Komunikasi AntarBudaya Kerangka Teori

Universitas Sumatera Utara 6. Komunikasi Pembangunan 7. Komunikasi Tradisonal 8. Komunikasi Lingkungan.

2.2.2 Komunikasi AntarBudaya

Komunikasi merupakan suatu sarana yang digunakan manusia sebagai alat untuk menyatakan dan mendukung identitas diri, untuk membangun kontak sosial dengan orang di sekitar,untuk mempengaruhi orang lain untuk merasa berfikir, berperilaku seperti yang kita inginkan dan juga mengendalikan lingkungan fisik dan psikologis manusia.Deddy Mulyana dalam bukunya Ilmu Komunikasi suatu Pengantar 2007:7 mengatakan jika komunikasi merupakan sebuah mekanisme untuk mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat baik secara horizontal, maupun vertikal, dari suatu generasi ke generasi lainnya. Komunikasi sebenarnya dipengaruhi oleh budaya-budaya yang melekat dalam kedirian manusia sehingga kita bisa mengenal identitas kebudayaan seseorang hanya dari bahasa yang dipakainya, tutur kata yang diucapkan dan kalimat pesan yang disampaikannya. Budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu atau kelompok. Budaya juga merupakan pewarisan sosial yang mengandung pandangan yang sudah dikembangkan jauh sebelum kita lahir. Dalam praktiknya budaya sangat berkaitan dengan komunikasi, sebab budaya mempengaruhi cara orang untuk berkomunikasi dan budaya dapat pula dikenal dan dipelajari melalui komunikasi. Secara umum, komunikasi antarbudaya ialah suatu alat untuk menyatakan identitas sosial dan menjembatani perbedaan antarbudaya melalui proses perolehan informasi baru, mempelajari sesuatu yang baru yang tidak pernah ada dalam kebudayaan,serta sekedar mendapat hiburan atau melepaskan diri. Menurut Tubbs dan Moss, komunikasi antarbudaya terjadi di antara orang- orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda ras,etnis,sosio ekonomi,atau gabungan dari semua perbedaan ini Lubis, 2014: 13. Universitas Sumatera Utara Menurut Samovar dan Porter dalam Lubis, 2014 : 18 kebudayaan itu dapat dipelajari dan budaya itu dapat juga dipertukarkan, oleh karena itu budaya bertanggung jawab atas seluruh perbendaharaan perilaku komunikasi dan makna yang dimiliki tiap-tiap individu. Konsekuensinya, perbendaharaan inilah yang akan menimbulkan segala macam kesukaran dalam keberlangsungan komunikasi. Samovar dan porter juga menggambarkan suatu model komunikasi antarbudaya yang menggambarkan perubahan budaya yang terjadi ketika ada interaksi antarbudaya, seperti gambar di bawah ini: Gambar 2.1.2 : Model Komunikasi Antarbudaya Samovar dan Porter Sumber: Lubis 2014 : 20 Komunikasi antar budaya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sisi komunikasi antarpribadi, sebab komunikasi antarbudaya merupakan komunikasi antarpribadi yang dengan perhatian khusus dilihat pada faktor-faktor kebudayaan yang mempengaruhinya. Pada kajian komunikasi antarbudaya, benang merah yang harus diperhatikan adalah prinsip-prinsip hubungan antarpribadi seperti yang dituangkan oleh Lubis dalam bukunya Pemahaman Praktis Komunikasi Antarbudaya 2014 : 102 yaitu : A B B C Universitas Sumatera Utara a. Homofili Homofili merupakan derajat kesamaan antara individu-individu yang terlibat dalam interaksi antarpribadi. Seringkali kita mendapatkan bahwa kita lebih percaya pada orang-orang yang sudah dikenal daripada orang yang masih asing, atau kadang-kadang sesudah berkenalan dengan seseorang kita telah merasakan kecocokan dengannya. Salah satu yang dapat menjelaskan ini ialah adanya persepsi akan identifikasi, yakni dirasakan semacam hubungan karena adanya kesamaan, baik dalam segi penampilan,unsure, pendidikan, etnisitas, tempat tinggal atau wilayah geografi, pandangan politik moral, dan lain sebagainya. Hal ini merupakan modal dasar sebelum berlanjut kepada interaksi yang lebih akrab dilakukan. Intensitas hubungan antarpribadi yang baik akan memunculkan kepercayaan terhadap komunikan atau sebaliknya penilaian komunikan terhadap komunikator. b. Kredibilitas Percaya atau tidaknya seseorang kepada orang lain tergantung kepada beberapa faktor yang mempengaruhi kreativitas komunikasi yang dilakukan, yaitu: 1. Kompetensi: dengan kemampuan untuk menyelesaikan sesuatu yang dipersepsikan dengan orang lain. 2. Karakter : persepsi tentang moral, nilai-nilai, etika, dan integritas komunikasi. 