Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus)

(1)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

KONFLIK KEHIDUPAN SEORANG

CLUBBER

(Sebuah Tinjauan Studi Kasus)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persayaratan Ujian Sarjana Psikologi

oleh :

SEVIRIA MARLINA PANJAITAN

051301132

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GENAP, 2009/2010


(2)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus)

Seviria Marlina Panjaitan dan Ari Widiyanta, M.Si., Psi.

ABSTRAK

Konflik merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan manusia (Deutsch, 1994). Berdasarkan Lahey (2003) konflik adalah keadaan dimana dua atau lebih motif tidak dapat dipuaskan karena mereka saling mengganggu satu sama lain. Tipe-tipe konflik yaitu: Konflik antara Daya-Daya yang Menimbulkan Pergerakan, yang terdiri dari Konflik Mendekat-Mendekat, Konflik Menjauh-Menjauh, Konflik Menjauh, dan Konflik Mendekat-Menjauh Ganda; Konflik antara Daya yang Menggerakkan dan Daya yang Menghambat; serta Konflik antara Daya yang berasal dari Kebutuhan Sendiri dan Daya yang Berasal dari Orang Lain (Lindzey & Hall, 1985; Sarwono, 1998). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode wawancara mendalam dan observasi pada saat wawancara. Partisipan penelitian berjumlah satu orang laki-laki.

Hasil penelitian menunjukkan partisipan mengalami Konflik antara Daya-Daya yang Menimbulkan Pergerakan, yaitu Konflik Menjauh-Menjauh, Konflik Mendekat-Menjauh, dan Konflik Mendekat-Menjauh Ganda; Konflik antara Daya yang Menggerakkan dan Daya yang Menghambat; serta mengalami Konflik antara Daya yang berasal dari Kebutuhan Sendiri dan Daya yang Berasal dari Orang Lain.


(3)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat, rahmat, dan keajaibanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus) ini.

Penulis mengucapkan terimakasih pada:

1. Bapak Prof. Dr. Chairul Yoel, Sp. A (K) selaku Dekan Fakultas Psikologi USU.

2. Bapak Ari Widiyanta, M.Si., Psi., selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan sabar, telah meluangkan waktu, pikiran dan memberikan arahan, saran, semangat untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

3. Ibu Desvi Yanti Mukhtar, M.Si, Psi., sebagai pembimbing akademis, Ibu Dra. Rika Eliana, M. Psi, Psi dan Ibu Ridhoi Meilona Purba, M. Si. (makasih ya kakak cantik) sebagai penguji skripsi, Ibu Prof. Dr. Irmawati, M.Si., Psi, dan Ibu Filia Dina, M.Pd, terima kasih untuk masukan, saran, kesempatan dan waktunya untuk membimbing saya.

4. Keluarga tersayang, almarhumah Bapak tercinta Ir. M. B. Panjaitan, Mama tersayang M. M. A. Sirait (ini semua kupersembahkan untukmu Ma), abang-abangku Bang Ojak, Bang Andy, Bang Benny, Bang Niel, Bang Mando (adik terkecilmu sudah besar bang, terimakasih buat semua), kakak-kakakku Kak Maria, Kak Ade, Kak Ratna, Kak Khatty, Kak Karen (terimakasih kakak-kakakku semua), keponakan-keponakanku Titan, Ansy, Nanda, Rafa, Jessie, sepupu tercintaku Iet (kita selalu sama Yet, terimakasih buat prinsip-prinsipnya), dan semua sanak saudara.


(4)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

5. Keluarga besar Psikologi USU. Pak Iskandar, Pak Aswan, Kak Ari,, Bang Ronal (terimakasih ulead nya bang), dan Kak Ade. Terima kasih untuk waktu dan bantuannya.

6. Rendy Petrus Hendrawan Sirait, yang dengan penuh kesabaran telah memberikan kasih sayang, kebijaksanaan, pendewasaan, semangat, dan energi sehingga penulis dapat bertahan (terimakasih buat semua Bun, sama-sama berjuang kita ya..)

7. Sahabat-sahabat penulis Acid (=’), Enoq, Kinan, Mbak Roro, Mamak, Eca, Mirna, Mitha, Pikey (terimakasih untuk semua kisah dan cerita), Wahyu (Sevi pergi ya, Yudhistira), Bang Yosi, Mario (yakinkanlah hatimu), Gege, Oek (sama-sama kita berjuang dek), Gaza, Ata’, Nidya, Dika, teman-teman angkatan 2005, dan para senior (terutama kak Indih), terimakasih brainstorming, dan dukungannya.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan penelitian ini, penulis berharap kiranya hasil dari penelitan ini nantinya dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu psikologi.

Medan, Maret 2009

Penulis


(5)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

DAFTAR ISI

Halaman ABSTRAK

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 18

C. Tujuan Penelitian... 19

D. Manfaat Penelitian... 19

1. Manfaat Teorits ... 19

2. Manfaat Praktis ... 19

E. Sistematika Penulisan ... 20

BAB II LANDASAN TEORI ... 22

A. Clubber... 22

1. Pengertian Clubbing... 22

2. Elemen Konstitutif dari Clubbing... 23

3. Clubber ... 26

B. Konflik ... 26

1. Pengertian Konflik ... 26


(6)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

a. Lapangan Kehidupan ...28

b.Tingkah Laku dan Lokomosi ...29

c. Daya (Force) ……….... 31

d. Ketegangan (Tension) ……….. 33

3. Tipe-Tipe Konflik ... 34

a. Konflik antara Daya-Daya yang Menimbulkan Pergerakan (Conflict between Two or More Driving Forces) ... 35

a. 1. Konflik Mendekat-Mendekat (Approach-Approach Conflict) ... 35

a. 2. Konflik Menjauh-Menjauh (Avoidance-Avoidance Conflict) ... 36

a. 3. Konflik Mendekat-Menjauh (Approach-Avoidance Conflict) ... 38

a. 4. Konflik Mendekat-Menjauh Ganda (Multiple Approach-Avoidance Conflict) ... 40

b. Konflik antara Daya yang Menggerakkan dan Daya yang Menghambat (Conflict between Driving Forces and Restraining Forces) ... 41

c. Konflik antara Daya yang berasal dari Kebutuhan Sendiri dan Daya yang Berasal dari Orang Lain (Conflict between Own Need Forces and Induced Forces) ... 43


(7)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

C. Paradigma Penelitian ... 44

BAB III METODE PENELITIAN ... 45

A. Studi Kasus ... 45

B. Partisipan Dan Lokasi Penelitian ... 47

1. Partisipan Penelitian ... 47

a. Karakteristik Partisipan ... 47

b. Jumlah Partisipan Penelitian ... 47

c. Prosedur Pengambilan Partisipan ... 47

2. Lokasi Penelitian ... 48

C. Metode Pengumpulan Data ... 48

1. Wawancara ... 49

2.Observasi ... 49

D. Alat Bantu Pengumpulan Data ... 50

1. Alat Perekam (Tape Recorder) ... 50

2. Pedoman Wawancara ... 50

E. Prosedur Penelitian ... 51

1. Tahap Persiapan Penelitian ... 51

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 52

3. Tahap Pencatatan Data ... 52

4. Analisis Data ... 52

BAB IV HASIL ANALISA DATA ... 55

A. Bagaimana Konflik yang Dihadapi Seorang Clubber ... 55


(8)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

B. Tipe-Tipe Konflik Apa yang Dihadapi Seorang Clubber... 57

1. Hasil analisa data partisipan ... 57

C. Bagaimana seorang clubber menghadapi konflik di dalam kehidupannya ... 60

1. Hasil analisa data partisipan ……….….. 60

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN ………... 63

A. Kesimpulan ... 63

1. Konflik Kehidupan Seorang Clubber ... 63

2. Tipe-Tipe Konflik yang Dialami Seorang Clubber ... 65

3. Bagaimana Seorang Clubber Menghadapi Konflik Di Dalam Kehidupannya ... 66

B. Diskusi ... 68

C. Saran ... 69

1. Saran Praktis ... 69

2. Saran Penelitian Lanjutan ... 70

DAFTAR PUSTAKA ... 71 LAMPIRAN


(9)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

DAFTAR GAMBAR


(10)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN A Pedoman Wawancara LAMPIRAN B Pedoman Observasi LAMPIRAN C Lembar Persetujuan LAMPIRAN D Verbatim Wawancara LAMPIRAN E


(11)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Dunia malam. Dua patah kata ini rasanya semakin sering beredar di telinga kita, dan semakin banyak pula sosok-sosok yang melakoni kehidupan dalam dunia malam tersebut. Hal tersebut tampak wajar, karena seiring dengan berjalannya waktu, kota-kota besar di Indonesia seperti Medan, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya telah mengalami berbagai perkembangan sebagai cerminan dari sebuah keberhasilan ekonomi nasional, dan bersamaan dengan kemajuan pertumbuhan kota tersebut, bermunculanlah berbagai sarana hiburan, yang menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat (Ghazali, 2004). Demi mengimbangi kebutuhan masyarakat yang haus akan hiburan, hadirlah berbagai macam sarana hiburan, terutama sarana hiburan dunia malam, mulai dari kelas bawah sampai yang mewah, seperti klub-klub malam atau diskotik, pub, kafe, dan lain sebagainya yang muncul bak menjamur di kota-kota besar tersebut.

Dewasa ini, aktivitas malam telah menjadi bagian yang sangat penting dalam konsumsi hidup anak muda (Hollands, 1995; Chatterton and Hollands, 2001; dalam Malbon, 1999). Demi menghilangkan kejenuhan atau justru telah menjadi sebuah kebiasaan, mendatangi tempat hiburan malam tentunya membawa kepuasan tersendiri bagi para penikmatnya. Salah satu tempat yang banyak dipilih oleh kawula muda adalah diskotik. Untuk saat ini diskotik masih menjadi pilihan utama dalam industri hiburan malam (Stevenio, 2007). Diskotik, menurut Mintel


(12)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

(1996) sering juga disebut sebagai klub malam atau nightclub (dalam Malbon, 1999) dan tidak membedakan klub malam (nightclub) dengan diskotik ketika mengukur luasnya pasar dan mendefenisikan keduanya sebagai ‘bangunan yang menawarkan musik, minuman, makanan, tempat berdansa dan tempat duduk-duduk (bersantai) dalam satu atap’.

Aktivitas mengunjungi klub malam tersebut kerapkali didengungkan orang-orang dengan istilah clubbing. Berdasarkan kamus online (2008), disebutkan bahwa clubbing adalah perilaku menghadiri klub atau mengikuti kegiatan-kegiatan di dalam klub atau ikut serta di dalam tujuan tertentu dariklub. Clubbing, sebuah kata kerja yang berasal dari kata Club, berarti pergi ke klub-klub pada akhir pekan untuk mendengarkan musik (biasanya bukan live music) di akhir pekan untuk melepaskan kepenatan dan semua beban ritual sehari-hari. Di Indonesia, clubbing sering juga disebut dugem (dunia gemerlap) karena tidak lepas dari kilatan lampu disko yang gemerlap dan dentuman musik techno yang dimainkan oleh para DJ (Disc Jockey) yang terkadang datang dari luar negeri (dalam ‘Psychemate’, 2007). Clubbing dan club cultures sering disebut juga ‘raving’, ‘dance culture’, dan ‘nightclubbing’ (Malbon, 1999). Untuk selanjutnya, peneliti akan menggunakan istilah clubbing.

