Gambaran Pengambilan Keputusan Menjadi Seorang Parmalim (Sebuah Tinjauan Studi Kasus)

(1)

LAMPIRAN A


(2)

Pedoman Wawancara

1. Tahap Pertama:

a. Bagaimana awalnya inang mengenal ugamo Malim?

b. Bagaimana Perasaan inang saat mendengar informasi mengenal ugamo Malim?

c. Kejadian/hal apa yang membuat inang meragukan agama Kristen? Kenapa kejadian tersebut membuat ibu ragu?

d. Bagaimana perasaan ibu saat beribadah setelah mengalami kejadian tersebut?

e. Bagaimana perasaan ibu mengenai orang Kristen setelah kejadian tersebut? f. Mengapa ibu kemudian tertarik dengan ugamo Malim?

g. Mengapa ibu merasa perlu untuk berpindah agama?

h. Apa konsekuensi yang ibu rasakan jika ibu tidak mengganti agama ibu? 2. Tahap Kedua:

a. Apa saja usaha yang ibu lakukan untuk lebih memahami ugamo Malim? Tolong ceritakan.

b. Bagaimana pendapat ibu mengenai informasi-informasi tersebut? 3. Tahap Ketiga:

a. Apa saja dampak positif jika ibu tetap menjadi Kristen? Tolong Jelaskan. b. Apa saja dampak negatif jika ibu tetap menjadi Kristen? Tolong Jelaskan. c. Apa saja dampak positif jika ibu menjadi parmalim? Tolong Jelaskan. d. Apa saja dampak negatif jika ibu tetap menjadi Kristen? Tolong Jelaskan.


(3)

e. Bagaimana ceritanya sampai ibu kemudian memilih untuk menjadi parmalim?

4. Tahap Keempat:

a. Setelah memutuskan menjadi parmalim, apa yang ibu lakukan? Tolong Jelaskan.

b. Bagaimana prosesi sehingga ibu dinyatakan sah menjadi seorang parmalim? c. Bagaimana ibu memberitahukan orang-orang dan keluarga ibu bahwa ibu

telah menjadi parmalim? 5. Tahap Kelima:

a. Bagaimana reaksi orang-orang setelah mengetahui bahwa ibu telah menjadi seorang parmalim?

b. Bagaimana reaksi kelurga ibu mengetahui bahwa ibu telah menjadi seorang parmalim?

c. Bagaimana perasaan ibu melihat reaksi-reaksi mereka? d. Bagaimana ibu menanggapi reaksi-reaksi mereka? e. Bagaimana perasaan ibu setelah menjadi parmalim?


(4)

LAMPIRAN B

LEMBAR PERSETUJUAN

WAWANCARA


(5)

INFORMED CONSENT

Pernyataan Pemberian Izin oleh Responden

Judul Penelitian : Proses Pengambilan Keputusan Menjadi Parmalim (Sebuah Tinjauan Studi Kasus)

Peneliti : Aurora Liginaria

NIM : 071301091

Saya yang bertandatangan di bawah ini, dengan secara sukarela dan tidak ada unsur paksaan dari siapapun, bersedia berperan serta dalam penelitian ini.

Saya telah diminta dan telah menyetujui untuk diwawancarai sebagai partisipan dalam penelitian mengenai proses pengambilan keputusan menjadi parmalim

Peneliti telah menjelaskan tentang penelitian ini beserta dengan tujuan dan manfaat penelitiannya. Dengan demikian saya menyatakan kesediaan saya dan tidak berkeberatan memberikan informasi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada saya.

Saya mengerti bahwa identitas diri dan juga informasi yang saya berikan akan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti dan hanya digunakan untuk tujuan penelitian saja.

Medan, Agustus 2012


(6)

(7)

DAFTAR PUSTAKA

Adi. (2012). Warga Indonesia Dipenjara Karena Kartun Nabi Muhammad. http://khabarsoutheastasia.com/id/articles/apwi/articles/newsbriefs/2012/0 6/16/newsbrief-08 (Tanggal akses 19 Maret 2013)

Baron & Bryne. (2005). Social Psychology 10th ed. Pearson Education, Inc. Burn, Shawn. 2004. Groups Theory and Practice. Canada: Vicki Knight Dister, Nico. (1988). Pengalaman dan Motivasi Beragama. Jakarta: Kanisius Gay, L.R. & Airisian, P. (2003). Educational Research: Competence for Analysis

& Aplication 7th ed. New Jersey: Merril Prentice Hall.

Gultom, Ibrahim. (2010). Agama Malim di Tanah Batak. Jakarta: Bumi Aksara Hafer, C.L. & Begue, L. (2005). Experimental Research on Just-World Theory:

Problems, Developments, and Future Challenge Haksoro, A. (2012) Akui Hak Penghayat Kepercayaan

http://www.vhrmedia.com/new/berita_detail.php?id=629 (Tanggal akses12 Februari 2013)

Hogg, Michael A, Graham M. Vaugham.2002.Social Psychology Third Edition. Pearson Education.

Janis, I.L., & Mann, L.,(1977). Decision Making: A Psychological Analysis of Conflict, Choice and Commitment. New York: The Free Press

Moleong, L. J. (2005). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Morgan, C. T. (1986). Introduction to Psychology 7th ed. Singapore: Mc. Graw Hill Inc.

Paloutzian, R.F. (1996). Invitation to The Psychology of Religion Second Edition. Boston: Allyn and Bacon

Poerwandari, K. (2007). Pendekatan Kualiatif dalam Penelitian Psikologi. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) UI.


(8)

Salusu, J. (2004). Pengambilan Keputusan Stratejik Untuk Organisasi Publik dan Organisasi Non Profit. Jakarta: PT. Grasindo

Sinulingga, Risnawaty. (2006). Pendidikan Agama Kristen Protestan. Medan: Pustaka Bangsa Press

Tiorry. (2010). Parmalim.

http://tiorry-psikologi.blogspot.com/2010_12_19_archive.html (Tanggal akses 17 November 2012)


(9)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Kualitatif

Metode penelitian kualitatif menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2000) merupakan prosedur penelitian yang akan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini juga digunakan untuk menggambarkan dan menjawab pertanyaan seputar partisipan penelitian beserta konteksnya.

Poerwandari (2007) menyatakan bahwa salah satu tujuan penting penelitian kualitatif adalah diperolehnya pemahaman yang menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti, sebagian besar aspek psikologis manusia juga sangat sulit direduksi dalam bentuk elemen dan angka sehingga akan lebih „etis‟ dan kontekstual bila diteliti dalam setting alamiah. Artinya tidak cukup mencari

what” dan “how much”, tetapi perlu juga memahaminya (“why” dan “how”) dalam konteksnya.

Proses pengambilan keputusan menjadi seorang parmalim merupakan tema yang baru dan informasi tentang tema ini masih sangat sedikit ditemui. Peneliti menganggap metode pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus sesuai untuk dapat mengetahui bagaimana proses kognisi sosial individu yang menjadi seorang parmalim. Melalui penelitian ini, diharapkan peneliti akan dapat melihat permasalahan ini dengan lebih mendalam karena turut


(10)

mempertimbangkan dinamika, perspektif, alasan, dan faktor-faktor eksternal yang turut mempengaruhi partisipan penelitian.

Punch (dalam Poerwandari, 2007) menyatakan bahwa kasus dapat berupa keputusan, kebijakan, proses, atau suatu peristiwa khusus tertentu. Beberapa tipe unit yang dapat diteliti dalam bentuk studi kasus : individu-individu, karakteristik atau atribut dari individu-individu, aksi dan interaksi, peninggalan atau artefak perilaku, setting, serta peristiwa atau insiden tertentu.

Pendekatan studi kasus membuat peneliti dapat memperoleh pemahaman utuh dan terintegrasi mengenai interrelasi berbagai fakta dan dimensi dari kasus khusus tersebut. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan studi kasus intrinsik Poerwandari (2007) menyatakan bahwa dalam tipe studi kasus intrinsik penelitian dilakukan karena ketertarikan atau kepedulian pada suatu kasus khusus, yaitu kasus seorang individu yang memutuskan untuk menjadi seorang parmalim. Penelitian dilakukan untuk memahami secara utuh kasus tersebut, tanpa harus dimaksudkan untuk menghasilkan konsep-konsep/teori ataupun tanpa ada upaya menggeneralisasi.

B. Subjek Penelitian

1. Karakteristik Subjek Penelitian

Karakteristik subjek secara spesifik dipaparkan di bawah ini: a. Parmalim yang awalnya beragama lain

b. Menjalankan ritual parmalim dalam kehidupan sehari-hari. c. Berdomisili di kota Medan


(11)

2. Jumlah Subjek Penelitian

Jumlah partisipan dalam penelitian ini adalah satu orang.

3. Prosedur Pengambilan Subjek

Prosedur pengambilan partisipan dalam penelitian ini adalah mengambilan sampel ekstrim atau menyimpang. Pendekatan ini berfokus pada kasus-kasus yang kaya dengan informasi, karakteristik khusus dalam aspek-aspek tertentu. Logia yang digunakan adalah: pelajaran dapat dipetik justru dengan meneliti kondisi-kondisi khusus dan tidak biasa, naik untuk memahami fenomena tertentu, maupun untuk meningkatkan unuk prestasi program tertentu.

4. Lokasi Penelitian

Peneliti akan melakukan penelitian di kota Medan karena berdasarkan kasus diketahui subjek merupakan orang Medan dan bertempat tinggal di Medan, oleh karena itu lokasi penelitian akan disesuaikan dengan kesepakatan subjek dan peneliti.

C. Metode Pengambilan Data

Sesuai dengan sifat penelitian kualitatif yang terbuka dan luas, metode pengambilan data kualitatif sangat beragam. Menurut Poerwandari (2001), metode pengambilan data dalam penelitian kualitatif sangat beragam, disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian serta sifat objek yang diteliti. Dalam penelitian ini, metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara.


(12)

1. Wawancara

Menurut Moleong (2005) wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu, berkenaan dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain. Selanjutnya wawancara juga diartikan sebagai interaksi bertujuan antara dua orang atau lebih yang berfokus pada individu yang satu mendapatkan informasi dari individu yang lain (Gay dan Airasin, 2003).

Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara semi-terstruktur yaitu wawancara yang pertanyaannya ditentukan terlebih dahulu dan berbentuk open-ended question (Gay dan Airasian, 2003). Dalam penelitian ini peneliti dilengkapi dengan pedoman wawancara yang berfungsi semata-mata untuk memuat pokok-pokok pertanyaan yang akan diajukan yaitu open-ended question (pertanyaan-pertanyaan terbuka) yang bertujuan menjaga agar arah wawancara tetap sesuai dengan tujuan penelitian (Poerwandari, 2001).

Wawancara dalam penelitian ini menggunakan observasi sebagai alat bantunya. Observasi bertujuan untuk mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang yan terlibat dalam aktivitas, dan makna kejadian dilihat dari perspektif mereka yang terlibat dalam kejadian yang


(13)

diamati tersebut. Deskripsi harus akurat, faktual sekaligus teliti tanpa harus dipenuhi berbagai hal yang tidak relevan (Poerwandari, 2001)

D. Alat Bantu Pengambilan Data

Alat bantu pengambilan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara dan alat perekam. Hal ini sejalan dengan pendapat Moleong (2002) yang menyatakan bahwa pencatatan daya slama penelitian penting sekali, karena data dasar yang akan dianalisis berdasarkan kutipan hasil wawancara. Oleh karena itu, pencatatan data harus dilakukan dengan cara yang sebaik dan setepat mungkin. Kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif cukup rumut. Oleh karena itu diperlukan instrumen atau alat penelitian agar dapat membantu peneliti dalam pengumpulan data (Moleong, 2002).

1. Pedoman Wawancara

Penelitian ini menggunakan pedoman wawancara sebagai salah satu alat pengambil data. Pedoman wawancara digunakan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dan dapat dijadikan pediman umum wawancara yang memuat isu-isu yang berkaitan dengan tema penelitian tanpa menentukan urutan pertanyaan, karena akan disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat wawancara berlangsung. Pedoman ini digunakan untuk mengingatkan, sekaligus sebagai daftar pengecek bahwa semua aspek yang relevan telah dibahas atau ditanyakan.

