Program-program yang dilakuan Lembaga Swadaya Masyarakat

Meskipun demikian, kita tetap harus optimis dan menyakini bahwa undang- undang dan peraturan hukum merupakan patokan dan sandaran utama yang dapat dijadikan alas perjuangan advokasi penegakan hak-hak anak ke depan. Walaupun dengan harapan yang sempurna dalam perlindungan anak masih membutuhkan perjalanan advokasi yang panjang, tetapi kita mengakui bahwa perjuangan bagi sebuah perubahan adalah sebuah proses yang harus dirangkai, digelutik, dicermati dan dirancang secara terarah dan terencana. Paling tidak perjuangan advokasi yang dilakukan diharapkan dapat memberikan perlindungan dan penegakan hak-hak untuk kepentingan terbaik bagi anak khususnya anak yang berkonflik dengan hukum. Kita akan tetap melakukan advokasi pada tataran penguatan dan pendampingan hukum, advoksi pada tataran kebijakan lokal maupun nasional dalam konteks perlindungan terhadap anak. Harapan baru juga sudah mulai muncul dalam sistem pemerintahan yang baru saat ini, termasuk dalam hal penegakan hukum di seluruh Indonesia. Perubahan- perubahan dan kemajuan saat ini, sangat membuka ruang gerak publik untuk ikut berperan serta membantu, saling membahu dalam mengatasi setiap persoalan bangsa ini termasuk dalam hal penaganan dan perlindungan anak sebagai generasi penerus bangsa.

C. Program-program yang dilakuan Lembaga Swadaya Masyarakat

Yayasan Pusaka Indonesia dalam memperjuangkan hak-hak pekerja anak Di tahun 1990, Indonesia mengikatkan diri untuk memberikan perlindungan dan penegakan Hak Anak dengan merativikasi Konvensi Hak Anak Convention on the rights of the child lewat Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990. konvensi Anak tersebut dalam pasal menegaskan bahwa Negara peserta state parties mempunyai kewajiban untuk menjamin anak-anak terhindar dari eksploitasi ekonomi dan pemaksaan setiap pekerjaan yang berbahaya bagi anak, menggangu pendidikan, kesehatan dan perkembangan fisik, mental maupun spiritual dan moral atau social anak. Upaya penaggulangan anak sebagaimana dimaksukan diatas, diarahkan secara konfrenhensip meliputi aspek hukum legislasi, pendidikan dan administrative guna mendukung menjamin anak terlepas dari cengkraman eksploitasi ekonomi. Dengan demikian upaya penghapusan pekerja anak tersebut harus inter-departemtal, konseptual, praktis dan aplikatif. Jadi bukan tugas satu departemen seperti Departemen Tenaga Kerja dan bukan sekedar membuat hukum melainkan program aksi kongkrit. Namun amat disayangkan, hingga kini program aksi penggulangan pekerja anak masiih belum dilakukan pemerintah. Hampir satu dekade, sejak kasus anak-anak yang bekerja di Jermal ditemukan pertama kali oleh aktivis perlindungan anak di Sumatera Utara, telah begitu banyak waktu, tenaga, pikiran dan uang yang dialokasikan untuk mengakhiri penderitaan anak-anak tersebut. Kampanye untuk kasus pekerja anak di Jermal sudah mencapai klimaksnya pada 5 atau 6 tahun yang lalu, ketika Republik Indonesia diajukan ke siding komisi ILO di Jenewa yang intinya meminta pertanggung-jawaban pemerintah Indonesia terhadap isu eksploitasi pekerja anak di Jermal, khususnya yang ada di sepanjang perairan pantai Timur Sumatera Utara Di Sumatera Utara, persolan buruh anak Jermal menjadi salah satu bentuk kondisi pekerja anak yang dikategorikan sebagai jenis pekerjaan yang dapat mengganggu perkembangan fisik, mental, spiritual, moral atau jiwa social si anak tersebut. Yang akhirnya secara aklamasi pemerintah melalui Menteri Tenaga Kerja menerbitkan Surat Edaran Menaker No. 12MBW1997 tentang petunjuk pelaksanaan anak yang bekerja, dan mengategorikan bahwa jermal adalah merupakan salah satu tempat yang terlarang bagi anak untuk bekerja. Dalam level propinsi kebijakan serupa muncul kembali dengan lahirnya sebuah kebijakan dari Gubernur Sumatera Utara melalui Surat Edaran No. 56017372, tangal 15 Desember 1998, tentang larangan pengusaha jermal mempekerjakan anak-anak di lokasi jermal. Namun, dalam kenyataannya jumlah anak yang bekerja di jermal masih tetap ada. Hal mana dengan terungkapnya beberapa kasus anak jermal yang tidak tahan dengan perlakuan di jermal dan akhirnya melarikan diri dari jermal di perairan Salah Nama, Kabupaten Asahan. Walupun di Indonesia telah ada peraturan yang dapat melindungi pekerja anak, namun pada kenyataanya belum bisa memberikan kenyamanan bagi pekerja anak tersebut. Oleh karena itu Pusaka Indoesia sebagai Lembaga Swadya Masyarakat yang konsentrasi memberikan perlindungan hukum terhdap pekerja anak memiliki program-program yang berkaitan dengan pemberian advokasi terhadap pekerja anak yang bemasalah dengan hukum, yaitu: 1. Melakukan perlindungan bagi anak yang berkonflilk dengan hukum. Aktivitas: a.Pemberian layanan hukum agi anak-anak yang menjadi korban dan pelaku tindak pidana. b.Melakukan kajian dan kritisi terhadap peraturan yang berkaitan dengan anak berkonflik dengan hukum. c.Mendorong terbentuknya lembaga restroatif dan diversi bagi anak sebagai pelaku tindak pidana. d.Penyusunan dokumentasi kasus-kasus kekerasan yang dialami anak dan perempuan. 