Bagi sebagian orang, aktivitas clubbing sangat penting dalam kehidupannya. Hal tersebut sejalan dengan yang dikemukakan Jackson (2003), bahwa clubbing merupakan fenomena jasmani dan mendalam, hal tersebut adalah aktivitas kesenangan yang memungkinkan kita untuk menggoyangkan tubuh dalam kehidupan sehari-hari dan merekreasikan pengalaman kita tentang dunia.


(13)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

Clubbing merupakan alternatif untuk mengisi waktu di akhir pekan. Biasanya, mereka duduk-duduk di kafe, mendengarkan musik di pub, bernyanyi di rumah karaoke, menari di diskotik atau berjalan-jalan keliling kota lalu duduk-duduk di tempat tertentu hingga menjelang pagi (Ruz, 2006).

Clubbing telah menjadi sebuah bentuk kesenangan masyarakat kota, dan kini telah menjadi budaya industri utama di Inggris (Lovatt, 1996, dalam Malbon, 1999). Di Indonesiapun demikian. Hasil survey (Max, 2002) menunjukkan sebesar 40% remaja kota-kota besar di Indonesia suka melakukan aktivitas dugem (Badriah, 2005). Clubbing yang lebih diidentikkan dengan kehidupan di klub dan tempat bersenang-senang anak muda lainnya, merupakan dimensi kehidupan dunia yang tergolong baru bagi Indonesia. Meskipun baru, budaya barat ini mulai menebarkan pesona dan janji kesenangan (Parahita, 2008), sehingga pada akhirnya banyak yang terpesona akan janji kesenangan yang disuguhkan oleh kehidupan malam tersebut.

Penyebaran budaya clubbing terlihat sangat cepat, dan kini telah melanda kalangan menengah di Jakarta, juga kota-kota besar lain di Indonesia. Hal ini ditandai dengan berdirinya banyak klub baru. Jumlah klub musik di Jakarta hampir mencapai 30 buah (Kuswardono, 2003). Di Medan, party dan clubbing, sudah merupakan santapan sehari-hari, dan seks serta narkoba merupakan lem pengerat bagi kehidupan itu (Putra, 2008). Berdasarkan hasil observasi peneliti, banyak klub-klub malam atau diskotik yang kini bertaburan di Medan, mulai dari yang kelas atas dan menengah, seperti Retro, The Song, Selecta, Jet Plane, M. City, Soccer, Tobasa, dan lain-lain; sampai dengan klub-klub malam pinggir jalan


(14)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

yang sebagian besar tidak membuat nama pada bangunannya, seperti yang terdapat di pasar III, jalan baru (ring road)daerah Sunggal, simpang halvetia, dan daerah krakatau, yang hanya memainkan musik dengan bantuan keyboard atau VCD (Video Compact Disc) player dan DVD (Digital Versatile Disc) player.

Sebagai dasar dalam menentukan aktivitas clubbing, Malbon (1999) menarik kesimpulan bahwa terdapat lima elemen konstitutif dari clubbing, yakni music, dancing, performance, crowds, dan communality.

Orang-orang yang mengunjungi club atau aktif di dalam club sering disebut dengan istilah clubbers. Clubbers diarahkan kepada mereka yang memiliki hobi yang sama dan membentuk kelompok atau komunitas yang terorganisir, sebagai pengunjung setia sejumlah pub, diskotik, dan bar (Hendra&Erna, dalam Sriwijaya Post, 9 April 2006).

Terdapat banyak alasan atau motif mengapa seseorang menjadi clubber, salah satunya seperti yang diungkapkan oleh Rani, seorang clubber remaja yang masih merupakan seorang siswi kelas 3 di salah satu SMA Negeri di Medan pada wawancara yang dilakukan pada tanggal 22 Agustus 2008 berikut ini:

“Yah, pertamanya sih ikut party-party gitu, kak. Ya, kakak tau lah, karena pengaruh kawan. Aku diajak-ajak terus. Daripada gak enak, ya udah, aku ikut aja. Tapi, lama kelamaan jadi ketagihan clubbing. Setiap ada kawan-kawan yang ngajak ‘masuk’ rame-rame, ya aku ikutlah” (Komunikasi Personal, Medan, 22 Agustus 2008)

Secara sosial, seseorang yang memiliki status dan hobi atau kepentingan yang sama akan bergabung dan membentuk kelompok-kelompok. Khususnya clubbers yang menjadi tren saat ini, juga berdasarkan kepentingan dan hobi yang


(15)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

sama dengan jenis-jenis musik seperti house musik, dan lain sebagainya. Fenomena ini merupakan gejala masyarakat perkotaan yang sudah modern (Joko Siswanto, dalam Sriwijaya Post, 9 April 2006). Seperti yang dijelaskan oleh Mutmainah (2007) (dalam Ruz, 2006), anak muda memang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan berkomunitas. Mereka paling senang berkumpul bersama kelompok dan teman-teman sebayanya. Dalam bergaul ini, selalu ada tekanan dari dalam diri si anak untuk melakukan hal yang sama dengan teman satu kelompok. Tekanan itu akan membuat dia mempertanyakan kembali nilai yang selama ini telah tertanam dalam dirinya. Adanya kecenderungan merubah perilaku, keyakinan terhadap tekanan atau permintaan kelompok, atau dengan kata lain menyerah terhadap tekanan kelompok dapat kita jelaskan dengan teori konformitas. Menurut Kiesler (dalam Sarwono, 2001) konformitas adalah perubahan perilaku atau keyakinan karena adanya tekanan dari kelompok, baik yang sungguh-sungguh ataupun dibayangkan.

Selain itu, Malbon (1999) menyebutkan dalam penelitiannya pada sejumlah klub malam di Inggris, bahwa motif yang mendorong seseorang untuk clubbing adalah musik (45%), sosialisasi (37%), mendapatkan suasananya (35%), dancing (27%), penggunaan obat-obatan (22%), dan bertemu partner seks (6%).

Berbagai macam motif telah mendorong seseorang untuk melakukan aktivitas clubbing, namun di sisi lain clubber harus dihadapkan dengan berbagai macam persepsi masyarakat tentang aktivitas clubbing tersebut. Untuk mengetahui bagaimanakah persepsi masyarakat tentang fenomena clubbing dan terhadap clubber sendiri, peneliti mengambil data awal dengan melakukan


(16)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

wawancara dengan empat orang masyarakat yang berasal dari kalangan yang berbeda (mahasiswa, ibu rumah tangga, pramusaji, dan pendeta). Dari hasil wawancara, terdapat dua responden yang menyatakan setuju terhadap aktivitas clubbing yakni sebagai berikut:

“Saya sih setuju-setuju aja. Karena biarpun saya tidak suka, tapi masih banyak orang yang suka, dan itu masalah pribadi masing-masing.” (Komunikasi Personal, Medan, 15 November 2008)

“Saya setuju saja. Karena itu merupakan sesuatu yang dibutuhkan dalam kehidupan normal. Namun, perlu ada pengawasan.” (Komunikasi Personal, Medan, 15 November 2008)

Sedangkan, dua orang responden yang lain, menyatakan ketidaksetujuannya terhadap aktivitas tersebut, yang terlihat dari penggalan wawancara berikut:

“Saya tidak setuju. Karena lambat laun, clubbing akan merusak moral atau kehidupan masyarakat terutama bagi generasi penerus bangsa Indonesia.” (Komunikasi Personal, Medan, 15 November 2008)

“Saya tidak setuju, karena clubbing akan merusak generasi masa depan bangsa” (Komunikasi Personal, Medan, 15 November 2008)

Walaupun terdapat perbedaan persepsi terhadap kesetujuan/ketidaksetujuan mereka terhadap clubbing, namun keempat responden tetap mengatakan bahwa clubbing identik dengan hal-hal yang negatif. Beberapa hal negatif tersebut dapat berupa mabuk-mabukan, penggunaan obat-obatan terlarang, seks bebas, dan lain-lain, sehingga diperlukan adanya penanganan atau pengawasan terhadap tempat-tempat clubbing tersebut. (Komunikasi Personal, Medan, 15 November 2008).


(17)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

Lebih lanjut, berdasarkan survei yang dilakukan Jawapos online (dalam Art&Nor, 2008) terhadap sejumlah respondennya yang merupakan siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), memperlihatkan hasil bahwa; prestasi belajar teman mereka yang hobi clubbing jadi menurun (58,3 %), dan responden juga merasa dirugikan dengan kebiasaan tersebut (75,1 %). Alasannya; bisa terpengaruh ikut clubbing (39,5 %), (27,8 %), dan bisa ikut dicap nakal (14,9 %).

Selain respon-respon sosial tersebut di atas, Ghazali (2004) dalam Studi Analisis Munculnya Daerah Rawan Seksual juga menyatakan, bahwa berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat saat ini sebagai dampak dari pesatnya pembangunan sarana hiburan antara lain adalah meningkatnya pergaulan seksual bebas, peredaran narkotik, eksploitasi seksual serta terjadinya komersialisasi seks di kalangan anak usia remaja.

Selanjutnya, Syahri, direktur Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Yayasan Intan Maharani (YIM) menjelaskan berdasarkan penelitian di wilayah Palembang, yakni di Bukit Besar, Plaju, rumah susun, Sukarami, Sekip, dan wilayah Kampus, terdapat 1300 responden pelajar, mahasiswa dan remaja yang memiliki hobi clubbing, pernah melakukan hubungan seks (Ypha, dalam Koran Sindo, 2008). Bahkan, berdasarkan hasil Studi Analisis Munculnya Daerah Rawan Seksual di beberapa kota besar di Indonesia, dimana ada tempat berkumpul anak muda, baik diskotik, mal, kafe, tempat makan, salon, dan tempat lainnya, maka di situlah akan muncul sebagian kecil anak muda yang mencari peruntungan dengan menjadi penjaja seks (Ghazali, 2004).


(18)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

Sejak dahulu diskotik memiliki fungsi tambahan yaitu sebagai tempat orang melakukan aktivitas seks. Dan para pelakunya biasanya sudah dalam keadaan setengah sadar, pandangan semacam ini bertambah banyak apabila waktu kian merambat pagi (Stevanio, 2007). Pernyataan tersebut sejalan dengan hasil pengamatan peneliti di sebuah klub malam di Medan, pada tanggal 20 Agustus 2008, mulai pukul 11.15 WIB sampai dengan tanggal 21 Agustus 2008 pukul 01.20 dini hari. Para pengunjung klub tersebut tidak segan-segan lagi untuk melakukan aktivitas seksual di tengah hiruk pikuk kerumunan orang-orang dan musik yang berdetak keras, mulai dari sekedar kissing, necking, touching, dan lain-lain, yang tidak dapat penulis amati secara terperinci. Penulis sendiri sempat melihat adegan dimana seorang wanita dikerumuni oleh beberapa lelaki.

Selain minuman beralkohol dan seks, diskotik dan tempat hiburan malam umumnya juga 'dekat’ dengan narkoba. Perkembangannya mulai terjadi pada tahun 1996, ketika pil ekstasi atau inex mulai masuk ke Indonesia. Pil yang bisa mendorong euforia itu hanya cocok dikonsumsi dengan iringan musik yang keras. Fenomena ini mendorong makin banyak orang mendatangi diskotik, untuk mendengarkan musik house. Menurut seorang clubber berpengalaman, penggunaan inex mampu menstimulasi seseorang menyatu dengan musik house (Kuswardono, 2003). Dalam kehidupan malam di kota Medan, ekstasi muncul sekitar tahun 1994. Kemudian, tahun 1998 – 1999 muncullah demam shabu-shabu (Putra, 2008).

