di lapangan, serta permasalahan-permasalahan yang terjadi selama proses proyek
tersebut dibangun, dan selama itu pula ia tinggal dan berbaur di lingkungan pekerja Tiongkok. alasan-alasan inilah yang membuat peneliti menjadikan beliau
sebagai informan kunci dari penelitian ini. Berbicara mengenai interaksi dengan para pekerja Tiongkok, beliau
mengatakan walaupun ia sudah cukup lama bergaul dengan mereka, namun beliau tetap saja tidak bisa menguasai bahasa Mandarin, dan sebaliknya begitu juga
dengan mereka, walaupun sudah lama bekerja dan bersosialisasi dengan pekerja dan masyarakat lokal, mayoritas dari mereka tetap saja tidak menguasai bahasa
Indonesia , sehingga terkadang dalam proses interaksi sering terjadi miss komunikasi, yang berujung pada pergeseran makna pesan, dan sampai saat ini ia
juga mengaku jika hal-hal ini menjadikan suatu kendala dalam kelancaran proses
komunikasi.
Universitas Sumatera Utara
“Ya seringlah, contohnya dia gak bisa bahasa Inggris, apalagi bahasa Indonesia. Saya gak bisa bahasa mandarin sama dia, ya
itulah waktu dikerjaan sering gak nyambung. Selanjutnya kendala terjadi sewaktu penerjemah gak ada, ya itulah susahnya.”
Kendala ini memaksa beliau dan pekerja lainnya untuk memikirkan salah
satu cara alternatif untuk menciptakan suatu bahasa pemersatu yang bisa membuat kedua belah pihak sama-sama mengerti akan maksud dan tujuan pesan tersebut,
bahasa itu dinamakan bahasa tarzan oleh mereka, yaitu bahasa nonverbal yang menggunakan simbol-simbol dan gesture.
“Kalau nyambung pakai bahasa Inggris, ya pake bahasa Inggris, kalau mereka enggak pandai ya panggil penerjemah, kalau pas
penerjemah gak lagi di tempat kita pake bahasa isyarat.” Beliau mengatakan dalam skala mayoritas para pekerja Tiongkok belum
mengerti bahasa Indonesia, namun Ia tidak menampik jika ada juga pekerja yang mengetahui sedikit banyaknya atau bahkan sudah lancar dalam menggunakan
bahasa Indonesia. “Ya adalah, tapi gak banyak orang itu, yang saya tahu itu ada 4
orang, pertama Mao Tang, kedua Talu, ketiga Saw, keempat Wongsobo, itulah yang saya tahu. Kalau ditanya sejauh mana
mereka tahu bahasa Indonesia, dalam hitungan skala 1 – 100 , kira-kira sekitar 60 adalah.”
Ia menilai, jika pekerja Tiongkok yang mampu berkomunikasi dengan
baik menggunakan bahasa Indonesia, ialah para pekerja yang memang dengan sengaja meluangkan waktunya untuk bertanya, belajar lebih giat lagi akan dunia
barunya. “Yang menyebabkan itu bisa terjadi, yang pertama adaptasi
mereka sama masyarakat,seperti bersosialisasi dimasyarakat, nah hal seperti ini yang mempercepat proses mereka mengerti bahasa
kita. Yang kedua mereka sering bersosialisasi dengan pekerja pribumi, jadi tahu lah mereka bahasa kita, tapi bahasa umumnya
ajalah kan dan intinya rasa ingin tahu mereka lah yang membuat itu bisa menguasai bahasa Indonesia.”
Beliau juga menambahkan jika pada umunya mereka-mereka yang
mengerti bahasa Indonesia tersebut, adalah orang yang memang sudah cukup lama bekerja di proyek tersebut.
“Yang pasti butuh waktu yang lumayan lama untuk mereka mengerti bahasa Indonesia.”
Universitas Sumatera Utara
Dari pengalaman yang beliau alami, kebanyakan dari mereka hanya hanya mampu menggunakan bahasa Indonesia secara lisan saja, tidak begitu bisa
mengalihbahasakan pesan dengan tulisan. “Menurut yang saya lihat, mereka yang pandai bahasa Indonesia
itu ada yang bisa membaca atau menulis, ada juga yang enggak bisa, kayak Mao Tang itu bisa membaca dan menulis pakai bahasa
Indonesia, karena dia dekat dan sering berinteraksi langsung dengan penerjemah.”