3. Ko-orientasi : derajat kesamaan yang dipersepsikan mengenai tujuan dan nilai. 4. Kharisma : derajat kepercayaan akan kualitas-kualitas kepemimpinan khusus yang dipersepsikan, terutama dalam keadaan krisis. 5. Dinamika: derajat tentang entusiasme dan perilaku-perilaku nonverbal yang dipersepsikan. 6. Jiwa sosial : derajat keramahan dari seseorang. c. Kesediaan membuka diri Self-disclosure Self Disclosureterjadi bilamana seseorang menyampaikan informasi tentang dirinya sendiri pada orang lain. Kesediaan membuka diri menunjukkan adanya kepercayaan yang terjalin ketika komunikasi dilakukan antara komunikan dan komunikator, keterbukaan juga mengindikasikan jika masing-masing pihak yang Universitas Sumatera Utara menjalin interaksi mendapatkan kepercayaan dan kesukaan. Jika saling percaya meningkat maka makin meningkat pula keterbukaan self disclosure. d. Dominasi dan Submisi Dalam kesediaan membuka diri tingkat hubungan antarpribadi tidak sama antara pelaku komunikasi. Hubungan antarpribadi diatur oleh suatu hubungan dominasi dan submisi, misalnya antara majikan dan bawahan, dokter dan pasien, orang tua dan anak, guru-murid dan lain sebagainya. Dominasi dan submisi dipengaruhi oleh peranan sosial dalam masyarakat dan status dari satu individu di dalam organisasinya. e. Formalitas dan Informalitas Formalitas dan Informalitas juga mengatur keterbukaan diri, sebab dalam suatu sistem telah diatur sebuah tata cara yang disebut dengan manajemen, sistem ini terkait dengan tingkatan atau hirarki, pangkat, status sosial, umur, rekan sebaya dan lain sebagainya. Konsep formalitas – dan informalitas ini dipandang sebagai tolak ukur kedekatan antar pribadi seseorang. f. Ketertarikan AntarPribadi Ketertarikan antarpribadi sangat jelas menggambarkan keterbukaan diri seseorang, sebab dari sinilah awal mula pelaku komunikasi memulai interaksi, dan berlanjut menuju akulturasi. g. Hubungan-Hubungan Kerja Antarpribadi Hubungan kerja antar pribadi jika ditinjau dalam konteks komunikasi antar budaya juga memengaruhi keterbukaan diri seseorang, sebab hubungan ini mau tak mau harus diterapkan dalam interaksi sehari-hari seperti dalam pekerjaan, persahabatan, pergaulan. Berbicara mengenai komunikasi antarbudaya tidak terlepas dari komunikasi yang efektif, sebab telah disinggung di atas jika komunikasi antarbudaya merupakan suatu alat untuk menjembatani perbedaan budaya yang dimiliki oleh masing-masing individu, maka dari itu, efektivitas komunikasi antarbudaya sangat di tentukan oleh kesadaran pada setiap individu, untuk berusaha mempelajari tatanan kebudayaan yang berasal dari luar dirinya, dan menciptakan suatu hubungan berkelanjutan, dan semakin meningkat, sehingga pada akhirnya akan tercipta kesepahaman dan keselarasan hubungan dari 2 Universitas Sumatera Utara budaya berbeda, kemudian efektivitas Komunikasi antarbudaya dalam Liliweri, 2001 :171 yang efektif harus memperhatikan empat syarat, yaitu: 1. Menghormati anggota budaya lain sebagai manusia 2. Menghormati budaya lain sebagaimana adanya dan bukan sebagaimana yang kita kehendaki 3. Menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara bertindak dan 4. Komunikator antarbudaya yang kompeten harus belajar menyenangi hidup bersama orang lain. Dalam komunikasi antarbudaya juga diperlukan kemampuan atau kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh tiap-tiap komunikator maupun komunikan antarbudaya yang meliputi: 1. kemampuan seseorang untuk menyampaikan semua maksud atau isi hati secara profesional sesuai dengan kemampuan dan kompetensi yang dia tampilkan secara prima 2. kemampuan seseorang untuk berinteraksi secara baik, misalnya mampu mengalihbahasakan semua maksud dan isi hatinya secara tepat. 3. Kemampuan seseorang untuk menyesuaikan kebudayaan pribadinya dengan kebudayaan yang sedang dihadapinya meskipun dia harus berhadapan dengan berbagai tekanan dalam proses tersebut. 4. Kemampuan seseorang untuk memberikan fasilitas atau jaminan bahwa dia bisa menyesuaikan diri atau bisa mengelola pelbagai tekanan kebudayaan lain terhadap dirinya. Lubis, 2014 : 145 .

2.2.3 Akulturasi Budaya