Lebih lanjut, Siswanto (2006) (dalam Sriwijaya Post, 2006), seorang pengamat sosial, mengatakan bahwa sudah tidak asing lagi dunia gemerlap atau


(19)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

kehidupan malam sangat kental dengan dunia narkoba. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan responden bernama Kana (bukan nama sebenarnya), pada wawancara yang dilakukan pada tanggal 22 Agustus 2008:

“Iya, kita pakai inex. Aku sendiri paling sedikit setengah butir, paling banyak tiga setengah butir. Harga per butirnya mahal, sekitar Rp. 180.000,- sampai Rp. 200.000,-“ (Komunikasi Personal, Medan, 22 Agustus 2008)

Image sebagian besar orang tentang clubbing memang cenderung buruk, namun kita tidak bisa menutup mata bahwa tidak selamanya yang namanya clubbing tersebut buruk. Dari clubbing, ada juga hal yang bisa diambil hikmahnya. Sosialisasi dan mengerti kehidupan di luar, menjadi salah satu hal positif yang bisa diambil dari dunia clubbing. Sebagai contoh, rasa persaudaraan, empati, dan solidaritas dari orang-orang di dunia malam cukup tinggi. Tetapi di sisi lain, tetap saja banyak persoalan yang muncul manakala kita memasuki dunia malam (Tari & Susanto A., 2008). Sebagai contoh adalah persoalan manakala dicap negatif oleh masyarakat, dan persoalan kelompok-kelompok atau geng-geng di dalam klub itu sendiri, seperti yang diungkapkan responden bernama Bito (nama samaran) saat penulis melakukan wawancara personal pada bulan Februari 2008:

“Ya maksudnya kan, gimana ya, kita mati besok juga gada yang tau kan..selama hidup kita uda gini, masak mati dikenang sebagai orang yang gini..” (Komunikasi Personal, Medan, 18 Februari 2009)

“Apa yah, ya itu sih...masalah kubu..” (Komunikasi Personal, Medan, 18 Februari 2009)

“Kayak geng-geng gitu..Kelompok ini kelompok itu..Makanya Bito memutuskan bersolo karir..” (Komunikasi Personal, Medan, 18 Februari 2009)


(20)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

Dengan kata lain, ada dilema yang kita dapatkan manakala kita memasuki dunia clubbing. Indonesia sebagai penganut budaya timur, sangat bertentangan arus dengan aktivitas clubbing yang diserap dari budaya barat tersebut. Budaya dunia malam di Indonesia adalah sasaran yang mudah untuk diselubungkan dengan citra negatif. Pengikutnya seringkali dianggap sebagai segerombolan anak muda yang hedonis dan penganut sekularisme. Pendek kata, glamor itu salah, kesenangan adalah dosa (Marisaduma, 2007). Sehingga, segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia malam seringkali dianggap sebagai sesuatu yang negatif dan harus dihindari.

Lebih lanjut, Marisaduma (2007) menyatakan bahwa kita bisa melihat adanya sebuah kontradiksi: di satu sisi mereka dieksploitasi oleh industri sebagai orang yang ‘cool’, sukses, gambaran konsumen masa kini; di sisi lain, dicap oleh masyarakat sebagai hedonis, penganut seks bebas dan orang yang suka menghambur-hamburkan uang. Suatu hal yang tidak dapat kita pungkiri, bahwa sampai sekarang masih tetap ada stigma bahwa mereka yang bergaul dalam kehidupan malam, pasti tak lepas dari sisi negatif. Seks bebas, narkoba, prostitusi atau apapun yang membuat pikiran orang terlanjur dikotori. Tapi mungkin bukan hal bijaksana bila kita kemudian membuat generalisasi di sana. Bahwa memang masih ada hal-hal negatif, memang harus diakui. Tetapi bahwa ada banyak orang yang tetap lurus dalam koridor dan memang hanya sekadar melepas kepenatan, tak bisa juga kita lupakan. Banyak juga komunitas yang berkecimpung di dunia malam masih memegang teguh norma yang berlaku. Tetapi di sinilah letak


(21)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

tantangan kehidupan malam, juga bagi mereka yang coba bergelut di dalamnya (Kandores, 2006).

Budaya malam adalah alat peer-pressure atau tekanan dari teman sebaya dimana mereka mempelajari suatu susunan nilai yang baru, bukan pada apa yang benar atau salah, tetapi lebih kemampuan mereka mengikuti perkembangan jaman. Ini adalah saat dimana mereka berkembang dan menjalani kehidupan yang sesungguhnya. Pilihan mereka sendiri terpapar di depan mereka: apakah mereka mau mengkonsumsi ekstasi, minum alkohol sampai mabuk, menemukan cinta, atau hanya mendengarkan musik, dan mungkin menghabiskan uang mereka. Pilihan itu ada di tangan mereka sendiri, dan apapun yang mereka pilih, apapun konsekuensi yang mereka ambil, itu akan membentuk karakter mereka (Marisaduma, 2007). Hal tersebut terjadi pada responden penelitian bernama Bito (nama samaran) yang terungkap pada saat penulis melakukan wawancara di bulan Februari 2009:

“Habis itu aku tetap juga di Jakarta, tanpa ada pekerjaan sama sekali. Yaa, aku banyak dapat kawan disana, merekalah yang mengajari aku apa yang namanya kehidupan, inilah yang namanya kehidupan.” (Komunikasi Personal, Medan, 09 Februari 2009)

“Maksudnya aku tau dunia malam, aku tau obat-obatan, aku tau seks bebas, pokoknya yang bisa menyenangkan diri aku.” (Komunikasi Personal, Medan, 09 Februari 2009)

Terpampangnya berbagai macam pilihan dalam kehidupan seseorang, terutama yang berkaitan dengan dunia clubbing ini, tentunya melibatkan berbagai macam unsur psikologis dalam rangka mencapai suatu tindakan atau tingkah laku. Lewin (dalam Sarwono, 2002) menyebutkan bahwa persepsi dan tingkah laku


(22)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

seseorang tidak hanya ditentukan oleh bentuk keseluruhan atau sifat totalitas dari rangsang atau emergent, tetapi ditentukan oleh kekuatan-kekuatan (forces) yang ada dalam lapangan psikologis (psychological field) seseorang. Lapangan psikologis ini terdiri dari rangsang-rangsang di luar maupun sistem motivasi dan dorongan-dorongan di dalam diri orang yang bersangkutan. Tiap-tiap unsur dalam lapangan psikologis itu, baik berupa objek maupun dorongan dalam diri, mempunyai vector (vektor), yaitu semacam nilai, positif atau negatif. Saling pengaruh-mempengaruhi antara vektor-vektor inilah yang menghasilkan kekuatan-kekuatan (forces) tersebut.

Ada kalanya vektor-vektor di dalam lapangan kehidupan seseorang saling bertentangan dan tarik-menarik, sehingga seseorang dapat mengalami konflik (pertentangan batin) (Sarwono, 2002). Demikian halnya yang dialami clubber, di atas berbagai konsekuensi negatif dari clubbing yang kerapkali dihubungkan dengan citra, image, atau persepsi masyarakat terhadap clubber, di dalam diri clubber itu sendiri juga terdapat pertentangan atau penolakan ketika mereka mulai menapaki pintu gerbang dunia malam. Hal tersebut terungkap dalam wawancara dengan responden bernama Bito (nama samaran) yang dilakukan pada tanggal 09 Februari 2009:

“Masuk aja, liat-liat dulu keadaan. Tapi aku perhatiin mereka koq nyantai gitu. Yah pertamanya diri aku nolak, hati aku tuh nolak.” (Komunikasi Personal, Medan, 09 Februari 2009)

Demikian juga ketika para clubber telah menekuni dunia clubbing tersebut sebagai santapan sehari-harinya, kadangkala clubber masih merasakan adanya konflik di dalam jiwa mereka, seperti halnya yang diungkapkan Bito (nama


(23)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

samaran), masih dalam wawancara yang dilakukan pada tanggal 09 Februari 2009:

“Ya itu, aku tuh menolak, enggak, gak mau lagi. Hatinya sih pengen, tapi jiwaku nolak.” (Komunikasi Personal, Medan, 09 Februari 2009)

Menurut Lewin, konflik adalah suatu keadaan dalam lapangan kehidupan seseorang dimana adanya daya-daya yang saling bertentangan arah, tetapi dalam kadar kekuatan yang kira-kira sama. Konflik itu sendiri terjadi karena adanya tekanan untuk merespon daya-daya tersebut secara simultan. Konflik ini kalau tidak segera diselesaikan dapat menyebabkan frustasi dan ketidakseimbangan kejiwaan (Sarwono, 2002).

Konflik merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan manusia (Deutsch, 1994). Konflik adalah keadaan dimana dua atau lebih motif tidak dapat dipuaskan karena mereka saling mengganggu satu sama lain (Lahey, 2003). Kita cenderung mendekati (approach) hal yang kita inginkan, dan, menghindari (avoidance) hal yang tidak kita inginkan. Ada empat jenis utama konflik (Lewin, 1931; Miller, 1944 dalam Lahey, 2003), yaitu approach-approach conflict, avoidance-avoidance conflict, approach-approach-avoidance conflict, dan multiple approach-avoidance conflict, yang selanjutnya akan penulis jelaskan di Bab 2.

Berangkat dari pemaparan di atas peneliti tertarik dan memfokuskan arah penelitian ini berdasarkan satu kasus yang menyangkut kehidupan seorang clubber yang bernama Bito (nama samaran). Bito adalah seseorang yang sudah


(24)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

sejak awal tahun 2006 menjadi seorang clubber. Penulis meminta kesediaan subjek pada waktu perkenalan, dan subjek setuju untuk diwawancarai lebih lanjut.

Bito adalah seorang lelaki berumur 23 tahun, berkulit putih, bertubuh tinggi besar dengan tinggi 180 cm, dan berat 90 kg, hidung mancung, berambut hitam, memiliki tahi lalat di pipi sebelah kiri, dan bola mata berwarna cokelat tua. Bito saat ini tidak lagi menjalani perkuliahan dan juga tidak sedang memiliki pekerjaan tetap. Bito kini tinggal di sebuah kamar kost-kostan di Medan dengan 2 (dua) orang penghuni lain di dalam kamarnya.

Kedua orangtua Bito tinggal di Banda Aceh. Ayahnya adalah seorang pegawai negeri, dan Ibunya dulu berdagang namun sekarang menjadi seorang Ibu rumah tangga biasa. Bito adalah anak bungsu dari empat orang bersaudara. Ia memiliki dua saudara perempuan dan satu saudara laki-laki yang semuanya telah menikah dan memiliki anak. Bito mengakui bahwa ia jarang berkomunikasi dengan keluarganya, dan hubungannya dengan saudara-saudaranya juga biasa-biasa saja. Bito juga mengakui bahwa semasa kecil ia merasa kesepian serta kurang kasih sayang dari orangtuanya, karena kesibukan kedua orangtuanya yang bekerja. Ia lebih sering menjalani kesehariannya ditemani pembantu atau tantenya.