Poerwandari (2001) menyatakan bahwa pedoman wawancara ini juga sebagai alat bantu untuk mengkategorisasikan jawaban, sehingga memudahkan pada tahap analisis data. Pedoman ini disusun tidak hanya berdasarkan tujuan


(14)

penelitian, tetapi juga berdasarkanpada brbagai teori yang berkaitan dengan masalah yang ingin dijawab.

2. Alat Perekam (tape recorder)

Penelitian ini juga menggunakan alat perekam sebagai alat pengambil data agar memudahkan peneliti untuk mengingat kembali apa yang telah dikatakan oleh subjek. Peneliti menggunakan alat perekam dengan sizin subjek. Hal ini sejalan dengan pendapat Poerwandari (2001) yang menyatakan bagwa sedapat mungkin wawancara perlu direkam dan dibuat transkripnya secara verbatim (kata demi kata), sehingga tidak bijaksana jika peneliti hanya mengandalkan ingatan. Untuk tujuan tersebut, perlu digunakan alat perekam agar peneliti mudah mengulang kembali rekaman wawancara dan dapat menghubungi subjek kembali apabila ada hal yang belum lengkap atau belum jelas. Penggunaan alat perekam ini dilakukan dengan seizin subjek. Penggunaan tape recorder memungkinkan peneliti untuk lebih berkonsentrasi pada apa yang dikatakan oleh subjek, tape recorder dapat merekam nuansa suara dan bunyi, serta aspek-aspek wawancara seperti tertawa, desahan dan sarkasme secara tajam (Padgett, 1998).

E. Kredibilitas Penelitian

Kredibilitas adalah istilah yang digunakan dalam penelitian kualitatif untuk menggantikan konsep validitas (Poerwandari, 2001). Deskripsi mendalam yang menjelaskan kemajemukan (kompleksitas) aspek-aspek yang terkait (dalam bahasa kuantitatif variabel) dan interaksi dari berbagai aspek menjadi salah satu


(15)

ukuran kredibilitas penelitian kualitatif. Kredibilitas ini nantinya terletak pada keberhasilan penelitian dalam mengungkapkan bagaimana tahapan-tahapan proses pengambilan keputusan menjadi parmalim.

Menurut Poerwandari (2001), kredibilitas penelitian kualitatif terletak pada keberhasilan mencapai maksud mengekplorasi masalah dan mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks.

F. Prosedur Penelitian

1. Tahap Persiapan Penelitian

Pada tahap persiapan penelitian, peneliti melakukan sejumlah hal yang diperlukan untuk melakukan penelitian.

a. Mengumpulkan mengumpulkan berbagai informasi dan teori yang berhubungan dengan proses pengambilan keputusan dan ugamo Malim 1. Peneliti mengumpulkan berbagai informasi dan teori yang berhubungan

dengan ugamo Malim.

2. Peneliti mengumpulkan berbagai informasi dan teori yang berhubungan dengan proses pengambilan keputusan.

b. Menyusun pedoman wawancara

Peneliti menyusun pertanyaan berdasarkan kerangka teori untuk menjadi pedoman dalam proses wawancara.

c. Persiapan untuk mengumpulkan data

Peneliti mencari beberapa orang parmalim dan mengumpulkan informasi tentang calon partisipan penelitian. Orang-orang tersebut menyampaikan


(16)

kepada calon partisipan penelitian mengenai maksud dan tujuan peneliti terlebih dahulu.

d. Membangun rapport dan menentukan jadwal wawancara

Setelah memperoleh kesediaan dari partisipan penelitian, peneliti meminta kesediaan untuk bertemu dan mulai membangun rapport sekaligus melakukan informed consent, dimana peneliti menjelaskan penelitian secara umum, meliputi tujuan dan manfaat penelitian, serta peran partisipan dalam penelitian ini, apa yang diharapkan dari partisipan dan peneliti menyampaikan bahwa informasi yang diberikan oleh partisipan hanya akan digunakan untuk tujuan penelitian serta identitas partisipan terjamin kerahasiaannya. Setelah itu peneliti dan partisipan mengadakan kesepakatan tentang pelaksanaan penelitian yang meliputi waktu dan lokasi wawancara.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Setelah diadakan kesepakatan dengan partisipan, peneliti akan melaksanakan penelitian dengan melakukan wawancara dengan berpedoman pada pedoman wawancara. Wawancara akan dilakukan di lokasi yang telah disepakati dengan partisipan penelitian. Percakapan selama wawancara akan direkam dengan alat perekam mulai dari awal hingga akhir.


(17)

3. Tahap Pencatatan Data

Sebelum wawancara dimulai, peneliti meminta izin kepada partisipan untuk merekan wawancara yang akan dilakukan. Untuk memudahkan pencatatan data, peneliti menggunakan alat perekam sebagai alat bantu, agar data yang diperoleh dapat lebih akurat. Setelah wawancara dilakukan, peneliti membuat verbatim dari wawancara tersebut.

4. Analisis Data

Metode analisis data yang akan dilakukan oleh peneliti adalah sebagai berikut (Poerwandari, 2001):

a. Koding

Peneliti memberikan koding pada data-data yang telah terkumpul yang didapatkan dari hasil wawancara dengan memberikan kode-kode pada materi yang diperoleh. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar data-data tersebut lebih sistematis dan detail. Terdapat tiga tahap koding yang akan dilakukan, yaitu: pertama, peneliti menyusun transkrip verbatim (kata demi kata) sedemikian rupa sehingga ada kolom kosong yang cukup besar di sebelah kanan transkrip tersebut. Kedua, peneliti secara urut dan kontinyu melakukan penomoran pada baris-baris transkrip tersebut. Ketiga, peneliti memberikan nama untuk masing-masing berkas dengan kode tertentu. Kode yang dipilih adalah kode yang mudah diingat dan dianggap paling mewakili berkas tersebut dan selalu membubuhkan tanggal di setiap berkas.


(18)

b. Organisasi Data

Setelah melakukan koding, peneliti lalu mengorganisasikan data-data tersebut dengan rapi, sistematis dan selengkap mungkin. Hal-hal yang penting untuk disimpan dan diorganisasikan adalah data mentah (hasil rekaman), transkrip wawancara, data yang sudah ditandai/dibubuhi kode-kode khusus dan dokumentasi umum yang kronologis mengenai perkumpulan data dan langkah analisis (Highlen dan Finley dalam Poerwandari, 2001).

c. Analisa Tematik

Selanjutnya peneliti melakukan analisis tematik untuk menemukan pola yang terdapat dalam data-data yang sudah terkumpul. Analisis tematik ini dilakukan dengan mengkode informasi yang dapat menghasilkan model tema yang terkait dengan tujuan penelitian. Tema yang ditemukan adalah tema yang dapat mendeskripsikan fenomena dan memungkinkan melakukan interpretasi terhadap fenomena tersebut. Tema yang diambil dalam penelitian ini adalah tema yang diambil dari teori lalu dikembangkan lagi berdasarkan tema baru yang ditemukan dalam penelitian ini yang tetap mengarah pada tujuan penelitian.

d. Tahapan Interpretasi

Interpretasi dalam penelitian ini hanya mengacu pada pemahaman diri partisipan penelitian yang divalidasi dalam kerangka partisipan penelitian tersebut, setelah dilakukan koding dan interpretasi peneliti kembali menemui partisipan dan mengkonfirmasi ulang apa yang pernah partisipan sampaikan saat wawancara berlangsung.


(19)

BAB IV

ANALISA DATA DAN INTERPRETASI

Pada bagian ini akan diuraikan hasil analisa wawancara dalam bentuk narasi. Untuk mempermudah pembaca dalam memahami proses pengambilan keputusan menjadi parmalim, tahap-tahapnya akan dijabarkan, dianalisa, dan diinterpretasi. Interpretasi akan dijabarkan dengan menggunakan tahap-tahap yang terdapat dalam pedoman wawancara.

A.Deskripsi Data

1. Responden

a. Data Diri

Nama : Bu Ani (bukan nama sebenarnya)

Usia : 54 tahun

Suku : Batak Toba

Urutan kelahiran : Anak ke 5 dari 7 bersaudara Pendidikan : SD

Pekerjaan : Petani

b. Tanggal Wawancara

Proses wawancara dilakukan di rumah responden sebanyak enam kali dengan rincian sebagai berikut:


(20)

1) Hari Kamis, 23 Agustus 2012; Pukul 19.00-20.30 2) Hari Sabtu, 8 September 2012; Pukul 16.00-17.30 3) Hari Selasa, 18 September 2012; Pukul 19.00-20.00 4) Hari Senin, 08 Oktober 2012; Pukul 19.00-20.00 5) Hari Kamis, 07 Februari 2013; Pukul 18.00-19.00 6) Hari Rabu, 27 Maret 2013, Pukul 17.30-19.00

2. Data Observasi Selama Wawancara

Bu Ani memiliki tinggi badan sekitar 154 cm dan berat sekitar 56 kg. Ia memiliki kulit gelap dan memiliki rambut berwarna hitam yang panjang melewati pinggangnya. Wawancara pertama dengan bu Ani dilakukan pada hari Senin tanggal 23 Agustus 2012. Wawancara dilakukan di rumah bu Ani. Pada saat peneliti datang ke rumah bu Ani, bu Ani mengajak peneliti untuk melakukan wawancara di ruang keluarganya. Ruang keluarga bu Ani dicat dengan warna krem. Di ujung ruangan terdapat sebuah TV. Di ruangan tersebut terdapat sebuah meja, sebuah sofa panjang dan dua buah kursi di dekat pintu masuk. Terlihat beberapa foto keluarga digantung di ruangan tersebut. Awalnya peneliti duduk di kursi yang terletak di ruangan tersebut. Namun, bu Ani meminta peneliti untuk duduk di lantai saja. Bu Ani pun lalu mengambil tikar sebagai alas duduk.

Bu Ani mengenakan kaos berwarna putih dan celana pendek berwarna hitam yang sudah pudar. Bu Ani memakai sarung berwarna coklat. Pada saat wawancara, bu Ani mengikat rambutnya. Bu Ani kemudian menyuruh anaknya untuk membuat minuman untuknya dan peneliti. Situasi wawancara pun terasa


(21)

nyaman karena hanya bu Ani dan peneliti saja yang berada di dalam ruangan tersebut. Suasana di dalam ruangn tersebut pun cukup tenang.

Bu Ani terlihat cukup santai pada saat wawancara. Ia menjaga kontak mata dengan peneliti. Bu Ani un sesekali mencondongkan tubuhnya pada saat menjelaskan sesuatu dan pada saat ia kurang memahami pertanyaan yang diajukan. Wawancara pun berlangsung selama satu setengah jam. Peneliti mengakhiri wawancara karena pertanyaan untuk sesi tersebut telah habis dan bu Ani harus makan malam bersama dengan keluarganya.

Wawancara kedua berlangsung di depan pintu di dapur rumah bu Ani. Pintu tersebut merupakan pintu samping rumah bu Ani. Bu Ani telah duduk di tempat tersebut saat peneliti tiba di rumah bu Ani. Bu Ani mengatakan bahwa tempat tersebut terasa sejuk sehingga ia merasa lebih nyaman untuk melakukan wawancara di situ. Ruangan tersebut tidak terlalu luas dan berisi kulkas serta kompor saja serta dicat dengan warna krem. Di dapur tersebut terhubung langsung dengan halaman belakang responden.

Responden dan bu Ani pun duduk di lantai dengan beralaskan tikar. Suasana wawancara kurang terasa nyaman karena sesekali anggota keluarga responden atang ke dapur tersebut. Bu Ani mengenakan kaos berwarna putih dengan celana pendek berbahan jeans. Ia mengenakan sarung berwarna krem. Rambutnya pun digelung ke belakang.

