Gegar Budaya Culture Shock Berbicara mengenai akulturasi tidak terlepas dengan proses yang

Universitas Sumatera Utara tujuannya kedalam bahasa Indonesia. Pekerja tersebut yaitu Mr. Mao Tang dan Mr. Yusuf. Hal ini bisa terjadi karena kedua orang tersebut memiliki relasi pekerjaan dengan translator, sehingga setiap harinya juru bahasa ini mengajari beliau baik dari sisi lisan maupun tulisan. Mr. Yusuf juga merupakan pekerja Tiongkok yang sudah malang melintang di Indonesia, bahkan ia telah bekerja dan bersosialisasi membangun proyek di lain daerah di Indonesia jauh-jauh hari sebelum proyek ini dibangun, sehingga sekian lamanya ia tinggal di tanah air ini, ia mendapat nama baru dalam versi Indonesianya, ia dinamakan Yusuf. Bahkan pekerja Tiongkok Mr.Yusuf ini tidak hanya pandai berbicara bahasa Indonesia secara lisan dan tulisan, melainkan ia juga mampu mengalihbahasakan makna kedalam bahasa Jawa.

4.2.2 Gegar Budaya Culture Shock Berbicara mengenai akulturasi tidak terlepas dengan proses yang

dinamakan dengan gegar budaya Culture shock. Sebab ketika kita meninggalkan sesuatu hal yang sudah biasa bagi diri kita, beserta dengan lingkungannya yang nyaman, untuk masuk kedalam dunia baru yang sudah tentu berbeda dengan apa yang selama ini menjadi jati diri yang kita miliki, maka ketika kita dihadapkan dengan realitas baru, situasi baru yang sulit diterima kedirian kita, seperti berpisah dari sanak saudara, sahabat, teman, kolega, perbedaan iklim, ketidak pahaman informasi, kendala bahasa, maka baik secara sadar atau tidak kita mental, dan fisik akan terkejut atau mengalami sedikit gangguan yang mengarah ke dalam beberapa hal. Biasanya orang pendatang yang memiliki jangka waktu yang panjang akan lebih merasakan paparan gegar budaya ini ketimbang dengan pendatang yang memiliki rentang waktu menetap sedikit. Sebab semakin lama ia menetap di daerah yang baru bagi dirinya maka semakin banyak lagi perbedaan-perbedaan yang ia rasakan dan akan semakin banyak lagi ditemui gesekan-gesekan budaya yang terjadi antara budaya yang telah terenkulturasi dalam diri pendatang dengan budaya setempat. Samovar dan Porter “Komunikasi Lintas Budaya: Communication Between Culture.” 2010: 476 menyatakan dalam gegar budaya, ada berbagai reaksi yang terjadi yang bervariasi, dan muncul dalam waktu yang berbeda-beda pula , Universitas Sumatera Utara namun pada umumnya reaksi gegar budaya ini memiliki berbagai macam reaksi seperti : - Permusuhan terhadap lingkungan baru - Perasaan disorientasi - Perasaan tertolak - Sakit perut dan Sakit kepala - Rindu kampung halaman - Merindukan teman dan keluarga - Perasaan kehilangan status dan pengaruh - Menyendiri -Menganggap budaya lain tidak sensitif Dalam penelitian ini, peneliti mendapatkan temuan jika secara umum mereka semua mengalami proses gegar budaya, namun tentu saja berbeda-beda jenis dan reaksi yang mereka alami dan gejala-gejalanya. Kebanyakan dari informan yang peneliti wawancarai serentak merasakan gegar budaya dalam hal fisik seperti demam, panas tinggi. Biasanya hal ini diakibatkan oleh perbedaan temperature dan cuaca, sebab suhu yang ada di desa tersebut yang lebih panas ketimbang di negara mereka. Dari keseluruhan informan hanya ada satu informan yang menyatakan tidak pernah menderita sakit apapaun selama menetap dilingkungan ini. Selanjutnya gegar budaya yang mereka alami secara umum condong kearah makanan yang ada di desa Tanjung Pasir dan sekitarnya. Perut mereka ternyata