Akulturasi pekerja Tiongkok terhadap nilai-nilai budaya dan norma

Universitas Sumatera Utara sistem kebudayaan yang selama ini hadir dan menjadi acuan ditengah-tengah hidup mereka telah tidak berlaku lagi dilingkungan ini. Mereka memiliki karakteristik budaya yang sangat berbeda, sehingga mereka harus kembali belajar untuk mengetahui dan beradaptasi dengan budaya barunya agar dapat berinteraksi dan menjalin kerjasama dengan orang yang tinggal di desa tersebut. Secara sadar atau tidak, pekerja Tiongkok diperhadapkan dengan peraturan baru yang mereka belum mengetahuinya. Peraturan tersebut berasal dari norma, nilai-nilai, kebiasaan atau tata cara berperilaku, serta sistem kepercayaan yang dianut oleh masyarakat tempatan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, jika budaya tuan rumah lebih besar pengaruhnya terhadap budaya pendatang sehingga para pekerja Tiongkok yang datang harus mulai belajar bagaimana caranya agar mereka mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya tersebut. Sebab jika mereka tidak mampu beradaptasi dengan lingkunagn barunya, maka pekerja Tiongkok tersebut pasti akan mendapatkan Punishment atau suatu penghakiman baik dari sisi fisik maupun psikis dari masyarakat tuan rumah. Peneliti telah mendapatkan data yang akan menjelaskan sejauh mana para pekerja Tiongkok terakulturasi dari sisi adaptasi nilai-nilai budaya, dan norma yang berlaku sehingga mengubah sikap dan perilaku. Kemudian tak luput dari perhatian yaitu sistem lambang terkhusus dalam hal bahasa, adaptasi perilaku serta gegar budaya yang mereka alami. Dalam meneliti akulturasi pekerja Tiongkok ini, peneliti juga memfokuskan penelitian pada hambatan apa saja yang terjadi yang dapat memengaruhi proses akulturasi. Maka setelah data berhasil dikumpulkan, peneliti mendapatkan hasil penelitian sebagai berikut:

4.2.1.1 Akulturasi pekerja Tiongkok terhadap nilai-nilai budaya dan norma

yang berlaku Nilai merupakan norma di mana suatu etnis memberitahukan kepada seseorang anggotanya mana yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, yang boleh dan tidak boleh dalam Lubis, 2014: 67, sehingga dalam suatu lingkup budaya, nilai amat berperan penting dalam menjaga kestabilan hidup karena ia berisi norma-norma yang mengikat yang harus dipatuhi dan dijalankan serta dihormati oleh seluruh individu yang menetap didaerah tersebut. Nilai-nilai budaya juga bersifat normatif dan menekankan perilaku-perilaku yang penting dan Universitas Sumatera Utara suatu aturan yang tersusun untuk membuat pilihan-pilihan dan mengurangkan konflik di dalam masyarakat. Terkait dengan sejauh mana akulturasi dalam hal nilai-nilai yang terkandung di daerah desa Tanjung Pasir yang telah diadopsi oleh para pekerja Tiongkok. Maka dari hasil wawancara peneliti dengan pekerja Tiongkok dan dengan beberapa orang pekerja lokal yang memiliki intensitas interaksi yang cukup tinggi terhadap pekerja Tiongkok, didapatkan hasil jika secara umum para mereka yang datang dan bekerja ditempat ini pada awalnya belum mengetahui sama sekali nilai-nilai yang berlaku dimasyarakat. Hal ini peneliti ketahui ketika bertanya mengenai apakah mereka pernah mempelajari atau mengetahui sebelumnya situasi dan kondisi iklim budaya dan lingkungan yang mereka tempati sekarang. Dari ke-empat informan Tiongkok Mr. Yan, Mr.Tao, Mr. Mao Tang, Mr. Ding yang peneliti wawancarai rata-rata dari mereka menjawab jika mereka memang belum pernah sama sekali mengetahui bagaimana bentuk dan rupa topografi yang ada di desa