Selama wawancara bu Ani menjawab pertanyaan peneliti dengan lancar. Ia menjaga kontak mata dengan peneliti. Sesekali nada suaranya meninggi saat menceritakan pangalamannya. Ia pun sering mencondongkan tubuhnya ke arah


(22)

responden saat meminta persetujuan dari beberapa pernyataan yang dilontarkannya.

Wawancara ketiga berlangsung di ruang keluarga bu Ani. Pada saat itu responden terlihat baru selesai mandi. Ia menggerai rambutnya yang saat itu masih basah sambil sesekali menyisirnya dengan jarinya. Awalnya ia menanyakan apakah peneliti telah lama menunggunya. Bu Ani mengenakan kaos coklat dengan celana pendek berwarna putih. Wawancara pun dilakukan di lantai ruangan tersebut dengan beralaskan sebuah tikar. Pada saat itu wawancara berlangsung dengan kurang nyaman karena sesekali anak bu Ani datang untuk menanyakan beberapa hal kepada bu Ani. Bu Ani menanyakan kembali maksud pertanyaan peneliti beberapa kali. Terkadang saat anaknya ada di ruangan tersebut, anaknya ikut menjelaskan maksud pertanyaan peneliti kepada ibunya.

Wawancara keempat berlangsung di ruang keluarga bu Ani. Pada saat peneliti tiba di ruma bu Ani, peneliti disambut oleh anak perempuan responden yang selama ini tinggal di Pekanbaru. Ia pun menanyakan maksud kedatangan responden dan mempersilahkan peneliti masuk. Ia menjelaskan bahwa bu Ani belum pulang dan menanyakan apakah peneliti ingin menunggu bu Ani. Peneliti pun memilih menunggu karena sebelumnya peneliti telah membuat janji dengan bu Ani.

Bu Ani tiba di rumahnya sekitar sepuluh menit kemudian bersama dengan pak Ucok, suaminya. Setelah melihat peneliti, bu Ani menyalami peneliti dan meminta waktu untuk membersihkan diri. Lima belas menit kemudian bu Ani selesai mandi dan menghampiri peneliti. Ia mengenakan celana pendek berwarna


(23)

putih dan kaos berwana coklat. Ia meminta anaknya untuk menyuguhkan kami minuman. Bu Ani pun bertanya apa yang ingin peneliti tanyakan.

Bu Ani menjaga kontak mata dengan peneliti selama wawancara. Sesekali ia meminta peneliti untuk mendukung pernyataannya. Suaranya pun terkadang meninggi saat menceritakan pengalamannya dahulu. Ia mencondongkan tubuhnya saat peneliti mengajukan pertanyaan dan sesekali bertanya kembali jika ada pertanyaan yang kurang dipahaminya.

Wawancara kelima berlangsung di ruang dapur bu Ani. Pada saat peneliti tiba di rumahnya, bu Ani berteriak menyuruh peneliti langsung masuk ke dapurnya. Pada saat itu bu Ani mengenakan sarung dan kaos berwarna putih. Pada saat itu suami dan seorang anak bu Ani berada di ruangan tersebut. Namun mereka tidak ikut menanggapi pertanyaan yang diajukan oleh peneliti.

Bu Ani tetap menjaga kontak mata dengan peneliti. Ia mencondongkan tubuhnya pada saat peneliti mengajukan pertanyaan dan saat ia tidak memahami maksud pertanyaan peneliti. Bu Ani beberapa kali meminta persetuuan peneliti atas pernyataannya dengan memandang mata peneliti dari bawah dan meninggikan nada suaranya.

Pada saat wawancara keenam, peneliti disambut oleh anak perempuan bu Ani yang selama ini tinggal di Pekanbaru saat datang ke rumah bu Ani. Ia menanyakan keperluan peneliti dan menjelaskan bahwa bu Ani dan suaminya saat itu sedang menghadiri pesta pernikahan yang diadakan di Balai Persantian. Ia menanyakan apakah peneliti ingin menunggu bu Ani. Peneliti pun menjawab bahwa peneliti telah membuat janji sebelumnya dan akan menunggu sampai bu


(24)

Ani tiba di rumah. Peneliti pun menunggu bu Ani di teras rumah. Lima belas menit kemudian, bu Ani pun tiba di rumah dengan dibonceng suaminya dengan menggunakan sepeda motor.

Saat melihat peneliti, bu Ani bertanya apakah peneliti telah lama menunggunya. Peneliti pun menjawab bahwa peneliti baru saja tiba di rumahnya tersebut. Bu Ani pun meminta waktu untuk mengganti pakaian dan beristirahat seenak. Lima belas menit kemudian, bu Ani pun memulai wawancara. Ia meminta wawancara dilakukan di ruang dapurnya, karena ia merasa ruangan tersebut sejuk. Bu Ani menjaga kontak mata dengan peneliti selama wawancara. Nada suaranya meninggi beberapa kali saat ia menceritakan pengalamannya dan saat ia meminta persetujuan dari peneliti. Pada saat itu suami, anak perempuan dan cucu bu Ani juga ada di dalam ruangan tersebut. Namun mereka tidak ikut menjawab pertanyaaan-pertanyaan yang diajukan oleh peneliti. Suami dan anak peneliti hanya bermain-main dengan cucunya di ruangan tersebut. Hal itu membuat wawancara berlangsung kurang nyaman, karena suara mereka membuat peneliti kurang jelas mendengar suara bu Ani, dan bu Ani pun terkadang kurang jelas mendengar suara peneliti.

B.Analisis Data

1. Latar Belakang Responden

Responden dalam penelitian ini bernama Bu Ani. Bu Ani menamatkan pendidikan sampai pada jenjang SD. Bu Ani memiliki lima orang anak dan di antaranya dua orang telah menikah. Bu Ani bersama dengan suami, 4 (empat) dari


(25)

5 (lima) anak serta menantunya tinggal di sebuah rumah di daerah kota Medan. Mereka telah tinggal di rumah tersebut kurang lebih selama dua puluh lima tahun. Sejak menikah, bu Ani tinggal di kota Medan dan berperan sebagai ibu rumah tangga. Tiga tahun yang lalu, saat suami responden berhenti bekerja, responden bertani bersama dengan suaminya. Setiap hari Senin sampai Jumat, responden dan suaminya pergi ke ladang pada pukul 07.00 pagi dengan mengendarai sepeda motor. Responden pulang ke rumah pada pukul 18.00 dengan sepeda motor atau sesekali berjalan kaki. Di ladang tersebut responden mencangkul dan menanam benih ubi maupun sayur-sayuran. Pada hari Sabtu responden tidak bekerja dan hanya pergi ke tempat ibadah pada pukul 10.30. dan pulang pada pukul 14.00, sedangkan pada hari Minggu dihabiskan responden di rumah bersama dengan keluarganya.

Sebelum menjadi Parmalim, bu Ani menganut agama Kristen Protestan. Selama menganut agama Kristen, ia rajin datang ke kegiatan ibadah, maupun kegiatan paduan suara (koor) di perkumpulan ibu-ibu (ina) di gereja. Hal itu dilakukan karena keyakinannya bahwa Tuhan itu memang ada. Sehingga agama maupun persekutuan sudah seharusnya ia lakukan sebagai sebagai manusia bergama.

“Ya saya rajin ibadah.”...Ya kegiatan saya ya saya rajin mar-Minggu (ibadah di Gereja), saya juga ikut koor sektor... Kalo soal rajin ya rajin. Tetap bergereja. Kar‟na saya tetap meyakini bahwa Tuhan memang ada. Jadi kita harus beragama lah.”


(26)

Orang-orang di sekitar bu Ani pun menilai positif perilakunya sebagai jemaat teladan saat masih beragama Kristen Protestan. Selain dirinya, anak-anak juga aktif dalam kegiatan di gereja. Menurutnya, pada saat itu tidak ada penilaian buruk apapun mengenai perilakunya dalam beragama.

“Ya positif.”....Positifnya ya rajin, trus... sebagai ruas (jemaat) yang teladan. Begiitu lah istilahnya.. Rajin beribadah, anak-anak pun ikut naposo (pemuda) koor, saya pun juga ikut koor ina (kaum ibu)... Haa... gitu. Ya enggak ada lah jelek pandangan orang soal beragama. Gitu istilahnya.”

(S. W6/b. 50/hal. 55; S. W6/b. 52-61/hal. 55)

2. Data Hasil Wawancara

a. Latar Belakang Mengenal Ugamo Malim

Awalnya bu Ani tidak begitu mengetahui bagaimana ugamo Malim. Bu Ani hanya mendengar cerita orang lain saja yang mengatakan bahwa ugamo Malim adalah agama sesat, yang menyembah roh-roh jahat dan pohon-pohon. Bu Ani tidak memikirkan kebenaran cerita tersebut.

“Cuman dengar-dengar aja orang cerita parmalim. ya orang kan bilang kalo parmalim animisme. Nyembah pohon, nyembah setan..”

(S. W4/b. 234-236/hal. 31)

Pada saat bu Ani berusia 14 tahun, abangnya yang paling tua yang bernama pak Sabar memutuskan untuk menjadi seorang parmalim. Pak Sabar memutuskan menjadi seorang parmalim karena pada saat itu ia akan menikahi seorang wanita parmalim. Setelah menikah dan menjadi seorang parmalim, pak Sabar pun tinggal di Porsea bersama dengan istrinya.


(27)

“Haa...abang kandungku. Dia menjadi Parmalim sejak dia menikah baru dia Parmalim.”

(S. W1. b 70-72/hal. 2)

Informasi yang dimiliki bu Ani tidak lantas langsung bertambah sejak pak Sabar menjadi seorang parmalim. Hal itu dikarenakan jarak tempat tinggal yang cukup jauh antara bu Ani dan pak Sabar; bu Ani telah tinggal di Medan sejak ia menamatkan pendidikan SD-nya, sedangkan Pak Sabar tinggal di Porsea. Mereka hanya sesekali berkomunikasi dan sama sekali tidak membahas tentang ugamo Malim. Pada saat itu bu Ani tidak merasa ingin tahu mengenai agama yang dipilih oleh Pak Sabar tersebut. Bu Ani mengatakan bahwa pada saat itu ia masih muda dan bahkan tidak mengeatahui isi ajaran Alkitab. Hal ini membuatnya masih enggan untuk mengetahui ajaran agama lain.

“Ya kita...kita jarang jumpa. Diceritakan enggak. Saya enggak pala ketemu-ketemu, enggak ... Berkomunikasi sih berkomunikasi. Cuma kalo soal agama enggak pernah kami berkomunikasi gitu, kalopun ketemu.” (S. W6/b. 97/hal. 56; S. W6/b. 84-87/hal 56; S. W6/b. 99-103/hal. 56)

“Dulunya saya masih kecil kan pengetahuan tentang Alkitab pun masih kurang. Ya semakin tua kan semakin mengerti kita. Jadi mulai ditanya lah.”

(S. W6/b. 155-160/hal. 57)

Seiring berjalannya waktu, bu Ani pun menikah dan memiliki anak. Pada saat itu, bu Ani merasa telah mengetahui isi ajaran Alkitab dan ia mulai merasakan dorongan untuk bertanya mengenai ugamo Malim kepada pak Sabar.

Bu Ani mengatakan bahwa pada awalnya ia merasa ada suatu “kekuatan”, yang disebutnya sebagai “Roh”, yang menggerakkan hatinya sehingga ia mau bertanya


(28)

berdiskusi mengenai ugamo Malim setiap kali Bu Ani berkunjung ke rumah Pak Sabar. Bahkan, bu Ani menjadi lebih sering berkunjung ke rumah pak Sabar untuk berdiskusi mengenai ugamo Malim.

“Diceritakan enggak. Saya enggak pala ketemu-ketemu, enggak. Pas udah berumah tangga lah kita, iya kan ... Pas udah berumah tangga pun, pas udah lama-lama udah punya anak baru kita sering berkomunikasi tentang parmalim.”

