Akulturasi pekerja Tiongkok terhadap Sistem Lambang

Universitas Sumatera Utara masyarakat Tiongkok pada umumnya, sehingga nilai-nilai yang mereka pegang ini agak sedikit berbenturan dengan prinsip pekerja lokal anut. Kebanyakan dari pekerja lokal terlihat lebih santai dalam mengerjakan pekerjaan, kurang cakap atau lincah dalam bekerja, serta sering mengeluh dalam kondisi cuaca ekstrim. Kondisi ini berbeda berbeda dengan pekerja Tiongkok yang memang telah dikenal disiplin dan etos kerjanya. Walaupun para pekerja Tiongkok mengeluhkan cara pekerja lokal bekerja, mereka tetap saja tidak berubah. Hal ini mengindikasikan walaupun nilai-nilai yang terkandung dalam suatu wilayah tersebut dilihat kurang baik jika dibandingkan dengan nilai-nilai yang dimiliki para pendatang Tiongkok, nilai tersebut tetap saja lebih berhak untuk di terapkan dan dipegang bagi mereka-mereka yang menetap di wilayah tersebut. Sehingga walaupun hal itu dipandang kurang baik dari segi kacamata kebudayaan yang dimiliki oleh pekerja Tiongkok, mereka tetap saja tidak bisa terlalu memaksakan kehendak agar pekerja lokal juga bekerja segiat dan seulet mereka, karena hal-hal seperti itu pun telah menjadi nilai tersendiri yang berlaku dalam kehidupan masyarakat desa Tanjung Pasir.

4.2.1.3 Akulturasi pekerja Tiongkok terhadap Sistem Lambang

Perwujudan dari perilaku ialah melalui sistem lambang yang digunakan seperti melalui percakapan, bertulis, dan melalui isyarat badan bahasa tubuh, penampilan dan lain-lainnya Lubis, 2014 : 72. Budaya membingkai komunikasi dengan cara mempengaruhi isi dan susunannya, penggunaan sistem lambang seperti bahasa lisan sehari-hari dipengaruhi oleh budaya yang mengikat dan yang telah terenkulturasi. Misalnya orang yang beretnis batak kental, tentu akan berbeda intonasi tinggi rendahnya frekuensi suara, gaya berbicaranya, susunan kata dan mimik wajah yang ditampilkan daripada orang yang beretnis jawa kental yang sama-sama menggunakan bahasa Indonesia dalam interaksi mereka. Hal ini juga mempengaruhi kesan nonverbal yang mereka tampilkan diselah-selah komunikasi verbal. Dalam akulturasi yang berada dibagian sistem lambang ini, fokus peneliti yaitu mencoba untuk menguraikan bagian yang mengarah kedalam unsur bahasa. Bahasa sendiri merupakan sistem simbol atau kode yang digunakan untuk membentuk pesan-pesan verbal dan nonverbal di mana symbol dan kode-kode Universitas Sumatera Utara tersebut berasal dari fenomena budaya yang ada dikalangan masyarakat tertentu. Sehingga dalam kehidupan nyata, kita bisa dengan mudah dapat mengidentifikasi berasal dari budaya mana seseorang hanya dilihat dari bahasa yang dimilikinya. Bahasa manusia menghasilkan makna melalui sistem hubungan dengan menciptakan jaringan persamaan dan perbedaan yang betujuan untuk membedakan dan mengkategorikan suatu makna. Seperti yang dijelaskan oleh Tubbs dan Moss dalam pengantar Deddy Mulyana mengungkapkan, jika sebenarnya manusia hanya menggunakan 35 bahasa verbal dalam setiap kegiatan komunikasi dengan orang lain, sisanya ialah komunikasi nonverbal yang berfungsi sebagai penjelas, penguat dan penunjang kata – kata verbal, seperti bahasa isyarat, simbol-simbol, mimik wajah, gesture tubuh dan lain sebagainya. Misalnya kita pasti akan berteriak horee, sambil