Untuk melihat secara menyeluruh dari serangkaian proses akulturasi,
Peneliti juga menanyakan sejauh mana para pekerja Tiongkok melebur dalam kebudayaan yang dimiliki oleh budaya setempat. Dari hasil wawancara dengan
informan, peneliti mendapatkan kesimpulan jika para pekerja Tiongkok sudah mampu mengenali budaya yang berlaku di sekitarnya, terkhusus dalam hal
warisan kuliner, norma kesopanan, nilai budaya yang diwariskan, dan perilaku masyarakat setempat.
“Yang udah jelas bahasa kan, terus masakan kita udah bisa orang itu makannya, terus mereka suka buah-buahan yang memang hasil
kebun penduduk sekitar sini kan, tanaman-tanaman herbal yang kita punya di sini, jadi mereka ga perlu lagi beli obat-obatan dari
negerinya sana. Kayak contohnya, mahoni, buahnya itu mereka jadikan obat-obatan tradisional, kayak obat darah tinggi dan obat-
obat lainnya, bahkan obat-obatan tradisional yang didapatnya di sini dibawa mereka juga ke cina, dikasi sama saudara-saudaranya
di sana malahan. Batu cincin ada yang suka sama batu cincin, kan kebudayaan kita juga itu pake batu cincin. Selanjutnya mereka
tahulah orang Indonesia kalau memberi sesuatu itu harus pakai tangan kanan, jadi mereka selalu make tangan kanan setiap kali
memberi sesuatu kekita, kan kalau mereka diperbolehkan memberi sesuatu memakai tangan kiri, orang itu kasi apa-apa sama kita
pake tangan kiri,awalnya kadang-kadang bisa emosi kita, padahal itukan bagian kebudayaan orang itu, lama-lama kita ajarin ya
udah berubahlah. Trus kan ada juga pekerja cewek di sini, sering pake baju seksi-seksi kan, ya ditegur sama kita, dikasi tau kalau di
sini gak boleh pakai pakaian yang kayak begitu-begitu, ya disuruh pakai baju yang sopan, celana panjang, lama-lama gak pake baju-
baju minim lagi mereka, mereka pun sudah mengerti kalau contohnya mereka mau minum minuman keras, ya gak mau pergi
keluar-luar, di dalam aja.” Berbicara mengenai Culture shock atau gegar budaya, menurut beliau
secara garis besar mereka tidak pernah mengalami penolakan baik secara fisik
Universitas Sumatera Utara
maupun psikis oleh para pekerja maupun masyarakat tempatan, ataupun juga sebaliknya, beliau mengatakan secara umum mereka juga tidak pernah merasa
tertolak, tertekan, atau bahkan dikucilkan dengan penduduk pribumi, sebab antara pihak pribumi dengan pekerja Tiongkok memiliki suatu hubungan simbiosis
mutualisme, yaitu kedua belah pihak saling diuntungkan oleh masing-masing pihak.
“Sejauh ini diterima, kan saling menguntungkan hubungan mereka. Secara ekonomi masyarakat desa sekitar terbantu karena kehadiran
mereka, banyak masyarakat membuka warung,mereka bisa menjual hasil- hasil kebun kayak pisang, pepaya, jeruk, kelapa, sampai ini ka n ada mau
dibangun lagi PLTU proyek 3 dan 4 di sini,jadi masyarakat sini mintak kalau bisa orang yang datang nanti di sini juga tinggal.”
Namun gegar budaya yang dialami mereka biasanya lebih mengarah
jenisnya ke penyakit, yaitu berupa demam, dan panas tinggi, hal ini dipengaruhi oleh keadaan cuaca yang berbeda dengan Negara asalnya.
“Oh seringlah, panas demam, kecelakaan kerja kayak keseleo, patah tulang karena jatuh kan, ya gitulah.”
Informan Tambahan Informan 1
Nama : Reza
Tanggal wawancara : 12 April 2015
Pukul : 12 : 56
Tempat : Ruang Kesehatan, PLTU
Dokter Reza adalah seorang dokter yang memang dengan sengaja dikontrak oleh perusahaan GPEC, untuk menangani keluhan-keluhan penyakit
yang dialami para pekerja Tiongkok, terkhusus dalam hal menangani penyakit ringan seperti flu, batuk, demam, maag, sakit kepala, kecelakaan kerja yang
tergolong ringan, dan sekaligus menjadi pertolongan pertama dalam mengobati kecelakaan yang berat sebelum dirujuk kerumah sakit terdekat yang memiliki
fasilitas yang lebih memadai. Dokter reza menangani pasien dibantu oleh seorang perawat yang berasal
dari daerah setempat, ia ditugaskan untuk berjaga-jaga selama 24 jam dalam sehari, sehingga ia tinggal dan menetap di lingkungan mess di mana para pekerja
Universitas Sumatera Utara
Tiongkok tinggal. Atas alasan inilah peneliti memilih beliau untuk menanyakan bagaimana interaksi sekaligus gegar budaya yang dialami para pekerja Tiongkok,
terkhusus dalam hal penyakit yang mereka derita. “Kalau bekerja ya tiap harilah, orang saya dokter jaga 24 jam di
sini, cuma kalo jaga di proyek kita sampai jam 5 sore aja, terus sisanya kita stand by aja di mess.”