tersebut dan juga mereka sama sekali tidak pernah mempelajari serta membayangkan sebelumnya bagaimana budaya yang berlaku didaerah tersebut. Hanya saja peneliti mendapatkan pernyataan dari salah seorang dari mereka yaitu Mr. Yan Lu Zung, yang mengetahui jika masyarakat Indonesia memiliki agama, sebab ia sendiri menyatakan tidak memiliki dan menganut kepercayaan apapun. Rata-rata dari mereka memiliki alasan pertama sekali bekerja di PLTU Pangkalan Susu karena di rekrut oleh pihak perusahaan dalam hal ini oleh GPEC. Dalam Lubis 2014:69 menyatakan jika nilai-nilai yang berbeda dan tidak dapat dipahami oleh kelompok berbagai budaya dari manapun asalnya akan menyebabkan konflik yang berakhir dengan kekerasan, peperangan saudara, perang antar suku bangsa, perilaku anarki dan lain-lain. Hal ini juga kelihatan terjadi dikalangan pekerja Tiongkok dan masyarakat tempatan terkhusus pada awal proses adaptasi nilai yang terjadi. Dalam proses akulturasinya, banyak terjadi gesekan-gesekan budaya yang kedua belah pihak alami. Para penduduk yang berada di sekitar desa Tanjung Pasir mayoritas muslim dan menjunjung tinggi nilai-nilai ke islamian dan juga menjunjung tinggi adat ketimuran telah dikenal memiliki aturan yang cukup ketat Universitas Sumatera Utara dalam hal etika dan sopan santun yang bersifat mengikat. Sedangkan para pekerja Tiongkok menurut hasil penuturan mereka sendiri, pekerja lokal, masyarakat setempat dan hasil pengamatan peneliti sendiri mendapatkan jika mayoritas dari pekerja Tiongkok memiliki aturan terkhusus dalam norma kesopanan yang lebih longgar dibandingkan budaya timur. Tidak hanya itu saja rata-rata dari mereka tidak memiliki agama, sehingga sudah tentu nilai-nilai terkhusus dalam nilai religi dan norma yang berlaku antara kedua belah pihak sangat jauh perbedaannya. Seperti yang diutarakan oleh Pak Leonardo Tambunan yang mengatakan, jika pada awalnya sewaktu pertama sekali para pekerja Tiongkok datang ke daerah tersebut mereka membawa kebudayaannya masuk dan mengaplikasikannya kedalam sistem budaya yang berlaku di desa Tanjung Pasir. Contoh-contoh kebudayaan yang mereka terapkan yaitu, seperti memberi seuatu dengan memakai tangan kiri, para pekerja wanita yang sering memakai pakaian-pakaian minim yang trend disebut dengan “you can see”, minum- minuman beralkohol, membuat aktivitas yang dapat menimbulkan kegaduhan di mess. Dari aktivitas-aktivitas tersebut mungkin bagi pekerja Tiongkok menjadi hal yang lumrah yang dilakukan di wilayahnya, namun hal tersebut tidak ditolerir oleh masyarakat yang berada di desa Tanjung Pasir. Mengacu pada sistem kebudayaan yang berlaku dan secara dominan mengikat serta mengatur kehidupan sosial didaerah tersebut. Para penduduk lokal lantas memberikan sinyal negatif kepada mereka, sehingga dari aktivitas mereka tersebut masyarakat menjadi marah dan tidak senang dengan para pekerja Tiongkok. Pertentangan yang berasal dari perbedaan budaya ini pada akhirnya berujung pada konflik yang mengakibatkan kedua belah pihak bersitegang dan mulai memiliki jarak dalam melakukan interaksi sosial. Sejurus dengan apa yang dinyatakan oleh juru bahasa ibu Jessi, ia mengatakan jika di desa tersebut pernah ada kasus yang cukup serius sehingga pada akhirnya warga-warga desa melempari pekerja Tiongkok memakai batu dan ada juga pekerja Tiongkok yang ditangkap warga dan berujung ke kepolisian. Namun hal-hal tersebut tidak berlangsung lama dan berlanjut secara terus menerus. Setelah dilakukannya pembinaan yang baik kepada