belum terbiasa dengan makanan Indonesia yang memang sudah terkenal dengan pedasnya, sehingga ketika mereka memakan makanan yang bercita rasa pedas, maka mereka langsung bermasalah dengan perut mereka. Hal senada juga disampaikan oleh informan lokal yang peneliti wawancarai seperti juru masak Junita, pak Bernard dan masyarakat yang berjualan pak Suprayitno memberi penjelasan yang sama terkait dengan gegar budaya yang satu ini. Bahkan pak Suprayitno menyatakan tak hanya soal pedas yang mereka belum terbiasa, namun ada juga bumbu-bumbu masakan yang berasal dari rempah-rempah kita yang tidak mampu mereka cerna dengan baik dan mereka sangat berhati-hati dengan makanan yang dijual di sekitar mereka. Universitas Sumatera Utara Culture shock yang mereka alami tidak hanya berbicara mengenai sakit kepala, demam, dan juga makanan. Mereka juga mengeluhkan tentang gigitan nyamuk. Hidup di sekitar area persawahan dan dekat bibir pantai menyebabkan banyak genangan air yang menjadi habitat alami nyamuk, sehingga di desa tersebut banyak sekali nyamuk. Tak berhenti sampai di situ saja, dokter reza juga menambahkan bahwa reaksi gegar budaya mereka terkhusus dalam hal kesehatan, mereka sering terkena penyakit gatal-gatal, gangguan Infeksi Saluran Pernapasan Akut ISPA. Hal ini biasanya terjadi disebabkan karena efek debu yang berada di wilayah proyek PLTU, kemudian kontur tanah yang gersang dan berdebu yang menyebabkan material-material tanah yang ringan ditiup angin yang berhembus dengan kencang setiap harinya. Faktor lain yang menyebabkan mereka mengidap penyakit tersebut dikarenakan asap kendaraan dari truk yang lalu lalang keluar masuk proyek tersebut, selanjutnya belum lagi asap dari residu pembakaran batu bara dan lain sebagainya. Dokter Reza menambahkan mayoritas dari mereka juga sering sakit maag, suatu jenis penyakit yang mengganggu sistem pencernaan. Penyakit ini menjangkit mereka disebabkan pola makan mereka yang salah dan pola hidup yang tidak sehat. Para pekerja Tiongkok terkadang meminum minuman berkarbonasi dan mengandung asam yang cukup tinggi sebelum sarapan. Menurut penuturan beliau, faktor yang paling bertanggung jawab atas penyakit yang mereka derita lebih menjurus kearah kurangnya kesadaran akan kesehatan yang mereka miliki. Mereka sangat suka mengkonsumsi minuman alkohol dan minuman berkarbonasi dan mengandung asam seperti kratindaeng, coca-cola , dan sejenisnya yang memang jika terus menerus dikonsumsi dengan jumlah yang banyak, maka akan memicu berbagai macam penyakit, salah satunya maag. Peneliti menggali informasi selanjutnya, untuk mengetahui gegar budaya apa saja yang mereka alami secara psikologis dan apa reaksi mereka terhadap budaya barunya, dari kesimpulan yang didapat ditemui jika pada awalnya dahulu, sebelum peneliti datang ke lokasi tersebut banyak terjadi gesekan-gesekan yang berujung pada konflik antara kedua belah pihak. Konflik ini terjadi atas kegagalan kedua belah pihak memahami kondisi perbedaan budaya yang di pegang oleh masing-masing pihak, sehingga aksi lempar-lemparan batu, sampai Universitas Sumatera Utara di adili oleh masyarakat dan juga pernah diperkarakan kasus tersebut sampai ke kepolisian. Sehingga dalam proses interaksi mereka sempat merasa dikucilkan dan tertolak oleh masyarakat sekitar. Hal ini memang tidak disebutkan oleh para pekerja Tiongkok dengan jelas dan gamblang. Namun ini dikatakan langsung oleh orang-orang lokal yang memang bersosialisasi dengan mereka di