Dengan kapasitasnya sebagai seorang dokter yang dibantu oleh seorang perawat, ia mengaku tak pernah mengalami kendala dalam menangani pasien
yang sakit, ia menyatakan walaupun jumlah mereka tergolong besar, namun biasanya hanya sedikit pasien yang menderita keluhan pada tiap harinya, bahkan
terkadang mereka hanya standby saja di klinik tanpa ada 1 orang pasien pun yang menjelaskan keluhannya kepada beliau.
“Sejauh ini belum adalah, kan gak semua tiap hari sakit, kadang- kadang nganggur juga kita di klinik ini, kayak sekaranglah
contohnya, dari informasi yang saya dengar paling sekarang pekerja yang tersisa tinggal kurang dari 250 orang, nah kalau
dulu, tanya sama mbak ini, sampe seribuan lebih pekerja cina ini kerja di sini, sampe angkat-ngangkat batu pun dari orang ini dulu,
tapi ya gak juga kendala kalau soal perobatan, paling kalau penyakit kronis, atau kecelakaan kerja itu langsung dibawa
kerumah sakit terdekatlah.” Peneliti lanjut bertanya, bagaimana dokter tersebut mampu
mengalihbahasakan maksud dan tujuan isi pesan yang disampaikan oleh pekerja Tiongkok, yang memang tidak mengetahui bahasa Indonesia, sebab seperti yang
telah diketahui, jika dunia medis sangat sensitif dengan yang namanya miss komunikasi, sebab jika salah mentafsirkan makna pesan yang disampaikan salah
pula anjuran kesehatan dalam langkah mengobati atau mencegah suatu penyakit, yang bisa berujung pada malapetaka bagi kedua belah pihak.
“Kadang ada translator yang mendampingi mereka, kadang kita pakai bahasa Inggris kalau yang bisa berbahasa Inggris, kadang
pakai bahasa tubuh, bahasa isyarat. Kayak contohnya mereka sakit kepala nanti dia ngomong pakai bahasa mereka, sambil
nunjuk kepala sakit, itu artinya lagi pening. Ya nanti tunjuk perut berarti sakit perut, biasanya karena maag, ya gitulah.”
Universitas Sumatera Utara
Walaupun selama ini pola komunikasi yang mereka lakukan masih ada dalam tahap komunikasi nonverbal, ia mengatakan jika selama ini beliau tak
pernah ada kendala dalam menangani keluhan pekerja yang berobat. Peneliti juga bertanya akan perbedaan kebiasaan dalam kasus cara
pengobatan yang terjadi di tempat tersebut, dan di negaranya, artinya hal ini juga mengindikasikan apakah mereka sudah mulai menerima perubahan pola hidup
sampai ke hal yang penting, yaitu pengobatan, dan kesehatan. “Mereka minum obat kita, tapi mereka ada juga bawa stok obat
dari sana, ada juga beli-beli ramuan cina di toko-toko obat di berandan misalnya. Tapi keseringan asal berobat di sini,
kebanyakan mereka selalu minta antibiotic, kayak amoxicillin, kadang kita larang gak usah minum obat kalau gak sakit, tapi
mereka berkeras minta amoxicillin, ya kita kasilah.” Namun ada juga kasus unik yang pernah beliau alami terkait dengan
perubahan pola pengobatan, yaitu ada pekerja Tiongkok yang bersikeras memakai cara pengobatan yang ada di negaranya untuk mengobati dirinya yang
mengalami sakit, dan ada juga para pekerja yang sering berkonsultasi terkait jamu atau obat-obatan tradisional yang ada dijual maupun disediakan oleh alam
di Indonesia. “Ada yang unik, kayak pernah ada kejadian. Ada pekerja yang
penyakitnya kayak batuk-batuklah, dia minta di infus, karena di negaranya dia sakit apa-apa obatnya melalui infus, ya kita gak
kasilah, kita bilang gak boleh sembarangan, tapi ya dia berkeras dan itu permintaan dia. Kita infus aja, gak masalah memang infus
itu dengan badan, kan semacam cairan tubuh dia, tapi aneh aja kita rasa, karena di sini gak pernah buat kayak gitu. Terus ada
juga orang ini Tanya-tanya soal obat-obatan tradisional ke kita, biasanya nanya khasiat jamu-jamu tradisional kita kan, itu pun
yang bisa bahasa inggris sama Indonesia aja yang tanya.” Secara umum, para pekerja yang berobat di tempat ini, mengalami
keluhan-keluhan penyakit yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan makanan yang menurut mereka berbeda dari Negara asalnya.