pekerja Tiongkok dan melalui proses adaptasi yang berlangsung setiap hari, para pekerja Universitas Sumatera Utara Tiongkokyang tinggal didaerah tersebut mulai perlahan-lahan sadar akan posisinya dan menghormati setiap nilai-nilai luhur yang berlaku yang dimiliki oleh masyarakat tempatan. Kini mereka perlahan-lahan telah sadar harus berlaku sedemikian rupa sebagaimana budaya tempatan berlaku walaupun tidak semua nilai yang berlaku di daerah tersebut berhasil diketahui oleh mereka, namun paling tidak, mereka tidak melanggar batasan-batasan dari nilai yang berlaku ditengah-tengah masyarakat desa Tanjung Pasir. Walaupun peneliti menemukan jika mayoritas dari mereka memiliki paham komunis atau anti agama, para pekerja Tiongkok ini tidak serta merta memiliki kebebasan tanpa memperhatikan suatu pedoman bagi hidup mereka. Dari pernyataan beberapa masyarakat di sekitar tempat tersebut rata-rata dari mereka menyatakan kekaguman atas etos kerja, tekad juang dan semangat yang mereka miliki, kesederhanaan dan mampu secara teliti dalam mengatur keuangan mereka sendiri. Para masyarakat dan informan kunci yang peneliti temui menyatakan jika mereka menjunjung tinggi fokus dan tujuan mereka, tak ketinggalan mereka juga memiliki kejujuran dan tidak menyukai orang-orang yang berbohong. Mengacu pada Larry. A Samovar dalam bukunya yang berjudul Komunikasi Lintas Budaya. Ia menyatakan jika bangsa Cina telah mengadopsi suatu paham yang berasal dari ajaran Confusius yang menekankan nilai-nilai akan masa depan, pekerjaan, prestasi, pendidikan, kebaikan, dan kesederhanaan. Sehingga walaupun negara tersebut dipimpin oleh kaum komunis Non-agama, namun inti dari ajaran Confusius tak hilang dan tetap saja mengakar dan menjadi suatu nilai yang mereka pegang dalam kehidupan mereka termasuk yang peneliti dapatkan kesimpulan jika pekerja Tiongkok yang bekerja di desa ini memang sudah memiliki kebudayaan yang unik yang memang sudah menjadi jati diri mereka selama ini. Dari hasil penelitian didapatkan jika kebanyakan dari mereka mulai mengadopsi budaya tempatan secara perlahan-lahan, biasanya mereka mengubah pola kebiasaan mereka yang memiliki pertentangan yang cukup serius dengan budaya yang dimiliki oleh penduduk pribumi, seperti memberi sesuatu harus memakai tangan kanan, tidak boleh sembarangan bicara terhadap orang lain, tidak Universitas Sumatera Utara boleh membuat kegaduhan atau keributan, para pekerja wanita yang tinggal di mess tersebut juga tidak boleh memakai baju transparan dan celana yang minim melainkan baju-baju longgar dan celana panjang. Pak Bernard sebagai salah satu informan yang peneliti wawancarai menambahkan, jika dalam segi nilai dan norma yang berlaku di tengah-tengah masyarakat secara umum, kebanyakan dari mereka sudah mengerti dan mengenal dengan baik. Rata-rata pekerja Tiongkok ini paham benar jika para penduduk dan pekerja yang bekerja di Proyek PLTU mayoritas beragama muslim sehingga mereka menghormati masyarakat dan pekerja lokal sebagaimana dengan nilai- nilai islami yang mereka anut yang mengajarkan haram hukumnya untuk memakan daging babi. Jadi setiap kali para pekerja Tiongkok disiapkan makanan yang mengandung daging tersebut, baik pagi dan malam di mess, maka tidak ada satu orang pun yang melangkah keluar mess, melainkan memakan makanan tersebut dikamar masing-masing atau di tempat yang memang dengan sengaja sudah disediakan oleh pihak perusahaan. Begitu juga pada waktu menjelang malam mereka sudah mengetahui jika aktivitas yang dilakukan oleh