LATAR BELAKANG MASALAH PENDAHULUAN

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber Sebuah Tinjauan Studi Kasus, 2009 USU Repository © 2009

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Dunia malam. Dua patah kata ini rasanya semakin sering beredar di telinga kita, dan semakin banyak pula sosok-sosok yang melakoni kehidupan dalam dunia malam tersebut. Hal tersebut tampak wajar, karena seiring dengan berjalannya waktu, kota-kota besar di Indonesia seperti Medan, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya telah mengalami berbagai perkembangan sebagai cerminan dari sebuah keberhasilan ekonomi nasional, dan bersamaan dengan kemajuan pertumbuhan kota tersebut, bermunculanlah berbagai sarana hiburan, yang menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Ghazali, 2004. Demi mengimbangi kebutuhan masyarakat yang haus akan hiburan, hadirlah berbagai macam sarana hiburan, terutama sarana hiburan dunia malam, mulai dari kelas bawah sampai yang mewah, seperti klub-klub malam atau diskotik, pub, kafe, dan lain sebagainya yang muncul bak menjamur di kota-kota besar tersebut. Dewasa ini, aktivitas malam telah menjadi bagian yang sangat penting dalam konsumsi hidup anak muda Hollands, 1995; Chatterton and Hollands, 2001; dalam Malbon, 1999. Demi menghilangkan kejenuhan atau justru telah menjadi sebuah kebiasaan, mendatangi tempat hiburan malam tentunya membawa kepuasan tersendiri bagi para penikmatnya. Salah satu tempat yang banyak dipilih oleh kawula muda adalah diskotik. Untuk saat ini diskotik masih menjadi pilihan utama dalam industri hiburan malam Stevenio, 2007. Diskotik, menurut Mintel Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber Sebuah Tinjauan Studi Kasus, 2009 USU Repository © 2009 1996 sering juga disebut sebagai klub malam atau nightclub dalam Malbon, 1999 dan tidak membedakan klub malam nightclub dengan diskotik ketika mengukur luasnya pasar dan mendefenisikan keduanya sebagai ‘bangunan yang menawarkan musik, minuman, makanan, tempat berdansa dan tempat duduk- duduk bersantai dalam satu atap’. Aktivitas mengunjungi klub malam tersebut kerapkali didengungkan orang-orang dengan istilah clubbing. Berdasarkan kamus online 2008, disebutkan bahwa clubbing adalah perilaku menghadiri klub atau mengikuti kegiatan-kegiatan di dalam klub atau ikut serta di dalam tujuan tertentu dari klub. Clubbing, sebuah kata kerja yang berasal dari kata Club, berarti pergi ke klub- klub pada akhir pekan untuk mendengarkan musik biasanya bukan live music di akhir pekan untuk melepaskan kepenatan dan semua beban ritual sehari-hari. Di Indonesia, clubbing sering juga disebut dugem dunia gemerlap karena tidak lepas dari kilatan lampu disko yang gemerlap dan dentuman musik techno yang dimainkan oleh para DJ Disc Jockey yang terkadang datang dari luar negeri dalam ‘Psychemate’, 2007. Clubbing dan club cultures sering disebut juga ‘raving’, ‘dance culture’, dan ‘nightclubbing’ Malbon, 1999. Untuk selanjutnya, peneliti akan menggunakan istilah clubbing. Bagi sebagian orang, aktivitas clubbing sangat penting dalam kehidupannya. Hal tersebut sejalan dengan yang dikemukakan Jackson 2003, bahwa clubbing merupakan fenomena jasmani dan mendalam, hal tersebut adalah aktivitas kesenangan yang memungkinkan kita untuk menggoyangkan tubuh dalam kehidupan sehari-hari dan merekreasikan pengalaman kita tentang dunia. Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber Sebuah Tinjauan Studi Kasus, 2009 USU Repository © 2009 Clubbing merupakan alternatif untuk mengisi waktu di akhir pekan. Biasanya, mereka duduk-duduk di kafe, mendengarkan musik di pub, bernyanyi di rumah karaoke, menari di diskotik atau berjalan-jalan keliling kota lalu duduk-duduk di tempat tertentu hingga menjelang pagi Ruz, 2006 . Clubbing telah menjadi sebuah bentuk kesenangan masyarakat kota, dan kini telah menjadi budaya industri utama di Inggris Lovatt, 1996, dalam Malbon, 1999. Di Indonesiapun demikian. Hasil survey Max, 2002 menunjukkan sebesar 40 remaja kota-kota besar di Indonesia suka melakukan aktivitas dugem Badriah, 2005. Clubbing yang lebih diidentikkan dengan kehidupan di klub dan tempat bersenang-senang anak muda lainnya, merupakan dimensi kehidupan dunia yang tergolong baru bagi Indonesia. Meskipun baru, budaya barat ini mulai menebarkan pesona dan janji kesenangan Parahita, 2008, sehingga pada akhirnya banyak yang terpesona akan janji kesenangan yang disuguhkan oleh kehidupan malam tersebut. Penyebaran budaya clubbing terlihat sangat cepat, dan kini telah melanda kalangan menengah di Jakarta, juga kota-kota besar lain di Indonesia. Hal ini ditandai dengan berdirinya banyak klub baru. Jumlah klub musik di Jakarta hampir mencapai 30 buah Kuswardono, 2003. Di Medan, party dan clubbing, sudah merupakan santapan sehari-hari, dan seks serta narkoba merupakan lem pengerat bagi kehidupan itu Putra, 2008. Berdasarkan hasil observasi peneliti, banyak klub-klub malam atau diskotik yang kini bertaburan di Medan, mulai dari yang kelas atas dan menengah, seperti Retro, The Song, Selecta, Jet Plane, M. City, Soccer, Tobasa, dan lain-lain; sampai dengan klub-klub malam pinggir jalan Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber Sebuah Tinjauan Studi Kasus, 2009 USU Repository © 2009 yang sebagian besar tidak membuat nama pada bangunannya, seperti yang terdapat di pasar III, jalan baru ring road daerah Sunggal, simpang halvetia, dan daerah krakatau, yang hanya memainkan musik dengan bantuan keyboard atau VCD Video Compact Disc player dan DVD Digital Versatile Disc player. Sebagai dasar dalam menentukan aktivitas clubbing, Malbon 1999 menarik kesimpulan bahwa terdapat lima elemen konstitutif dari clubbing, yakni music, dancing, performance, crowds, dan communality. Orang-orang yang mengunjungi club atau aktif di dalam club sering disebut dengan istilah clubbers. Clubbers diarahkan kepada mereka yang memiliki hobi yang sama dan membentuk kelompok atau komunitas yang terorganisir, sebagai pengunjung setia sejumlah pub, diskotik, dan bar HendraErna, dalam Sriwijaya Post, 9 April 2006. Terdapat banyak alasan atau motif mengapa seseorang menjadi clubber, salah satunya seperti yang diungkapkan oleh Rani, seorang clubber remaja yang masih merupakan seorang siswi kelas 3 di salah satu SMA Negeri di Medan pada wawancara yang dilakukan pada tanggal 22 Agustus 2008 berikut ini: “Yah, pertamanya sih ikut party-party gitu, kak. Ya, kakak tau lah, karena pengaruh kawan. Aku diajak-ajak terus. Daripada gak enak, ya udah, aku ikut aja. Tapi, lama kelamaan jadi ketagihan clubbing. Setiap ada kawan- kawan yang ngajak ‘masuk’ rame-rame, ya aku ikutlah” Komunikasi Personal, Medan, 22 Agustus 2008 Secara sosial, seseorang yang memiliki status dan hobi atau kepentingan yang sama akan bergabung dan membentuk kelompok-kelompok. Khususnya clubbers yang menjadi tren saat ini, juga berdasarkan kepentingan dan hobi yang Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber Sebuah Tinjauan Studi Kasus, 2009 USU Repository © 2009 sama dengan jenis-jenis musik seperti house musik, dan lain sebagainya. Fenomena ini merupakan gejala masyarakat perkotaan yang sudah modern Joko Siswanto, dalam Sriwijaya Post, 9 April 2006. Seperti yang dijelaskan oleh Mutmainah 2007 dalam Ruz, 2006, anak muda memang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan berkomunitas. Mereka paling senang berkumpul bersama kelompok dan teman-teman sebayanya. Dalam bergaul ini, selalu ada tekanan dari dalam diri si anak untuk melakukan hal yang sama dengan teman satu kelompok. Tekanan itu akan membuat dia mempertanyakan kembali nilai yang selama