(S. W6/b. 84-87/hal. 56; S. W6/b. 89-93/hal.56)

“Kita enggak tahu lah kenapa bisa saya nanya waktu itu. Mungkin di situ lah ada roh yang bergerak di hatiku atau ntah apa.”

(S. W6/b. 151-155/hal. 57)

b. Tahapan Pengambilan Keputusan Menjadi Parmalim

Diskusi yang dilakukan ibu Ani dengan Pak Sabar telah menjadi awal Bu Ani mengenal ugamo Malim lebih dalam. Ia mendengar hal-hal yang berbeda dengan yang didengarnya selama ini bahwa parmalim adalah sebuah agama yang sesat. Bu Ani mengatakan bahwa hal yang paling diingatnya pada saat itu adalah pak Sabar mengatakan bahwa sebenarnya bu Ani dan keluarganyalah yang melenceng, bukan dia.

“Katanya, ” Sebenarnya klian yang larinya.” (S. W4/b. 8-9/hal. 26)

Bu Ani bingung kenapa pak Sabar mengatakan bahwa ia dan keluarganya yang melenceng dari yang seharusnya. Hal ini terlihat dengan perilakunya yang bertanya balik kenapa pak Sabar mengatakan bahwa ia dan keluarganya yang


(29)

melenceng. Pak Sabar menjawab bahwa ia mengatakan hal tersebut karena agama yang dianut oleh bu Ani dan keluarganya pada saat itu merupakan agama dari luar, bukan merupakan agama asli suku Batak.

“Katanya, “Sebenarnya agama klian itu agama luarnya. Bukan ugamo Batak.”

(S. W4/b. 8-12/hal. 26)

Pak Sabar kemudian bertanya kepada bu Ani siapa raja dalam suku Batak. Bu Ani pun menjawab kalau raja dalam Suku Batak adalah Raja Sisingamaraja. Pak Sabar pun membenarkan jawaban bu Ani tersebut. Ternyata dalam kepercayaan yang dianut pak Sabar, agama dibawa oleh para Nabi yang diutus kepada setiap bangsa. Pak Sabar menjelaskan bahwa Nabi yang diutus Tuhan untuk menyebarkan ajaran-Nya kepada bangsa Batak adalah Raja Sisingamaraja. Oleh karena itu, semua orang yang berasal dari suku Batak sudah seharusnya mengikuti ajaran Raja Sisingamaraja.

“Ya iyalah. Sebenarnya ugamo malim itu adalah ugamonya raja Batak. Siapanya raja klian? Raja Batak siapa?” katanya. Aku jawab, „Ya Sisingamaraja.‟ Saya jawab gitu, ya kan... Katanya, „Ya udah.‟”

(S. W4/b. 14-21/hal. 26)

“Pernah itu abang saya bertanya, „Kau sebenarnya orang apa?‟ Kujawab, „Orang Batak lah.‟ „Jadi kalo kau orang Batak, siapanya Rajamu?‟, katanya. Kujawab, „Ya Raja Batak. Raja Sisingamaraja.‟ “Jadi raja Sisingamaraja itu apa? Apa enggak tahu kau kalo itu anak Tuhan?‟ katanya. Dibilangnya lah kalo itu lah sebenarnya anak Tuhan bangsa Batak.”


(30)

Pak Sabar lalu bertanya kepada bu Ani siapa raja dalam agama Kristen dan

bertanya apa arti “INRI” yang ada dalam ajaran agama Kristen. Bu Ani pun menjawab bahwa “INRI” berarti “Ini adalah raja orang Nazareth atau Yahudi.”

“Ditanyanya, „Kalo raja Sisingamaraja raja klian... jadi kalo klian di Kristen itu... siapa, apa artinya “INRI” itu‟. Kujawab „Raja Nazareth. Ini adalah raja Nazareth... Ini raja orang Yahudi.‟”

(S. W4/b. 21-27/hal 26)

Mendengar jawaban bu Ani tersebut, Pak Sabar pun lalu kembali bertanya kepadanya bahwa kalau begitu kenapa bu Ani dan keluarganya tetap menganut agama Kristen, padahal Raja yang mereka sembah dalam agama tersebut bukanlah raja Batak. Bagi Pak Sabar, Yesus merupakan Nabi yang diutus Tuhan kepada bangsa Israel, sehingga hanya bangsa Israel saja yang bisa mengikuti ajaran Yesus. Pak Sabar mengatakan bahwa Bu Ani tidak sepatutnya menganut agama Kristen yang merupakan ajaran Yesus, karena bu Ani bukanlah berasal dari bangsa Israel.

“Dibilangnya, „Ya udah. Berarti raja Israel. Jadi kenapa be-raja ke situ klian? „”

(S. W4/b. 28-30/hal. 26)

“‟Ya udah itu raja orang Nazareth. Kau rupanya orang Nazareth, orang Israel?‟ katanya. Ku Bilang, „Enggak‟. „Ya udah. Ngapain raja orang kau rajai?‟”

(S. W6/b. 191-197/hal. 58)

Bu Ani pun terdiam. Ia merasa apa yang dikatakan oleh Pak Sabar ada benarnya juga. Melihat reaksi bu Ani tersebut, Pak Sabar mulai menjelaskan


(31)

mengenai sejarah ugamo Malim yang terpecah belah pada masa penjajahan Belanda. Pak Sabar menceritakan bahwa agama Kristen mulai masuk pada masa penjajahan Belanda. Orang-orang Batak pun dipaksa oleh bangsa Belanda untuk menganut agama Kristen. Hal itu membuat para parmalim menjadi terpecah belah, karena ada beberapa orang yang bersikeras untuk terus memeluk ugamo Malim dan ada beberapa orang yang menyerah dan berpindah menjadi seorang Kristen.

“Diamlah aku. Saya pikir benar juga yang dibilang ito ini.” (S. W4/b. 33-35/hal. 37)

“Ya diterangkanlah dulunya waktu dijajah Belanda dipaksalah mereka masuk Kristen makanya (parmalim) pecah belah. Banyak lah yang mengikut Kristen.”

(S. W4/b. 30-35/hal. 26)

Mendengar cerita pak Sabar, bu Ani pun berpikir bahwa apa yang dikatakan oleh Pak Sabar bahwa ugamo Malim adalah ugamo asli Batak ada benarnya. Ugamo Malim telah ada di tanah Batak, bahkan sebelum agama-agama lain ada di tanah Batak. Bu Ani pun mulai membanding-bandingkan informasi yang diberikan Pak Sabar dengan ajaran dalam Alkitab. Ia mulai merasakan kebenaran dari cerita-cerita pak Sabar selama ini. Ia melihat ada beberapa informasi yang sesuai dengan apa yang tertera di dalam Alkitab. Salah satunya adalah kisah penciptaan manusia yang diceritakan di dalam Alkitab. Dalam Alkitab dikatakan bahwa manusia pertama yang diciptakan Tuhan adalah Adam dan Hawa. Diceritakan bahwa mereka memiliki dua orang anak yang bernama Kain dan Habel. Dalam ajaran ugamo Malim dikatakan bahwa pada awalnya


(32)

Tuhan menempatkan sepasang Dewa untuk tinggal di bumi. Mereka pun memiliki sepasang anak yang diberi nama Raja Ihat Manisia dan Boru Ihat Manisia. Mereka berdualah manusia pertama yang tinggal di bumi. Mereka pun dinikahkan oleh Tuhan sehingga manusia bertambah banyak. Bu Ani melihat bahwa cerita di dalam Alkitab tidak masuk akal. Bu Ani berpikir bagaimana bisa manusia dapat bertambah banyak jika kedua anak Adam dan Hawa adalah laki-laki. Ia pun meragukan kisah yang tertulis di dalam Alkitab mengenai penciptaan manusia.

“Masih di dalam hati kita membanding-bandingkan. Teringat cerita ini, baru dibandingkan di Alkitab. Saya baca di Alkitab ternyata benar juga apa yang dibilang sama ito saya dulu. Ini Kain kok bisa beranak cucu. Berarti kawin sama siapa dia waktu itu?

(S. W6/b. 838-847/hal. 72)

Di dalam Alkitab bu Ani pun membaca kisah Yesus yang dilarang beribadah di Nazareth. Bu Ani berpikir bahwa kisah tersebut mirip dengan kisah yang diceritakan pak Sabar mengenai parmalim yang juga dilarang beribadah pada masa penjajahan Belanda. Hal yang membedakan kisah tersebut adalah tempat kejadian tersebut terjadi. Bu Ani pun berpikir bahwa jangan-jangan Alkitab ini sebenarnya menuliskan kisah mengenai parmalim, hanya tempatnya yang diganti. Bu Ani pun meragukan kebenaran kisah-kisah yang tertulis di dalam Alkitab.

“Seperti ada dibilang di Alkitab Yesus Raja dari Nazareth, dilarang beribadah. Ahh. Ternyata di ugamo Batak ini juga kok bisa dilarang? Kok bisa sama kurasa sama yang di Bibel (Alkitab). Ibadah pun dilarang. Tapi di Nazareth itu ... Ada juga dalam bangsa Batak. Saya pikir rekayasa


(33)

jadinya di Alkitab. Jangan-jangan yang ditulis di sini tentang parmalim sebenarnya. Cuma dibuat aja ceritanya di Nazareth.”

(S. W6/b. 848-857/hal. 72; S. W6/b. 859-865/hal. 73)

“Udah mulailah saya sangsi. Tapi masih tertutup.” (S. W6/b. 884-885/hal. 73)

Hal tersebut membuat bu Ani berpikir bahwa ternyata ajaran di dalam Alkitab tidak semuanya benar. Terdapat beberapa hal yang tidak masuk akal baginya. Bu Ani mempertanyakan kenapa orang Kristen lebih sering menjalankan ajaran yang tertulis pada bagian Perjanjian Baru di dalam Alkitab daripada Perjanjian Lama. Padahal Perjanjian Lama pun merupakan bagian dari Alkitab. Bu Ani mengatakan bahwa ajaran di dalam Alkitab tidak konsisten satu sama lain. Bu Ani bertanya-tanya kenapa pada Perjanjian Lama Tuhan melarang untuk manusia memakan daging babi dan anjing, namun dalam Perjanjian Baru tertulis bahwa manusia dapat memakan makanan apa saja.

“Soal makananlah dulu ya saya bilang... Memang itulah perintah Tuhan soal makanan. Di Bibel (Alkitab) pun begitu (nada suara meninggi). Kenapa tidak dilaksanakan Kristen? Padahal ada itu ditulis di Perjanjian Lama. Tapi di Perjanjian Baru dibilang enggak masalah orang Kristen makan apa aja. Kan aneh itu. Lain-lain jadinya ku lihat. Haa gitu.”

(S. W4/b. 335-342/hal. 33)

Kesangsian-kesangsian serta pertanyaan-pertanyaan yang ada di dalam benak bu Ani tidak serta merta disampaikannya kepada orang lain maupun pada pemimpin di gerejanya. Ia masih menyimpan pertanyaan-pertanyaan tersebut di dalam dirinya. Ia pun tetap menganut agama Kristen dan menjalankan perannya sebagai seorang Kristen seperti biasa. Ia merasa bahwa ia belum memiliki niat


(34)

untuk menjadi seorang parmalim karena pada saat itu ia tidak tahu bahwa ada komunitas parmalim di kota Medan. Baginya lebih baik ia tetap menganut agama Kristen daripada dinilai tidak memiliki agama oleh orang lain.

“Iya, seharusnya. Cuma saya melihat enggak ada parmalim di Medan saya jadi...istilahnya enggak pala open lah gitu. Kar‟na enggak ada parmalim yang saya tahu di Medan.”

(S. W6/b. 206-212/hal. 58)

“Sebenarnya belum ter...niat. sesudah tragedi pun belum ada niat kar‟na belum tahu. Belum tahu kita di sini udah ada parmalim.”