Masa kecil sampai SMA dijalani Bito bersama orangtuanya di Banda Aceh. Setelah itu, ia melanjutkan kuliah di Medan, yang kemudian berhenti karena Bito dikuasai oleh rasa malas. Awal tahun 2006 Bito memutuskan untuk mencari kerja di Jakarta. Kemudian ia menyetujui kontrak kerja dengan salah satu perusahaan agency model di Jakarta sebagai pengurus bagian administrasi. Empat bulan setelahnya ia pulang ke Aceh untuk mengunjungi keluarganya, dan Bito pun


(25)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

ikut menjadi korban Tsunami. Setelah itu, ia kembali lagi ke Jakarta untuk meneruskan kontrak kerjanya, dan sehabis kontrak dengan agency model tersebut, Bito melanjutkan pekerjaan sebagai seorang bell boy di salah satu hotel di Jakarta. Karena kinerjanya dianggap bagus oleh pihak hotel, lantas Bito mengikuti ujian dan lulus menjadi resepsionis di hotel tersebut.

Di sela-sela kesibukan pekerjaannya, Bito menyempatkan diri bergaul dengan teman-teman yang dikenalnya di Jakarta. Teman-teman sepergaulannyalah yang akhirnya mengenalkan Bito kepada dunia malam.

Pada awalnya Bito menolak untuk mengikuti segala kegiatan di dalam klub malam yang dikunjunginya bersama teman-temannya. Akan tetapi, didorong oleh rasa ingin tahu dan rasa penasaran, serta rasa haus akan penghasilan yang berlebih, Bito pun akhirnya ketagihan menggeluti dunia clubbing.

“Masuk aja..liat-liat dulu keadaan..tapi aku perhatiin mereka, koq nyantai gitu..yah, pertamanya diri aku nolak, hati aku tuh nolak..tapi kupikir-pikir, dengan gaji yang hanya 2 juta, itu kurang..lebih banyak pengeluaran daripada pemasukan..dari situlah aku berani terjun ke dunia malam tersebut..” (S. W1/b. 126-132/hal. 5)

“Ya aku kepengen nyoba gitu..karena aku pikir aku uda dewasa, aku pengen..gimana sih dunia malam? Gimana sih dugem itu? Gimana sih rasanya? Aku kan kepengen coba..tiap orang kan pasti ada rasa..mh..penasaran..tapi aku jadi ketagihan..hehe..” (S. W1/b. 146-150/hal. 6)

Meski pada awalnya Bito masih diliputi oleh rasa takut, namun lama kelamaan Bitopun akhirnya mengikuti jejak teman-temannya dengan menjalankan aktivitas-aktivitas clubbing tersebut.

“Iyah, aku tuh sebenarnya takut..abis itu yah, sekali dua kali aku masih takut, tapi yang ketiga kali dan seterusnya, aku uda terbiasa, dan aku ngikutin jejak mereka..” (S. W1/b. 193-196/hal. 7)


(26)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

“Aku..pertama kali coba, eh, shabu..karena aku heran, kawan aku koq bisa sih satu maleman koq ga tidur..” (S. W1/b. 198-200/hal. 7)

“Dari shabu, aku coba pil..ecstacy..” (S. W1/b. 210/hal. 7)

“Haha..kalau minum itu udah kayak air putih..”(S. W1/b. 230/hal. 7) “Yah,ujung-ujungnya, pasti...bercinta..” (S. W1/b. 239/hal. 8)

Bito akhirnya merasa ketagihan, dan kemudian tidak bisa lepas dari dunia clubbing. Hari-harinya lantas dipenuhi dengan segala aktivitas clubbing tersebut. Bito tidak pernah absen memasuki klub malam. Di dalam dunia itulah Bito mengaku mendapatkan kesenangan, dan ketenangan jiwa di tengah-tengah rasa stres dan kesulitan-kesulitan hidupnya. Bito pun menyukai pergaulan orang-orang di dalam klub malam tersebut.

“Ya, pertama kali aku tahu dunia clubbing itu, menurut aku, hm, apalagi kita punya kegiatan, kerja ya, yang stres, yang..pokoknya yang buat ribet lah, rumit, kita bisa melampiaskannya disitu, gitu..” (S. W2/b. 18-25/hal. 15)

”Jadi terlepas dari beban, apalagi kalau uda pakai minuman dan obat-obatan..” (S. W2/b. 27-29/hal. 15)

”Yaa..yg Bito suka di clubbing itu, satu pergaulannya, pergaulannya orang itu tidak munafik gitu. Trus, kalau misalnya musiknya itu bisa membuat kita itu tenang, kacau-kacau, masalah pekerjaan tu tenang, pokoknya kita tu bahagia disana..” (S. W5/b. 3-10/hal. 31)

Bito menikmati musik, dan menari (dancing) sebagai bagian dari clubbing, namun merasa hal tersebut tidak lengkap tanpa obat-obatan dan minuman keras.

”Kalau menurut Bito, kalau cuma sekedar musiknya aja, itu biasa aja..tapi kalau udah ‘itu’ (minum dan obat-obatan), kita bisa menikmati sampai ke darah..darah pun ikut bermain..” (S. W2/b. 33-39/hal. 15-16)


(27)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

Suatu waktu, Bito merasakan bahwa lama-kelamaan teman-temannya memanfaatkan dia untuk dijual, sehingga iapun akhirnya menjalankan ‘bisnis dunia malam’, sama seperti yang dilakukan teman-temannya.

“Akhirnya aku pindah dari kostan, ke rumah susun..pertama rasa dendam aku ada, aku harus lebih dari mereka..” (S. W1/b. 299-301/hal. 9)

“Aku jual pacar aku sendiri..” (S. W1/b. 313/hal. 9)

“Ya kalau ada tawaran mau aku, kenapa nolak? Kenapa? Rejeki gak halal? Aduh, gak usah cerita halal gak halal deh zaman sekarang ini..” (S. W1/b. 366-368/hal. 10)

Lama-kelamaan, akibat pergaulannya akhirnya Bito menjadi seorang biseksual, dan menjalin hubungan dengan seorang pria pengedar narkoba. Mereka hidup berdua di dalam rumah susun tersebut. Pasangan Bito menginginkan Bito berhenti bekerja, karena ia sanggup membiayai kehidupan Bito, sehingga akhirnya Bito pun tidak bekerja lagi.

Walaupun demikian, sekarang Bito tetap merasakan adanya penolakan di dalam dirinya, dan merasakan adanya penyesalan atas semua perbuataanya, sehingga Bito ingin berubah.

“Aku tuh uda nyesal..aku tuh pengen berubah sedikit demi sedikit..” (S. W1/b. 507-508/hal. 13)

“Satu ya, Bito tuh pengen berubah karena dorongan diri..Aku tuh pengen menunjukkan sesuatu yang berbeda, kita kan gak tahu kapan ajal..dari situ Bito ingin berubah..” (S. W2/b. 45-51/hal. 16)

“Aku target berubah aku umur 30 tahun, target menjadi dewasa 30 tahun, gak akan mengulangi kelakuan aku lagi yang sekarang.”

(S. W1/b. 517-519/hal. 13)

“Iya, stop clubbing, stop obat, stop seks bebas..tapi yang gak bisa aku hilangkan, rokok aku tu..hehe..” (S. W1/b. 521-522/hal. 14)


(28)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

“Aku tuh pengen berubah, ya karena mamaku..Mamaku selalu nasehatin, memang sih sudah aku langgar, tapi aku kepingin ngebahagiain orangtuaku, di saat-saat tuanya..” (S. W2/ b. 58-65/hal. 16)

“Sangat menyesal..Kenapa sih Bito bisa terjun ke dunia itu..Tapi memang sih menyesal itu datangnya belakangan..Tapi Bito gak mau menyesal untuk penyesalan yang sangat besar, penyesalan kedua..”

(S. W2/b. 207-214/hal. 19)

Banyak hal yang terjadi di dalam kehidupan Bito sebagai seorang clubber, terutama konflik yang terjadi di dalam kehidupannya, dan konflik hanya dapat dipahami oleh orang yang mengalaminya, sehingga peneliti tertarik untuk menggali lebih dalam mengenai konflik yang dialami clubber tersebut. Peneliti berharap akan dapat tergali lebih banyak lagi mengenaikonflik kehidupan seorang clubber khususnya Bito, dan bagaimana ia mengatasinya, sehingga dapat menambah informasi dan menjadi sesuatu yang bermanfaat.

B. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan fenomena diatas peneliti ingin mengetahui beberapa hal yang dirumuskan dalam beberapa pertanyaan di bawah ini :

1. Bagaimana konflik yang dihadapi seorang clubber. 2. Tipe-tipe konflik apa yang dihadapi seorang clubber.


(29)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memperoleh pemahaman mengenai konflik kehidupan seseorang clubber.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis, antara lain:

1. Dapat memberikan masukan dan sumber informasi bagi disiplin ilmu psikologi terutama pada bidang sosial, mengenai konflik kehidupan seorang clubber.

2. Dapat menjadi masukan bagi para peneliti lain yang tertarik untuk meneliti lebih jauh mengenai konflik kehidupan seorang clubber.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis, antara lain:

1. Menggambarkan bagi pembaca mengenai konflik kehidupan seorang clubber.

2. Menjadi sumbangan informasi bagi keluarga atau lingkungan sekitar clubber agar dapat memberikan pengawasaan dan dukungan yang positif hingga para clubbers dapat mencegah dan menghindari dampak-dampak negatif dari aktivitas clubbing.


(30)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

3. Memberikan informasi kepada pengamat sosial. 4. Memberikan informasi kepada Departemen Sosial.

5. Memeberikan informasi dan sebagai bahan pertimbangan kepada Dinas Pariwisata.

6. Dapat menjadi bahan masukan bagi pihak-pihak yang terlibat langsung dalam penelitian ini.

E. Sistematika Penulisan

Penelitian ini disajikan dalam beberapa bab dengan sistematika penelitian sebagai berikut :

BAB I : Pendahuluan

Bab I berisi tentang uraian singkat mengenai latar belakang masalah, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, dan sistematika penelitian.

BAB II : Landasan Teori

Bab II berisi uraian teori yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Clubber, yang terdiri dari pengertian clubbing, elemen konstitutif dari clubbing, dan pengertian clubber, serta teori konflik, yang terdiri dari pengertian konflik, teori lapangan, dan tipe-tipe konflik.


(31)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

BAB III : Metode Penelitian

Dalam bab ini akan dijelaskan metode penelitian yang digunakan oleh peneliti dalam hal ini adalah metode penelitian kualitatif, partisipan dan lokasi penelitian, metode pengumpulan data, subjek penelitian, teknik pengambilan sampel, alat bantu pengumpulan data, lembar observasi partisipan, kredibilitas (validitas) penelitian, prosedur penelitian serta teknik dan proses pengolahan data.

Bab IV : Analisa Data dan Hasil Analisa Data

Bab ini menguraikan mengenai hasil analisa data wawancara yang berupa analisa data partisipan yang meliputi kondisi sebelum partisipan menjadi clubber, dan saat menjalani kehidupan sebagai clubber.

Bab V : Kesimpulan, Diskusi, dan Saran

Bab ini menguraikan mengenai kesimpulan, diskusi dan saran mengenai konflik kehidupan seoreang clubber. Kesimpulan berisikan hasil dari penelitian yang telah dilaksanakan dan terdapat diskusi terhadap data-data yang tidak dapat dijelaskan dengan teori atau penelitian sebelumnya karena merupakan hal baru, serta saran yang berisi saran-saran praktis sesuai dengan hasil dan masalah-masalah penelitian serta saran-saran metodologis untuk penyempurnaan penelitian lanjutan.