ini telah tertanam dalam dirinya. Adanya kecenderungan merubah perilaku, keyakinan terhadap tekanan atau permintaan kelompok, atau dengan kata lain menyerah terhadap tekanan kelompok dapat kita jelaskan dengan teori konformitas. Menurut Kiesler dalam Sarwono, 2001 konformitas adalah perubahan perilaku atau keyakinan karena adanya tekanan dari kelompok, baik yang sungguh-sungguh ataupun dibayangkan. Selain itu, Malbon 1999 menyebutkan dalam penelitiannya pada sejumlah klub malam di Inggris, bahwa motif yang mendorong seseorang untuk clubbing adalah musik 45, sosialisasi 37, mendapatkan suasananya 35, dancing 27, penggunaan obat-obatan 22, dan bertemu partner seks 6. Berbagai macam motif telah mendorong seseorang untuk melakukan aktivitas clubbing, namun di sisi lain clubber harus dihadapkan dengan berbagai macam persepsi masyarakat tentang aktivitas clubbing tersebut. Untuk mengetahui bagaimanakah persepsi masyarakat tentang fenomena clubbing dan terhadap clubber sendiri, peneliti mengambil data awal dengan melakukan Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber Sebuah Tinjauan Studi Kasus, 2009 USU Repository © 2009 wawancara dengan empat orang masyarakat yang berasal dari kalangan yang berbeda mahasiswa, ibu rumah tangga, pramusaji, dan pendeta. Dari hasil wawancara, terdapat dua responden yang menyatakan setuju terhadap aktivitas clubbing yakni sebagai berikut: “Saya sih setuju-setuju aja. Karena biarpun saya tidak suka, tapi masih banyak orang yang suka, dan itu masalah pribadi masing-masing.” Komunikasi Personal, Medan, 15 November 2008 “Saya setuju saja. Karena itu merupakan sesuatu yang dibutuhkan dalam kehidupan normal. Namun, perlu ada pengawasan.” Komunikasi Personal, Medan, 15 November 2008 Sedangkan, dua orang responden yang lain, menyatakan ketidaksetujuannya terhadap aktivitas tersebut, yang terlihat dari penggalan wawancara berikut: “Saya tidak setuju. Karena lambat laun, clubbing akan merusak moral atau kehidupan masyarakat terutama bagi generasi penerus bangsa Indonesia.” Komunikasi Personal, Medan, 15 November 2008 “Saya tidak setuju, karena clubbing akan merusak generasi masa depan bangsa” Komunikasi Personal, Medan, 15 November 2008 Walaupun terdapat perbedaan persepsi terhadap kesetujuanketidaksetujuan mereka terhadap clubbing, namun keempat responden tetap mengatakan bahwa clubbing identik dengan hal-hal yang negatif. Beberapa hal negatif tersebut dapat berupa mabuk-mabukan, penggunaan obat-obatan terlarang, seks bebas, dan lain-lain, sehingga diperlukan adanya penanganan atau pengawasan terhadap tempat-tempat clubbing tersebut. Komunikasi Personal, Medan, 15 November 2008. Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber Sebuah Tinjauan Studi Kasus, 2009 USU Repository © 2009 Lebih lanjut, berdasarkan survei yang dilakukan Jawapos online dalam ArtNor, 2008 terhadap sejumlah respondennya yang merupakan siswa Sekolah Menengah Atas SMA, memperlihatkan hasil bahwa; prestasi belajar teman mereka yang hobi clubbing jadi menurun 58,3 , dan responden juga merasa dirugikan dengan kebiasaan tersebut 75,1 . Alasannya; bisa terpengaruh ikut clubbing 39,5 , 27,8 , dan bisa ikut dicap nakal 14,9 . Selain respon-respon sosial tersebut di atas, Ghazali 2004 dalam Studi Analisis Munculnya Daerah Rawan Seksual juga menyatakan, bahwa berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat saat ini sebagai dampak dari pesatnya pembangunan sarana hiburan antara lain adalah meningkatnya pergaulan seksual bebas, peredaran narkotik, eksploitasi seksual serta terjadinya komersialisasi seks di kalangan anak usia remaja. Selanjutnya, Syahri, direktur Lembaga Swadaya Masyarakat LSM Yayasan Intan Maharani YIM menjelaskan berdasarkan penelitian di wilayah Palembang, yakni di Bukit Besar, Plaju, rumah susun, Sukarami, Sekip, dan wilayah Kampus, terdapat 1300 responden pelajar, mahasiswa dan remaja yang memiliki hobi clubbing, pernah melakukan hubungan seks Ypha, dalam Koran Sindo, 2008. Bahkan, berdasarkan hasil Studi Analisis Munculnya Daerah Rawan Seksual di beberapa kota besar di Indonesia, dimana ada tempat berkumpul anak muda, baik diskotik, mal, kafe, tempat makan, salon, dan tempat lainnya, maka di situlah akan muncul sebagian kecil anak muda yang mencari peruntungan dengan menjadi penjaja seks Ghazali, 2004. Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber Sebuah Tinjauan Studi Kasus, 2009 USU Repository © 2009 Sejak dahulu diskotik memiliki fungsi tambahan yaitu sebagai tempat orang melakukan aktivitas seks. Dan para pelakunya biasanya sudah dalam keadaan setengah sadar, pandangan semacam ini bertambah banyak apabila waktu kian merambat pagi Stevanio, 2007. Pernyataan tersebut sejalan dengan hasil pengamatan peneliti di sebuah klub malam di Medan, pada tanggal 20 Agustus 2008, mulai pukul 11.15 WIB sampai dengan tanggal 21 Agustus 2008 pukul 01.20 dini hari. Para pengunjung klub tersebut tidak segan-segan lagi untuk melakukan aktivitas seksual di tengah hiruk pikuk kerumunan orang-orang dan musik yang berdetak keras, mulai dari sekedar kissing, necking, touching, dan lain-lain, yang tidak dapat penulis amati secara terperinci. Penulis sendiri sempat melihat adegan dimana seorang wanita dikerumuni oleh beberapa lelaki. Selain minuman beralkohol dan seks, diskotik dan tempat hiburan malam umumnya juga dekat’ dengan narkoba. Perkembangannya mulai terjadi pada tahun 1996, ketika pil ekstasi atau inex mulai masuk ke Indonesia. Pil yang bisa mendorong euforia itu hanya cocok dikonsumsi dengan iringan musik yang keras. Fenomena ini mendorong makin banyak orang mendatangi diskotik, untuk mendengarkan musik house. Menurut seorang clubber berpengalaman, penggunaan inex mampu menstimulasi seseorang menyatu dengan musik house Kuswardono, 2003. Dalam kehidupan malam di kota Medan, ekstasi muncul sekitar tahun 1994. Kemudian, tahun 1998 – 1999 muncullah demam shabu-shabu Putra, 2008. Lebih lanjut, Siswanto 2006 dalam Sriwijaya Post, 2006, seorang pengamat sosial, mengatakan bahwa sudah tidak asing lagi dunia gemerlap atau Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber Sebuah Tinjauan Studi Kasus, 2009 USU Repository © 2009 kehidupan malam sangat kental dengan dunia narkoba. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan responden bernama Kana bukan nama sebenarnya, pada wawancara yang dilakukan pada tanggal 22 Agustus 2008: “Iya, kita pakai inex. Aku sendiri paling sedikit setengah butir, paling banyak tiga setengah butir. Harga per butirnya mahal, sekitar Rp. 180.000,- sampai Rp. 200.000,-“ Komunikasi Personal, Medan, 22 Agustus 2008 Image sebagian besar orang tentang clubbing memang cenderung buruk, namun kita tidak bisa menutup mata bahwa tidak selamanya yang namanya clubbing tersebut buruk. Dari clubbing, ada juga hal yang bisa diambil hikmahnya. Sosialisasi dan mengerti kehidupan di luar, menjadi salah satu hal positif yang bisa diambil dari dunia clubbing. Sebagai contoh, rasa persaudaraan, empati, dan solidaritas dari orang-orang di dunia malam cukup tinggi. Tetapi di sisi lain, tetap saja banyak persoalan yang muncul manakala kita memasuki dunia malam Tari Susanto A., 2008. Sebagai contoh adalah persoalan manakala dicap negatif oleh masyarakat, dan persoalan kelompok-kelompok atau geng-geng di dalam klub itu sendiri, seperti yang diungkapkan responden bernama Bito nama samaran saat penulis melakukan wawancara personal pada bulan Februari 2008: “Ya maksudnya kan, gimana ya, kita mati besok juga gada yang tau kan..selama hidup kita uda gini, masak mati dikenang sebagai orang yang gini..” Komunikasi Personal, Medan, 18 Februari 2009 “Apa