tempat tersebut, termasuk juru bahasa Ibu Jessi dan masyarakat lainnya. Menurut penuturan mereka, kejadian-kejadian ini tidak berlangsung lama, dari pernyataan ibu Jessi, hal-hal di atas sudah tidak pernah terdengar lagi gaungnya. Sebab sekarang pihak perusahaan telah berkoordinasi dengan pekerja lokal dan pekerja Tiongkok untuk mensosialisasikan, memberikan teguran dan arahan kepada pekerja Tiongkok lainnya yang baru datang kewilayah tersebut. Sehingga hal tersebut menjadi pelajaran baru bagi mereka agar tidak mengulangi hal yang sama lagi dikemudian harinya. Dalam kondisi perbedaan budaya yang amat sukar untuk dicari persamaannya, tentunya mereka merasa tertekan untuk tinggal dan membaur di sana. Sebab kebudayaan yang ada di desa tersebut bersifat mutlak dan harus dipatuhi oleh mereka, seperti membatasi jam malam, tidak boleh sembarangan menyentuh wanita lain, tidak boleh berdua-duaan, dilarang membuat kegaduhan dan keributan, menghormati ibadah yang dilaksanakan setiap harinya di mushola, dan lain sebagainya. jika hal ini tidak dipatuhi, maka akan tercipta masalah yang bisa menimbulkan konflik di antara kedua belah pihak. Dalam kasus gegar budaya yang mereka alami, semua informan Tiongkok yang peneliti wawancarai juga menyatakan jika selama bekerja di tempat ini mereka merindukan keluarga dan kampung halaman. Dalam kasus ini semua pekerja yang peneliti tanyai menyatakan hal yang sama, mereka menceritakan bagaimana keadaan sanak saudaranya, bagaimana kehidupan mereka dan bagaimana cara mereka melakukan kontak dengan sanak saudaranya. Peneliti juga bertanya kepada masyarakat lokal dalam hal memperjelas hal ini. Dari hasil wawancara peneliti temukan hal yang sama, jika mereka sangat antusias untuk kembali ke kampung halamannya, karena akan berjumpa dengan sanak famili mereka masing-masing. Universitas Sumatera Utara Secara keseluruhan, peneliti dapat mengambil kesimpulan jika gegar budaya yang dialami oleh pekerja Tiongkok antara lain : a. Keadaan lingkungan yang panas b.Penyakit Sakit perut, demam, panas tinggi, maag, gatal-gatal, ISPA, cacar, dan gigitan nyamuk c. Adanya konflik pada awal-awal pertemuan d.Merasa tertekan dengan lingkungan baru e. Merindukan kampung halaman f. Merindukan orang tua dan sanak keluarga. 4.2.3 Hambatan yang terjadi dalam Akulturasi Hambatan adalah suatu hal yang mengganggu jalannya suatu proses sehingga tidak terjadi dengan semestinya. Dalam akulturasi memang tidak berbicara mengenai kesamaan pribadi yang berbudaya, melainkan bagaimana pribadi atau sekelompok individu dengan perbedaan budaya yang ada dapat membaur dan perlahan-lahan menjadi sama terhadap kelompok individu yang memiliki budaya lainnya. Namun semakin besar tingkat perbedaan yang dimiliki oleh ke dua kelompok tersebut, maka semakin sulit pula untuk memahami kebudayaan yang masing-masing mereka miliki dan inilah yang menjadikan pemicu terjadinya hambatan dalam proses akulturasi. Dalam kasus akulturasi yang dialami oleh pekerja Tiongkok yang bekerja di Desa Tanjung Pasir, peneliti mendapatkan berbagai macam hambatan baik dari dalam diri mereka sendiri, maupun dari luar diri mereka. Secara umum hambatan akulturasi yang mereka alami memang berasal dari perbedaan budaya yang mereka miliki yang tergolong jauh. Bahasa yang sangat berbeda, nilai-nilai luhur yang dimiliki, pola perilaku dan sikap serta kebiasaan yang juga tentu berbeda, sistem kepercayaan dan lain sebagainya. Perbedaan yang sangat jauh ini membuat mereka