(32)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

BAB II

LANDASAN TEORI

A. CLUBBER

1. Pengertian Clubbing

Clubbing adalah pengalaman yang sangat spesial, sangat sulit untuk menggambarkannya. Klub menawarkan pengalaman sensori secara total. Cahaya lampu, musik yang keras dan berkelanjutan, alkohol, dan apapun yang digunakan untuk mendukung atmosfernya (Barry, 2005).

Jackson (2003) menyatakan bahwa clubbing merupakan fenomena jasmani dan mendalam, hal tersebut adalah aktivitas kesenangan yang memungkinkan kita untuk menggoyangkan tubuh dalam kehidupan sehari-hari dan merekreasikan pengalaman kita tentang dunia.

Sedangkan menurut O’Hara&Brown (2006), clubbing hanyalah mengenai sekelompok orang yang datang bersama-sama untuk mendengarkan musik pada waktu dan tempat tertentu.

Clubbing adalah sebuah kata kerja yang berasal dari kata club. Dapat kita simpulkan bahwa clubbing adalah bergabung, berkumpul dalam sebuah kelompok atau klub untuk tujuan tertentu; dalam hal ini bergabung atau berkumpul di nightclub.


(33)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

2. Elemen Konstitutif Dari Clubbing

Malbon (1999) menyebutkan lima elemen konstitutif dari clubbing, yakni: 1. Music

Pengalaman clubbing terutama berbicara mengenai musik dan pemahaman clubber terhadap musik tersebut. Pada satu pemahaman, musik muncul sebagai suatu esensi dari clubbing, mengenai apa sebenarnya clubbing itu dan apa yang dilalui dan ada di sekeliling clubbers. Musik menunjukkan hubungan yang kuat kepada struktur sosial, tidak hanya merepresentasikan hubungan sosial, tapi juga sekaligus menetapkannya (van Leeuwen, 1988). Musik memainkan peran yang penting dalam pembentukan identitas dan komunitas (Firth, 1996), dimana anak muda terutama menggunakan musik untuk mengkondisikan diri mereka melalui sejarah, budaya, politik (Firth, 1992), dan style (Malbon, ,1999).

2. Dancing

Dancing adalah bentuk ekspresif utama dimana musik dipahami dan dinikmati selama pengalaman clubbing. Tidak dapat dipisahkan dari musik, dancing adalah mengenai apa sebenarnya clubbing itu, dan merupakan hal yang kebanyakan clubber lakukan selama clubbing. Dancing adalah model dari perilaku dimana hubungan antara pergerakan dan pikiran (motion dan emotion) itu penting, bahkan jika hubungan ini sulit diungkapkan para dancer dan menjadi masalah bagi peneliti untuk mendefenisikannya. Dancing adalah bentuk utama dari komunikasi atau


(34)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

bahasa tubuh dan model ekspresi, suatu penampilan dimana komunikasi verbal ditambah dan terkadang digantikan, secara intensif maupun berulang-ulang. Dancing di dalam clubbing dapat dikonsepsualisasikan sebagai bentuk ekspresif dari pemikiran, penalaran, perasaan, dan proses yang dapat dibangun melalui hubungan yang kuat antara clubber dan clubbing crowd, dan selanjutnya antar clubbing crowd dengan society dimana itu ada. Dancing dapat menjadi bentuk dari ritual seks (McRobbie, 1991), bentuk ekspresi (Storr, 1992), jenis exercise (McRobbie, 1994), bentuk individuasi juga bentuk kesatuan (Frith, 1996), bahasa (Shepherd, 1991), bahasa yang tidak tertulis (Frith, 1995). Dancing dalam clubbing bisa mengenai kesenangan, melarikan diri, mengenai bersama-sama atau terpisah, menganai interaksi seksual atau penampakan diri, mengenai mendengar musik, dan bahkan bentuk perwujudan dari resistansi dan sumber vitalitas personal dan sosial.

3. Performance

Performance juga merupakan bagian penting dalam clubbing karena individual belajar tidak hanya tentang komoditas dan kegunaan serta artinya, namun juga tentang gaya dari presentasi diri, teknik ekspresi tubuh, dan kompetensi serta keahlian.


(35)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

4. Crowds

Menurut Canetti (1973), crowds memungkinkan pengalaman ‘kehilangan diri’ (loss of self) diantara mereka yang berada di dalam crowds tersebut. Bagi Canetti, crowds adalah mengenai kepemilikan dan kekuatan yang disediakan oleh rasa kepemilikan ini. Clubbing crowds merupakan dasar dalam pembentukan kepemilikan (belongings) dan indentifikasi (indentification), seperti menjadi kumpulan untuk kenikmatan tubuh dalam mengikuti musik dan pergerakan yang secara luas membangun pengalaman clubbing.

5. Communality

Sosialisasi adalah lem perekat bagi komunitas sementara, seperti ketika bersama-sama di lantai dansa (tanpa membuat komunitas). Sementara, komunitas mengacu pada pengembangan pemahaman dari clubbing untuk mengasumsikan perbedaan dari clubbers dalam crowds; proses konformitas dan kesamaan sosial. Yang menjadi esensi komunitas adalah bahwa clubber memahami kerumunan (crowds) dimana mereka menjadi bagian, menjadi berbeda, dan menemukan pemahaman tersebut dalam pengalaman mereka.

Seperti yang dijelaskan oleh Mutmainah (2007) (dalam Ruz, 2006), anak muda memang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan berkomunitas. Dalam bergaul ini, selalu ada tekanan dari dalam diri si anak untuk melakukan hal yang sama dengan teman satu kelompok. Tekanan itu akan


(36)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

membuat dia mempertanyakan kembali nilai yang selama ini telah tertanam dalam dirinya

3. Clubber

Orang yang mengunjungi klub atau aktif di dalam klub sering disebut clubber. Clubbers disebut juga sebagai orang-orang yang sering mengunjungi klub (Wikipedia, 2008). Clubbers diarahkan kepada mereka yang memiliki hobian yang sama dan membentuk kelompok atau komunitas yang terorganisir, sebagai pengunjung setia sejumlah pub, diskotik, dan bar (Hendra&Erna, dalam Sriwijaya Post, 9 April 2006). Tidak terdapat batasan tersendiri untuk mendefenisikan seorang clubber, namun dapat ditarik kesimpulan bahwa clubbers adalah istilah bagi orang-orang yang secara aktif mengunjungi klub atau dengan kata lain, mengunjungi klub dalam frekuensi yang tinggi.

B. KONFLIK

1. Pengertian Konflik

Berdasarkan Lahey (2003) konflik adalah keadaan dimana dua atau lebih motif tidak dapat dipuaskan karena mereka saling mengganggu satu sama lain.

Dalam penelitian ini, pengertian konflik merujuk pada defenisi yang dikembangkan oleh Kurt Lewin. Dalam Lindzey & Hall (1985) dinyatakan bahwa konflik adalah keadaan dimana daya di dalam diri seseorang berlawanan arah dan hampir sama kekuatannya. Kedudukan psikologis dari konflik muncul ketika berada di bawah tekanan untuk merespon secara simultan dua atau lebih daya


(37)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

yang tidak sejalan. Dalam studi psikologi, konflik biasanya diklasifikasikan berdasarkan nilai positif atau negatif dari pilihan.

Lindzey & Hall (1985), mengacu pada Lewin, menambahkan bahwa konflik terjadi pada lapangan kehidupan seseorang. Lapangan kehidupan seseorang terdiri dari orang itu sendiri (person) dan lingkungan psikologis (psychological environment) yang ada padanya pada suatu saat tertentu (Lewin, dalam Sarwono, 1998).

Konflik itu sendiri terjadi karena seseorang berada di bawah tekanan untuk merespon daya-daya tersebut secara simultan. Bila dua motif saling bertentangan, kepuasan motif yang satu akan menimbulkan frustasi pada motif yang lain. Misalnya, seorang siswa mungkin tidak berhasil memperoleh pengakuan sebagai atlet terkenal, tetapi berhasil mencapai nilai yang dibutuhkan untuk dapat diterima di fakultas hukum. Bahkan, meskipun hanya melibatkan satu macam motif, konflik bisa timbul jika tujuan dapat dicapai melalui berbagai cara. Misalnya, seseorang yang dapat melanjutkan pendidikannya di berbagai perguruan tinggi, tetapi pemilihan perguruan tinggi mana yang akan dimasuki bisa menimbulkan situasi konflik. Meskipun akhirnya tujuan itu dapat dicapai, gerak ke arah tujuan itu terganggu oleh keharusan untuk menentukan pilihan. Kadang-kadang konflik dapat timbul antara motif dan norma internal seseorang, dan bukan antara dua tujuan eksternal. Hasrat seksual seseorang bisa bertentangan dengan normanya tentang perilaku sosial yang pantas. Seringkali konflik antara motif dan norma internal lebih sulit diselesaikan dibandingkan konflik antara dua tujuan eksternal (Atkinson dkk, 1999).


(38)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

Sebelum konsep mengenai konflik dibahas lebih jauh, terlebih dahulu perlu dipahami konsep lapangan kehidupan. Berikut ini akan diuraikan teori Kurt Lewin (1951) mengenai Lapangan Kehidupan berikut konsep-konsep yang mendasarinya, diikuti dengan uraian mengenai berbagai tipe konflik.

2. Teori Lapangan

Teori Lapangan (Field Theory) terutama dikembangkan oleh Kurt Lewin. Lewin sangat dipengaruhi oleh aliran Psikologi Gestalt, sehingga tidak heran jika teori lapangan juga mengutamakan keseluruhan daripada elemen atau bagian-bagian di dalam studinya tentang jiwa manusia (Sarwono, 1998). Konstruk yang terpenting dari teori ini tentunya adalah lapangan itu sendiri, yang dalam psikologi diartikan sebagai lapangan kehidupan (life space).

a. Lapangan Kehidupan

Lapangan kehidupan dari seorang individu terdiri dari orang itu sendiri (person) dan lingkungan psikologi (psychological environment) yang ada padanya suatu saat hanya memperhitungkan hal-hal yang ada bagi individu yang bersangkutan. Artinya, apa yang ada bagi individu belum tentu ada secara obyektif, sedangkan apa yang ada secara obyektif belum tentu ada secara subyektif. Disini tampak bahwa yang lebih dipentingkan adalah deskripsi yang subyektif.

Lapangan kehidupan terbagi-bagi dalam wilayah-wilayah (region) atau disebut juga lingkungan kehidupan (life-sphere). Lingkungan kehidupan ini ada


(39)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

yang sifatnya nyata (reality) seperti ibu, teman, pekerjaan, dan ada pula yang maya (irreality) seperti cita-cita atau harapan. Jadi, lapangan kehidupan memiliki dimensi nyata-maya (dimensi R-I).

Dimensi kedua dari lapangan kehidupan adalah kecairan (fluidity) dari region-region di atas. Kecairan berarti dapat terjadi gerak, perpindahan dari suatu wilayah ke wilayah lain. Dan hal ini tergantung pada keras atau lunaknya dinding-dinding pembatas dari masing-masing region dalam lapangan kehidupan itu.