yah, ya itu sih...masalah kubu..” Komunikasi Personal, Medan, 18 Februari 2009 “Kayak geng-geng gitu..Kelompok ini kelompok itu..Makanya Bito memutuskan bersolo karir..” Komunikasi Personal, Medan, 18 Februari 2009 Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber Sebuah Tinjauan Studi Kasus, 2009 USU Repository © 2009 Dengan kata lain, ada dilema yang kita dapatkan manakala kita memasuki dunia clubbing. Indonesia sebagai penganut budaya timur, sangat bertentangan arus dengan aktivitas clubbing yang diserap dari budaya barat tersebut. Budaya dunia malam di Indonesia adalah sasaran yang mudah untuk diselubungkan dengan citra negatif. Pengikutnya seringkali dianggap sebagai segerombolan anak muda yang hedonis dan penganut sekularisme. Pendek kata, glamor itu salah, kesenangan adalah dosa Marisaduma, 2007. Sehingga, segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia malam seringkali dianggap sebagai sesuatu yang negatif dan harus dihindari. Lebih lanjut, Marisaduma 2007 menyatakan bahwa kita bisa melihat adanya sebuah kontradiksi: di satu sisi mereka dieksploitasi oleh industri sebagai orang yang ‘cool’, sukses, gambaran konsumen masa kini; di sisi lain, dicap oleh masyarakat sebagai hedonis, penganut seks bebas dan orang yang suka menghambur-hamburkan uang. Suatu hal yang tidak dapat kita pungkiri, bahwa sampai sekarang masih tetap ada stigma bahwa mereka yang bergaul dalam kehidupan malam, pasti tak lepas dari sisi negatif. Seks bebas, narkoba, prostitusi atau apapun yang membuat pikiran orang terlanjur dikotori. Tapi mungkin bukan hal bijaksana bila kita kemudian membuat generalisasi di sana. Bahwa memang masih ada hal-hal negatif, memang harus diakui. Tetapi bahwa ada banyak orang yang tetap lurus dalam koridor dan memang hanya sekadar melepas kepenatan, tak bisa juga kita lupakan. Banyak juga komunitas yang berkecimpung di dunia malam masih memegang teguh norma yang berlaku. Tetapi di sinilah letak Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber Sebuah Tinjauan Studi Kasus, 2009 USU Repository © 2009 tantangan kehidupan malam, juga bagi mereka yang coba bergelut di dalamnya Kandores, 2006. Budaya malam adalah alat peer-pressure atau tekanan dari teman sebaya dimana mereka mempelajari suatu susunan nilai yang baru, bukan pada apa yang benar atau salah, tetapi lebih kemampuan mereka mengikuti perkembangan jaman. Ini adalah saat dimana mereka berkembang dan menjalani kehidupan yang sesungguhnya. Pilihan mereka sendiri terpapar di depan mereka: apakah mereka mau mengkonsumsi ekstasi, minum alkohol sampai mabuk, menemukan cinta, atau hanya mendengarkan musik, dan mungkin menghabiskan uang mereka. Pilihan itu ada di tangan mereka sendiri, dan apapun yang mereka pilih, apapun konsekuensi yang mereka ambil, itu akan membentuk karakter mereka Marisaduma, 2007. Hal tersebut terjadi pada responden penelitian bernama Bito nama samaran yang terungkap pada saat penulis melakukan wawancara di bulan Februari 2009: “Habis itu aku tetap juga di Jakarta, tanpa ada pekerjaan sama sekali. Yaa, aku banyak dapat kawan disana, merekalah yang mengajari aku apa yang namanya kehidupan, inilah yang namanya kehidupan.” Komunikasi Personal, Medan, 09 Februari 2009 “Maksudnya aku tau dunia malam, aku tau obat-obatan, aku tau seks bebas, pokoknya yang bisa menyenangkan diri aku.” Komunikasi Personal, Medan, 09 Februari 2009 Terpampangnya berbagai macam pilihan dalam kehidupan seseorang, terutama yang berkaitan dengan dunia clubbing ini, tentunya melibatkan berbagai macam unsur psikologis dalam rangka mencapai suatu tindakan atau tingkah laku. Lewin dalam Sarwono, 2002 menyebutkan bahwa persepsi dan tingkah laku Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber Sebuah Tinjauan Studi Kasus, 2009 USU Repository © 2009 seseorang tidak hanya