(S. W6/b. 216-220/hal. 59)

“Ya iyalah daripada enggak punya agama, tetap saya Kristen.” (S. W6/b. 903-905/hal. 73)

Bu Ani mengatakan bahwa ia mengakui ajaran Yesus di dalam agama Kristen merupakan ajaran yang benar, namun ajaran tersebut dikhususkan bagi orang Nazareth. Setiap bangsa memiliki Nabi masing-masing yang telah diutus Tuhan untuk menyebarkan ajaran-Nya. Jadi, bukan ajarannya yang salah, melainkan Nabi yang harus diikuti oleh sebuah bangsa haruslah Nabi yang diutus Tuhan kepada bangsa tersebut. Ada pepatah yang mengatakan bahwa banyak jalan menuju ke Roma. Menurut bu Ani, hal tersebut sejalan dengan agama. Semua agama baik dan pada dasarnya agama merupakan jalan untuk mencapai Surga. Jadi bagi ia tidak ada salahnya untuk tetap menganut agama Kristen, karena Kristen merupakan salah satu jalan mencapai Surga walaupun bangsa yang diajar Yesus bukanlah orang Batak.


(35)

“Sebenarnya Tuhan Yesus itu memang ada. Betul-betul memang ada. Itu Raja Nazareth itu. Raja yang diberkati Tuhan. Raja yang diutus Tuhan untuk menyebarkan kata-kata Tuhan di bumi, supaya jangan manusia itu tersesat ... Sebenarnya kar‟na Ia adalah Raja Nazareth. Ia mengajarkan ajaran Tuhan sama bangsa-Nya. Gitu. Makanya banyak agama di dunia ini, bukan hanya satu. Kan ada dibilang banyak jalan menuju ke Roma. Tujuannya kan sama. Tujuannya satu kan. Itulah Maha Pencipta.”

(S. W6/b. 311-319/hal. 61; S. W6/b. 321-331/hal. 61)

Walaupun bu Ani mengatakan bahwa semua ajaran agama Kristen merupakan ajaran yang benar, namun dari pernyataan-pernyataan bu Ani terlihat bahwa ia telah menilai ajaran dalam agama Kristen tidak konsisten dan dibuat-buat. Hal ini terlihat dari penilaiannya mengenai perbedaan ajaran yang terdapat dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian baru yang ada pada Alkitab. Ia juga merasa bahwa kisah yang diceritakan di dalam Alkitab dibuat-buat berdasarkan kisah hidup para parmalim.

“Soal makananlah dulu ya saya bilang... Memang itulah perintah Tuhan soal makanan. Di Bibel (Alkitab) pun begitu (nada suara meninggi). Kenapa tidak dilaksanakan Kristen? Padahal ada itu ditulis di Perjanjian Lama. Tapi di Perjanjian Baru dibilang enggak masalah orang Kristen makan apa aja. Kan aneh itu. Lain-lain jadinya ku lihat. Haa gitu.”

(S. W4/b. 335-342/hal. 33)

“Seperti ada dibilang di Alkitab Yesus Raja dari Nazareth, dilarang beribadah. Ahh. Ternyata di ugamo Batak ini juga kok bisa dilarang? Kok bisa sama kurasa sama yang di Bibel (Alkitab). Ibadah pun dilarang. Tapi di Nazareth itu ... Ada juga dalam bangsa Batak. Saya pikir rekayasa jadinya di Alkitab. Jangan-jangan yang ditulis di sini tentang parmalim sebenarnya. Cuma dibuat aja ceritanya di Nazareth.”

(S. W6/b. 848-857/hal. 72; S. W6/b. 859-865/hal. 73)

Pada tahun 1993 terjadi konflik HKBP di tanah Toba. Konflik ini terjadi karena adanya dua kubu yang saling berlawanan. Bu Ani bercerita bahwa pada saat itu orang-orang saling membunuh. Tidak hanya para anggota jemaat, bahkan


(36)

para petinggi gereja juga membunuh orang-orang yang berasal dari kubu yang berbeda. Bu Ani mengatakan bahwa dia masih beruntung karena gerejanya tidak ikut saling membantai. Keluarganya pun tidak ada yang menjadi korban dalam tragedi tersebut. Namun, bu Ani mengatakan dia pernah menyaksikan kejadian dimana orang-orang saling membunuh karena masalah tersebut. Kejadan tersebut terjadi di lingkungan tempat tinggalnya.

“Di keluarga kami memang enggak ada. Tapi ada yang kami lihat betul

-betul… Ada (meninggikan suara). Di Medan ini. Sampe takut bergereja. Saling membunuh, pendeta ke pendeta. Mau diambil dari rumah. Ditarik...ditoko‟ (dipukul). Banyak macamlah itu. Hadohh...ngeri lah dulu.”

(S. W4/b. 434-436/hal. 35; S. W4/b. 439-446/hal. 35)

Bu Ani melihat orang-orang Kristen melakukan hal-hal yang dilarang dalam ajaran agama mereka. Apa yang dilihatnya membuat keraguan-keraguan yang selama ini disimpannya semakin bertambah. Kejadian tersebut membuat bu Ani menjadi ragu apakah orang Kristen benar-benar hidup menurut ajaran Tuhan. Bu Ani berpikir bagaimana bisa orang-orang yang mengaku sebagai anak Tuhan bisa saling membunuh seperti itu. Seseorang yang memiliki iman pasti tidak akan berani untuk membunuh sesama manusia.

“Kenapa sih? Namanya menjalankan perintah Tuhan. Kenapa kok jadi begini? Jadi berantam, kok jadi tonjok-tonjokan, mulai saling bunuh-membunuh.”


(37)

“Coba kalo kuat imanmu...kalo kau selalu ingat Tuhan...berani enggak kau membunuh adekmu? Kalo Tuhan yang kau ingat. Enggak kan? Berani enggak kau? Takut kau akan Tuhan kan? Iya kan?”

(S. W4/b. 420-427/hal. 35)

Bu Ani melihat bahwa perbuatan tersebut tidak hanya dilakukan jemaat Kristen saja. Para pemimpin gereja pun melakukan hal yang sama. Para pendeta dan penatua gereja juga saling melukai orang-orang yang bertentangan dengan mereka. Bu Ani merasa sangat kecewa melihat hal ini. Orang-orang yang seharusnya menjadi teladan bagi jemaatnya, malah saling bertikai karena masalah uang dan jabatan saja. Bagi bu Ani hal ini tidak sesuai dengan tugas seorang Pendeta, yang seharusnya memimpin dan menjadi contoh bagi jemaatnya, sehingga para jemaat bisa menjadi pribadi yang lebih baik. Melihat hal ini, bu Ani menyimpulkan bahwa ternyata selama ini Roh Tuhan tidak ada di dalam hati para pemimpin Gereja tersebut. Menurut bu Ani, tidak mungkin mereka bisa melakukan hal tersebut jika Roh Tuhan ada di dalam hati mereka. Pada saat itu bu Ani merasakan bahwa orang-orang Kristen sudah hidup dengan tidak benar. Ajaran yang ada di dalam Alkitab tidak mereka jalankan lagi. Bahkan Pendeta saja sudah tidak bisa menjadi teladan bagi jemaatnya.

“Sesudah kejadian itulah udah bimbang saya semuanya. Udah enggak iya

lagi ini. Namanya Kristen. Udah enggak benar lagi ini dalam hatiku.” (S. W4/b. 454-458/hal. 36)

“Kar‟na ia hamba-hamba Tuhan untuk menyampaikan berita Injil, masa bisa berantam, bunuh-membunuh? Begitu kecewanya kita. Rasanya kayak enggak benar. Masa takut akan Tuhan tapi kerjanya seperti itu. Iya kan? ... Kan yang berantam-berantam itu pengikut iblis kan?”


(38)

“Kar‟na gini. Saya pikir kenapa tragedi ini bisa terjadi sama Pendeta. Berarti enggak betul-betul iman itu ada. Enggak betul-betul Roh itu masuk sama dia. Di situlah mulai kerenggangan hatiku.”

(S. W6/b. 264-271/hal/ 60)

“Tapi sesudah tragedi, barulah perasaan saya udah enggak benar ini. Berarti agama Kristen ini betul-betul orangnya udah enggak benar. Ajarannya udah enggak diikuti. Masa Pendeta kayak gitu, bunuh-membunuh. Aturan dia panutan kan. Ngerilah pada saat itu. Situ lah mulai pecah pikiran saya.”

(S. W6/b. 290-301/hal. 60)

Saat konflik HKBP terjadi, bu Ani menjadi teringat akan hal-hal yang pernah dikatakan oleh Pak Sabar. Pak sabar pernah mengatakan kepadanya bahwa selama ini pembunuhan terjadi karena orang Kristen merupakan keturunan Adam, sehingga bisa dikatakan bahwa orang Kristen adalah keturunan pembunuh.

Dibilang ito saya, “Makanya terjadi pembunuhan. Apa sebabnya?” Saya tanya balek, “Apa sebabnya?” Dijawabnya, ”Ya klian kan keturunan... keturunan si Adam klian kan?” “Iya”, saya bilang. Dibilangnya, “Ya udah. Kalo memang keturunan si Adam klian, klian kan keturunan pembunuh.”

(S. W4/b. 47-58/hal. 27)

Mendengar penjelasan pak Sabar, bu Ani pun menjadi bertambah bingung sehingga ia pun mengajukan pertanyaan lebih lanjut. Pak Sabar lalu mengatakan bahwa di dalam Alkitab tertulis bahwa Adam memiliki dua orang anak, yaitu Kain dan Habel. Kain dikisahkan membunuh Habel, adiknya sendiri karena ia merasa iri dengan adiknya. Jadi menurut pak Sabar, orang Kristen yang mengaku bahwa mereka keturunan Adam tidak lain merupakan keturunan pembunuh. Bu Ani


(39)

berpendapat bahwa apa yang dikatakan oleh pak Sabar pada saat itu ternyata benar dan buktinya telah disaksikannya sendiri.

“Kenapa ito bilang gitu?,” saya bilang. Dijawabnya, “Si Habel sama si Kain siapa yang tinggal? Si Kain pembunuh kan? Ya udah. Berarti kalo itu keyakinan klian, brarti klian banyak-banyak ...ya udah...keturunan pembunuhlah klian. Hanya masih itunya manusia di dunia ini menurut kepercayaan klian kan? Hanya itu kan?”

(S. W4/b. 58-69/hal. 27)

“Lama-lama ku ingat lah itu pas terjadi bunuh-membunuh Kristen. Ternyata ito saya benar. Udah memang enggak betul lah Kristen ini.” (S. W4/b. 69-73/hal. 27)

Keraguan-keraguan yang disimpan bu Ani di dalam benaknya selama ini semakin bertambah sejak konflik HKBP terjadi. Bu Ani perlahan-lahan merasa bahwa orang Kristen sudah tidak menjalankan apa yang diajarkan di dalam Alkitab. Misalnya saja dengan kebiasaan orang Kristen yang suka memakan daging babi. Malah, daging babi selalu disediakan pada pesta-pesta adat Batak. Menurut bu Ani babi merupakan hewan yang kotor. Di dalam Alkitab pun tertulis bahwa Tuhan memindahkan iblis dari tubuh manusia ke dalam beberapa ekor babi. Dari cerita tersebut bu Ani berpendapat bahwa terdapat roh-roh jahat di dalam tubuh seekor babi sehingga manusia seharusnya tidak bisa memakan daging tersebut.

“Perjanjian Lama gak lagi diikuti itu. Dilarangnya makan B2 itu, kenapa dimakan? Dilarang nya makan darah, kenapa dimakan?”


(40)

Selain dalam hal makanan, bu Ani juga merasa apa yang dilakukan oleh orang Kristen saat beribadah tidak sesuai dengan ajaran yang ada di dalam Alkitab. Menurutnya, di dalam Alkitab Tuhan tidak menyuruh manusia untuk memberikan persembahan dalam bentuk uang melainkan dalam bentuk kurban bakaran. Tapi kenyataannya para jemaat diminta untuk memberikan persembahan berupa uang di gereja mereka.

“Karena di Alkitab kayak yang kasih persembahan melalui kurban. Coba dulu baca Perjanjian Lama. Ada rupanya dibilang pelean itu duit? Kan enggak. Bukan duit persembahan kepada Yesus.”