2. Melakukan upaya untuk melawan dan mencegah terjadinya tindak pidana kekerasan, termasuk perdagangan anak dan perempuan. Aktivitas: a.Penguatan kapasitas organisasi masyarakat dalam memerangi perdagangan anak dan perempuan di Sumatera Utara. b.Kampanye kesadaran public tentang bahaya praktek perdagangan anak dan perempuan di Sumatera Utara. c.Penguatan kapasitas aparatur pemerintah da dukungan bagi Komite Aksi Propinsi dalam melakukan pencegahan praktek perdagangan anak dan perempuan. d.Dukungan bagi penguatan aparatur penegak hukum dalam perlindungan dan penanganan korban perdagangan anak dan perempuan, khususnya dalam pendirian sheltercrisis centre bagi anak dan perempuan korban kekerasan. e.Melakukan pendampingan hukum bagi korban tindak kekerasan dan trafficking. 3. Melakukan pencegahan anak-anak yang bekerja di sector terburuk. Aktivitas: a.Penyusunan draf Peraturan Daerah Sumatera Utara dalam mencegah anak- anak bekerja disektor terburuk di Sumatera Utara. b.Penyusunan buku proses pembuatan dan pengesahan Peraturan Daerah dalam mencegah anak bekerja di sector terburuk. c.Monitoring terpadu dengan aparat pemerintah dan penegak hukum terhadap anak-anak yang bekerja di jermal. d.Bantuan hukum bagi anak-anak yang bekerja di sector terburuk. e.Pembuatan publikasi untuk kampanye public menentang pekerja anak di sector terburuk dan keluarga. 4. Melakukan penyelamatan anak-anak kprban tsunami dan gempa bumi di Aceh dan Nias. Aktivitas: a.Pendataan anak-anak yang terpisah dengan orangtua dan keluarga akibat tsunami dan gempa di Aceh dan Pulau Nias. b.Pemberian logistic child food, hygiene kids and scholl kids kepada anak-anak Koran tsunami dan gempa bumi di Aceh dan Nias. c.Pemberianpelayanan perwalian guardianship agi anak-anak korban tsunami. d.Program lifeskill dan livehood bagi kelompok perempuan korban konflik dan tsunami di Nangroe Aceh Darusalam. e.Pelayanan traumatic, pendidikan emergency psikososial bagi anak-anak korban tsunami dan gempa bumi di Aceh dan Nias. 5. Melakukan penguatan kapasitas kelompok anak dan perempuan dalam isu lingkungan dan demokrtisasi. Aktivitas: a.Program penguatan aktivitas anak dan lingkungan. b.Program pendidikan polotik bagi perempuan. c.Program penguatan kapasitas kelompok rakyat dalam konservasi hutan dan orang utan. d.Program pendidikan lingkungan disekolah. 16 Program-program yang telah dijalankan: 16 Ibid., hal.8. a. Penaganan dan pendampingan korban perdagangan manusia. b. Monitoring penyusunan Draf Rancangan Peratuaran Daerah Tentang Bentuk- bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak-anak. c. Perlindungan hukum dan Hak Asasi Manusia HAM serta penyadaran hukum bagi anak jalanan di kota Medan. d. Pendokumentasian kasus dan pembuatan buku saku pendampingan. e. Membangun koordinasi penaganan perempuan dan anak korban trafficking di Sumatera Utara. f. Advokasi pengembangan kapasitas propinsi Sumatera Utara untuk memberantas perdagangan anak dan perempuan di Indonesia. g. Penigkatan kapasitas peer group dalam penanganan anak jalanan berkonflik dengan hukum. h. Workshop penyusunan program bagi anak jalanan di kota Medan. i. Pendataan anak korban gempa da tsunami Aceh dan Nias yang ada di kota Medan. j. Workshop evaluasi dan refleksi penaganan anak jalanan yang ada di Sumatera Utara. k. Pencetakan buku “Membangun Kekuatan di Atas Ketidakpastian Perlindungan Hukum”. l. Kampanye anti trafficking di propinsi Nangroe Aceh Darusalam NAD. m. Penaganan dan penaggulangan trafficking di Sumatera Utara. n. Pemberdayaan anak yang berkonflik dengan hukum yang di bina di Lembaga Pemasyarakatan LP anak Tanjung Gusta Medan. o. Progam bantuan bagi anak dan perempuan korban kekerasan dan trafficking. 