ditentukan oleh bentuk keseluruhan atau sifat totalitas dari rangsang atau emergent, tetapi ditentukan oleh kekuatan-kekuatan forces yang ada dalam lapangan psikologis psychological field seseorang. Lapangan psikologis ini terdiri dari rangsang-rangsang di luar maupun sistem motivasi dan dorongan-dorongan di dalam diri orang yang bersangkutan. Tiap-tiap unsur dalam lapangan psikologis itu, baik berupa objek maupun dorongan dalam diri, mempunyai vector vektor, yaitu semacam nilai, positif atau negatif. Saling pengaruh-mempengaruhi antara vektor-vektor inilah yang menghasilkan kekuatan-kekuatan forces tersebut. Ada kalanya vektor-vektor di dalam lapangan kehidupan seseorang saling bertentangan dan tarik-menarik, sehingga seseorang dapat mengalami konflik pertentangan batin Sarwono, 2002. Demikian halnya yang dialami clubber, di atas berbagai konsekuensi negatif dari clubbing yang kerapkali dihubungkan dengan citra, image, atau persepsi masyarakat terhadap clubber, di dalam diri clubber itu sendiri juga terdapat pertentangan atau penolakan ketika mereka mulai menapaki pintu gerbang dunia malam. Hal tersebut terungkap dalam wawancara dengan responden bernama Bito nama samaran yang dilakukan pada tanggal 09 Februari 2009: “Masuk aja, liat-liat dulu keadaan. Tapi aku perhatiin mereka koq nyantai gitu. Yah pertamanya diri aku nolak, hati aku tuh nolak.” Komunikasi Personal, Medan, 09 Februari 2009 Demikian juga ketika para clubber telah menekuni dunia clubbing tersebut sebagai santapan sehari-harinya, kadangkala clubber masih merasakan adanya konflik di dalam jiwa mereka, seperti halnya yang diungkapkan Bito nama Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber Sebuah Tinjauan Studi Kasus, 2009 USU Repository © 2009 samaran, masih dalam wawancara yang dilakukan pada tanggal 09 Februari 2009: “Ya itu, aku tuh menolak, enggak, gak mau lagi. Hatinya sih pengen, tapi jiwaku nolak.” Komunikasi Personal, Medan, 09 Februari 2009 Menurut Lewin, konflik adalah suatu keadaan dalam lapangan kehidupan seseorang dimana adanya daya-daya yang saling bertentangan arah, tetapi dalam kadar kekuatan yang kira-kira sama. Konflik itu sendiri terjadi karena adanya tekanan untuk merespon daya-daya tersebut secara simultan. Konflik ini kalau tidak segera diselesaikan dapat menyebabkan frustasi dan ketidakseimbangan kejiwaan Sarwono, 2002. Konflik merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan manusia Deutsch, 1994. Konflik adalah keadaan dimana dua atau lebih motif tidak dapat dipuaskan karena mereka saling mengganggu satu sama lain Lahey, 2003. Kita cenderung mendekati approach hal yang kita inginkan, dan, menghindari avoidance hal yang tidak kita inginkan. Ada empat jenis utama konflik Lewin, 1931; Miller, 1944 dalam Lahey, 2003, yaitu approach- approach conflict, avoidance-avoidance conflict, approach-avoidance conflict, dan multiple approach-avoidance conflict, yang selanjutnya akan penulis jelaskan di Bab 2. Berangkat dari pemaparan di atas peneliti tertarik dan memfokuskan arah penelitian ini berdasarkan satu kasus yang menyangkut kehidupan seorang clubber yang bernama Bito nama samaran. Bito adalah seseorang yang sudah Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber Sebuah Tinjauan Studi Kasus, 2009 USU Repository © 2009 sejak awal tahun 2006 menjadi seorang clubber. Penulis meminta kesediaan subjek pada waktu perkenalan, dan subjek setuju untuk diwawancarai lebih lanjut. Bito adalah seorang lelaki berumur 23 tahun, berkulit putih, bertubuh tinggi besar dengan tinggi 180 cm, dan berat 90 kg, hidung mancung, berambut hitam, memiliki tahi lalat di pipi sebelah kiri, dan bola mata berwarna cokelat tua. Bito saat ini tidak lagi menjalani perkuliahan dan juga tidak sedang memiliki pekerjaan tetap. Bito kini tinggal di sebuah kamar kost-kostan