(S. W1/b. 204-211/hal. 5)

Di mata bu Ani, para pengurus gereja tidak lebih dari sekumpulan orang

“mata duitan”. Penilaiannya tersebut tidak terlepas dari pengaruh tragedi HKBP

yang disaksikannya. Bu Ani menceritakan bahwa tragedi HKBP awalnya terjadi karena pemimpin gereja HKBP, yaitu Pak Simanjuntak ingin mengambil uang yang diterima oleh Pak Nababan dari Amerika, sehingga masalah tersebut meluas menjadi pertikaian antar jemaat HKBP. Di mata bu Ani iblislah yang ada di dalam hati pada pendeta. Ia melihat bahwa para pendeta selalu ingin ditempatkan di daerah-daerah yang memiliki banyak uang.

“Mata duitnya ini semua pikirku. Pendeta, parhangir, mata duitnya semua ... Kan gara-gara si SAE Nababan sama Simanjuntak. Karena banyak SAE Nababan duit dikasih Simanjuntak. Itunya dulu itu. Karena SAE Nababan kan berkomunikasi ke Amerika. Jadi sama dialah duit untuk entah apa-apa lah itu. Datang si Simanjuntak mau di serobos (diambil). Jadi terjadilah seperti itu.”


(41)

“Iya kayak iblis semua di dalamnya. Buktinya kalo enggak banyak duit di suatu daerah enggak akan mau jadi Pendeta di sana. Duit nya yang dikejar.”

(S. W6/b. 916-920/hal. 74)

Bu Ani mengaku bahwa ia sudah tertarik untuk menjadi seorang parmalim setelah konflik HKBP terjadi. Selama ini ia melihat perilaku pak Sabar sangat baik; berbeda dengan perilaku orang Kristen yang dilihatnya. Namun pada saat itu bu Ani tetap menganut agama Kristen dan menjalankan ritual keagamaan Kristen. Bu Ani mengatakan bahwa pada saat itu semakin meyakini bahwa ugamo Malim merupakan agama yang benar. Hanya saja pada saat itu ia mengaku belum berpikir untuk menjadi seorang parmalim karena sepengetahuannya tidak ada komunitas parmalim di kota Medan.

“Pertama saya lihat ito ini. Saya melihat sifat ito ini, bagaimanapun marahnya abang adeknya sama dia tetap dia sabar ... Dan kelakuan dia pun enggak pernah mencela.”

(S. W4/b. 352-356/hal. 33; S. W4/b. 359-350/hal. 33)

“Sebelumnya enggak tahu kita ada ugamo Malim di Medan ini.” (S. W4/b. 363-365/hal. 34)

Bu Ani tetap pergi beribadah setiap hari Minggu seperti yang biasa dilakukannya setelah tragedi HKBP terjadi. Namun diakuinya bahwa semua itu dilakukannya dengan alasan yang berbeda, yaitu untuk memenuhi kebutuhan organisasinya saja. Bu Ani tidak ingin dinilai negatif oleh orang-orang karena ia tidak menjalankan ritual ibadah agama Kristen. Bu Ani mengatakan bahwa perasaannya sudah tidak tenang saat menjalani ritual ibadah Kristen Protestan. Itu


(42)

semua karena ia telah mengetahui bahwa Raja yang seharusnya diikuti olehnya adalah Raja Sisingamaraja, bukan Yesus. Namun bu Ani yakin bahwa Raja Sisingamaraja dapat memaklumi tindakannya tersebut, karena pada saat itu bu Ani tidak mengetahui adanya komunitas parmalim di kota Medan dan belum memahami benar ajaran ugamo Malim.

“Ha! Pigi...pigi! (Tetap pergi ke gereja)... Enggak, saya tetap gereja. Paling rajin saya ke gereja dulu.”

(S. W1/b. 89-90/hal. 3; S. W2/b. 7-9/hal. 13)

“Ya kita kan masyarakat. Kita perlu...apa namanya...organisasi. Kan termasuk organisasinya agama ini. Perkumpulan. Begitu ceritanya ... Kalo pada saat itu ya yang penting kita beribadah. Jangan ditengok orang kita enggak beribadah. Ya kita pribadi kita lah yang kurang yakin itu.”

(S. W4/b. 471-476/hal. 36; . W6/b. 408-413/hal. 63)

“Ya walaupun saya Kristen, saya tetap merasa bersalah. Kar‟na sudah saya tahu itu Raja itu adalah memang Raja Batak. Tapi saya tetap mengikuti ajaran orang sana. Saya memang merasa tetap enggak enak atau salah. Tetapi Mereka maklum saya rasa. Perasaan saya ya. Maklum karena tidak ada yang saya ketahui ada di kota Medan ini.”

(S. W6/b. 668-680/hal. 68-69)

“Sebelum kenal ya saya tidak apa-apa. Ya saya tidak kena hukum. Arti kata, ada sesuatu, saya nggak tau. Ya saya gak kena hukum. Yang tau itunya kena hukum tapi pura-pura gak tau. Haa, itu yang kena hukum. Haa, begitula perasaan saya.”

(S. W5/b. 153-160/hal. 42)

Bu Ani mengatakan bahwa walaupun keyakinan di dalam hatinya telah berubah, ia masih dinilai sebagai salah satu jemaat yang aktif di Gerejanya. Ia bahkan sempat ditawari menjadi salah satu pengurus gerejanya (sintua) oleh pengurus gereja yang lainnya karena keaktifannya tersebut. Namun ia menolak


(43)

tawaran tersebut dan mengatakan bahwa ia selama ini hanya menganut agamanya hanya karena ia dari awal lahir di dalam keluarga Kristen. Ia menggunakan istilah

bahwa ia hanyalah “Kristen KTP” saja.

“Enggak, saya tetap gereja. Paling rajin saya ke gereja dulu. Malah saya dulu sampe ditawarin jadi sintua (pelayan di gereja HKBP), Cuma saya tolak. Orang itu sampe datang ke rumah. Cuma saya bilang jangan. Saya ini Kristen KTP. Karna saya mulai dari lahir sudah Kristen.”

(S. W2/b. 7-16/hal. 13)

“Ya bagaimanalah kita bilang dek. Kita tetap menjalani. Tapi ya...gimanalah saya bilang ya... kayak yang saya bilang tadi. Saya tetap mengikuti itu, ibadah Kristen itu. Karna‟na saya belum ada betul-betul mengenal parmalim.”

(S. W6/b. 379-387/hal. 62)

Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2004, seorang wanita bernama bu Wati pindah di lingkungan tempat tinggal bu Ani. Bu Ani mendengar bahwa bu Wati adalah seorang parmalim. Mendengar kabar tersebut, bu Ani pun tertarik untuk menemui bu Wati. Bu Ani pun datang ke rumah bu Wati untuk berbincang-bincang dengannya. Awalnya bu Ani memastikan apakah benar bahwa bu Wati adalah seorang parmalim. Bu Wati pun membenarkan kabar tersebut. Bu Ani pun akhirnya mengetahui bahwa ternyata ada komunitas parmalim dan tempat ibadah mereka di kota Medan dari bu Wati. Setelah mengetahui bahwa ternyata ada parmalim yang tinggal di kota Medan, bu Ani pun mencari kebenaran informasi-informasi yang selama ini didapatkannya dari Pak Sabar.


(44)

“Awalnya ku tanya, “Apa agamamu?” Dijawabnya, “Parmalim... Cuman pada saat itu karna saya ingin mengetahui, saya bertanya. Saya panggil ke rumah. Saya tanya, tanya, tanya.”

(S. W1/b. 108-110/hal. 3; S. W2/b. 31-35/hal 13)

“Jadi crita...crita...crita lah kami iya kan... Setelah cerita-cerita...eh ada rupanya. Rupanya Ugamo Malim ini dari dulu-dulunya rupanya.”

(S. W1/ b. 33-35/hal. 1)

Pada saat itu bu Ani merasa bahwa kedatangan bu Wati merupakan rencana Tuhan bagi-Nya sehingga ia bisa lebih mendalami ajaran ugamo Malim. Seandanya saja bu Ani tidak pernah bu Wati, kemungkinan besar sampai sat ini bu Ani masih tetap menganut agama Kristen. Karena itulah bu Ani juga merasa bahwa Tuhan telah menunjukkan jalan-Nya kepada bu Ani melalui bu Wati.

“Iya. Itu kemungkinan saya masih Kristen sekarang.. Tapi kami tetap percaya nenek moyang saya atau Raja saya, saya ingat. Gitu lah. Biarlah saya tetap berpedoman di Kristen. Kristen KTP lah gitu. Tapi itulah Tuhan ini ya dek. Dipertemukanlah saya sama bu Wati supaya enggak salah saya berjalan.”

(S. W6/b. 238-251/hal. 59)

Bu Ani pun bertanya kepada bu Wati apa sebenarnya parmalim itu. Bu Wati pun menjelaskan bahwa parmalim adalah ugamo Batak sejak dulu, bahkan sebelum agama Kristen Protestan masuk ke tanah Batak.

“Terus ku tanya, agama Parmalim sebenarnya apa?‟ Terus dijelaskannya kalo ininya dulu sebenarnya ugamo Batak. Ininya ugamo dari dulu-dulunya sebelum datang agama. Terus datanglah si Nommensen, terus muncullah Protestan.”


(45)

Bu Wati menjelaskan bahwa Yesus tinggal dan memberikan ajaranNya di Yahudi, bukan di tanah Batak. Sedangkan Sisingamaraja adalah Raja bagi orang Batak. Jadi, sebagai orang Batak, sudah seharusnya bu Ani mengikuti ajaran Sisingamaraja, yaitu dengan menganut ugamo Malim.

“Waktu itu dia bilang sama saya, “Kau kan Batak.” (kujawab) “Iya.” Trus dia bilang, “Jadi kalo kau Batak, Raja kau Raja apanya? Itu Jesus itu apa itu? INRI itu apa itu sebetulnya?” Saya jawab, “INRI artinya ini adalah raja orang Yahudi. Itu artinya” Dia bilang, “Nah itulah. Itu kan raja Nazareth. Raja Nazareth sakti nya. Tapi di mana dia tinggal? Di mana dia mengajarkan itu? Di bangsanya. Raja kita ada nya. Raja Sisingamaraja, raja Batak. Itulah yang kita ikuti. Itulah melaksanakan Ugamo Malim di bumi ini ... Pokoknya begitulah. Saya itu Batak. Raja saya harus raja Batak. Sementara raja kita ini mampu dan Dia adalah anak Yang Maha Kuasa. Anak ni Debata, Anak ni Mulajadi Nabolon. Jadi inilah jalan Batak kepada Yang Maha Kuasa.”

(S. W2/b. 48-66/hal. 14; S. W1/b. 153-157/hal. 4)

“Makanya ada agama ini, agama itu, agama itu. Raja-raja lah itu. Raja ni Jahudi (raja orang Yahudi (Yesus)). Raja orang Batak adalah raja Sisingamaraja. Itulah ugamonya Batak (Ugamo Malim). Ya kenapa kita harus be-rajakan raja orang, trus raja kita enggak? Istilahnya nenek moyang kita, kita jauhkan, nenek moyang orang kita sembah. Sementara nenek moyang kita ini bisa nya segala-galanya. Memohon kepada Bapaknya: Allah Yang Maha Kuasa. Dialah (Sisingamaraja) jalan kita.” (S. W1/b. 163-180/hal. 4-5)

Bu Wati lalu menceritakan kisah bagaimana sulitnya nenek moyang suku Batak mempertahankan ugamo Malim.

“Dan tentang sedihnya nenek moyang kita mempertahankan ugamo malim

ini dia juga tahu. Dia cerita semua itu.” (S. W2/b. 90-94/hal. 15)


(46)

Bu Ani merasa bahwa penjelasan bu Wati tersebut benar dan masuk akal. Bu Ani seperti tersadar bahwa jika dia orang Batak, kenapa ia sampai menganut agama Kristen.