Perlu pula dicatat, lingkungan psikologi (psychological environment) tidak sama dengan lingkungan fisik. Lingkungan psikologi seseorang harus dipahami dari sudut pandang orang itu sendiri, atau dengan kata lain: seperti adanya bagi orang itu pada waktu tertentu (as it exists for him at the time). Lingkungan psikologi itu sendiri mencakup unsur-unsur yang berada di sekitar orang tersebut, baik disadari maupun tidak disadari.

b.Tingkah Laku dan Lokomosi

Menurut Lewin (dalam Sarwono, 1998), tingkah laku adalah lokomosi (locomotion) yaitu perubahan atau gerakan pada lapangan kehidupan. Lokomosi terjadi karena adanya “komunikasi” antara dua wilayah dalam lapangan kehidupan seseorang. Komunikasi antara dua wilayah itu menimbulkan ketegangan (tension) pada salah satu wilayah. Ketegangan menimbulkan kebutuhan (need) dan kebutuhan inilah yang menyebabkan tingkah laku.

Penjabaran mengenai kebutuhan dan pemuasannya, dijelaskan oleh Maslow (dalam Schultz, 1994) dalam bentuk Hirarki Kebutuhan, yaitu:


(40)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

I. Psychological needs (kebutuhan fisiologis), meliputi: kebutuhan untuk makan, minum, udara, tidur, seks.

II. Safety needs (kebutuhan rasa aman), meliputi: kebutuhan untuk merasa aman, stabil, bebas dari rasa takut dan cemas.

III. Belongingness and love needs (kebutuhan akan rasa cinta dan memiliki). Kebutuhan ini dapat diekspresikan dalam beberapa cara, melalui hubungan yang dekat dengan teman, kekasih atau pasangan, atau melalui hubungan sosial yang dibentuk dalam suatu kelompok.

IV. Esteem needs (kebutuhan akan penghargaan), meliputi: kebutuhan untuk merasa dihormati dalam bentuk status, pengenalan, ataupun, kesuksesan dalam lingkungan sosial.

V. Need for self actualization (kebutuhan akan aktualisasi diri), meliputi: kebutuhan akan pemenuhan potensi dan kemampuan diri.

Di samping lima kebutuhan dasar di atas, Maslow juga memasukkan dua kebutuhan lainnya ke dalam cognitive needs yaitu need to know (kebutuhan untuk mengetahui) dan need to understand (kebutuhan untuk memahami).

Lewin sendiri (dalam Sarwono, 1998) merepresentasikan kebutuhan (need) sebagai suatu sistem yang berada dalam keadaan ketegangan, dan pemuasan kebutuhan sebagai pelepasan ketegangan sistem tersebut.

Sebelum kebutuhan bisa menimbulkan lokomosi, masih ada batas-batas (barrier) dari wilayah-wilayah yang bersangkutan. Kalau batas itu kaku dan kenyal, maka batas itu akan sukar ditembus oleh daya (force) yang ada dalam lapangan kehidupan sehingga sulit terjadi lokomosi. Sebaliknya kalau batas itu


(41)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

lunak maka terjadi pertukaran daya antar wilayah sehingga wilayah-wilayah yang berkomunikasi itu berada dalam tingkat ketegangan yang seimbang kembali.

Menurut Lewin (dalam Sarwono, 1998), karakteristik utama dari perilaku adalah: a) perilaku selalu terjadi dalam lingkungan psikologis tertentu; dan b) perilaku bersifat terarah atau memiliki arah. Konsep arah (direction) mengacu pada perubahan suatu aktivitas ke aktivitas lain. Aktivitas itu sendiri merupakan wilayah (region) dalam lapangan kehidupan orang yang bersangkutan, pada saat berlangsungnya perilaku. Oleh karena itu, konsep arah melibatkan dua wilayah. Wilayah pertama merupakan wilayah bagi aktivitas yang sedang berlangsung, dan wilayah kedua adalah wilayah yang membuat seseorang bergerak untuk mendekati dan menjauhinya.

c. Daya (Force)

Defenisi daya adalah suatu hal yang menyebabkan perubahan. Perubahan dapat terjadi jika pada suatu wilayah ada valensi (valence) tertentu. Valensi dapat bersifat negatif atau positif tergantung pada daya tarik atau daya tolak yang ada pada wilayah tersebut. Kalau suatu wilayah mempunyai valensi positif, maka akan menarik daya-daya dari wilayah-wilayah lain untuk bergerak menuju ke arahnya bersifat negatif atau positif tergantung pada daya tarik atau daya tolak yang ada pada wilayah tersebut. Kalau suatu wilayah mempunyai valensi positif, maka akan menarik daya-daya dari wilayah-wilayah lain untuk bergerak menuju ke arahnya. Sebaliknya, jika valensi yang ada pada suatu wilayah negatif, maka daya-daya yang ada akan menghindar atau menjauhi wilayah tersebut. Valensi itu sendiri


(42)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

dipengaruhi oleh faktor-faktor yang menghambat. Salah satu faktor yang dapat menghambat kekuatan valensi adalah “jarak psikologis”. Jarak psikologis tidak identik dengan jarak fisik walaupun keduanya sering saling berkorelasi. Namun, yang lebih dipentingkan adalah jarak psikologis, bukan jarak fisik.

Lewin (dalam Lindzey & Hall, 1985; Sarwono, 1998) membagi daya dalam beberapa jenis, yaitu:

1. Daya yang mendorong (driving forces), yaitu daya yang mengarahkan pergerakan atau lokomosi ke wilayah tertentu.

2. Daya yang menghambat (restraining forces), yaitu batas-batas (barrier) fisik atau sosial yang dapat menghambat pergerakan. Daya ini tidak mengarahkan terbentuknya lokomosi, tetapi mempengaruhi efek dari driving forces.

3. Daya yang berasal dari kebutuhan sendiri (forces corresponding to a person’s own needs), yaitu daya yang merefleksikan kehendak seseorang untuk melakukan sesuatu, seperti pergi ke rumah makan, menonton di bioskop, dan lain-lain.

4. Daya yang berasal dari orang lain (induced forces), yaitu daya yang berhubungan dengan kehendak orang lain, seperti perintah orang tua atau harapan teman.

5. Daya yang impersonal (impersonal forces), yaitu daya yang tidak berasal dari kehendak sendiri maupun orang lain, melainkan berasal dari situasi misalnya norma sosial yang menghambat orang sehingga tidak bicara keras-keras di tengah malam buta.


(43)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

d. Ketegangan (Tension)

Lewin (dalam Lindzey & Hall, 1985) mendefenisikan ketegangan (tension) sebagai keadaan dari suatu sistem yang berhubungan dengan keadaan dari sistem-sistem lain di sekelilingnya. Pada seseorang (person), tension mengacu pada keadaan suatu region dalam dirinya yang berhubungan dengan keadaan dari region-region lain dalam dirinya pula.

Ketegangan (tension) cenderung untuk disetarakan. Artinya, jika region a dalam keadaan ketegangan yang tinggi sedangkan region b, c, dan d dalam keadaan rendah, maka ketegangan cenderung untuk menyebrang dari a ke b, c, d sehingga keempat region itu berada dalam keadaan ketegangan yang setara.

Meredakan ketegangan tidak berarti bahwa ketegangan itu harus hilang sama sekali (dalam keadaan nol), melainkan ketegangan itu disebarkan secara merata dari suatu region (wilayah) ke region (wilayah) lain dalam lapangan kehidupan. Dengan kata lain, peredaan ketegangan berarti tercapainya equilibrium (keseimbangan) diantara wilayah-wilayah. Dengan demikian ketegangan di suatu daerah tertentu bisa mereda, tetapi secara umum ketegangan di seluruh lapangan kehidupan belum tentu mereda. Salah satu faktor penting yang dapat menurunkan ketegangan adalah ketembusan (permeability), yaitu seberapa jauh batas-batas suatu wilayah dapat ditembus oleh daya dari wilayah-wilayah lain di sekitarnya. Jika batas suatu wilayah demikian kerasnya sehingga tidak tertembus, maka peredaan ketegangan tergantung kepada substitusi, yaitu adanya wilayah lain yang kira-kira senilai dengan wilayah pertama yang dapat ditembus oleh daya.


(44)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

Substitusi lebih dimungkinkan jika antara dua wilayah yang bersangkutan terdapat banyak persamaan. Selain itu, substitusi lebih mudah terjadi pada orang-orang dengan lapangan kehidupan yang cukup berdiferensiasi, berkembang, atau bercabang-cabang, asalkan batas-batas wilayah yang ada dalam lapangan kehidupan tersebut masih cukup tertembus oleh daya-daya yang akan masuk.

Faktor lain yang juga berpengaruh pada peredaan ketegangan adalah kejenuhan. Kalau kebutuhan-kebutuhan yang mendasari daya itu yang sudah dipuaskan sampai jenuh, maka ketegangan tersebut akan berkurang dengan sendirinya.

3. Tipe-Tipe Konflik

Lewin mendefenisikan konflik sebagai suatu keadaan dimana ada daya-daya yang saling bertentangan arah, tetapi dalam kadar kekuatan yang kira-kira sama (dalam Lindzey & Hall, 1985; Sarwono, 1998). Berdasarkan jenis daya yang terlibat di dalamnya, konflik dibagi menjadi beberapa tipe. Tipe-tipe tersebut adalah: (1) Konflik antara daya-daya yang menimbulkan pergerakan, (2) Konflik antara daya yang menimbulkan pergerakan dan daya yang menghambat, dan (3) Konflik antara daya yang berasal dari kebutuhan sendiri dan daya yang berasal dari orang lain. Untuk memudahkan pemahaman, ketiga tipe konflik ini akan diuraikan satu persatu.


(45)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

a. Konflik antara Daya-Daya yang Menimbulkan Pergerakan (Conflict between Two or More Driving Forces)

Konflik tipe pertama ini adalah konflik antara dua atau lebih driving forces (daya yang mendorong). Dalam hal ini, seseorang (person) berada antara dua valensi positif atau negatif yang masing-masing terpisah satu sama lain. Pada tipe pertama ini, dapat terjadi empat kemungkinan situasi konflik. Keempatnya akan diuraikan di bawah.

a. 1. Konflik Mendekat-Mendekat (Approach-Approach Conflict)

Dalam konflik ini, seseorang (P) berada diantara dua valensi positif yang sama kuat. Contohnya, seorang anak harus menonton film ke bioskop (GI+) atau mengunjungi teman lama yang telah lama ia rindukan (G2+). Konflik terjadi jika daya menuju ke G1+ sama kuatnya dengan daya menuju ke G2+. Kekuatan salah satu daya akan meningkat jika valensi wilayah yang dituju menguat dan jarak psikologis menuju wilayah itu berkurang. Jika hal tersebut terjadi, maka konflik ini terselesaikan.

Dalam perilaku nyata, penyelesaian konflik di atas berlangsung dalam dua bentuk. Pertama ,konflik diselesaikan dengan memuaskan / memenuhi tujuan di satu wilayah terlebih dahulu, baru kemudian ke wilayah lain. Sebagai contoh, anak di atas akan mengunjungi temannya terlabih dahulu, baru kemudian menonton film ke bioskop. Kedua, konflik diselesaikan dengan memilih salah satu wilayah dan meninggalkan wilayah yang lain. Dibandingkan tipe konflik lainnya, konflik sepertiini biasanya tidak berlangsung lama dan mudah untuk dipecahkan.