kembali harus belajar untuk menginternalisasi secara perlahan- lahan budaya yang dimiliki masyarakat tempatan, sehingga tak bisa dipungkiri jika butuh waktu 3 sampai 4 tahun agar mereka mampu untuk berbahasa Indonesia dengan baik. Universitas Sumatera Utara Selain itu hambatan yang terjadi antara penduduk pribumi dan Tiongkok lebih mengarah ke perspektif budaya yang mereka miliki. Menurut Taher dalam Rahardjo, 2005: hal 19 salah satu yang menjadi penyebab permasalahan yang berkaitan dengan pembauran masyarakat Tiongkok dengan penduduk pribumi didasarkan dengan faktor kultural yang dimiliki. Kebudayaan Tiongkok merupakan salah satu kebudayaan tertua yang pernah ada didunia. Salah satu kebanggaan orang Tiongkok adalah kemampuan mereka untuk berkembang di suatu tempat, menyebar dan memberi pengaruh di wilayah yang mereka kuasai. Konsekuensi dari paradigma tersebut ialah, orang atau masyarakat Tiongkok sering sekali menganggap jika kebudayaan mereka lebih superior dan menganggap rendah kebudayaan yang dimiliki oleh bangsa lain. Dalam kasus ini, peneliti menyoroti jika mereka datang ke Indonesia ingin menyalurkan pengetahuan yang mereka miliki kepada masyarakat Indonesia pada umumnya dan dari pekerjaan tersebut segala sesuatu yang mereka kerjakan murni atas pikiran dan rasionalisasi mereka sendiri, bukan campur tangan dari penduduk pribumi. Dari sinilah mereka juga berpikir buat apa menghabiskan banyak waktu untuk mempelajari suatu kebudayaan yang menurut mereka hampir dipastikan tidak berguna bagi kelangsungan masa depan mereka. Untuk itulah banyak kalangan dari pekerja Tiongkok yang bekerja terkhusus bagi mereka yang tidak memiliki hubungan kekerabatan dalam ruang lingkup pekerjaan terkesan pasif dalam hal mempelajari setiap budaya yang berlaku. Jika pun mereka mempelajarinya, mereka hanya ingin mencari tahu batasan-batasan dari norma yang secara umum tidak boleh dilanggar oleh mereka atau dengan istilah lain “cari aman”. Dilain sisi peneliti juga menyoroti jika hambatan yang terjadi pada pekerja Tiongkok yang memang tertarik dengan kebudayaan yang ada di desa tersebut lebih mengarah ke sistem lambang, yaitu dalam mengetahui bahasa Indonesia secara baik. sebab bahasa merupakan suatu sistem persandian yang rumit yang mengandung kosa kata dan struktur untuk merangkai kode pesan yang didapatkan dari penginternalisasian pola budaya di mana bahasa tersebut ada. Hal ini juga mengindikasikan pekerja Tiongkok tidak mungkin bisa berbahasa Indonesia hanya dari menghapal kata per kata dan struktur bahasanya saja, Universitas Sumatera Utara melainkan mereka juga harus melebur kedalam sosialisasi budaya yang ada dengan jalan bersosialisasi dengan masyarakat sehingga mereka juga bisa menyerap nilai dan perilaku yang mereka miliki. Mr. Tao dan Mr. Yan contohnya, pekerja Tiongkok yang telah 2 tahun bekerja di Desa tersebut juga masih belum mengetahui sama sekali bahasa Indonesia, padahal jika ditinjau dari lingkungan kerja akan menjadi sangat memungkinkan untuk mereka mampu mengkodekan makna pesan kedalam bahasa Indonesia. Sebab lingkup pekerjaan mereka juga bersinggungan dengan pekerja lokal. Namun dikarenakan zona nyaman yang mereka miliki yaitu banyak pekerja lokal yang berada dalam satu divisinya yang mengetahui bahasa Inggris. Sehingga dalam pertemuan dan dalam berinteraksi mereka menggunakan bahasa Inggris dalam komunikasinya sehari-hari. Kemudian hambatan yang terjadi diakibatkan sistem yang dimiliki oleh