Universitas Sumatera Utara
budaya berbeda, kemudian efektivitas Komunikasi antarbudaya dalam Liliweri, 2001 :171 yang efektif harus memperhatikan empat syarat, yaitu:
1. Menghormati anggota budaya lain sebagai manusia
2. Menghormati budaya lain sebagaimana adanya dan bukan sebagaimana yang
kita kehendaki 3.
Menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara bertindak dan
4. Komunikator antarbudaya yang kompeten harus belajar menyenangi hidup
bersama orang lain. Dalam komunikasi antarbudaya juga diperlukan kemampuan atau kompetensi
dasar yang harus dimiliki oleh tiap-tiap komunikator maupun komunikan antarbudaya yang meliputi:
1. kemampuan seseorang untuk menyampaikan semua maksud atau isi hati secara
profesional sesuai dengan kemampuan dan kompetensi yang dia tampilkan secara prima
2. kemampuan seseorang untuk berinteraksi secara baik, misalnya mampu
mengalihbahasakan semua maksud dan isi hatinya secara tepat. 3.
Kemampuan seseorang untuk menyesuaikan kebudayaan pribadinya dengan kebudayaan yang sedang dihadapinya meskipun dia harus berhadapan dengan
berbagai tekanan dalam proses tersebut. 4.
Kemampuan seseorang untuk memberikan fasilitas atau jaminan bahwa dia bisa menyesuaikan diri atau bisa mengelola pelbagai tekanan kebudayaan lain
terhadap dirinya. Lubis, 2014 : 145 .
2.2.3 Akulturasi Budaya
Pada awalnya manusia mempelajari dan menginternalisasi pola-pola budaya yang ada di sekitarnya untuk kemudian dijadikan bagian yang tidak
terpisahkan dari kehidupan individu tersebut. Hal inilah yang dinamakan dengan sebutan enkulturasi. Kemudian ketika individu atau kelompok tertentu mulai
memasuki budaya yang berbeda dari budaya awalnya dan berusaha untuk mempelajari serta mengadopsi nilai-nilai dari budaya barunya tersebut, maka
fenomena ini yang biasa dinamakan dengan proses akulturasi.
Universitas Sumatera Utara
Akulturasi sendiri merupakan suatu proses di mana imigran menyesuaikan diri dengan memperoleh budaya pribumi. Akulturasi mengacu pada proses di
mana kultur seseorang dimodifikasi melalui kontak atau pemaparan langsung dengan kultur lain. Akan tetapi walaupun kedua nya terlibat pertukaran budaya,
menurut Mulyana Rakhmat akulturasi akan terlihat lebih dominan terhadap masyarakat pendatang dibandingkan dengan masyarakat pribumi.
Proses komunikasi sangat mendasari proses akulturasi seorang imigran, karena melalui komunikasi para imigran yang datang ke suatu wilayah tertentu
memperoleh pola-pola budaya yang ada di wilayah tersebut. Lewat komunikasi juga para pendatang akan memahami dan mengidentifikasi dan menginternalisasi
lambang-lambang yang berlaku baik segi bahasa, struktur sosial masyarakat, dan lain sebagainya. Dalam proses identifikasi tersebut para imigran biasanya
mengalami trial dan error dalam interaksinya baik dalam hal bahasa, simbol- simbol nonverbal, perbedaan dan pengaturan ruang serta jarak antar pribadi,
ekspresi wajah, gerak mata, gesture tubuh lainnya, dan persepsi tentang penting tidaknya perilaku nonverbal serta dimensi-dimensi budaya pribumi yang
tersembunyi, yang mempengaruhi apa yang dipikirkan oleh masyarakat pribumi. Hal di atas semakin mengokohkan pernyataan jika semakin jauh perbedaan
kebudayaan yang dimiliki oleh para imigran terhadap penduduk pribumi maka semakin sulit pula masing-masing budaya, baik dari pihak imigran maupun
pribumi untuk mengenal. Menurut Samovar Porter dalam bukunya Komunikasi Lintas Budaya
2010 : 482 sukses atau tidaknya akulturasi yang terjadi didasarkan pada strategi adaptasi yang dilakukan oleh pendatang asing terhadap kultur tuan rumah, adapun
strategi adaptasi yang dijelaskan yaitu: 1.
Buatlah Hubungan Pribadi dengan Budaya Tuan Rumah Hubungan langsung dengan budaya tuan rumah mendorong dan
memfasilitasi sukses atau tidaknya proses adaptasi dengabn suatu budaya. Seorang pendatang diwajibkan untuk melakukan kontak langsung melalui
percakapan sehari-hari dari orang yang memiliki budaya tersebut serta melakukan hubungan pertemanan terhadap mereka.