17 17 Ibid., hal.10 Program-program yang sedang berjalan: a. Program penaggulangan dan penegakan hak-hak anak korban gempa bumi dan tsunami di aceh dan Nias. b. Program pengembagan Chidren Centre di Aceh dan Nias. Dalam kurun waktu 4 tahun terakhir, perjalanan advokasi penanganan dan pendampingan hukum bagi terpenuhinya hak-hak normatif bagi pekerja anak telah dilakukan oleh lembaga ini. Seperti yang kita ketahui bahwa hak-hak anak yang harus dipenuhi ketika anak tersebut melakukan pekerjaan adalah: a. Hak mendapat upah b. Hak mendapatkan pendidikan c. Hak perlindungan kesehatan d. Hak istirahat baik harian maupun mingguan e. Hak cuti tahunan maupun cuti besar f. Hak libur di hari-hari raya g. Hak mendapatkan jaminan sosial tenaga kerja Secara umum ada empat hal yang menjadi target advokasi yang dilakukan oleh Pusaka Indonesia dalam konteks perlindungan hukum bagi pekerja anak yaitu: 1. Pendampingan Hukum bagi pekerja anak sebagai dampingan mitra LSM anak. Tujuannya adalah agar anak mendapat bantuan hukum ketika berkonflik dengan hukum. Sudah ada sekitar 67 kasus anak baik sebagai korban maupun sebagai pelaku yang mana bantuan hukum dari Pusaka Indonesia. Hal ini harus dilakukan mengingat kurangnya partisipasi orangtua dan juga masih banyaknya pekerja anak yang belum mendapat penyuluhan hukum. 2. Penyuluhan Hukum pada tingkat shelter. Tujuannya adalah agar pekerja anak memperoleh penyadaran dan peningkatan pengetahuan tentang proses hukum. Hal tersebut harus dilakukan mengingat pekerja anak kurang memahami tentang pentingnya penyuluhan hukum tersebut. 3. Penerbitan buku saku untuk anak. 4. Pemberian kartu klien kepada pekerja anak. 18 Dengan adanya berbagai program yang dilakukan diatas Pusaka Indonesia mengharapkan dapat mewujudkan hak-hak normatif yang harus dipenuhi ketika seorang anak dipekerjakan. Dalam hal kebijakan hukum, Pusaka Indonesia juga telah melakukan beberapa hal, seperti misalnya: 1. Mendorong lahirnya Perda Kota Medan tentang perlindungan anak jalanan; Melakukan kajian dan analisis terhadap kebijakan hukum tentang anak yang berkonflik dengan hukum; 2. Mendorong adanya revisi UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Semua kegiatan yang telah dilakukan oleh LSM ini merupakan pengalaman bagi kita semua baik tingkat masyarakat, NGO Anak maupun pemerintah bahwa sistem penyelenggaraan haruslah ditetapkan secara partisipatif dan berkeadilan sehingga dapat menghasilkan output kebijakan yang diharapkan. Kini saatnya kita saling merangkul dan bekerjasama dalam mengatasi semua persoalan sosial yang ada khususnya di Kota Medan. Kita yakin bahwa persoalan itu akan dapat lebih ringan jika semua unsur terlibat dalam penanganan dan penyelesaiannya dengan memperhatikan tingkat kepentingan masyarakat bawah. Komitemen mungkin merupakan salah satu kata kunci untuk sementara ini yang dapat digunakan untuk mempertahankan momentum pemberdayaan dan advokasi terhadap pekerja anak, seperti yang telah dilakukan LSM-LSM dalam usaha untuk menghilangkan pekerja anak di Indonesia ataupun jikalau seorang anak harus bekerja, pemenuhan terhadap hak-hak normatifnya harus dilakukan. Ditengah krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 dan belum ada tanda-tanda berakhir, perlu kiranya ditempuh berbagai alternatif program cepat dan tepat sasaran sebelum keadaan yang lebih buruk terjadi. Penjajakan dan pengembangan jaringan kerja sama baik nasional, regional maupun internasional merupakan alternatif penting. Jaringan kerjasama ini diharapkan dapat membantu memberikan pemecahan terhadap permasalahan mendasar yang dihadapi oleh pekerja anak di Indonesia yaitu kemiskinan dan tingkat pendidikan yang rendah. Bila dikaji pergerakan advokasi penaganan pekerja anak yang dilakukan selama ini oleh Pusaka Indonesia adalah yang lebih dominant bergerak pada tingkat penaganan krisis protection bagi kasus-kasus yang sudah terjadi. Sementara dari segi penelusuran asal usul atau upaya preventif belum ditanggulangi secara maksimal. Karena persoalan ini tidak dapat diselesaikan kalau penyelesaian akar masalah belum dilakukan secara malsimal dan total. Dalam penanganan anak yang membutuhkan perlindungan khusus child in need special protection khususnya bagi pekerja anak, ada beberapa hal yang menjadi rekomendasi dalam rencana tindak lanjut penanganan. Usulan rekomendasi kedepan yang menjadi gagasan Pusaka Indonesia dalam memberikan perlindungan hukum khususnya bagi pekerja anak, yaitu: 1. Tahap pencegahan Preventif Pada tahap ini, aktivitas lebih diarahkan pada upaya-upaya pencegaha dan analisis akar masalah. Sehingga dengan dilakukan upaya pencegahan ini dapat mempermudah dan meringankan penganan lanjutan. Serta dapat mengurangi anak 18 Edy Ikhsan ,dkk, Membangun Kekuatan di atas Ketidak Pastian Hukum, penerbit Yayasan turun ke jalan untuk bekerja, dapat menghindarkan anak berkonflik dengan hukum dan lainnya. Pendekatan yang