perusahaan itu sendiri. Banyak pekerja Tiongkok yang bekerja tanpa diselingi oleh masyarakat lokal. Biasanya divisi ini hanya diisi oleh kaum mereka saja tanpa ada satupun campur tangan pihak pribumi di dalamnya, seperti orang- orang yang membangun mesin pembangkit listrik dan instalasinya. Divisi ini paling banyak menyerap tenaga kerja asing dan sekaligus menjadikan mereka berkoloni di dalam satu kesatuan kerja, sehingga hal ini yang menyebabkan terjadinya hambatan dalam mengetahui bahasa Indonesia. Kemudian hal lain yang menghambat terjadinya akulturasi dalam hal sistem lambang yaitu adanya juru bahasa yang disediakan perusahaan untuk menjembatani interaksi mereka, sehingga tak perlu susah payah untuk mempelajari bahasa Indonesia. Hal tersebut sebenarnya dipandang baik bagi keefektifan dan keefisiensian komunikasi untuk menunjang percepatan pembangunan PLTU. Namun jika dilihat dalam kacamata akulturasi hal ini seakan membuat zona nyaman bagi pekerja Tiongkok. mereka diberi fasilitas agar tidak terlalu sulit dalam beradaptasi terkhusus dalam hal bahasa. Akibatnya, mereka terbiasa bergantung pada transalor di dalam komunikasi kedua belah pihak sehingga ini yang mengakibatkan terhambatnya mereka dalam mempelajari bahasa Indonesia. Peneliti juga mendapatkan hal yang sama ketika bertanya kepada pekerja lokal yang sering berinteraksi dengan mereka dengan menggunakan bahasa inggris, Universitas Sumatera Utara mereka tidak mau belajar bahasa Indonesia, bahkan para pekerja lokal tersebut sering mengajari mereka bahasa Indonesia, namun hal tersebut seperti dianggap angin lalu oleh mereka. Kemudian yang menjadi penghambat akulturasi terkhusus dalam hal bahasa ialah tingkat kedekatan mereka terhadap masyarakat dan pekerja lokal, tak bisa dipungkiri hal ini menjadi salah satu corong utama agar mereka bisa terakulturasi, sebab dalam kedekatan dengan masyarakat akan tercipta suatu hubungan baik, dan melalui pengalaman tersebut dengan sendirinya mereka akan belajar menginternalisasi pola budaya masyarakat tempatan. Selanjutnya hambatan akulturasi yang mereka alami terdapat pada gegar budaya. Bukan hal yang asing jika gegar budaya menghambat akulturasi, sebab gegar budaya merupakan pertentangan atas budaya yang kita miliki dengan budaya tempatan, sehingga pertentangan tersebut membatasi mereka untuk mendapatkan pola-pola budaya sebenarnya dari masyarakat tempatan. Contohnya, pekerja Tiongkok pernah mengalami konflik yang bermula dari perbedaan budaya yang sudah dijelaskan di atas, sehingga mereka mulai menutup diri dengan keberadaan masyarakat tempatan dan merasa tertekan dengan aturan- aturan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat tersebut. Butuh waktu yang berbeda-beda untuk keluar dari gegar budaya ini tergantung pola pemikiran, dan keinginan untuk berkembang dalam mempelajari budaya yang ada di desa tersebut, sehingga dari rentang waktu tersebut, akulturasi pasti akan terhambat. Hambatan lainnya yang ada dalam proses akulturasi mereka dikarenakan permasalahan kelengkapan sistem administrasi dari pemerintahan, sehingga kebanyakan mereka lebih menutup diri terkhusus dari orang asing yang belum pernah sama sekali dilihat dan dikenal olehnya. Bukan tanpa alasan peneliti mengatakan hal ini, pertama mereka cukup tertutup dengan kedatangan orang baru yang asing dan baru dilihatnya, bahkan mereka tidak mau peneliti temui ketika wawancara, dengan alasan tidak tahu menahu akan urusan apapun yang terkait dengan