menunjukkan ekspresi gembira dan riang, melompat-lompat, ketika kita merayakan kemenangan atas lawan terberat kita di dalam kompetisi sepak bola. Sebaliknya kita akan mengomel tak tentu arah dan mulai menyalahkan ofisial, wasit, dan para pemain yang kurang prima, dan pernyataan tersebut didukung dengan aksi nonverbal seperti, sikap emosional atau dengan ekspresi marah saat menyaksikan klub sepakbola yang kita sukai kalah dihajar dengan seteru abadi mereka dengan skor yang telak . Pada awalnya diketahui jika para imigran Tiongkok secara umum tidak mengetahui bahasa Indonesia, begitu pula sebaliknya dengan pekerja lokal yang sama sekali tidak tahu-menahu mengenai bahasa mandarin. Mereka dihadapkan dengan tingkat kesulitan dalam berkomunikasi dengan masyarakat baru, sebab jurang pemisah kebudayaan yang mereka miliki sangat luas. Namun mereka berusaha mengaktualisasikan pesan yang ingin mereka sampaikan dengan menggunakan bahasa nonverbal. Bahasa nonverbal yang dimaksud di sini yaitu bahasa yang memakai simbol-simbol dan gesture tertentu untuk menjelaskan maksud dan tujuan mereka kepada pekerja lokal, seperti gambar-gambar, benda- benda, isyarat wajah, tangan, dan suara. Salah satu cara yang mereka lakukan untuk mempelajari dan mengenal lingkungan barunya ialah berani melakukan kontak langsung atau interaksi langsung dengan masyarakat dan pekerja tempatan. Dalam mengutarakan maksud pesan yang mereka sampaikan, mereka mencoba mengkomunikasikannya menggunakan bahasa nonverbal, yaitu berupa Universitas Sumatera Utara simbol-simbol gesture tubuh sederhana untuk menjelaskan sesuatu hal-hal mendasar untuk menjalin hubungan dalam hal berinteraksi. Simbol nonverbal itu contohnya seperti tersenyum kepada masyarakat dan pekerja lokal yang mengindikasikan respon positif kepada mereka. Kemudian melambaikan tangan untuk menyapa, menganggukkan kepala tanda setuju, memberikan gambar tertentu ataupun sketsa kepada pedagang dan pekerja lokal agar memberi barang- barang atau keperluan yang mereka perlukan dan lain sebagainya. Seperti yang dikemukakan oleh pak Awal, salah satu informan peneliti yang bekerja di Bagus Karya menyatakan jika pada awalnya perbincangan mereka ditengahi oleh translator atau juru bahasa. Namun karena intensitas pertemuan antara beliau dengan pekerja Tiongkok cukup tinggi, maka mereka memberanikan diri untuk mengalihbahasakan maksud dan tujuan mereka dengan menggunakan bahasa nonverbal atau yang biasa mereka sebut sebagai bahasa tarzan. Jika pun kedua belah pihak tidak mengerti makna pesan yang disampaikan ini, barulah mereka mencari jalan tengah dengan memanggil translator untuk mengartikan maksud dan tujuan mereka. Selain itu, dari pernyataan Mr. Yan Lu Zung dan pak Suprayitno peneliti mendapatkan jika selain menggunakan suara, lambang-lambang tertentu, mereka juga menggunakan gambar dalam melakukan komunikasi. Hal- hal ini biasanya terjadi di mess, para pekerja Tiongkok yang tidak mengetahui bahasa Indonesia ini mencontohkan sesuatu gambar untuk ditunjukkan kepada para penjual di warung-warung yang menjajakan barang-barang keperluan sehari-hari di sekeliling mess tersebut. Seperti contoh, mereka akan menunjukkan gambar merk rokok apa yang akan mereka beli kepada penjual di warung, lalu rokok