(46)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

Sebab, begitu P bergerak ke salah satu arah, maka daya menuju arah tersebut akan menguat dan daya yang menuju arah yang lain akan melemah. Konflik ini juga tidak stabil karna mudah terpecahkan oleh pengaruh tambahan apapun yang dapat membawa P lebih dekat ke salah satu arah.

a. 2. Konflik Menjauh-Menjauh (Avoidance-Avoidance Conflict)

Dalam konflik ini,P berada di antara dua valensi negatif yang sama kuat. Contohnya, seorang sopir yang bermaksud beristirahat sejenak. Di dalam bar, ia ingin memesan bir agar kelihatan seperti orang yang berkelas (G1-) namun ia tidak ingin menjadi mabuk karena akan menimbulkan resiko yang besar bagi pekerjaannya (G2-). Daya-daya dalam kehidupan P semua menjauhi G1- maupun G2-. Namun jika P mengikuti daya pertama yang menjauhi G1-(menerima anggapan orang lain bahwa ia bukanlah orang yang berkelas),maka daya tersebut akan berbenturan dengan daya kedua yang menjauhi G2-(menjadi mabuk dan menimbulkan resiko pada pekerjaanya). Demikian pula sebaliknya. Dengan demikian P berada dalam konflik antara menghadapi keadaan tidak dapat minum bir (dengan konsekuensi menerima anggapan orang lain bahwa ia bukanlah orang yang berkelas) atau minum bir dan diangaap berkelas (dengan konsekuensi ia akan menjadi mabuk dan menimbulkan risiko kecelakaan pada waktu menyetir kendaraannya).

Konflik ini bisa bertahan lama jika ia tetap berada di tengah-tengah G1- dan G2-, dan keadaan semacam ini disebut keadaan keseimbangan yang semu


(47)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

(quasi state of equilibrium). Dua bentuk perilaku dapat muncul sebagai akibat keadaan ini.

Bentuk pertama adalah kebimbangan perilaku dan pemikiran. Artinya ada inkonsistensi pada apa yang dilakukan dan dipikirkan P; P terombang-ambing antara satu hal dengan hal yang lain. Kebimbangan terjadi karena kuatnya daya suatu wilayah akan meningkat begitu P bergerak mendekatinya. Ketika P mendekati salah satu wilayah yang bervalensi negatif, P akan merasakan adanya peningkatan daya tolak dan akibatnya ia bergerak menghindari wilayah itu. Namun ketika ini dilakukan secara bersamaan P justru mendekati wilayah kedua yang juga bervalensi negatif. Sebagai akibatnya, ia akan mengalami hal yang sama. Hal ini membuat konflik menjadi stabil. Kemungkinan bentuk yang kedua adalah tindakan meninggalkan wilayah terjadinya konflik (leaving the field). Dalam kondisi ini, jumlah daya yang dihasilkan justru menggerakkan P ke arah yang secara simultan meninggalkan dua wilayah bervalensi negatif tersebut. Secara teoritis, seseorang dapat menyelesaikan konflik menjauh-menjauh dengan cara seperti ini. Namun seringkali tindakan ini justru memiliki konsekuensi yang lebih buruk dari alternatif yang sudah ada. Terakhir dapat disebutkan bahwa leaving the field menggambarkan keadaan dimana seseorang lari dari kenyataan (flight from reality), dan sering menjadi ciri dari perilaku orang-orang yang terperangkap dalam konflik pelik semacam ini.

Banyak keadaan emosi yang intens dibangkitkan oleh konflik menjauh-menjauh. Jika kedua wilayah yang bervalensi negatif memproduksi rasa takut dan bersifat mengancam, seseorang dapat terperangkap diantara keduanya dan


(48)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

mengalami ketakutan. Atau kebalikannya, ia menjadi marah dan benci terhadap situasi yang memerangkapnya.

a. 3. Konflik Mendekat-Menjauh (Approach-Avoidance Conflict)

Dalam konflik ini, P menghadapi valensi positif dan negatif pada jurusan yang sama. Contohnya, gadis (P) yang ingin sekali mengikuti kontes menyanyi padahal ia sadar kemampuan menyanyinya tidak begitu baik. Sebagian daya mengarahkan P untuk mendaftarkan diri pada kontes menyanyi tersebut (G1+), namun sebagian daya lain menghambat P karena ia khawatir akan ditertawakan orang lain karena kemampuannya yang tidak baik (G2-). P akan mendatangi tempat pendaftaran kontes nyanyi, tetapi berikutnya ia tetap diam, dan tidak bergabung dalam antrian panjang orang-orang yang juga ingin mendaftarkan diri. Hal ini menunjukkan adanya keadaan keseimbangan (equlibrium), dan menyebabakan konflik mendekat-menjauh menjadi konflik yang stabil.

Konflik ini merupakan konflik yang paling sulit untuk dipecahkan. Penyebabnya, orang yang bersangkutan tertarik sekaligus menghindari satu wilayah yang sama. Karena wilayah tersebut bervalensi positif, P mendekatinya: tetapi begitu didekati, valensi negatif yang ada di wilayah itu menjadi lebih kuat. Jika pada suatu titik ketika P mendekati wilayah itu, valensi negatif menjadi lebih kuat dari valensi positif, P akan berhenti mencapai wilayah tersebut. Karena wilayah yang menjadi tujuan tidak bisa dicapai, P bisa mengalami frustasi.

Seperti halnya konflik menjauh-menjauh, kebimbangan juga kerap terjadi pada konflik mendekat-menjauh. Artinya, seseorang berada dalam konflik ini


(49)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

akan berupaya mencapai wilayah yang dituju sampai suatu saat valensi negatifnya menjadi lebih kuat, dan ia mundur. Namun demikian, seringkali pula valensi negatif yang ada tidak cukup kuat untuk menolak upaya untuk mendekati wilayah tersebut. Dalam hal ini, orang tersebut dapat mencapai wilayah yang dituju, tetapi dengan lebih lambat dan ragu-ragu ketimabang jika wilayah tersebut tidak bervalensi negatif.

Ketika wilayah yang dituju akahirnya bisa dicapai, kemungkinan frustasi tetap ada. Bahkan pada beberapa waktu setelah tujuan itu tercapai, orang tersebut mungkin masih merasa tidak nyaman karena valensi negatif yang tetap melekat di wilayah itu. Baik seseorang mengalami frustasi karena ia mencapai tujuan dengan lambat maupun karena tidak mencapai tujuan sama sekali, reaksi emosional seperti takut, marah, dan benci, biasanya menyertai konflik mendekat-menjauh.

Konflik menjauh-menjauh dan mendekat-menjauh, hanya dapat terjadi kalau ada batas-batas (barrier) yang kokoh pada lapangan kehidupan orang yang bersangkutan sehingga tidak ada daya yang bisa keluar dari wilayah-wilayah terjadinya konflik. Dengan demikian, kestabilan konflik sebetulnya akan lebih cepat terpecahkan jika terjadi beberapa perubahan situasi.

Pertama, jika batas tidak kuat dan ada wilayah lain yang bervalensi positif, maka daya akan berpindah ke wilayah yang terakhir ini. Terjadilah substitusi dan konflikpun berakhir. Kedua, salah satu daya berkembang menjadi lebih dominan, sehingga pergerakan (lokomosi)pun terjadi mengikuti arah daya tersebut.


(50)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

a. 4. Konflik Mendekat-Menjauh Ganda (Multiple Approach-Avoidance Conflict)

Konflik mendekat menjauh ganda mengindikasikan seseorang yang berada diantara dua wilayah, yang masing-masing memiliki valensi positif dan negatif sekaligus. P menghadapi valensi positif dan negatif pada satu jurusan, dan menghadapi pula valensi positif dan negatif pada jurusan lain. Dalam Morgan (1986), banyak keputusan-keputusan besar dalam hidup yang melibatkan konflik semacam ini. Sebagai contoh, seorang wanita yang hendak menikah. Pernikahan tersebut memiliki valensi positif baginya karena dapat memebrikan stabilitas dan rasa aman, di samping ia juga mencintai pria yang akan ia nikahi nanti. Di lain pihak, pernikahan tersebut juga memiliki valensi negatif karena dengan begitu ia harus melepaskan tawaran pekerjaan yang sangat menarik di kota lain. Karena memiliki minat berkarir, ia tertarik pada tawaran itu tetapi juga tidak ingin hal tersebut menjadi masalah bagi perkawinannya (Cahyatama, 1999).

Penyelesaian konflik ini, tergantung pada kekuatan relatif dari seluruh daya yang mendekat dan menjauh. Jika selisih antara valensi positif dan negatif pada wilayah “karir” memiliki nilai lebih besar ketimbang selisih antara valensi positif dan negatif pada wilayah “pernikahan”, wanita di atas mungkin akan membatalkan pernikahannya. Atau sebaliknya, jika selisih valensi-valensi di wilayah “pernikahan” lebih besar nilainya ketimbang selisih di wilayah “karir”, ia mungkin akan ragu sesaat, menimbang-nimbang,kemudian memilih menikah. Dengan demikian apa yang seseorang lakukan untuk menyelesaikan konflik ini


(51)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

tergantung pada kekuatan relatif dari seluruh valensi positif dan negatif yang terlibat di dalamnya.

Valensi negatif konflik semacam ini, yang menjadi penghambat dalam mencapai tujuan, umumnya merupakan hal yang sudah terinternalisasi dalam diri orang yang bersangkutan (Morgan, 1986). Hambatan internal ataupun valensi negatif internal, biasanya dihasilkan dari pendidikan atau penanaman nilai-nilai sosial yang diterima oleh orang tersebut. Wanita pada contoh di atas mungkin diajarkan untuk menghargai nilai kebebasan berkarir, dan nilai tersebut kemudian menimbulkan konflik ketika ia hendak menikah. Yang lebih sering terjadi, hambatan internal itu adalah nilai-nilai sosial yang membentuk hati nurani. Saat seseorang termotivasi untuk melakukan sesuatu, ia mungkin terhambat oleh nilai-nilai yang dipegangnya mengenai apa yang “benar” dan “salah” (Cahyatama, 1999).

Hambatan internal umumnya lebih sukar diatasi ketimbang yang eksternal. Seseorang mungkin dapat menemukan cara untuk mengatasi hambatan eksternal atau lingkungan, tetapi akan lebih sulit baginya untuk lepas dari hambatan internal yang berada dalam dirinya sendiri.

b. Konflik antara Daya yang Menggerakkan dan Daya yang Menghambat (Conflict between Driving Forces and Restraining Forces)

Tipe konflik yang kedua adalah konflik antara driving forces (daya yang menggerakkan) dan restraining forces (daya yang menghambat). Konflik ini berbeda dengan konflik mendekat-menjauh yang telah dijelaskan sebelumnya.


(52)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

Pada konflik mendekat-menjauh, dan konflik-konflik lainnya yang berada dalam tipe pertama, semua daya yang terlibat merupakan driving forces. Driving forces adalah daya yang mengarahkan pergerakan atau lokomosi ke wilayah tertentu. Sedangkan restraining forces adalah batas-batas (barrier) fisik atau sosial yang dapat menghambat pergerakan. Artinya, daya ini sama sekali tidak mengarahkan pergerakan, namun berpengaruh terhadap driving forces.