“Biasanya penyakit orang ini alergi, gatal-gatal, gangguan pernapasan kayak ISPA, karena di sini kan berdebu, demam sering
juga, kalo demam biasanya karena cuaca panas, gak terbiasa orang itu, Maag juga sering orang itu, baru semalam ada orang
ini kenak maag, karena biasanya pengaruh makanan, minuman yang bersoda contohnya coca-cola, alkohol, ya gitulah jadinya.”
Walaupun pekerja Tiongkok yang bekerja di tempat ini bisa dikatakan
bekerja di tempat yang bahkan berbeda dari lingkungan asalnya, baik dari sisi
Universitas Sumatera Utara
kebudayaan, maupun faktor alam, namun ia menyatakan tidak ada pekerja Tiongkok yang dilihatnya berada dalam kondisi yang tertekan, atau depresi,
selama bekerja di tempat ini. “Gak ada yang depresi, lagian kita kan memiliki keterbatasan
dalam hal bahasa juga, jadi gak bisa dan gak tau kita kalau soal penanganan yang berbau psikis.”
Dalam interaksi sesama mereka, beliau mengatakan jika interaksi mereka
kurang baik, hal ini dilihat dari sikap acuh tak acuh terhadap sesamanya, dan juga ketika peneliti bertanya bagaimana penilaian beliau mengenai sikap dan perilaku
para pekerja Tiongkok selama tinggal di Mess dan bekerja di proyek, beliau menilai jika ada perbedaan budaya yang tergolong besar yang terjadi antara
mereka dengan masyarakat tempatan, terkhusus dalam hal etika, dan nilai sopan santun dalam bermasyarakat.
“Menurut saya ya, mereka etika sopan santunnya kurang, kayak ginilah kan waktu makan lah contohnya, mereka makan sanggup
didepan parit sambil jongkok, sambil berdiri,nanti pas kita lagi ngobrol dia lewat, dia kentut di depan kita. Gak perduli mereka
itu, lebih parahnya lagi mereka mau buang dahak sambil lewat, padahal kita di situ, cobalah bayangkan. Adatnya kurang kalau
itu, gak adalah bisa dibilang adat atau etikanya. Kita lihat pun kayaknya orang ini gak ada agama, di mess pun contohnya, kalau
kayak agama budha kan biasanya punya alat sembahyang kayak tepekong di depan rumahnya, ini gak ada, mereka komunis kan
negaranya.”
Informan II
Nama : Jessica
Tanggal wawancara : 24 April 2015 Pukul
: 11: 48 Tempat
: Kantor GPEC Pangkalan Susu Ibu Jessica atau yang sering dipanggil sebagai mama Jessi ialah seorang
translator yang membantu komunikasi antara pekerja Tiongkok terhadap pekerja lokal ataupun sebaliknya, ia juga bekerja menjadi translator di Mess pekerja
Tiongkok sehingga keseharian aktivitasnya sangat banyak berinteraksi dengan pekerja Tiongkok. Peneliti sendiri sedikit mengalami kesulitan untuk bertemu
dengan beliau karena padatnya aktivitas sepanjang hari, sehingga ia sedikit
Universitas Sumatera Utara
menolak ketika diwawancarai dengan peneliti, akan tetapi setelah melakukan pendekatan intens dengan beliau akhirnya ia menyetujui untuk diwawancarai.
Awalnya ia mengatakan jika ada 4 orang translator yang bekerja di sini, namun seiring dengan pengurangan jumlah karyawan Tiongkok maupun lokal,
pekerja Tiongkok yang mulai mengerti bahasa Indonesia, atau bahkan sudah mampu berbahasa Indonesia dengan baik, dan interaksi antara kedua belah pihak
beda budaya ini tidak seintens sebelum-sebelumnya, maka kini hanya tinggal beliau sendiri yang menjadi juru bahasa di proyek ini. Ia juga menambahkan,
dalam interaksi pekerja Tiongkok dengan pekerja lokal, peran juru bahasa sangat vital diperlukan, dikarenakan kesalahan makna pesan yang ditangkap oleh
komunikan akan berdampak buruk bagi kelanjutan proses pembangunan proyek tersebut.