dilakukan adalah lebih pada tingkat komunitas anak, keluarga, orangtua, lingkungan, sekolah dan target lainnya yang disesuaikan dengan awal persoalan. Setelah ditemukan akae persoalan seperti halnya persoalan ekonomi berarti penguatan ekonomi keluarga yang perlu ditopang. Masalah perpecahan keluarga berarti peran orangtua dan penyadaran masyarakat yang perlu didorong dan sebagainya. Tanpa adanya pencegahan ini, maka sulit untuk mengurangi persoalan pekerja anak. 2. Tahap penaganan dan perlindungan protection a. Dalam tahap ini lebih disarankan pada penanggulangan anak-anak yang sudah bekerja.sehingga upaya penaganan dan perlindungan harus tetap dilakukan. Baik dari segi perlindungan hukum, pembenahan pendidikan, kesehatan dan lainya. Selama pekerja anak belum ada penanganan yang kuat, upaya ini harus tetap dilakukan. b. Perlu dilakukan upaya pendanpingan dan perlindungan hukum bagi pekerja anak. c. Perlu dilakukan kajian dan analisis terhadap beberapa produk hukum lakal dan nasional yang belum mengakomodir kepentingan terbaik untuk anak. d. perlu melahirkan kebijakan local tentang perlindungan pekerja anak dan anak jalanan. e. Perlu penyadaran dan sosialisasi untuk membangun stigma positif terhadap pekerja anak dan anak jalanan. f. Perlu dibenahi system pendidikan formal bagi pekerja anak dan anak jalanan yang sudah putus sekolah. Pusaka Indonesia, Medan, 2005, hal. 38. g. Perlu dilakukan pembenahan dan penguatan pendampingan pekerja anak dan anak jalanan. h. Perlu penanganan alternative pelayanan kesehatan. i. Perlu pengembangan dan persiapan keterampilan khusus bagi pekerja anak dan anak jalanan. j. Perlu penyadaran dan pembinaan agar memiliki prilaku dan disiplin yang kuat. k. Perlu membangun kerjasama dan koordinasi terpadu dari unsure yang terkait untuk penanggulangan pekerja anak. l. Perlu melakukan dorongan untuk penigkatan anggaran pembinaan pekerja anak. m. Perlu dilakukan pendekatan dan penyadaran bagi aparat pemerintah dan aparat hukum dalam penanganan dan perlindungan pekerja anak. 3. Tahap rehabilitasi reintegrasi Pada tahap ini sebenarnya tinggal melanjutkan upaya-upaya yang telah disiapkan pada tahap pencegahan dan penganan bagi pekerja anak. Dalam langkah ini bagaimana kita akan mengembalikan status sosisal dan dapat kembali ke komunitas anak-anak pada lazimnya dimasyarakat dengan mengikuti pendidikan formal dan lainya serta dapat diterima di lingkungan sosialnya. 19 D. Kerja sama Lembaga Swadaya Masyarakat dengan pihak-pihak terkait dalam memberikan advokasi hukum terhadap pekerja anak D.1. Kerja sama Lembaga Swadaya Masyarakat dengan Pemerintah Pusat dalam memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja anak Indonesia sebagai negara hukum sebetulnya sudah mulai sejak zaman kolonial mempunyai serta menekankan perlunya perlindungan terhadap buruh anak dan perempuan yang dirasakan sangat rentan fragile terhadap pelanggaran norma dan 19 Ibid., hal.44 hak asasi manusia. Sejak zaman kolonial keberadaan pekerja anak Indonesia sesungguhnya sudah mengalami pergeseran dari ruang privat keluarga kepada ruang publik masyarakat, apalagi kondisi kolonialisme sangat memberi peluang yang sangat besar dan bahkan mengarahkan agar anak-anak pada waktu itu memasuki sektor-sektor publik kerja di luar lingkungan keluarga karena ruang untuk mengalihkan anak dalam mengisi waktu luangnya sangat sedikit misalnya sekolah- sekolah pada waktu ini hanya dimasuki oleh keturunan ningrat bangsawan. Persoalan pekerja anak sebagai persoalan multifaset dan kompleks menurut penanganan yang holistik dan kotinuitas yang integratif baik pada tingkat makro maupun mikro dengan memanfaatkan seluruh institusi dan realitas anak sendiri. Puncak dalam penanganan pekerja anak adalah kewajiban mutlak sebuah negara dan untuk Indonesia hal ini diatur melalui Konstitusi Dasar Negara UUD 1945 Obligation of state namun peran serta masyarakat juga mutlak diperlukan karena isu permasalahan terletak pada level masyarakat sendiri. Menurut data ketenagakerjaan pemerintah, kebanyakan pekerja anak bekerja di sektor pertanian, meskipun jumlah pekerja anak di kota-kota telah meningkat secara berarti sebagai akibat urbanisasi. Anak-anak lebih banyak bekerja di sektor informal daripada di sektor formal. Seperti bersama-sama dengan orangtua mereka di industri rumah tangga dan perkebunan, di toko milik keluarga atau pabrik kecil, terutama pabrik yang merupakan “satelit” dari industri besar. Ada juga anak-anak yang bekerja di industri besar meskipun jumlahnya tidak diketahui, terutama mungkin karena mungkin dokumen