“Saya berpikir oh iya saya Batak. Kenapa saya Batak ini kok jadi... maap ya. Kenapa kok jadi Kristen.. Batak itu ugamonya Ugamo Malim. Rajanya adalah Raja Sisingamaraja. Nah begitu aja tertarik sama saya ... Banyaklah yang dia cerita waktu itu. Dan betul-betul masuk akal semua. Memang betuk masuk akal sama saya.”

(S. W1/b. 130-137/hal. 4; S. W2/b. 66-70/hal. 14)

Sejak saat itu menjadi sering mendatangi rumah bu Wati atau meminta bu Wati datang ke rumahnya untuk mendapatkan informasi yang lebih dalam mengenai ugamo Malim. Hal ini berlangsung selama kurang-lebih 2 tahun.

“Agak lama juga, udah bertahun. Ada udah sampe sekitar satu-dua tahun. Udah agak lama lah. Jadi lama kami crita-crita, dalam lah pengetahuan jadinya.”

(S. W1/b. 360-365/hal. 8-9)

“Ada 2 tahun, 3 tahun gitu lah ya. Sesudah kenal. Kurang lebih lah 2 tahun.”

(S. W2/b. 76-78/hal. 14)

Bu Ani mendapatkan informasi mengenai ugamo Malim tidak hanya dari penjelasan bu Wati saja. Bu Ani juga memfotokopi buku yang berisi hukum-hukum ugamo Malim, yang disebut dengan buku Patik. Bu Ani menekankan bahwa semua itu dilakukan berdasarkan keinginannya sendiri, bukan karena diarahkan oleh bu Wati.


(47)

“Saya ada minta fotokopi buku patik mereka (Parmalim) buat saya baca-baca. Tapi dia itu bukan mengarahkan. Ndak pernah dia mengarahkan. Dia cuma menerangkan. Karna dia dari kecil, dari neneknya udah Parmalim.”

(S. W2/b. 82-89/hal. 15)

Setelah mendapatkan informasi dari bu Wati dan membaca buku Patik, bu Ani pun menjadi tertarik untuk datang ke tempat ibadah parmalim yang ada di kota Medan. Bu Ani ingin melihat sendiri bagaimana sebenarnya cara parmalim beribadah. Ia penasaran kenapa orang-orang mengatakan bahwa parmalim menyembah roh jahat, sedangkan berdasarkan informasi yang didapatnya selama ini, hal tersebut tidak benar.

“Ya saya pigi ke tempat ibadahnya. Mulai saya tertarik kan. Kenapa orang Parmalim ini selalu dibilang orang bahasa Bataknya sipele begu (pemuja setan). Kalo dari ceritanya ini bukan. Tapi tunggu, pigilah aku. Beribadahlah aku.”

(S. W1/b. 188-196/hal. 5)

Bu Ani pergi ke tempat ibadah parmalim dengan ditemani oleh bu Wati. Pada saat itu bu Wati menyarankan bu Ani agar berpakaian sebagaimana yang dikenakan oleh parmalim saat beribadah, yaitu dengan mengenakan kebaya dan kain sarung.

“Sama kawanku yang menceritakan tentang Parmalim itu. Saya cuma disuruh berpakaian seperti mereka, udah.”

(S. W1/b. 222-226/hal. 5-6)

Pada saat datang ke Rumah Persantian, bu Ani kagum melihat betapa sopannya para parmalim dalam beribadah. Ia melihat sendiri bahwa ternyata


(48)

perkataan orang-orang bahwa parmalim adalah penyembah roh-roh jahat salah total. Tidak ada yang terlihat aneh dari apa yang dilihatnya saat itu.

“Beribadahlah aku. Saya lihat begitu bagusnya, begitu sopannya. Dan yang mereka katakan, yang menyembah setan salah total. Bukan.”

(S. W1/b. 196-200/hal. 5)

Bu Ani memuji cara berpakaian para parmalim saat beribadah. Ia menilai bahwa pakaian yang mereka kenakan sangat sopan. Sarung yang dikenakan oleh parmalim membuat bentuk badan mereka, terutama perempuan, tidak terlihat.

“Pakaian orang itu pun sopan. Pake sarung lagi kan. Jadi enggak kayak yang dipake anak gadis skarang waktu Greja. Kadang yang pendek lah roknya. Kadang yang ketat lah...”

(S. W1/b. 297-303/hal. 7)

Bu Ani melihat bahwa para parmalim tidak menggunakan alas kaki saat masuk ke dalam tempat ibadah mereka. Mereka selalu melepas alas kaki mereka di dekat gerbang tempat ibadah tersebut sebelum memasuki area tempat ibadah. Melihat itu bu Ani berpikir bahwa parmalim sangat bersih. Bu Ani merasa bahwa memang tidak seharusnya orang-orang mengenakan alas kaki saat masuk ke dalam tempat ibadah. Karena apa yang diinjak oleh orang-orang membuat alas kaki mereka kotor, dan akan mengotori tempat ibadah.

“Masa rumah Tuhan tapi dibawa yang kotor kita bawa, sepatu. Masuk ke

dalam pake sepatu. Sedangkan yang dipijak, maaf cakap, kotoran. Padahal itu rumah Tuhan. Jadi kalo Parmalim gak seperti itu. Benar-benar bersih.”


(49)

Bu Ani merasa bahwa parmalim smemuji Tuhan dengan sepenuh hati. Ia mengaku bahwa ia merinding saat pertama kali berdoa di tempat tersebut dengan cara parmalim. Ia merasa bahwa doa ugamo Malim tersebut adalah doa yang benar.

“Cara mereka memuji Yang Kuasa itu. Enggak sembrono, memang betul-betul lah itu. Itu lah yang paling masuk ke hatiku. Dan pertama saya ikut berdoa dalam itu, rasanya badan saya merinding. Dan ku resapi doa itu, betul-betul semua.”

(S. W2/b. 102-110/hal. 15)

Setelah mengikuti ibadah di Rumah Persantian, bu Ani merasa bahwa ternyata selama ini ia salah. Ia merasa sebagai orang Batak tidak seharusnya ia me-rajakan Raja lain selain Sisingamaraja, karena Sisingamaraja pun adalah anak Allah. Mennurutnya, tidak ada jalan lain kepada Allah bagi orang Batak selain melalui Raja Sisingamaraja.

“Karena merasa aku...merasa aku salah. Karena raja kita ini adalah anak Allah. Karena ini (Sisisngamaraja) mampu nya dia memohon kepada Tuhan, kepada Maha Pencipta. Dan kenapa kita, saya Batak, kok jadi raja orang yang saya rajakan. Kenapa gak rajaku? (yang dirajakan). ... Raja kita juga anak Allah kok. Dia panggil Sang Pencipta itu Bapa. Dia juga bilang gak ada jalan selain melalui aku. Sama siapa dibilangnya itu semua? Ya sama bangsanya, bangsa Batak kita.”

(S. W1/b. 238-258/hal. 6)

Bu Ani pergi ke Rumah Persantian sebanyak dua kali bersama dengan bu Wati dan ia merasa tertarik untuk menjadi seorang parmalim. Setelah melihat sendiri bagaimana parmalim beribadah, bu Ani ingin menganut ugamo Malim.


(50)

“ Dua kali saya datang dan saya tertarik. (menjadi parmalim)” (S. W1/b. 217-219/hal. 5)

Walaupun pada saati itu bu Ani sudah merasa tertarik untuk menjadi seorang parmalim, masih ada beberapa hal yang mengganjal dalam benak bu Ani. Pertama, status ugamo Malim yang pada saat itu masih belum diakui oleh pemerintah merupakan salah satu ganjalan tersebut. Bu Ani mengkhawatirkan bagaimana nanti anak-anaknya akan sekolah, jika agama yang dianut mereka tidak diakui oleh pemerintah.

“Aku agak susah (menjadi Parmalim), ceritanya karna gak terdaftar di pemerintah. Aku pikir kek mana anakku nanti sekolah. Kek mana aku gini. Haa...”

(S. W1/b. 369-374/hal. 9)

“Terutama yang saya tahu memang Ugamo Malim ini... Parmalim ini tidak terdaftar di negara. Belum disahkan. Gak semua manusia yang tau. Arti kata gak sah itu di pemerintahan. Gimana nanti anak saya nanti sekolah masih begini (belum sah). Gitu lah. Memang ada pikiran.”

(S. W2/b. 156-165/hal. 16)

“Trus kedua, gimana sih nanti anak-anak masih sekolah.” (S. W3/b. 96-97/hal. 23)

Bu Ani memikirkan pendapat orang-orang jika mereka mengetahui bahwa bu Ani telah menjadi seorang parmalim. Bu Ani takut orang-orang di sekitarnya, termasuk keluarganya, akan mencela tindakannya tersebut. Itu semua karena parmalim masih dianggap sebagai sebuah aliran animisme.


(51)

“Satu, keluarga. Apa sih nanti kata keluarga sama kami, iya kan ... Mungkin ada nanti ejek-ejekan orang sama saya nanya, „Kenapa kamu masuk ugamo gini?”

(S. W3/b. 93-95/hal. 23; S. W2/b. 171-174/hal. 16-17)

“Tiga, karna dibilang Parmalim ini diejek-ejek, iya kan.” (S. W3/b. 98-99/hal. 23)

Masalah-masalah yang mungkin akan muncul jika bu Ani menjadi seorang parmalim membuatnya bimbang dalam mengambil keputusan. Namun, dalam hatinya ia tidak ingin terus menganut agama Kristen. Baginya, semua aliran Kristen (misalnya HKI, KKBP dan GKPS) sama saja. Mereka tetap me-rajakan Tuhan Yesus. Bu Ani ingin be-rajan Raja Batak, yaitu Sisingamaraja. Baginya, kalo rajanya bisa memberi segala-galanya, ia tidak perlu menyembah raja orang lain.

“Dulu kan aku pikir udah enggak benar lagi Kristen ini. Ke sana pun Kristen juga, ke sini pun Kristen juga. Istilahnya GKI pun Kristen. Ini pun Kristen. Sama-sama Kristen itu kan?”

(S. W4/b. 543-550/hal. 38)

“Samanya Kristen. Sama aja Kristen dia. Sama aja Jesus raja dia. Ahh begitu ... Sama Kristen itu juga. Sama percaya sama Yesus. Ajaran Yesus yang diikutinya. Jadi kalo saya kan bukan ajaran Yesus lagi yang saya ikuti. Ajaran Raja Saya, Raja Batak. Sisingamaraja. Ajaran dia lah yang saya ikuti. Bukan ajaran raja Nazareth. Nahh... Cuman saya berpedoman kalo saya Batak. Harus be-Raja sama Raja saya. Titik. Kar‟na Raja saya itu bukan salah, malah benar. Kenapa malah Raja kita kita tinggalkan? Kenapa Raja orang jadi kita sanjung-sanjung? Sementara Raja kita ini bisa memberi segala-galanya kalo memang kita percaya. Kar‟na dia adalah suruhan Tuhan. Apapun yang dia minta pada Tuhan, kalo memang aku benar, pasti Dia berikan. Ya kenapa sama Raja orang saya? Itulah keyakinan saya.”


(52)

Bu Ani merasa ia akan mengalami dampak negatif jika ia tidak menjadi parmalim. Bu Ani merasa bahwa dirinya salah jika ia telah mengetahui ajaran Sisingamaraja, namun ia tetap tidak me-rajakan Sisingamaraja. Ia merasa bahwa hal itu benar-benar keliru.

“Ohh. Kar‟na saya sudah mengetahui. Saya sudah mengetahui ajaran itu, atau Rajaku itu. Masa saya udah mengetahui, saya tetap enggak mempercayai Dia? Salah saya. Betul-batul saya salah. Kecuali saya tidak mengetahui Dia. Kita Rajai Raja yang lain sebagai Raja kita. Enggak salah kita.”

(S. W6/b. 633-643/hal. 68)

“Salah saya, saya sudah mengenal benar-benar, saya salah gak balek saya ke kampung saya. Arti kata gak balek saya tu bona ni pasogit, bona ni pinasa. Arti kata bona pinasa, inilah asal kita. Bataklah memang Batak kita, harus kita mengikuti raja kita.”