yang gambarnya ditunjukkan oleh pekerja Tiongkok ini diberikan. Lalu sebaliknya, dalam menunjukkan jumlah nominal yang harus dibayar oleh pekerja Tiongkok penjual juga harus memberikan contoh dalam bentuk uang. Jadi penjual juga menunjukkan beberapa lembaran uang kertas kepada mereka, misalnya uang 1 lembar 10.000-an dan 1 lembar uang 5.000-an, yang artinya lembaran tersebut menjadi harga dari rokok tersebut dan seperti itu kegiatan interaksi yang mereka lakukan. Hal ini juga berlaku seterusnya kepada barang keperluan lainnya, seperti makanan dan minuman. Universitas Sumatera Utara Bagi mereka yang memang memiliki tekad untuk mempelajari kebudayaan yang berlaku, pola-pola bahasa nonverbal ini biasanya tidaklah berlangsung lama sebab dari interaksi tersebut mereka mulai mempelajari setiap lambang-lambang yang telah diutarakan terhadapnya dan mulai mengingat hal-hal dasar dari suatu simbol yang berlaku secara umum ditengah-tengah masyarakat, seperti nominal uang, harga suatu barang yang harus dibayarkan, nama-nama benda yang diperlukan dalam kebutuhan sehari-hari seperti, rokok, sabun, minyak dan lain sebagainya. selanjutnya dari perkembangan tersebut mereka beralih ke kata-kata dasar yang biasanya diucapkan dari setiap interaksi yang mereka lakukan hari ke hari, contohnya seperti yang dikatakan oleh Mr. Yan “Mohon datang, halo apa kabar, makan , Terima kasih, sama-sama.” Interaksi ini akan terus berkembang seiring dengan keinginan pekerja Tiongkok untuk melatih kemampuan mereka dalam menguasai bahasa indonesia. Begitu juga dengan pendapat semua pihak baik dari pekerja Tiongkok yang tidak mampu menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi, maupun pekerja lokal dan masyarakat yang peneliti jadikan informan penelitian, yang tidak mampu berkomunikasi menggunakan bahasa mandarin, semuanya mengalih bahasakan pesan mereka ke dalam bentuk nonverbal dan juga gambar-gambar sketsa. Biasanya gambar sketsa ini mereka buat di dalam pekerjaan yang berguna untuk menjelaskan gambar dari suatu bangunan yang hendak dibangun serta pekerja Tiongkok ada juga menterjemahkan kata-kata yang ingin mereka maksudkan kedalam bahasa Indonesia melalui aplikasi translate yang ada dan memberikannya kepada masyarakat dan pekerja lokal. Jika hal- hal di atas tidak juga dipahami oleh pihak tempatan atau dalam prosesnya mereka menemui jalan buntu, maka mereka mencari jalan tengah dalam mengatasi persoalan bahasa tersebut, seperti mencari juru bahasa dan pekerja Tiongkok yang sudah mahir berbahasa Indonesia misalnya. Selain menggunakan bahasa nonverbal sebagai jalan berinteraksi, kedua belah pihak beda budaya ini juga mencari jalan keluar dengan menggunakan bahasa Internasional, yaitu bahasa Inggris sebagai alat untuk berkomunikasi. Walaupun tidak semua dari para pekerja yang mengetahui bahasa Inggris secara baik dan benar, namun setidaknya makna pesan yang dikatakan dimengerti Universitas Sumatera Utara dari satu pihak ke pihak lainnya, dan ini menjadi modal utama di dalam proses pertukaran sistem lambang terkhusus dalam hal bahasa. Seperti pekerja Tiongkok yang peneliti temui, Mr. Yan Lu Zung, dan Mr Tao yang sudah dua tahun lebih bekerja dan bersosialisasi di desa tersebut, namun mereka masih juga tidak tahu sama sekali