yang membuktikan usia mereka mudah dipalsukan. Di sektor informal, mereka menjadi tukang koran, tukang semir, tukang parkir, atau cara lain untuk mendapatkan upah. Banyak anak-anak bekerja di lingkungan yang berbahaya seperti menjadi pemulung dan tukang sampah atau di bagian-bagian ikan dan kapal nelayan. Banyak juga pembantu rumah tangga yang masih anak-anak. Pemerintah Indonesia sebetulnya sudah dari dahulu menyadari fenomena ini, walaupun pemerintah terkesan lamban dalam melihat permasalahan anak sebagai sesuatu hal yang urgent mendesak untuk ditangani. Secara jujur harus diakui bahwa perlindungan terhadap pekerja anak juga merupakan refleksi pemerintah kita terhadap hak-hak asasi manusia yang bolong-bolong dan jangankan perlindungan untuk pekerja anak, pekerja dewasa yang juga notabene dilindungi dengan berbagai macam perundang-undangan serta serikat pekerja dan keberadaannya adalah legal juga mengalami hal yang dialami oleh pekerja anak apalagi pekerja anak yang naif dan keterlibatannya dalam dunia kerja tidak diharapkan oleh undang-undang dan pemerintah. Pemerintah memang terkesan selalu berlindung dalam paradigma kemampuan ekonomi yang terbatas serta cita-cita pembangunan yang menetes kebawah trickle down effect. Kebijakan yang secara umum dapat dilakukan pemerintah dalam mengelimir pekerja anak dalam berbagai lapangan pekerjaan merupakan program secara nasional. Beberapa langkah strategis yang dapat diambil pemerintah dalam mengeliminir pekerja anak secara nasional antara lain: 1. Program penyempurnaan pembaharuan perundang-undangan; 2. Program-program penanganan langsung untuk mencegah terjadinya atau setidaknya mengurangi keterlibatan anak dalam dunia kerja; 3. Program-program promosipembinaan pada upaya peningkatan kesejahteraan anak; 4. Program-program rehabilitasi ditujukan pada anak-anak yang menjadi pekerjatelah bekerja. Persoalan anak di Indonesia sekarang sudah menjadi lingkaran setan vicious circle, karena akar persoalan dan penyelesaiannya sudah menjadi dilema. Pemerintah Indonesia sekarang memang masih menempatkan persoalan anak sebagai persoalan marginal dan belum menjadi sentral dari keseluruhan strategi pembangunan bangsa, padahal sesungguhnya Indonesia sudah menempatkan persoalan anak dalam wacana publik dengan meratifikasi berbagai instrumen-instrumen perangkat-perangkat internasional. Pengeliminiran terhadap pekerja anak secara nasional dapat kita bagi dalam tiga kategori usaha, yakni: Usaha Pertama yang dilakukan oleh pemerintah dalam menangani pekerja anak adalah membuat berbagai peraturan dan usaha-usaha yang berfungsi untuk mengisi waktu si anak dalam masa kanak-kanak childhood, yakni: 1. Permenaker No. 1 Tahun 1987 tentang perlindungan anak yang bekerja; 2. Instruksi Presiden No. 2 Tahun 1989 tentang pembinaan kesejahteraan anak; 3. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar; 4. Keputusan Menteri Sosial No. 52Huk1996 tentang Pembentukan Lembaga Gerakan Nasional Orangtua Asuh GN-OTA; 5. Instruksi Presiden No. 3 Tahun 1997 tentang Penyelenggaraan Pembinaan Kualitas Anak; 6. Keputusan MENKOKESRA No. 04KepMenkoKesraIII1997 tentang penyelenggaraan pembinaan kualitas anak dalam dasawarsa anak Indonesia 1996- 2000; 7. Surat Edaran Menaker No. 12 Tahun 1997 tentang petunjuk penanganan anak yang bekerja; dan 8. Berbagai peraturan perundangan lainnya yang telah dikeluarkan oleh pemerintah pusat yang berkaitan dengan upaya mengurangi jumlah pekerja anak di Indonesia. Usaha Kedua pemerintah adalah kebijakan makro, yaitu kebijakan yang menangani persoalan pekerja anak dari konteks keseluruhan dalam lingkup yang besar dari alasan-alasan keterlibatan anak yang bekerja. Alasan kemiskinan menjadi akar seluruh persoalan dalam keterlibatan anak dalam dunia kerja, sehingga memerangi kemiskinan adalah upaya makro pemerintah. Strategi-strategi pemerintah dalam hal ini antara lain dengan memberdayakan ekonomi masyarakat dengan: 1. Program Bantuan Kesejahteraan Sosial BKS yang diatur PP No. 42 tahun 1981 tentang pelayanan kesejahteraan sosial bagi fikir miskin; 2. Kebijakan program inpres desa tertinggal IDT yaitu program kebijakan menumbuhkan dan memperkuat kemampuan masyarakat miskin untuk kesempatan berusaha diarahkan untuk mempercepat upaya penduduk miskin dan jumlah desa dan kelurahan yang tertinggal; 3. Pengembangan program keluarga bina sosial. Yang khusus memberi modal kerja kepada keluarga yang tergabung pada usaha produktif; 4. Bimbingan dan pembinaan kesejahteraan sosial keluarga melalui tabungan kesejahteraan keluarga Takesra; 5. Usaha pemerintah