di Medan dengan 2 dua orang penghuni lain di dalam kamarnya. Kedua orangtua Bito tinggal di Banda Aceh. Ayahnya adalah seorang pegawai negeri, dan Ibunya dulu berdagang namun sekarang menjadi seorang Ibu rumah tangga biasa. Bito adalah anak bungsu dari empat orang bersaudara. Ia memiliki dua saudara perempuan dan satu saudara laki-laki yang semuanya telah menikah dan memiliki anak. Bito mengakui bahwa ia jarang berkomunikasi dengan keluarganya, dan hubungannya dengan saudara-saudaranya juga biasa- biasa saja. Bito juga mengakui bahwa semasa kecil ia merasa kesepian serta kurang kasih sayang dari orangtuanya, karena kesibukan kedua orangtuanya yang bekerja. Ia lebih sering menjalani kesehariannya ditemani pembantu atau tantenya. Masa kecil sampai SMA dijalani Bito bersama orangtuanya di Banda Aceh. Setelah itu, ia melanjutkan kuliah di Medan, yang kemudian berhenti karena Bito dikuasai oleh rasa malas. Awal tahun 2006 Bito memutuskan untuk mencari kerja di Jakarta. Kemudian ia menyetujui kontrak kerja dengan salah satu perusahaan agency model di Jakarta sebagai pengurus bagian administrasi. Empat bulan setelahnya ia pulang ke Aceh untuk mengunjungi keluarganya, dan Bito pun Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber Sebuah Tinjauan Studi Kasus, 2009 USU Repository © 2009 ikut menjadi korban Tsunami. Setelah itu, ia kembali lagi ke Jakarta untuk meneruskan kontrak kerjanya, dan sehabis kontrak dengan agency model tersebut, Bito melanjutkan pekerjaan sebagai seorang bell boy di salah satu hotel di Jakarta. Karena kinerjanya dianggap bagus oleh pihak hotel, lantas Bito mengikuti ujian dan lulus menjadi resepsionis di hotel tersebut. Di sela-sela kesibukan pekerjaannya, Bito menyempatkan diri bergaul dengan teman-teman yang dikenalnya di Jakarta. Teman-teman sepergaulannyalah yang akhirnya mengenalkan Bito kepada dunia malam. Pada awalnya Bito menolak untuk mengikuti segala kegiatan di dalam klub malam yang dikunjunginya bersama teman-temannya. Akan tetapi, didorong oleh rasa ingin tahu dan rasa penasaran, serta rasa haus akan penghasilan yang berlebih, Bito pun akhirnya ketagihan menggeluti dunia clubbing. “Masuk aja..liat-liat dulu keadaan..tapi aku perhatiin mereka, koq nyantai gitu..yah, pertamanya diri aku nolak, hati aku tuh nolak..tapi kupikir-pikir, dengan gaji yang hanya 2 juta, itu kurang..lebih banyak pengeluaran daripada pemasukan..dari situlah aku berani terjun ke dunia malam tersebut..” S. W1b. 126-132hal. 5 “Ya aku kepengen nyoba gitu..karena aku pikir aku uda dewasa, aku pengen..gimana sih dunia malam? Gimana sih dugem itu? Gimana sih rasanya? Aku kan kepengen coba..tiap orang kan pasti ada rasa..mh..penasaran..tapi aku jadi ketagihan..hehe..” S. W1b. 146- 150hal. 6 Meski pada awalnya Bito masih diliputi oleh rasa takut, namun lama kelamaan Bitopun akhirnya mengikuti jejak teman-temannya dengan menjalankan aktivitas-aktivitas clubbing tersebut. “Iyah, aku tuh sebenarnya takut..abis itu yah, sekali dua kali aku masih takut, tapi yang ketiga kali dan seterusnya, aku uda terbiasa, dan aku ngikutin jejak mereka..” S. W1b. 193-196hal. 7 Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber Sebuah Tinjauan Studi Kasus, 2009 USU Repository © 2009 “Aku..pertama kali coba, eh, shabu..karena aku heran, kawan aku koq bisa sih satu maleman koq ga tidur..” S. W1b. 198-200hal. 7 “Dari shabu, aku coba pil..ecstacy..” S. W1b. 210hal. 7 “Haha..kalau minum itu udah kayak air putih..”S. W1b. 230hal. 7 “Yah,ujung-ujungnya, pasti...bercinta..” S. W1b. 239hal. 8 Bito akhirnya merasa ketagihan, dan kemudian tidak bisa lepas dari dunia clubbing. Hari-harinya lantas dipenuhi dengan segala aktivitas clubbing tersebut. Bito tidak pernah absen memasuki klub malam. Di dalam dunia itulah Bito mengaku mendapatkan kesenangan, dan ketenangan