bagaimana mengalihbahasakan makna pesan kedalam bahasa Indonesia. Padahal jika dilihat dari interaksinya dengan masyarakat lokal, hampir setiap hari mereka selalu berinteraksi dengan pekerja lokal yang secara tugas dan tanggung jawab ditempatkan menjadi mitra kerja nya di proyek tersebut. Ternyata setelah ditanyai perihal keadaan tersebut, mereka mengakui jika hal ini bisa terjadi kedua belah pihak bersepakat menggunakan bahasa internasional, yaitu bahasa inggris secara kontiniu baik dalam pekerjaan maupun sosial. Karena secara kebetulan pekerja-pekerja lokal yang ditempatkan bersama dengan mereka pun menguasai bahasa inggris dengan prima, sehingga tak perlu belajar banyak dalam berinteraksi dengan mereka. Merujuk pada Samovar Porter dalam bukunya Komunikasi Lintas Budaya 2010 : 482 sukses atau tidaknya akulturasi yang terjadi didasarkan pada strategi adaptasi yang dilakukan oleh pendatang asing terhadap kultur tuan rumah, adapun strategi adaptasi yang dijelaskan yaitu: membuat hubungan pribadi dengan budaya tuan rumah, mempelajari budaya tuan rumah, berpartisipasi dalam kegiatan budaya. Dalam perkembangan seiring dengan intensitas pertemuan kedua belah pihak beda budaya ini berlanjut, maka perlahan-lahan imigran Tiongkok ini mulai mengetahui bagaimana cara mengalihbahasakan pesan verbal ke dalam bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan mereka memiliki hubungan pribadi yang positif dengan budaya tuan rumah dan dari hubungan baik ini terjalinlah suatu interaksi yang baik. Sehingga dari jalinan hubungan interaksi yang posotif ini baik teman- teman satu pekerjaan dan masyarakat yang berada dekat dengan kediriannya, menjadi terbuka dengan kedatangan mereka, sehingga keterbukaan ini membuat para pekerja Tiongkok leluasa mempelajari kebudayaan penduduk lokal. Akan tetapi sayangnya strategi dari teori yang di rumuskan oleh Samovar dan Porter hanya diterapkan oleh beberapa pekerja Tiongkok saja. Universitas Sumatera Utara Dalam pertemanan beda budaya antara pak Awal dan Mr. Mao Tang contohnya, awalnya mereka sama-sama bingung mau bagaimana cara berinteraksi, sebab mereka berdua ditugaskan untuk bekerja sama dalam mengontrol pekerjaan di lapangan. Namun mereka mencoba mengolah bahasa nonverbal menjadi alat bertukar pesan dalam interaksi sehari-hari yang mereka lakukan. Selain mereka menggunakan bahasa Nonverbal, Mr. Mao Tang juga mau belajar bahasa Indonesia dengan pak Awal, Mr. mao Tang menunjukkan suatu barang dan pak Awal mengucapkan nama barang tersebut ke dalam bahasa Indonesia, sebagai contoh Mao Tang menunjuk suatu benda dan bertanya “apa nama” setelah itu pak Awal memberitahu nama benda tersebut “ cangkul” atau “tanah” misalnya. Dari interaksi kedua belah pihak beda budaya tersebut, lama kelamaan Mr. Mao Tang mempelajari banyak kosakata yang beliau pelajari serta dari pengalaman sehari-hari tersebut ia mampu berbicara bahasa Indonesia. Sama seperti yang dicetuskan oleh Samovar di atas, pekerja yang mampu berbahasa Indonesia ini telah mampu mengalihbahasakan bahasa Indonesia dengan baik dikarenakan ia mempunyai kemauan untuk mempelajari budaya barunya, sehingga proses pembelajaran ini akan terus berlanjut dan berkembang seiring dengan intensitas pertemuan dan waktu yang berlalu. Selain karena