umat muslim untuk beribadah yaitu sholat berjamaah di mushala yang berada di sekitar mess tersebut sehingga pada waktu itu, mereka semua tidak ada yang membuat kegaduhan dan melakukan aktivitas yang dapat mengganggu kekhusyukan dan ketertiban peribadahan. Masih dalam segi pengadopsian nilai-nilai yang berlaku ditengah-tengah masyarakat desa Tanjung Pasir. Para pekerja Tiongkok juga mengetahui jika tidak boleh sembarangan menyentuh, mengajak kencan para anak perempuan di desa tersebut. Hal ini jelas didasarkan oleh norma agama yang mengikat dan adat ketimuran yang menjadi kekhasan dari penduduk pribumi yang mutlak dijalankan oleh masyarakat tempatan. Pada awalnya hal ini belum diketahui oleh mereka, karena ketidaktahuan akan nilai dan norma yang berlaku pernah ada gesekan yang cukup serius yang terjadi antara kedua belah pihak sehingga pada suatu masa ada kejadian di mana seorang pekerja Tiongkok hampir dihakimi oleh masa setempat karena ia dituduh berbuat tidak senonoh dengan anak perempuan desa tersebut, padahal setelah Universitas Sumatera Utara ditelusuri lebih lanjut segala sesuatu yang terjadi karena diakibatkan kesalahan persepsi yang dilakukan kedua belah pihak. Hal ini terjadi pada malam hari dan sedang dalam keadaan sedang hujan dan dalam kondisi yang memang sepi. Pada saat itu menurut penuturan masyarakat setempat ada seorang gadis yang berjalan seorang diri, melihat hal tersebut pekerja Tiongkok ini menghampirinya dan mencoba menolong gadis tersebut. Namun karena pekerja Tiongkok ini tidak mengetahui kebudayaan yang berlaku ditempat tersebut, ia memegang langsung pakaian dari gadis tersebut. Si gadis ini pun sontak kaget dan secara tak sadar menjerit-jerit ketakutan, mendengar hal tersebut seketika itu juga para warga datang menghampiri mereka dan menangkap serta hampir saja masa menghakimi pekerja Tiongkok tersebut. Selanjutnya dalam menyikapi nilai-nilai pekerti yang ada di desa Tanjung Pasir, para pekerja Tiongkok mendapatkan suatu pelajaran yang berharga dari suatu norma yang ada di tengah masyarakat desa Tanjung Pasir, norma sopan santun, kesusilaan, moral dan norma berbudi pekerti yang ditunjukkan masyarakat setempat dari sikap mereka yang menghargai perbedaan yang ada, ramah kepada pekerja Tiongkok dan baik serta menerima kedatangan mereka sebagai suatu masyarakat baru dan tidak mengisolasi mereka. Hal ini diutarakan oleh beberapa informan yang peneliti wawancarai seperti Mr. Ding, Yan Lu Zung, dan Mr. Mao tang. Namun, walaupun dari segi pengalaman para pekerja Tiongkok, dan masyarakat lokal menyatakan jika adaptasi para pekerja Tiongkok terkait nilai tergolong menjurus ke hal-hal positif, dalam perjalanannya tetap saja tidak semua pekerja Tiongkok yang mengetahui secara menyeluruh mengenai nilai dan norma yang berlaku. Seperti yang diutarakan oleh seorang dokter yang khusus menangani keluhan pekerja Tiongkok, yaitu dokter Reza. Ia menyatakan jika walaupun telah lama bekerja di tempat tersebut masih ada juga beberapa orang pekerja Tiongkok yang belum memahami norma sopan santun yang berlaku. Seperti pernah ada ditemui sebuah kasus, dari pernyataan Dokter reza ada pekerja yang kentut sembarangan didepan umum. Bahkan ia tidak perduli sedang berada di antara kerumunan orang dan juga mereka melakukan hal-hal yang dianggap tidak etis dan terkesan jorok oleh masyarakat kita pada umumnya, yaitu Universitas Sumatera Utara membuang dahak di sembarang tempat. Bahkan mereka melakukan hal- hal yang demikian seakan-akan mereka sedang