peneliti tanyai, bagaimanapun peneliti menjelaskannya mereka juga tetap tidak mau menerima untuk peneliti wawancarai, hanya dengan pendekatan yang intens, dibantu oleh pekerja lokal yang sudah mendapat kepercayaan lebih seperti pak Bernard, dan Ibu Jessi maka peneliti bisa Universitas Sumatera Utara mewawancarai mereka, selanjutnya mereka terlihat menjauhi peneliti pada waktu peneliti melakukan observasi baik di lapangan dan di mess mereka, peneliti sering sekali memulai berbicara dengan mereka, biasanya dengan cara sapaan, “hallo Mr”, kebanyakan mereka tidak merespon peneliti dan malah memilih menjauh. Selanjutnya jumlah para pekerja Tiongkok yang ada dalam data Bagus Karya berbeda dengan yang di katakan oleh informan yang peneliti wawancarai. Dari data bagus karya pekerja Tiongkok yang paling banyak pernah bekerja di proyek tersebut berjumlah 822 orang dan hal ini berbeda dengan data yang ada dikalangan masyarakat. Juru masak contohnya, ia mengatakan jika sebelumnya mereka cukup kewalahan ketika harus menyiapkan makanan bagi 1000-an lebih pekerja setiap harinya sehingga pada saat itu mereka lebih bekerja ekstra keras dan bekerja dengan cukup serius dan teliti agar tidak terlambat dalam hal penyediaan makanan. Hal yang sama juga peneliti dapat pada saat mewawancarai dokter Reza. Beliau menyatakan hal serupa yaitu berjumlah 1000-an orang lebih pekerja Tiongkok, sehingga bukan hal yang aneh lagi ketika pekerja Tiongkok melihat pekerja Tiongkok yang menjadi buruh untuk mengangkat batu, pasir, dan tanah. Hal ini kembali dipertegas oleh pernyataan pak Suprayitno, selaku masyarakat sekaligus membuka warung di dekat mess mereka menyatakan jika di tahun- tahun sebelumnya pekerja ini cukup banyak hampir 1000-an lebih pekerja, sehingga sangat ramai aktivitas jual beli di sana. Alasan selanjutnya ialah pernyataan dari berbagai macam pihak baik warga dan pekerja setempat yang mengatakan, jika di antara mereka ada juga yang bermasalah dengan pihak imigrasi. Walaupun tidak semua pekerja Tiongkok berlaku demikian. Dalam penelitian di lapangan, bahkan ada juga pernyataan warga yang mengatakan jika ada juga mempekerjakan para pekerja yang berasal dari orang yang memiliki pendidikan rendah dan kurang menyadari kebersihan. Mereka terlihat lebih jorok dari pekerja lainnya seperti yang dikatakan oleh dokter Reza, seperti sering meludah dan membuang dahak disembarang tempat, kentut disembarang tempat dan tidak perduli dengan situasi dan kondisi yang terjadi, bahkan ada pula yang messnya kotor. Universitas Sumatera Utara Hal yang sama juga yang peneliti temukan di lini media masa sekarang ini, banyak warga-warga lain di wil.ayah Indonesia, seperti di pulau Jawa yang mengeluhkan pekerja Tiongkok yang memiliki sikap yang sama seperti yang peneliti temui di desa tersebut, diPulau Jawa dari segi pemberitaan baik melalui lini media elektronik dan cetak dapat ditemui beragam permasalahan yang timbul mulain dari hidup yang tidak sehat seperti buang air besar sembarangan, izin Visa yang tidak ada alias tenaga kerja illegal. Banyak warga setempat mengkhawatirkan jika pekerja Tiongkok tersebut masuk secara illegal dan tidak memiliki izin resmi dari pemerintah atau izin ketenagakerjaannya habis dan lain sebagainya. Tidak sampai di situ bukti yang berhasil peneliti himpun, banyak juga warga yang secara langsung menyaksikan pekerja Tiongkok yang secara sengaja diungsikan sementara waktu untuk menghindari pemeriksaan. Mereka biasanya