Mr. Mao Tang memang memiliki niat untuk belajar bahasa Indonesia dengan tekun, ia juga terbantu oleh rekan-rekan kerjanya, seperti pak Awal yang selalu mendukung proses pembelajarannya dalam mengenal budaya barunya tersebut. sehingga di antara mereka terjalin komunikasi yang efektif dan tercipta keselarasan serta mengurangi ketidakpastian dalam berhubungan. Selanjutnya dari data yang peneliti dapatkan di lapangan jika para pekerja Tiongkok yang sudah mengerti bahasa Indonesia, ternyata juga belajar dari para sesama pekerja Tiongkok yang sudah terlebih dahulu mengerti dan bekerja di Indonesia. Artinya ialah para pekerja Tiongkok yang baru datang untuk bekerja di wilayah ini belajar dari mereka yang sudah lama menetap di tempat tersebut, dan juga ada chase pekerja Tiongkok yang sudah berada di Indonesia, jauh-jauh harisebelum mereka ditugaskan untuk bekerja di proyek ini, sehingga para pekerja Tiongkok yang bekerja di tempat ini belajar dari mereka-mereka tersebut. Bahkan menurut penuturan pak Awal, pernah ada pekerja Tiongkok yang baru saja Universitas Sumatera Utara bekerja di proyek PLTU ini namun sudah lancar berbahasa Indonesia dan malahan juga ia mampu berbahasa Jawa. Hal ini terjadi dikarenakan sebelum kedatangannya di desa tersebut, ia telah lama bekerja dalam membangun suatu proyek di pulau Jawa. Hal di atas diperkuat dengan pernyataan Mr. Ding dan Mao Tang pekerja Tiongkok yang mahir berbahasa Indonesia, ia menyatakan jika mereka yang mampu berbahasa Indonesia disebabkan belajar dari para pekerja lokal dan masyarakat sekitar mess tempat tinggal mereka. Hal tersebut mengindikasikan jika para pekerja yang mampu menguasai bahasa Indonesia ialah individu yang aktif dan membuka diri dalam hal bersosialisasi dengan masyarakat tempatan, dan juga mereka secara giat belajar mengenal budaya barunya , sehingga aktivitas sosial yang dialami oleh mereka lebih banyak ketimbang para pekerja Tiongkok lainnya, hal tersebut merupakan salah satu alasan dari cepat atau tidaknya seseorang menerima budaya baru, dikarenakan keterbukaan diri mereka terhadap lingkungan barunya, atau yang disebut dengan Self Disclosure. Self disclosure terjadi bilamana seseorang menyampaikan informasi tentang dirinya sendiri pada orang lain. Kesediaan membuka diri menunjukkan adanya kepercayaan yang terjalin ketika komunikasi dilakukan antara komunikan dan komunikator. Keterbukaan juga mengindikasikan jika masing-masing pihak yang menjalin interaksi mendapatkan kepercayaan dan kesukaan. Jika saling percaya meningkat maka makin meningkat pula keterbukaan Self disclosure. Namun dalam temuan yang peneliti dapati, tidak banyak pekerja Tiongkok yang mampu berbicara menggunakan bahasa Indonesia, sebab hal ini dipengaruhi oleh berbagai kondisi seperti, tidak ada pekerja lokal yang bekerja dalam bagian atau ruang lingkup pekerjaannya, hal ini terjadi di beberapa bagian pekerjaan seperti bagian keuangan, dan bagian mekanik untuk membuat dan memasang mesin utama. Kemudian banyak pekerja yang menutup diri dengan lingkungan sekitar dan tidak mau belajar ataupun kurang bersosialisasi dengan masyarakat dan pekerja lokal. Kebanyakan dari mereka yang telah berhasil mengetahui bahasa Indonesia, ternyata telah bekerja lebih dari 4 tahun dan dengan intensitas