sendiri sehingga terkesan jika mereka kurang memperdulikan keberadaan orang yang berada di sekitarnya. Mungkin hal-hal di atas tergolong lumrah jika dilakukan dinegara-negara tertentu, namun hal-hal ini tentu dianggap menjijikkan dan termasuk menunjukkan salah satu sikap kurang terpuji dan tergolong sikap yang tidak sopan jika dilakukan dilingkungan tersebut. Ternyata tidak hanya di dalam ruang lingkup PLTU saja mereka menunjukkan sikap yang kurang etis seperti ini. Jika ditinjau di lain wilayah, para pekerja Tiongkok yang bekerja di sana juga hampir memiliki kesamaan yang serupa, seperti yang dikeluhkan oleh warga Lebak, masyarakat di sana mengeluhkan jika banyak buruh-buruh Tiongkok yang bekerja di suatu proyek sering sekali sembarangan Buang Air Besar BAB dan dilakukan disembarang tempat sumber: Merdeka.comperistiwa-warga-lebak-mengeluh-buruh-China- bab-sembarangan. 4.2.1.2Akulturasi pekerja Tiongkok terhadap pola perilaku masyarakat sekitar. Perilaku atau sistem tingkah laku adalah perwujudan dari kepercayaan dan nilai-nilai yang dipedomani oleh setiap individu. Tingkah laku dibentuk oleh sebuah proses belajar dari suatu kebudayaan, adaptasi tingkah laku terhadap suatu budaya di ilustrasikan bagaikan tanah liat yang lunak, dan dibentuk sedemikian rupa, kemudian tanah liat tersebut dijemur dan dikeringkan menjadi suatu bentuk benda yang kerasdan tanah liat tadi berubah sesuai dengan hasil cetakannya. Telah disinggung berulang kali dalam bab sebelumnya yang mengatakan jika budaya tuan rumah memiliki semacam power yang cenderung lebih kuat ketimbang para pendatang dalam hal budaya, sehingga budaya tuan rumah akan menerpa diri si pendatang dan menjadikan mereka beradaptasi dengan lingkungan barunya tersebut. Begitu juga kasus yang terjadi dalam akulturasi pekerja Tiongkok terkhusus dalam hal perilaku yang perlahan-lahan menyerupai dengan perilaku dan kebiasaan masyarakat desa Tanjung Pasir. Berdasarkan data yang muncul dari informan yang peneliti wawancarai , pak Bernard dan Pak Leonardo misalnya, mereka berdua menyatakan para pekerja Universitas Sumatera Utara ini mulai mengerti bagaimana norma-norma yang berlaku di tengah masyarakat dalam hal yang sederhana seperti memberi sesuatu memakai tangan kanan, sebab bagi kebudayaan mereka tangan kanan atau kiri tidak ada masalah nya sama sekali, keduanya sederajat dan layak untuk dipakai sebagai alat untuk memberi sesuatu kepada orang lain. Akan tetapi lain halnya bagi kebudayaan yang Indonesia anut, tangan kanan memiliki arti lebih sopan dan baik jika dipakai untuk memberi sesuatu kepada orang lain, sehingga seseorang merasa dihargai jika memberi sesuatu dengan menggunakan tangan kanan dan sebaliknya kita akan merasa kurang dihargai ketika seseorang memberi dengan tangan kiri. Bagi pekerja wanita Tiongkok tidak didapati lagi mereka-mereka yang memakai pakaian minim dan terkesan seksi, melainkan lebih memakai pakaian yang sopan dan rapi dan sederhana. Kemudian pada saat malam tiba mereka juga tau bagaimana cara menempatkan diri dengan keadaan lingkungan seperti tidak melakukan aktivitas diluar lagi pada saat di atas jam malam yang telah ditentukan, yaitu setelah jam 11:00 WIB. Mereka juga mengerti bagaimana harus bersopan santun seperti menghormati orang tua, tidak boleh secara sembarangan, menyentuh dan memegang wanita desa tersebut serta tidak berbuat senonoh selama berada di desa tersebut. walaupun pada awalnya telah disinggung akibat pergesekan nilai yang cukup serius hingga sampai membawa kasus