jiwa di tengah-tengah rasa stres dan kesulitan-kesulitan hidupnya. Bito pun menyukai pergaulan orang-orang di dalam klub malam tersebut. “Ya, pertama kali aku tahu dunia clubbing itu, menurut aku, hm, apalagi kita punya kegiatan, kerja ya, yang stres, yang..pokoknya yang buat ribet lah, rumit, kita bisa melampiaskannya disitu, gitu..” S. W2b. 18-25hal. 15 ”Jadi terlepas dari beban, apalagi kalau uda pakai minuman dan obat- obatan..” S. W2b. 27-29hal. 15 ”Yaa..yg Bito suka di clubbing itu, satu pergaulannya, pergaulannya orang itu tidak munafik gitu. Trus, kalau misalnya musiknya itu bisa membuat kita itu tenang, kacau-kacau, masalah pekerjaan tu tenang, pokoknya kita tu bahagia disana..” S. W5b. 3-10hal. 31 Bito menikmati musik, dan menari dancing sebagai bagian dari clubbing, namun merasa hal tersebut tidak lengkap tanpa obat-obatan dan minuman keras. ”Kalau menurut Bito, kalau cuma sekedar musiknya aja, itu biasa aja..tapi kalau udah ‘itu’ minum dan obat-obatan, kita bisa menikmati sampai ke darah..darah pun ikut bermain..” S. W2b. 33-39hal. 15-16 Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber Sebuah Tinjauan Studi Kasus, 2009 USU Repository © 2009 Suatu waktu, Bito merasakan bahwa lama-kelamaan teman-temannya memanfaatkan dia untuk dijual, sehingga iapun akhirnya menjalankan ‘bisnis dunia malam’, sama seperti yang dilakukan teman-temannya. “Akhirnya aku pindah dari kostan, ke rumah susun..pertama rasa dendam aku ada, aku harus lebih dari mereka..” S. W1b. 299-301hal. 9 “Aku jual pacar aku sendiri..” S. W1b. 313hal. 9 “Ya kalau ada tawaran mau aku, kenapa nolak? Kenapa? Rejeki gak halal? Aduh, gak usah cerita halal gak halal deh zaman sekarang ini..” S. W1b. 366-368hal. 10 Lama-kelamaan, akibat pergaulannya akhirnya Bito menjadi seorang biseksual, dan menjalin hubungan dengan seorang pria pengedar narkoba. Mereka hidup berdua di dalam rumah susun tersebut. Pasangan Bito menginginkan Bito berhenti bekerja, karena ia sanggup membiayai kehidupan Bito, sehingga akhirnya Bito pun tidak bekerja lagi. Walaupun demikian, sekarang Bito tetap merasakan adanya penolakan di dalam dirinya, dan merasakan adanya penyesalan atas semua perbuataanya, sehingga Bito ingin berubah. “Aku tuh uda nyesal..aku tuh pengen berubah sedikit demi sedikit..” S. W1b. 507-508hal. 13 “Satu ya, Bito tuh pengen berubah karena dorongan diri..Aku tuh pengen menunjukkan sesuatu yang berbeda, kita kan gak tahu kapan ajal..dari situ Bito ingin berubah..” S. W2b. 45-51hal. 16 “Aku target berubah aku umur 30 tahun, target menjadi dewasa 30 tahun, gak akan mengulangi kelakuan aku lagi yang sekarang.” S. W1b. 517-519hal. 13 “Iya, stop clubbing, stop obat, stop seks bebas..tapi yang gak bisa aku hilangkan, rokok aku tu..hehe..” S. W1b. 521-522hal. 14 Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber Sebuah Tinjauan Studi Kasus, 2009 USU Repository © 2009 “Aku tuh pengen berubah, ya karena mamaku..Mamaku selalu nasehatin, memang sih sudah aku langgar, tapi aku kepingin ngebahagiain orangtuaku, di saat-saat tuanya..” S. W2 b. 58-65hal. 16 “Sangat menyesal..Kenapa sih Bito bisa terjun ke dunia itu..Tapi memang sih menyesal itu datangnya belakangan..Tapi Bito gak mau menyesal untuk penyesalan yang sangat besar, penyesalan kedua..” S. W2b. 207-214hal. 19 Banyak hal yang terjadi di dalam kehidupan Bito sebagai seorang clubber, terutama konflik yang terjadi di dalam kehidupannya, dan konflik hanya dapat dipahami oleh orang yang mengalaminya, sehingga peneliti tertarik untuk menggali lebih dalam mengenai konflik yang dialami clubber tersebut. Peneliti berharap akan dapat tergali lebih banyak lagi mengenai konflik kehidupan seorang clubber khususnya Bito, dan bagaimana ia mengatasinya, sehingga dapat menambah informasi dan menjadi sesuatu yang bermanfaat.

B. PERUMUSAN MASALAH