dalam pemberian kredit usaha keluarga sejahtera Kukesra; 6. Pembentukan Bina Keluarga Muda Mandiri BKMM. Kebijakan ketiga pemerintah adalah kebijakan mikro yakni usaha-usaha pemerintah yang bersinggungan langsung dengan keberadaan anak, hal ini dilakukan oleh pemerintah untuk mengeliminirmengurangi, memberdayakan ataupun menghapus pekerja anak. Usaha ini dilakukan dengan pendirian lembaga-lembaga ataupun institusi yang langsung berhadapan dengan anak, diantaranya: Memperkuat akses anak terhadap sekolah. Hal ini dilakukan dengan: 1. Program wajib belajar 9 tahun Inpres No. 1 Tahun 1994; 2. Lembaga Gerakan Nasional Orangtua Asuh; 3. Pengadaan Dana JPS bagi anak-anak sekolah; 4. Penghapusan biaya SPP bagi menunjang program wajib belajar 9 tahun. Program penegakan hukum terhadap anak-anak yang bekerja, usaha ini dilakukan dengan adanya pegawai pengawas perburuhan Labour Inspector untuk menegakkan semua ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pembentukan lembaga-lembaga yang khusus menangani persoalan anak, diantaranya: - Lembaga Perlindungan Anak LPA yang diatur dalam SK Mensos 081HUK1997; - Komite Nasional Hak Asasi Anak Komnas HAM Anak - Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia YKAI Intervensi langsung birokrat pemerintah terhadap pekerja anak dilakukan dengan: Mengadakan razia terhadap anak-anak yang bekerja, misalnya terhadap pengamen, anak jalanan, pekerja pabrik, dan lain-lain Menyediakan sarana-sarana perlindungan anak, misalnya dengan pendirian rumah singgah dan rumah bermain anak. Beberapa hal lain yang dilakukan Pemerintah Pusat dalam hal penanggulangan pekerja anak adalah dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 5 Tahun 2001 Tentang Penanggulangan Pekerja Anak, dimana dalam Pasal 5 disebutkan bahwa : Penanggulangan Pekerja Anak akan dilakukan dengan cara: 1. Pelarangan dan penghapusan segala bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; 2. Pemberian perlindungan yang sesuai bagi pekerja anak yang melakukan pekerjaan ringan; 3. Perbaikan pendapatan keluarga agar anak tidak bekerja dan menciptakan suasana tumbuh kembang anak secara wajar; 4. Pelaksanaan sosialisasi program Penanggulangan Pekerja Anak kepada pejabat birokrasi, pejabat politik, lembaga kemasyarakatan dan masyarakat. Program Khusus Penanggulangan Pekerja Anak akan meliputi: Mengajak kembali pekerja anak yang putus sekolah ke bangku sekolah dengan memberikan bantuan beasiswa; Pemberian Pendidikan non forrmal; Pelatihan ketrampilan bagi anak. Program-program yang dicanangkan pemerintah ini sampai sekarang masih terus diperjuangkan dan dilanjutkan, walaupun harus kita akui sejauhmana kemampuan negara dalam menanggung beban perekonomian di tengah-tengah kondisi krisis bangsa. Kondisi ini seharusnya menjadi alasan bagi semua komponen- komponen atau kelompok yang terberdayakan untuk terlibat di dalamnya. Dalam hal pemerintah pusat melakukan kegiatan untuk melindungi pekerja anak yang keterlaksanaannya diserahkan kepada Departemen Dinas Tenaga Kerja, Lembaga Swadaya Masyarakat dalam hal ini sebagai perwakilan dari masyarakat umum melaksanakan tugas pengawasan. Yaitu untuk dapat terlaksananya ketentuan dalam perundang-undangan yang ada berlaku saat ini. D.2. Kerjasama Lembaga Swadaya Masyarakat dengan Pemerintah Propinsi Sumatera Utara dalam memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja anak Anak sebagai tunas bangsa merupakan generasi penerus. Kelanjutan kehidupan berbangsa dan bernegara, demikian juga kelanjutan pembanguan nasional akan sangat ditentukan oleh perkembangan dan pertumbuhan anak yang optimal, maka anak harus terbebas dari hal-hal yang mengambat pertumbuhan dan perkembangan jasmani, rohani dan sosial anak seperti memperkerjakannya pada tempat-tempat yang terburuk bagi anak. Pada hakekatnya anak tidak boleh bekerja karena waktu mereka selayaknya dimanfaatkan untuk belajar, bermain, bergembira dalam suasana damai dan mendapat kesempatan serta fasilitas untuk mencapai cita-citanya sesuai dengan perkembangan fisik, psikologi, intelektual dan sosialnya. Konfik pada tatanan internasional, regional maupun nasional dan lokal serta konflik yang sifatnya struktual dan horizontal kultural telah menghempaskan anak-anak dalam situasi sulit yang berkepanjangan serta anak mejadi kelompok yang rentan untuk dipinggirkan. Pada tatanan budaya lokal, nilai anak masih dianggap sebagai sebuah nilai kebendaan dan ekonomi semata, sedangkan pada tatanan struktural suara anak yang merupakan kebutuhan praktis dan strategis kaum muda dimasa depan diabaikan. Banyak anak di bawah usia 18 tahun yang terlibat aktif dalam kegiatan ekonomi, antara lain di sektor-sektor usaha seperti perikanan, perkebunan, industri, hiburan dan pariwisata yang justru membahayakan anak. Alasan tekanan ekonomi yang dialami orangtua atau faktor- faktor lain seperti budaya dan kebiasaan setempat selalu dijadikan alasan pembenaran memperkerjakan anak termasuk pada sektor-sektor usaha yang berpotensi membahayakan keselamatan, kesehatan dan masa depan anak. Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia telah meratifikasi Konvensi ILO Nomor 182 dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention Concerning The Prohibition and immediate Action for the elimination of the worst forms child labour. Setahun sebelumnya Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi ILO Nomor 138 dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention No. 138 Concerning Minimum Age for admission to employment. Sementara itu dalam lingkup nasional melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2002 telah mencanangkan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak yang dalam bidang penegakan hukum adalah penyusunan dan penetapan kebijakan dan upaya serta tindakan pencegahan dan penanggulangan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak di tingkat daerah baik secara pre-emtif, preventif maupun represif. Untuk itu pemerintah juga telah melahirkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang di dalamnya mengatur tentang pekerja anak, termasuk tentang bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak. Aturan ini kemudian telah dijelaskan lebih lanjut di dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor : Kep. 235MEN2003. Namun demikian, hal-hal yang mengatur tentang upaya perlindungan, pencegahanan dan rehabilitasi bagi bentuk- bentuk pekerjaan terburuk bagi anak perlu diatur kembali di tingkatan daerah. Propinsi Sumatera Utara sebagai bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki posisi dan letak yang sangat strategis yang menyebabkan daerah ini sejak dahulu tumbuh sebagai kawasan perkebunan, perikanan, pariwisata dan lain sebagainya yang menyumbang pada pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional. Sementara itu pada satu sisi yang lain pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dalam berbagai sektor tadi memperkerjakan tenaga kerja yang juga sebagian turut memperkerjakan anak-anak, termasuk diantaranya anak- anak tersebut ditempatkan pada tempat-tempat yang berbahaya bagi pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosialnya. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka Pemerintah Provinsi Sumatera Utara memandang perlu untuk memulai sebuah kebijakan dan upaya dalam rangka mencegah para pengusaha dan perusahaan untuk memperkerjakan anak pada bentuk- bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Agar upaya penghapusan, pencegahan dan penanggulangan terhadap anak-anak yang diperkerjakan pada bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak ini dapat berjalan efektif, terarah dan terencana maka dipandang perlu untuk meletakkannya dalam satu kerangka aturan yang jelas dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat dalam suatu Peraturan Daerah. Pada tanggal 6 Juli 2004 Pemerintah Provinsi Sumatera Utara mengeluarkan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 5 Tahun 2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Bagi Anak, dengan keluarnya Peraturan Daerah ini, terlihat jelas upaya pemerintah Sumatera untuk melindungi pekerja anak di Sumatera Utara. Keluarnya Peraturan Daerah ini juga diikuti dengan dikeluarkannya Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 4631211Ktahun 2002 tentang Pembentukan Komite Aksi Provinsi Sumatera Utara tentang Pembentukan Komite Aksi Propinsi Sumatera Utara tentang Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Komite Aksi Propinsi KAP ini bertugas untuk : 1. Menyusun Rencana Aksi Provinsi Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak. 2. Melaksanakan pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan Rencana Aksi Provinsi tentang Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak. 3. Menyampaikan permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan Rencana Aksi Provinsi tentang Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak kepada instansi atau pihak lain yang berwenang guna penyelesaiannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 20 Adapun anak-anak yang menjadi sasaran KAP ini adalah: 1. Kelompok sasaran langsung 2. Kelompok sasaran