interaksi yang tinggi. Dikarenakan tuntutan pekerjaan yang mengharuskannya untuk terus Universitas Sumatera Utara menjaga komunikasi dengan pekerja lokal sehingga mau tak mau, secara sadar atau tidak sadar, mereka harus mampu menyajikan pesan kedalam bentuk bahasa Indonesia, agar urusan pekerjaan mereka bisa dengan cepat terselesaikan. Artinya untuk mampu mengalihbahasakan makna yang mereka ingin sampaikan kedalam bentuk bahasa Indonesia dibutuhkan waktu yang cukup lama, yaitu sekitar 3 - 4 tahun dan membutuhkan proses interaksi yang cukup tinggi. Dari hasil penelitian lebih lanjut, pak Leonardo dan pak Suprayitno menyebutkan mereka yang mengetahui bahasa Indonesia hanya beberapa orang. Bahkan dari hasil pengalaman pak Suprayitno sendiri, dari keseluruhan pekerja yang ada di mess tersebut hanya ada sekitar 5 pekerja Tiongkok yang mampu mengalihbahasakan makna pesan dalam bahasa Indonesia. Jika pun mereka sudah mampu mengalihbahasakan kedalam bahasa Indonesia, mereka hanya menguasai bahasa percakapan sehari-hari dan tidak sempurna, atau hanya sekitar 50-60 dari kata atau kalimat percakapan yang sering mereka gunakan dalam kegiatan sehari-hari baik di mess, maupun di lingkungan pekerjaan. Kemudian hal yang unik yang peneliti dapatkan ialah kebanyakan dari pekerja Tiongkok yang mampu berbahasa Indonesia ini juga kurang mahir dalam membaca dan tak hanya kurang dalam membaca, melainkan mereka juga mengalami kesulitan untuk menuliskan kata-kata atau pesan kedalam bahasa Indonesia. Hal ini bisa terjadi disebabkan oleh kebanyakan dari mereka belajar dan mengerti bahasa Indonesia hanya berasal dari lisan saja, selain itu mereka mengetahui bahasa Indonesia hanya melalui hasil dari pengalaman berinteraksi dengan masyarakat dan pekerja lokal saja, tidak melalui tulisan ataupun bacaan secara alpabetis. Walaupun dari hasil wawancara secara mayoritas informan menyatakan jika hampir semua pekerja Tiongkok yang mampu berbahasa Indonesia ini tidak mampu menuliskan kalimat ke dalam bahasa Indonesia. Namun peneliti mendapatkan suatu temuan, jika ada juga pekerja Tiongkok yang juga turut mampu mengolah bahasa lisan menjadi tulisan dan mampu membaca bahasa Indonesia secara alpabetis. Dari hasil wawancara dan observasi yang peneliti lakukan ditemui, jika hanya ada dua orang saja yang mampu membaca dan menuliskan maksud dan Universitas Sumatera Utara tujuannya kedalam bahasa Indonesia. Pekerja tersebut yaitu Mr. Mao Tang dan Mr. Yusuf. Hal ini bisa terjadi karena kedua orang tersebut memiliki relasi pekerjaan dengan translator, sehingga setiap harinya juru bahasa ini mengajari beliau baik dari sisi lisan maupun tulisan. Mr. Yusuf juga merupakan pekerja Tiongkok yang sudah malang melintang di Indonesia, bahkan ia telah bekerja dan bersosialisasi membangun proyek di lain daerah di Indonesia jauh-jauh hari sebelum proyek ini dibangun, sehingga sekian lamanya ia tinggal di tanah air ini, ia mendapat nama baru dalam versi Indonesianya, ia dinamakan Yusuf. Bahkan pekerja Tiongkok Mr.Yusuf ini tidak hanya pandai berbicara bahasa Indonesia secara lisan dan tulisan, melainkan ia juga mampu mengalihbahasakan makna kedalam bahasa Jawa.

4.2.2 Gegar Budaya Culture Shock Berbicara mengenai akulturasi tidak terlepas dengan proses yang