(S. W5/b. 69-77/hal. 40)

Pada saat bu Ani sedang mempertimbangkan keputusan terbaik yang akan diambilnya, suami bu Ani menceritakan bahwa ia mengalami mimpi yang aneh. Dalam mimpi tersebut bu Ani dan suaminya bersusah payah mendaki sebuah bukit yang sangat terjal. Pada puncak bukit tersebut terdapat tempat yang sangat indah, di mana semua orang yang dapat mencapai tempat tersebut akan sangat bahagia. Suami bu Ani mengatakan bahwa pada saat itu ia dan bu Ani sudah hampir menyerah mendaki bukit tersebut karena terjalnya jalan yang mereka lalalui. Pada saat mereka akan menyerah, datanglah seorang kakek yang mengatakan supaya mereka tidak menyerah. Kakek tersebut mengatakan bahwa inilah jalan parmalim. Jalan parmalim memang merupakan jalan yang sulit. Namun, jika mereka sanggup menghadapinya, mereka akan bisa mencapai tempat


(53)

yang sangat indah tersebut. Mendengar mimpi suaminya tersebut, bu Ani pun langsung menyimpulkan bahwa mimpi terseut merupakan mimpi yang diberikan Tuhan kepada mereka. Ia merasa Tuhan sendiri telah menunjukkan jalan yang terbaik baginya. Ia pun memutuskan untuk menjadi seorang parmalim.

“Trus bermimpilah bapak anak-anak. Itulah ku rasa kar‟na belum bulat hatiku waktu itu. Dia mimpi kami lagi mendaki sebuah bukit yang sangat sulit lah jalannya itu. Di puncak bukit itu adalah tempat yang sangat indah. Orang-orang di situ bahagia lah semua. Kar‟na susahnya jalan ke puncak bukit itu, udah mau menyerah lah kami. Lalu datanglah opung yang bilang kalo memang inilah jalan parmalim, susah. Tapi inilah jalan mau ke tempat yang di puncak itu. Dengar mimpinya tersebut langsunglah ku pikir inilah ini. Inilah jalan yang ditunjukkan Tuhan sama saya”

(S. W3/b. 107-126/hal. 23)

“Begitu saya dengar mimpinya, aku mimpi ini udah satu gambaran ini. Saya bilang udah, balik lah kita ke ugamo Malim.”

(S. W1/b. 384-388/hal. 9)

Bu Ani memerlukan waktu kurang lebih 2 bulan untuk menimbang-nimbang pilihan yang ada dan memutuskan menjadi seorang parmalim. Pada saat ia telah memutuskan untuk menjadi seorang parmalim, itu bu Ani pergi ke Rumah Persantian bersama dengan suaminya untuk menemui pimpinan parmalim di kota Medan, yang disebut Ulu Punguan.

“Kami jumpain lah ulu ni punguan, mau mendaftarkan diri lah gitu.” (S. W1/b. 315-317/hal. 7)

“Enggak. Waktu itu Cuma inang sama amang aja.” (S. W1/b. 320-321/hal. 8)


(54)

Pada saat bertemu dengan Ulu Punguan, bu Ani dan suaminya menyampaikan keinginan mereka untuk menjadi seorang parmalim. Mendengar maksud bu Ani tersebut, Ulu Punguan meminta bu Ani untuk mempertimbangkan lagi tindakannya tersebut, karena ugamo Malim adalah ugamo yang selalu diejek oleh orang-orang. Namun, bu Ani tetap bersikeras untuk menjadi seorang parmalim.

“Kami bilang lah kami mau mengikuti ugamo Batak. Datanglah Ulu Punguan mengatakan kan, “Pikir-pikir dulu. Karena ugamo kami ini ugamo yang diejek-ejek. Masa‟ klian meninggalkan agama kalian yang begitu besar buat masuk ke ugamo kami.” Tapi kami bilang lah kalo sudah bulat pikiran kami. Kami harus balik.”

(S. W1/b. 323-334/hal. 8)

Melihat keseriusan bu Ani, ulu punguan pun menerima bu Ani berserta dengan keluarganya menjadi seorang parmalim. Pada saat itu bu Ani diminta untuk membawa anak-anaknya saat itu juga. Dalam ugamo Malim, jika seseorang ingin menjadi parmalim maka seluruh anggota keluarganya harus ikut menjadi parmalim, termasuk anak-anaknya yang belum menikah. Mereka pun pergi menjemput anak mereka, walaupun pada saat itu anak-anaknya sedang berada di sekolah dan di tempat kerjanya. Pada saat itu bu Ani yakin bahwa keputusannya tersebut sudah benar, sehingga ia langsung memanggil anak-anaknya saat diminta ulu ni punguan.

“Trus kami langsung diterima. Tapi kami disuruh bawa anak-anak kami.

Padahal waktu itu anak-anak kami udah pigi kerja sama pigi sekolah. Ya kami panggil lah...”


(55)

“Saya yakin aja. Jadi saya panggil aja mereka ntah dari mana-mana. Ada yang dari sekolah. Ya 1 jam itu saya kumpulkan mereka semua.”

(S. W6/b. 470-474/hal. 64)

Bu Ani mengatakan bahwa jika ada anaknya yang tidak ingin menjadi parmalim, maka ia akan tetap memaksa bagaimanapun caranya. Ia mengatakan bahwa awalnya anaknya yang paling tua tidak ingin menjadi parmalim. Namun, bu Ani tetap memaksanya. Baginya, jika seorang anak belum menikah, maka orangtua masih memiliki kendali penuh atas anak tersebut. Bu Ani mengatakan bahwa alasan ia memaksa anak-anaknya menjadi parmalim adalah karena syarat untuk menjadi parmalim adalah seluruh keluarganya harus ikut menjadi parmalim. Jika ada anaknya yang sudah menikah dan ingin berpindah ke agama lain, maka hal tersebut tidak menjadi masalah bagi bu Ani. Namun, akhirnya semua anaknya bersedia untuk disahkan menjadi parmalim. bu Ani merasa bahwa semua itu bisa terjadi karena Roh Tuhan telah datang ke hati anak-anak bu Ani sehingga mereka mau disahkan menjadi parmalim.

“Iya. Iya. Itu juga iya. Kar‟na syaratnya kan satu keluarga harus ikut parmalim.”

(S. W6/b. 547-549/hal. 66)

“Ya kita harus paksa. Kar‟na mereka belum berumah tangga. Harus satu kendali di rumah. Kar‟na anak masih dalam kendali kita kalo mereka belum menikah. Harus bisa kita paksa.”


(56)

“Kalo itu ya terserah dia. Terserah dia yang penting sudah kita nasehati dia. Tapi selagi dia masih tanggung jawab saya; kalo belum menikah itu berarti dia masih tanggung jawab saya; harus saya paksa.”

(S. W6/b. 519-527/hal. 65)

“Ya dia memang betul udah dewasa. Udah berpikir dia mana yang paling benar di hati dia walopun dia belum menikah. Ya selama saya masih orangtuanya saya bertanggung jawab sama dia. Tetap saya akan memaksa dia untuk suatu kepercayaan.”

(S. W6/b. 533-542/hal. 66)

“Iya, belum terbuka. Karena belum terikut hatinya kami terangkan balek lah. Baru mengerti lah dia. Saya tanya apakah ada yang salah Kau lihat watu kita beribadah? Dia bilang tidak ada. Ku bilang kalo memang enggak ada kenapa kau susah? Baru dia mau.”

(S. W6/b. 483-492/hal. 64-65)

Setelah menjadi seorang parmalim, bu Ani mengatakan bahwa ia tidak langsung memberitahukan keluarga dan orang-orang di sekitarnya bahwa ia telah menjadi seorang parmalim. Ia mengatakan bahwa menurutnya ia tidak perlu memberitahukan orang-orang bahwa ia telah menjadi seorang parmalim.

“Gak ada mreka yang tahu... Gak musti keluarga saya tau. Yang penting keluarga kita ini. Kita kan udah satu keluarga ini. Orangtua saya, kakak saya atau abang saya gak perlu tahu.”

(S. W1/b. 406/hal. 9; S. W1/b. 415-420/hal. 10)

Bu Ani tetap mengikuti kegiatan punguan (kumpulan) marganya setelah ia menjadi seorang parmalim, walaupun di dalam acara itu dilakukan ibadah menurut tata cara agama Kristen. Menurut bu Ani ia perlu tetap mengikuti kegiatan tersebut karena ia merupakan bagian dari kelompok tersebut berdasarkan marganya. Bagi bu Ani, perubahan keyakinannya bukanlah penghalang baginya untuk tetap aktif dalam kegiatan kelompok tersebut.


(1)

persahabatan kita selama ini. Makasih telah membantu aku,memberikan semangat, dan menasehatiku saar aku mamiliki masalah selama ini. Mudah-mudahan persahabatan kita tetap berlanjut walaupun kita berada di tempat yang berbeda-beda nantinya.

11. Abang-abang dan tata-tata satu PA ku: Ali, Benny, Sheila, Ve, Tyas. Makasih karena sudah menganggapku sebagai “dedek” kalian. Buat teman-teman seangkatanku. Terima kasih buat persahabatan kita selama ni. Pengalaman yang aku alami selama ini bersama kalian sangat berharga. Mudah-mudahan kita semua bisa berhasil mencapai mimpi kita masing-masing.

12. Ibu Ani dan keluarganya. Terima kasih karena telah bersedia diwawancarai oleh saya. Jik atidak ada ibu dan keluarga, penelitian saya ini tidak akan bisa selesai.

Akhir kata, peneliti menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu peneliti sangat mengaharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan penelitian ini. Paneliti berharap hasik penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu Psikologi.

Medan, Januari 2013 Penulis


(2)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 13

C. Tujuan Penelitian ... 14

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis ... 14

2. Manfaat praktis... 14

E. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II LANDASAN TEORI A. Pengambilan Keputusan 1. Definisi Pengambilan Keputusan ... 17

2. Proses Pengambilan Keputusan ... 17

3. Konflik dalam Pengambilan Keputusan ... 21


(3)

B. Ugamo Malim

1. Sejarah Lahirnya Ugamo Malim ... 25

2. Sistem Kepercayaan Ugamo Malim ... 26

C. Proses Pengambilan Keputusan Menjadi Seorang Parmalim ... 38

D. Paradigma Penelitian... 41

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Kualitatif ... 42

B Subjek Penelitian 1. Karakteristik Subjek Penelitian ... 43

2. Jumlah Subjek Penelitian ... 44

3. Metode Pengambilan Subjek Penelitian ... 44

4. Lokasi Penelitian ... 44

C.Metode Pengambilan Data 1. Wawancara ... 45

D. Alat Bantu Pengambilan Data 1. Pedoman Wawancara ... 46

2. Alat Perekam ... 47

E. Kredibilitas Penelitian ... 47

F. Prosedur Penelitian 1. Tahap Persiapan Penelitian ... 48

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 49


(4)

4. Analisis Data ... 50 BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Data

1. Responden ... 52 2. Data Observasi Selama Wawancara ... 54 B. Analisis Data

1. Latar Belakang Responden ... 57 2. Data Hasil Wawancara

a. Latar Belakang Mengenal Ugamo Malim ... 59 b. Tahapan Pengambilan Keputusan Menjadi Parmalim ... 61 3. Analisi Proses Pengambilan Keputusan Bu Ani ... 98 4. Pembahasan

Proses Pengambilan Keputusan Menjadi Parmalim ... 105 5. Skema Partisipan ... 113 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 114 B. Saran

1. Saran Metodologis ... 114 2. Saran Praktis ... 115 DAFTAR PUSTAKA ... 116


(5)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1: Bagan Tahapan Pengambilan Keputusan ... 20 Gambar 2: Bagan Konflik Dalam Pengambilan Keputusan ... 23 Gambar 3: Skema Partisipan ... 113


(6)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN A Pedoman Wawancara LAMPIRAN B