2. Mempelajari Budaya Tuan Rumah
Universitas Sumatera Utara
Mengembangkan pandangan dan pengetahuan mengenai budaya baru yang akan dimasuki merupakan langkah terpenting di dalam meningkatkan kemampuan
komunikasi antarbudaya, sehingga dari proses tersebut kita akan mendapatkan kesadaran budaya yang berarti mengenal pola budaya sendiri dan juga sekaligus
memahami jika pola budaya orang lain berbeda dengan budaya yang kita miliki. 3.
Berpartisipasi dalam kegiatan budaya Cara terbaik dalam mempelajari budaya baru ialah ikut serta berperan aktif
di dalam budaya tersebut. Hadirilah kegiatan sosial, religius dan budaya dan cobalah terus berinteraksi dengan mereka maka dalam beberapa kesempatan
penduduk tuan rumah akan mempersilahkan anda untuk membaur dan membagikan budaya mereka dengan anda.
Manusia dalam perjalanan hidupnya pasti akan bersinggungan dengan kebudayaan lain. Singgungan antarbudaya ini akan memiliki efek psikologis yang
biasanya dirasakan langsung oleh para pendatang baru yang memasuki wilayah kebudayaan yang berbeda dari kebudayaan yang telah ada dan yang telah
terenkulturasi di dalam dirinya. Kejanggalan-kejanggalan yang berasal dari budaya yang berlainan ini disebut dengan kejutan budaya culture shock.
Culture shockdidefinisikan sebagai kegelisahan yang mengendap yang muncul akibat kehilangan tanda-tanda dan lambang-lambang yang familiar dalam
hubungan sosial. Tanda-tanda atau petunjuk–petunjuk itu meliput seribu satu cara yang kita lakukan dalam mengendalikan diri kita sendiri untuk menghadapi situasi
sehari-hari Mulyana dan Rakhmat dalam Lubis, 2014: 177. Culture shock dibedakan menjadi 2 bagian yaitu pendatang yang tinggal menetap untuk
sementara waktu pada suatu wilayah tertentu dan pendatang yang memilih untuk menetap secara permanen di dalam wilayah tertentu.
Reaksi terhadap culture shockatau gegar budaya biasanya bervariasi antara individu satu dengan individu lainnya, dan gegar budaya dapat juga muncul pada
waktu yang berbeda-beda. menurut Samovar porter Mc.Daniel dalam Lubis, 2014; 178 mengatakan jika ada 9 reaksi yang biasanya terjadi,dan sering dialami
oleh individu saat mengalami culture shock, yaitu: 1.
Antagonis memusuhi lingkungan baru 2.
Rasa kehilangan arah
Universitas Sumatera Utara
3. Rasa penolakan
4. Gangguan lambung dan sakit kepala
5. Homesickrindu rumah
6. Rindu pada teman dan keluarga
7. Merasa kehilangan status dan pengaruh
8. Menarik diri
9. Menganggap orang – orang dalam budaya tuan rumah tidak peka.
Fase dalam culture shock terbagi dalam 4 tingkatan, yaitu: 1.
Fase Optimistik, fase ini berisi kegembiraan, rasa penuh harapan, dan euphoria, sebagai antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru.
2. Fase Masalah Kultural, Fase kedua di mana masalah dengan lingkungan baru
mulai berkembang, fase ini biasanya ditandai dengan rasa kecewa dan ketidakpuasan akan harapan awal. Ini adalah periode krisis dalam periode
culture shock, di mana ke Sembilan tekanan yang telah dijelaskan di atas terjadi.
3. Fase Kesembuhan, fase ketiga di mana orang mulai mengerti dan mengenal
budaya barunya. 4.
Fase Penyesuaian, fase terakhir di mana orang telah mengerti elemen kunci dari budaya barunyanilai-nilai khusus, keyakinan dan pola komunikasi fase
inilah yang nantinya akan mengarahkan suatu individu menuju ketahap selanjutnya dari akulturasi, yaitu tahap asimilasi.
2.3 Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran merupakan dasar pemikiran dari peneliti dilandasi dengan konsep-konsep dan teori yang relevan guna memecahkan masalah
penelitian. Hal ini juga sama halnya seperti yang dikatakan jika kerangka konsep sebagai hasil pemikiran yang rasional merupakan uraian yang bersifat kritis dan
memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang dicapai dan dapat mengantarkan penelitian pada rumusan hipotesa Nawawi,2001:40. Dalam
kerangka pemikiran ini, peneliti membuat konsep sederhana yang bermula melihat bagaimana para imigran Tiongkok mempelajari, dan menggali budaya barunya
yang berasal dari budaya tempatan sehingga pada akhirnya mereka adopsi dan