Terkadang, seseorang (P) terhalang oleh batas-batas (barrier) tertentu dari upayanya untuk mendekati suatu goal bervalensi positif atau untuk menghindari wilayah yang bervalensi negatif. Dalam situasi seperti ini, P akan berulangkali mencoba mengitari dan kemudian melintasi barrier tersebut – dengan kata lain “bernegosiasi” – untuk mencapai (valensi positif) atau meninggalkan (valensi negatif) wilayah yang bersangkutan. Jika upaya itu gagal, barrier itu sendiri lama kelamaan akan bervalensi negatif. Upaya P untuk mendekati barrier cenderung makin berkurang dan perlahan-lahan ia akan meninggalkan wilayah itu (leaving the field). Ia mungkin akan kembali dan mencoba lagi, tetapi jika tetap saja gagal, ia akan secara permanen meninggalkan wilayah tersebut. Lewin menambahkan, gagalnya negosiasi untuk keluar dari barrier wilayah bervalensi negatif sering menghasilkan keadaan ketegangan emosional yang tinggi.


(1)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

di awal wawancara Bito tidak merokok, namun kemudian permisi sebentar untuk membeli rokok di mini market sebelah restoran, sehingga Bito terus merokok di sisa wawancara.

Wawancara kedua dilakukan pada sebuah coffe shop,yakni Killiney. Saat itu, Bito memakai baju cokelat lengan panjang, celana jeans biru, dan sepatu sandal kulit berwarna cokelat. Bito tidak lagi membubuhkan gel di rambutnya karena mengaku ingin berganti-ganti gaya. Sebelum wawancara dimulai, Bito memesan segelas susu cokelat. Bito kemudian kembali membeli rokok di mini market di samping coffe shop tersebut, dan selama wawancara Bito tak henti merokok. Wawancara dilakukan dengan sedikit mengecilkan volume suara, karena jarak antara satu meja pengunjung dengan meja pengunjung lainnya sangat rapat, sehingga memungkinkan pengunjung di meja yang satu mendengarkan obrolan di meja lainnya. Wawancara juga agak terganggu dengan suara ribut oleh pengunjung yang berada di tempat yang sama. Wawancara berlangsung selama kurang lebih 1 (satu) jam lebih.

Wawancara ketiga dilakukan pada waktu pagi hari, di salah satu tempat sarapan di kompleks TASBIH (Taman Setia Budi Indah), yaitu Lontong Kak Ririn. Saat itu, Bito memakai T-Shirt biru muda, celana jeans biru, dan sepatu sandal kulit berwarna cokelat. Rambut Bito kembali di-spikey dengan gel rambut. Pada waktu itu, mata Bito terlihat merah, karena Bito mengakui bahwa dirinya tidak tidur semalaman. Muka Bito juga terlihat sedikit pucat, dan Bito juga mengakui bahwa dirinya tidak makan selama 1 (satu) hari sebelum wawancara berlangsung. Bito kemudian memesan bubur dan segelas teh manis sebagai


(2)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

sarapan. Setelah menghabiskan makanannya, Bito kembali permisi untuk membeli rokok di toko kelontong tak jauh dari tempat itu, lalu mulai merokok hingga wawancara usai. Bito mengakui selain tidak makan, ia juga tidak merokok selama 1 (satu) hari sebelum wawancara berlangsung, karena Bito sedang tidak memiliki uang. Selama wawancara, sesekali Bito mengedip-ngedipkan mata seperti ingin mengembalikan kesadarannya, dan mengaku agak gamang. Wawancara agak terganggu oleh bunyi-bunyian di kala yang empunya tempat sedang beres-beres mau tutup. Wawancara berlangsung kurang lebih sekitar 1 (satu) setengah jam.

Sebelum wawancara keempaat berlangsung, Bito mengajak peneliti ke rumah kost-an nya. Rumah tersebut terletak di sebuah gang di belakang salah satu Runah Sakit di kota Medan. Pagar rumah berwarna hijau, dan dinding rumah di cat berwarna kuning muda, namun bagian dapur berwarna hijau muda. Rumah memiliki 5 (lima) kamar tidur, dan kamar Bito terletak paling depan berhadapan dengan ruang tamu dan berada di posisi sebelah kanan ketika kita memasuki rumah. Kamar tersebut memiliki luas 3 x 4 m2 dan berdinding kuning muda. Ketika memasuki kamar, di sebelah kiri terdapat TV (Televisi) 21 inchi, kemudian di sebelah TV terdapat lemari kayu 2 pintu berwarna cokelat, kemudian di sebelahnya terdapat dispenser berisi air mineral. Di tengah terdapat meja tempat kaset berwarna cokelat muda yang beralaskan karpet tipis berwarna cokelat. Dan di bagian kanan terdapat 3 (tiga) kasur tempat tidur yang diletakkan di atas lantai, yang satu berwarna hitam putih, yang di tengah berwarna hijau, dan yang ketiga berwarna pink. Tepat di atas kasur tempat tidur terdapat jendela berbingkai hijau.


(3)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

Wawancara tidak dilangsungkan di rumah partisipan karena partisipan merasa tidak enak dengan pemilik rumah, sehingga wawancara dilangsungkan di sebuah rumah makan Aceh di dekat rumah Bito bernama Qatari. Suasana tempat tersebut sangat sepi pada waktu itu. Saat itu, Bito memakai T-Shirt berwarna biru tua bergambar Teddy Bear, celana jeans biru, dan sepatu keds hijau muda. Bito juga menggunakan kalung besi bermotif tengkorak. Bito kemudian memesan segelas susu cokelat dingin, dan seperti biasa, sebungkus rokok. Saat wawancara berlangsung Bito banyak tertawa. Wawancara sedikit terganggu karena Bito berulang-ulang menerima telepon, sehingga kadang konsentrasinya buyar. Di akhir wawancara, Bito permisi sebentar untuk menjemput temannya yang sudah sampai di depan rumah makan tersebut. Wawancara pun disaksikan oleh teman Bito tersebut, namun Bito tetap menjawab pertanyaan demi pertanyaan dengan lancar dan mengaku tidak merasa terganggu oleh kehadirannya. Wawancara berlangsung sekitar 1 jam lebih.

Setelah wawancara keempat, partisipan mengajak peneliti untuk ikut masuk ke salah satu klub di kota Medan. Peneliti menyetujui ajakan tersebut, dan meminta ijin untuk membawa salah seorang teman. Partisipan pun kemudian menyetujuinya dengan syarat tidak membawa banyak orang.

Pada saat tengah malam, peneliti menerima telepon dari partisipan untuk menetapkan lokasi pertemuan. Akhirnya sekitar jam 01.30 dini hari, peneliti beserta seorang teman peneliti menyusul partisipan di sebuah klub. Peneliti menelepon partisipan untuk menjemput peneliti dengan teman peneliti di depan


(4)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

klub tersebut. Saat itu, Bito masih sadar karena mengaku masih minum segelas kecil minuman keras.

Klub tersebut memiliki luas kira-kira sekitar 20 x 30 m2. Di bagian dalam klub, terdapat ruangan-ruangan kecil seluas kira-kira 3 x 3 m2 mengelilingi seluruh ruangan, dengan menggunakan tirai sebagai penutupnya. Ruangan tersebut biasa disebut cello. Di bagian depan klub terdapat sebuah stage tempat DJ memainkan musiknya, lalu di depannya terdapat lantai kosong tempat menari dan berdansa yang sering disebut dengan dance floor. Dan di tengah serta sekeliling klub tersebut terdapat meja-meja dengan kursi di sekelilingnya. Penerangan klub tersebut sangat minim, namun dipenuhi oleh lampu-lampu bercahaya warna-warni yang kerap beraganti-ganti. Suasana klub sangat hingar bingar dan ribut oleh berbagai macam suara musik dan suara orang-orang yang hilir mudik dan beraktivitas, sehingga tidak memungkinkan satu dengan yang lainnya untuk berbicara dengan volume kecil.

Ketika memasuki klub, peneliti dan teman peneliti langsung diajak partisipan untuk duduk di cello. Di tempat tersebut sudah ada seorang wanita, yang dikenali peneliti sebagai teman partisipan pada saat wawancara keempat, dan dua lelaki setengah baya. Partisipan mengenalkan peneliti dan teman peneliti kepada tiga orang tersebut sebagai teman partisipan. Kemudian partisipan menunjuk empat lelaki lain dan seorang wanita lagi yang sedang menari di dance

floor, sebagai orang-orang yang masuk bersamanya malam itu. Merekapun

bergantian masuk dan keluar cello untuk menari, dan memakai obat-obatan terlarang, yaitu inex.


(5)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

Saat itu, peneliti bersama teman peneliti hanya memesan dua botol kecil air mineral. Di atas meja di dalam cello terdapat tiga botol minuman keras beremerek Red Label, Casanova, dengan Jack Daniel. Minuman tersebut hanya diminum oleh partisipan seorang diri, dan kemudian partisipan mengajak temannya yang ditemuinya di luar cello untuk minum bersamanya. Partisipan terlihat tidak menggunakan obat-obatan terlarang pada saat itu. Pada tegukan gelas pertama, kedua, dan ketiga, partisipan masih sesekali mengobrol dengan lancar bersama peneliti dan temannya, namun memasuki gelas keempat dan seterusnya, omongan partisipan sudah mulai ngelantur kemana-mana. Saat itu pula partisipan mulai berjalan-jalan ke luar cello, dan menemui teman-teman lainnya yang dikenalnya di dalam klub itu. Kemudian partisipan terlihat meminta uang dari salah seorang lelaki paruh baya yang pergi bersamanya malam itu, lelaki tersebut memberinya, dan sejenak kemudian partisipan mendatangi DJ untuk membawakan lagu selamat ulang tahun dan lagu permintaan partisipan, kemudian menyelipkan uang ke tangan DJ tersebut. Setelah itu, partisipan kembali mondar-mandir menyapa dan tertawa bersama teman-temannya yang lain, lalu kemudian dengan sempoyongan terlihat mendatangi seorang Ibu setengah baya yang memakai jilbab. Partisipan terlihat mengatakan sesuatu kepada sang Ibu, dan sang Ibu tampak tersenyum, namun teman-teman partisipan menarik partisipan yang sudah dalam keadaan setengah sadar untuk kembali bersama mereka.

Sementara itu, dua orang wanita dan enam orang lelaki setengah baya yang datang bersama partisipan terlihat sudah setengah sadar, dan terus menerus berjoget, menari, mondar-mandir, dan melakukan aktivitas seksual, seperti


(6)

Seviria Marlina Panjaitan : Konflik Kehidupan Seorang Clubber (Sebuah Tinjauan Studi Kasus), 2009 USU Repository © 2009

kissing, necking, touching dengan para wanita itu. Mereka terus berjoget dan tertawa-tawa seakan tidak peduli lagi dengan keadaan sekitar.

Begitulah seterusnya partisipan dan teman-temannya yang asyik dengan kegiatan mereka masing-masing. Ketika jam sudah menunjukkan pukul 3 lewat 15 menit dini hari, teman-teman partisipan pun beranjak keluar. Partisipan yang dalam keadaan setengah sadar sangat susah untuk diajak keluar, sehingga membutuhkan bantuan petugas keamanan untuk membopong partisipan keluar. Partisipan pun akhirnya dinaikkan ke dalam sebuah mobil kijang krista, dan menyusul 8 (delapan) orang temannya yang lain. Peneliti dan teman peneliti akhirnya pamit pulang. Dari keterangan yang peneliti dapatkan sehari setelah hari itu, ternyata mereka tidak pulang, namun kembali melanjutkan malam ke klub lain, ke warung kopi, dan berakhir di sebuah hotel. Tapi partisipan mengakui bahwa partisipan sudah tidak mengetahui lagi aktivitas mereka, karena sesaat setelah partisipan dibopong ke dalam mobil, partisipan tertidur di mobil sampai keesokan harinya.