“Ya translator saya rasa sangat penting sekali, sebab sampai sekarang kita masih membantu pekerja dalam berkomunikasi,
kalau tidak ada kita semua terhambatlah.” Walaupun dalam jumlah yang sangat sedikit, beliau mengaku jika ia tidak
memiliki banyak masalah terkait dengan perannya sebagai juru bahasa, sebab para pekerja Tiongkok dan pekerja lokal telah sama-sama belajar untuk mandiri
dalam berkomunikasi, sehingga dari kemandirian mereka tanpa didampingi oleh translator pun mampu mengerti makna pesan yang disampaikan masing-masing
pihak, sekalipun pesan tersebut disampaikan kedalam bentuk nonverbal, dan jika komunikasi kedua belah pihak buntu, ataupun salah satu pihak tidak mengerti
juga apa yang dimaksudkan barulah mereka memanggil juru bahasa untuk menengahi mereka dalam berinteraksi.
“Ya tidak juga, kan gak semua orang manggil translator, kan ada juga yang bisa bahasa Indonesia, ada yang bahasa inggris
mereka, kalaupun gak bisa juga mereka pakai bahasa isyarat.biasanya mereka manggil saya sewaktu sakit dan hendak
berobat ke dokter, kan repot tu bahasa isyarat, dan komunikasi sama orang kerja Indonesia.”
Poin utama dari mampu atau tidaknya pekerja Tiongkok ini berbahasa
Indonesia disebabkan oleh faktor kemauan untuk belajar dan mengerti bahasa tersebut, hal ini yang paling disoroti beliau dalam menjawab pertanyaan mengapa
masih banyak pekerja Tiongkok yang belum mampu berbahasa Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
Dalam kondisi yang jauh dari kebudayaan aslinya, para pekerja ini pastilah pernah mengalami benturan-benturan budaya, seperti yang dinyatakan
oleh ibu Jessi jika para pekerja Tiongkok sering mengeluhkan kondisi cuaca yang panas, mengeluhkan kinerja masyarakat lokal yang menurut hemat mereka
kurang cepat, malas, dan mereka tidak bisa bebas seperti yang mereka lakukan di negara asalnya, karena ada norma-norma tertentu yang berasal dari masyarakat
yang bersifat mengikat dan yang mengatur pola hidup mereka. “Iya pernah, mereka bilang di sini panas, di sini tidak ada tempat
entertain. Ada keluhan, biasanya mereka bilang pekerja kita lambat, malas,mereka juga mengeluh kepada masyarakat sekitar,
kan mereka gak bisa bebas, orang kampung itu kadang marah kalau mereka keliatan bebas kali.”
Menurut penuturan beliau juga, para pekerja Tiongkok ini sebenarnya
cukup merasa tertekan dengan kultur baru yang mereka hadapi di desa tersebut, akibatnya pernah ditemui benturan-benturan antar budaya yang menyebabkan
konflik di antara kedua belah pihak, namun hal tersebut biasanya jarang terjadi, dan hanya terjadi pada awal-awal pertemuan antara pekerja Tiongkok yang baru
datang bekerja di tempat ini saja. “Ya tertekanlah, tapi mereka kalau bebas kali memang warga
marah, pernah dilempari batu, kenak tangkap sama masyarakat sekitar, sampai ke polisi juga kasusnya pernah.ya sudah lama
kasusnya, sudah sekitar setengah tahun yang lalu lah. Kalau sekarang tidak ada lagi yang seperti itu”
Peneliti juga bertanya mengenai sejauh mana para pekerja Tiongkok
mengerti akan budaya yang ada di sekitar tempat tinggal mereka dan berusaha
menggali agar mereka menjawab sebagaimana yang peneliti ingin ketahui.
“Ya mereka mulai tahulah, kayak acara-acara adat kaya kawinan ngerti mereka, sering mereka datang, suka mereka karena ada
hiburannya, terus mereka udah mengerti adat kayak contohnya kalau malam jalan-jalan di desa gak boleh cowok-cewek, kalau
cowok harus cowok semua, kalau jalan sama cewek harus cewek semua. Soalnya mereka kalau ketauan pacaran digrebek sama
warga, ditangkap sama warga sini, ya gitu-gitulah budaya di sini yakan. Kalau makanan mereka suka sea food, terus kari, itu aja
sih.
4.2 Pembahasan