tersebut ke kantor polisi, namun sekarang hal tersebut tidak pernah muncul lagi dipermukaan. Kemudian perubahan perilaku menonjol dalam hal menghargai penduduk setempat terkhusus dalam hal menjalankan kegiatan spiritual mereka. Pada saat maghrib tiba, para pekerja Tiongkok tidak ada yang keluar mess, mereka lebih memilih untuk diam di dalammess dan melakukan aktivitas yang bisa dilakukan tanpa membuat kegaduhan. Biasanya setelah malam tiba sekitar pukul 19:00 baru mereka keluar dari mess dan pergi menuju ketempat yang hendak mereka tuju. Sebagai orang Indonesia merupakan hal yang lumrah ketika kita makan pakai tangan, akan tetapi merupakan hal yang sangat janggal bagi para pekerja Tiongkok, sebab merupakan hal yang subtansial dan sudah mengakar dalam hidup mereka jika makan harus memakai alat seperti sumpit, sendok, dan garpu. Akan tetapi seperti apa yang telah dinyatakan oleh pak Bernard jika ia pernah menyarankan kolega Tiongkoknya untuk makan memakai tangan dan mereka Universitas Sumatera Utara mengikuti cara beliau makan dan mereka menyukai cara seperti itu. Namun hal ini tidak menjadi suatu kebiasaan bagi mereka, melainkan mereka berlaku demikian secara situasional atau dengan kata lain, hanya menghormati tata cara budaya pada saat-saat tertentu dikalangan tertentu saja. Buktinya selama peneliti melihat dan mengobservasi di lapangan, tidak ada satupun pekerja Tiongkok yang makan menggunakan tangan melainkan memakai sumpit, sendok dan garpu. Disisi lain dalam hal perubahan perilaku pekerja Tiongkok, menurut pernyataan pak Suprayitno ia menyoroti jika ada beberapa pekerja yang sering sekali mengamati aktivitas kerohanian yang masyarakat sekitar jalankan, seperti shalat di mushola dan melakukan pengajian. Mereka merasa tertarik dengan kegiatan-kegiatan yang menurutnya asing bagi masyarakat mereka, namun karena intensitas pengamatan yang mereka lakukan sudah melewati batas dan warga pun merasa mereka mulai mengganggu ketertiban dan ketentraman ibadah, para warga lantas mengusir mereka untuk pergi dari tempat tersebut. Selanjutnya dalam berperilaku dan kebiasaan yang mulai mereka adopsi yaitu mereka mulai terbiasa dengan makanan-makanan yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia, yaitu makanan yang mempunyai cita rasa pedas. Ibu Junita seorang juru masak dan Pak Suprayitno penjaga warung sepakat jika merupakan suatu hambatan bagi mereka pada awalnya untuk makan di desa Tanjung Pasir dan sekitarnya, sebab mayoritas dari mereka tidak bisa makan makanan yang pedas dan ada juga beberapa bumbu-bumbu tertentu yang tidak bisa diterima oleh sistem pencernaan mereka. Biasanya ketika mereka membeli makanan yang mengandung cabai, mereka akan terlebih dahulu menyingkirkan cabai dari piringnya. Begitu juga bumbu-bumbu tertentu yang dibuat oleh penjaga warung , mereka sangat hati-hati mereka terhadapnya. Sebab jika hal tersebut tetap mereka makan, maka hal buruk yang akan timbul terhadap mereka, seperti sakit perut, mencret, alergi dan lain sebagainya. Selanjutnya mereka juga menyukai makanan lain seperti nasi goreng, sea food, makanan yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat pribumi pada umumnya seperti, ayam goreng, kangkung tumis, sayur rebus, buncis dan labu. Dokter Reza dan Pak Leo juga punya hal senada dalam hal perubahan perilaku yang menjurus kepada cara pengobatan dan kesehatan serta obat-obatan Universitas Sumatera Utara yang mereka pakai. Pada awalnya mereka kurang percaya dengan obat-obatan yang ada di Indonesia, sebab