tidak langsung Penanganan terhadap permasalahan pekerja anak adalah pekerjaan yang besar, membutuhkan waktu, biaya dan tenaga yang banyak. Karena akar permasalahan pekerja anak sangat rumit dan kompleks. Upaya yang akan dilakukan biasanya mengacu kepada kondisi dan situasi dimana pekerja anak tersebut berada. Komite Aksi Provinsi Sumatera Utara sebagai sebuah wadah kolaborasi lintas sektoral yang dimandatkan untuk menghapuskan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak memiliki peranan yang strategis untuk mengkoordinasi para stake holders di level propinsi dan Kabupatenkota. Peran dan tanggung jawab Komite Aksi Provinsi yang selanjutnya menjadi kebijakan institusi antara lain: - Menentukan dan menetapkan skala prioritas penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak di Sumatera Utara; - Penentuan skala prioritas dilakukan melalui pemetaan dan kajian yang cermat dengan mempertimbangkan besaran dan kompleksitas masalah pekerja anak. Hasil pemetaan dan kajian ini selanjutnya ditetapkan sebagai tahapan program untuk jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Kebijakan tahapan program yang tersusun untuk selanjutnya didistribusikan kepada masing-masing stakeholders. 20 Ariffani, Edy Ikhsan,dkk, Menuju Perlindungan Anak Yang Holistik, penerbit Pusaka - Mengkoordinasikan Stakeholders yang terkait di tingkat provinsi dan kabupaten atau kota. Instansi pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat, Perguruan Tinggi serta pihak-pihak terkait lainnya tidak akan mampu menyelesaikan masalah pekerja anak secara sendiri-sendiri. Dibutuhkan adanya kolaborasi yang terpadu dan terkoordinasi dengan baik. Sehingga program-program yang dilakukan oleh masing-masing pihak tidak terkesan parsial dan sektoral. Komite Aksi Provinsi memiliki peranan yang sangat penting dalam mengkoordinasikan dan mensinergiskan program-program dan kebijakan-kebijakan yang dimiliki oleh instansilembaga terkait. - Membangun kerjasama dan Bantuan teknis dengan lembaga-lembaga ditingkat lokal, nasional dan internasional. Menyadari berbagai keterbatasan sumber dan kemampuan dalam mewujudkan program Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Bagi Anak, maka kerjasama dan bantuan teknis dari berbagai institusi, lembaga diperlukan untuk mendukung terlaksananya program-program aksi. Dengan segenap kemampuannya, KAP dapat menggalang berbagai institusi, lembaga yang potensial sebagai mitra dalam mewujudkan program-programnya. - Advokasi kebijakan publik. KAP berperan sebagai leading sektor dalam mendorong lahirnya kebijakan-kebijakan lokal untuk pelarangan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak, sehingga dapat mengefektifkan pelaksanaan program-program aksi secara holistik dan komprehensif. - Penguatan kapasitas institusi. Untuk meningkatkan kapasitas stakeholders dalam menjalankan fungsi masing-masing institusilembaga, KAP memiliki kewajiban untuk memberikan penguatan dalam bentuk penyuluhan, diskusi., pelatihan- pelatihan dan sosialisasi berbagai kebijakan yang terkait dengan bentuk-bentuk Indonesia, Medan, 2005, hal. 48 pekerjaan terburuk bagi anak. Sehingga secara bertahap tingkat kemampuan dan pemahaman stakeholders semakin terarah dan sinergi. - Pertemuan Berkala. KAP melakukan pertemuan secara berkala sesuai ketetapan bersama untuk mengetahui perkembangan implementasi Aksi Provinsi yang dilakukan oleh KAP dan para stakeholders. Pertemuan ini dilakukan minimal 1 kali per enam bulan. 21 Selain itu, pihak-pihak terkait juga harus berperan dan mengambil tanggung jawab dalam upaya penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak sesuai dengan fungsi dan kewenangannya. Bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak yang dimaksudkan dalam Perda ini adalah: - Segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya; - Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno atau perjudian; - Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan atau melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya; Semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak. Penanggung jawab kebijakan penyelesaian bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak ada di tangan Pemerintah Daerah Sumatera Utara Pemda-SU. Pemda-SU seharusnya berusaha semaksimal mungkin mempergunakan seluruh komponen- komponen lain yang tersangkut diatas secara holistik agar beban dan tanggungjawab 21 Ibid., hal. 86 terdistribusi pada setiap kelompok sesuai dengan porsi dan kemampuan masing- masing. 54

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ANAK YANG