diungsikan ketempat-tempat sepi yang jauh dari pemukiman penduduk. Biasanya mereka pergi keareal persawahan warga, kearah-arah perkebunan dan ladang masyarakat desa untuk beberapa waktu. Mengacu pada PERMENAKER RI No.12 2013 mengenai Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing, dalam Bab V Pasal 26 yang menjelaskan bagaimana seharusnya TKA yang berhak masuk dan bekerja di Indonesia antara lain: - Memiliki pendidikan yang sesuai dengan syarat dan jabatan yang akan diduduki oleh TKA. - Memiliki Kompetensi dan sertifikat atau pengalaman kerja sesuai dengan jabatan paling kurang 5 Tahun. - Bersedia membuat pernyataan untuk mengalihkan keahliannya kepada tenaga kerja Indonesia pendamping dan - Dapat berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Jika hal ini terlaksana dengan baik, maka dipastikan para pekerja yang bekerja mulai dari tahun berlakunya PERMENAKER ini sudah dipastikan sesuai dengan kriteria yang telah dicantumkan di atas. Buktinya Mr Tao dan Mr. Yan dan pekerja lain nya yang didatangkan sekitar Tahun 2013, ternyata tidak sesuai dengan PERMENAKER yang telah dicantumkan. Bahkan tak hanya mereka, bahkan hampir semua yang didatangkan dari Tiongkok ialah orang yang belum Universitas Sumatera Utara mengenal budaya Indonesia sama sekali dan juga selama peneliti meneliti di lapangan kurang lebih 2 bulan lamanya. Peneliti masih mendapatkan banyak pekerja Tiongkok yang tidak mengetahui bahasa Inggris dan hanya bermodalkan bahasa Tiongkok. \ 107 Univeristas Sumatera Utara BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Secara umum akulturasi budaya pekerja Tiongkok lebih menjurus ke arah nilai dan norma yang berlaku di tengah-tengah masyarakat, perilaku sosial dan kebiasaan yang ada ditengah masyarakat lokal, serta sistem lambang dalam hal bahasa Indonesia.Nilai-nilai dan norma sosial yang mereka adaptasi lebih condong terhadap nilai religi yang berlaku ditengah-tengah tempat tinggal mereka dan lebih mentaati aturan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat. Contohnya membatasi jam malam, tidak melakukan aktivitas yang menimbulkan keributan. Mereka juga mengetahui jika budaya yang dimiliki oleh masyarakat desa tersebut bertentangan dengan kebiasaan yang mereka miliki, sehingga mereka menghargai perbedaan tersebut. Contohnya makanan mereka sehari-hari adalah menu yang mengandung unsure daging babi, sehingga mereka secara sadar tidak makan-makanan tersebut di dekat masyarakat dan pekerja lokal. Begitu juga ketika mereka meminum minuman keras yang beralkohol, mereka juga tidak menampilkannya di dekat pekerja dan masyarakat lokal. Dalam mengadopsi nilai-nilai yang berlaku di desa Tanjung Pasir, mereka sudah memahami elemen dasar dari etika dan sopan santun yang dipunyai oleh masyarakat desa yaitu etika susila yang bersifat mengikat. Para pekerja Tiongkok sadar jika tidak boleh secara sembarangan menyentuh seorang wanita. Begitu juga Pekerja Tiongkok wanita juga kini telah memakai pakaian yang terkesan sopan dan tidak terlalu mencolok. Dari pengetahuan akan nilai, mereka juga mengaplikasikan nilai-nilai tersebut kedalam bentuk perilaku mereka sehari-hari. Perilaku yang paling terlihat dari mereka ialah pada saat magrib tiba. Tidak ada satu pekerja pun yang mencoba membuat keributan, sebaliknya masing-masing mereka beraktivitas di dalammess masing-masing dan dalam keadaan yang tentram. Selanjutnya perilaku yang menunjukkan perubahan atau akulturasi lebih menjurus kearah