memang tak bisa dipungkiri jika produk obat-obatan yang mereka hasilkan memang sudah terkenal ampuh mengobati segala macam penyakit, sehingga ada juga beberapa dari mereka yang menolak cara pengobatan yang disarankan oleh dokter setempat. Mereka sering memaksa agar penyakit yang mereka derita diobati dengan metode yang biasa diterapkan di negara Tiongkok. Namun seiring dengan waktu dan keterbatasan peralatan dan juga pengetahuan dokter terhadap obat-obatan Tiongkok, mereka mulai beralih sikap yang pada awalnya sering membawa obat- obatan tradisional dari negaranya langsung menjadi mulai mengikuti bagaimana cara pengobatan dan obat-obatan yang berlaku di tempat tersebut. Dokter Reza juga menambahkan jika kini mereka sendirilah yang mulai mempelajari obat- obatan tradisional yang ada di Indonesia, seperti jamu-jamuan dan obat-obatan herbal dari tetumbuhan lainnya. Ada pula yang membawa ramua-ramuan tersebut kenegaranya untuk diberikan kepada sanak saudara mereka ketika mereka kembali ke Tiongkok untuk cuti ataupun selesai masa kerja. Mereka juga mengoleksi batu akik, suatu hobi baru yang merasuki hampir setiap laki-laki di Indonesia. disela-sela pekerjaan yang begitu ketat mereka juga memiliki hobi baru yang fenomenal di seantero Indonesia. Biasanya mereka langsung membeli dari masyarakat dan tidak hanya membeli dari berbagai pihak, mereka juga ikut mencari batu akik bersama dengan warga lainnya yang memang tersedia oleh alam di sekitar Tanjung Pasir. Walaupun pekerja Tiongkok harus mempelajari nilai-nilai yang berlaku dan berperilaku sesuai dengan arahan nilai yang berlaku ditengah-tengah masyarakat. Ternyata mereka juga sering mengeluhkan perilaku-perilaku tertentu dari masyarakat yang mereka anggap tidak baik jika diadopsi. Perilaku dan kebiasaan ini berasal dari cara kerja atau kinerja dari pekerja lokal terkhusus pekerja yang di lapangan yang bisa dibilang lebih lambat dari mereka. Hal ini dikemukakan oleh pak Bernard yang menyatakan jika mereka merupakan orang yang memiliki semangat juang yang tinggi, disiplin dalam pekerjaan, memanfaatkan waktu dengan baik dan tipe pekerja keras. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, kondisi tersebut telah menjadi suatu hal mendasar bagi Universitas Sumatera Utara masyarakat Tiongkok pada umumnya, sehingga nilai-nilai yang mereka pegang ini agak sedikit berbenturan dengan prinsip pekerja lokal anut. Kebanyakan dari pekerja lokal terlihat lebih santai dalam mengerjakan pekerjaan, kurang cakap atau lincah dalam bekerja, serta sering mengeluh dalam kondisi cuaca ekstrim. Kondisi ini berbeda berbeda dengan pekerja Tiongkok yang memang telah dikenal disiplin dan etos kerjanya. Walaupun para pekerja Tiongkok mengeluhkan cara pekerja lokal bekerja, mereka tetap saja tidak berubah. Hal ini mengindikasikan walaupun nilai-nilai yang terkandung dalam suatu wilayah tersebut dilihat kurang baik jika dibandingkan dengan nilai-nilai yang dimiliki para pendatang Tiongkok, nilai tersebut tetap saja lebih berhak untuk di terapkan dan dipegang bagi mereka-mereka yang menetap di wilayah tersebut. Sehingga walaupun hal itu dipandang kurang baik dari segi kacamata kebudayaan yang dimiliki oleh pekerja Tiongkok, mereka tetap saja tidak bisa terlalu memaksakan kehendak agar pekerja lokal juga bekerja segiat dan seulet mereka, karena hal-hal seperti itu pun telah menjadi nilai tersendiri yang berlaku dalam kehidupan masyarakat desa Tanjung Pasir.

4.2.1.3 Akulturasi pekerja Tiongkok terhadap Sistem Lambang