Masyarakat dalam memberikan advokasi hukum terhadap Pekerja Anak: Studi di Lembaga Swadaya Masyarakat Yayasan Pusaka Indonesia, Medan.
B. Perumusan Masalah
Adapun masalah yang diangkat dalam tulisan ini adalah: 1.
Bagaimana peran Lembaga Swadaya Masyarakat dalam memberikan advokasi hukum terhadap Perkerja Anak.
2. Bagaimana proses advokasi hukum perlindungan hukum yang
diberikan kepada Pekerja Anak yang bermasalah dengan hukum menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Kendala apa saja yang dihadapi oleh Lembaga Swadaya Masyarakat
dalam mewujudkan advokasi hukum terhadap Pekerja Anak.
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. TujuanPenulisan
Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan skripsi ini dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui peran Lembaga Swadaya Masyarakat dalam memberikan advokasi hukum terhadap Perkerja Anak.
2.Untuk mengetahui proses advokasi hukum perlindungan hukum yang diberikan kepada Pekerja Anak yang bermasalah dengan hukum menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. 3.Untuk mengetahui Kendala apa saja yang dihadapi oleh Lembaga Swadaya
Masyarakat dalam mewujudkan advokasi hukum terhadap Pekerja Anak.
2. Manfaat Penulisan
1. Secara Teoritis hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut
untuk melahirkan konsep ilmiah yang diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan hukum di Indonesia.
2. Secara Praktis Pembahasan terhadap permasalahan yang diangkat
diharapkan dapat menjadi masukan bagi pembaca, khususnya bagi para pekerja anak mengenai peran lembaga swadaya masyarakat dalam
memberikan advokasi hukum terhadap pekerja anak dan juga mengenai proses hukum yang berlaku untuk menyelesaikan permasalahan yang
dihadapinya. Bagi masyarakat luas, selain daripada pekerja buruh dan pengusaha, seperti pihak Lembaga Swadaya Masyarakat LSM, aktivis
buruh dan lainnya yang berjuang untuk kepentingan pekerja buruh kiranya penulisan skripsi ini dapat menjadi pola upaya perlindungan terhadap
pekerja anak juga bahan bacaan yang bisa berguna dalam pengorganisiran dan advokasi pekerja buruh dalam mencapai tatanan ketenagakerjaan yang
lebih baik sesuai dengan prinsip Hubungan Industrial Pancasila.
D. Keaslian Penulisan
Penulisan ini tentang “Peran Lembaga Swadaya Masyarakat dalam
memberikan advokasi hukum terhadap Pekerja Anak Studi pada Lembaga Swadaya Masyarakat Yayasan Pusaka Indonesia”, yang diangkat menjadi judul skripsi ini
merupakan hasil karya yang ditulis secara objektif, ilmiah melalui data-data referensi dari buku-buku, bantuan dari para narasumber dan pihak-pihak lain. Skripsi ini juga
bukan merupakan jiplakan atau merupakan judul skripsi yang sudah pernah diangkat sebelumnya oleh orang lain.
E. Tinjauan kepustakaan
E.1. Tinjauan Konseptual
Menurut Undang-undang nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pengertian tenaga kerja sebagaimana yang tertulis dalam Pasal 1 butir 2 satu adalah
“ Setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat”.
Payaman Simanjuntak memberikan definisi tenaga kerja atau man power adalah penduduk yang sudah atau sedang bekerja, yang sedang mencari pekerjaan dan
yang melaksanakan kegiatan lain seperti bersekolah dan mengurus rumah tangga. Dan secara peraktis pengertian tenaga kerja dan bukan tenaga kerja dibedakan hanya oleh
batas umur.
5
Iman Soepomo memberikan definisi hukum ketenagakerjaan perburuhan sebagai himpunan peraturan-peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang
berkenaan dengan kejadian dimana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah.
6
Menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 yang dimaksud dengan ketenagakerjaan menurut Pasal 1 butir 1 satu adalah segala hal yang berhubungan
dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama dan sesudah masa kerja. Sedangkan hubungan industrial dalam Pasal 1 butir 16 Jo Pasal 1 butir 1 satu Undang-undang
Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial didefinisikan sebagai suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam
proses produksi barang dan atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Menurut Manulang bahwa tujuan Hukum Ketenagakerjaan ialah: a.
Untuk mencapai melaksanakan keadilan sosial dalam bidang ketenagakerjaan.
b. Untuk melindungi tenaga kerja terhadap kekuasaan yang tidak terbatas
dari pengusaha.
7
Butir a lebih menunjukan bahwa hukum ketenagakerjaan harus menjaga ketertiban, keamanan dan keadilan bagi pihak-pihak yang terkait dalam proses
produksi, untuk dapat mencapai ketenangan bekerja dan kelangsungan berusaha. Sedangkan butir b dilatarbelakangi adanya pengalaman selama ini yang kerap kali
terjadi kesewenang-wenangan pengusaha terhadap pekerja buruh. Untuk itu diperlukan suatu perlindungan hukum secara komprehensif dan konkret dari
pemerintah.
8
Hukum Ketenagakerjaan dapat bersifat perdata privat dan dapat bersifat publik. Dikatakan bersifat perdata oleh karena sebagaimana kita ketahui bahwa
hukum perdata mengatur kepentingan orang perorangan, dalam hal ini adalah antara tenaga kerja dan pengusaha, yaitu dimana mereka mengadakan suatu perjanjian yang
disebut dengan perjanjian kerja, sedangkan mengenai hukum perjanjian terdapat atau diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Buku III, disamping bersifat
perdata juga bersifat publik pidana, alasannya adalah: 1.
Dalam hal-hal tertentu Negara atau pemerintah turut campur tangan dalam masalah-masalah ketenagakerjaan, misalnya dalam masalah pemutusan
hubungan kerja PHK;
5
Payaman Simanjuntak, Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia SDM, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta, 1985, hal 10.
6
Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan. Penerbit Djambatan, Jakarta, 1992, hal 3.
7
Sendjun H. Manulang, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2001, hal 2.
2. Adanya sanksi-sanksi atau aturan-aturan hukum di dalam setiap undang
atau peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Adapun tujuan pembangunan ketenagakerjaan menurut Pasal 4 undang-
undang Nomor 13 Tahun 2003 adalah sebagai berikut: a.
memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi;
b. mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja
yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah.; c.
memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan; dan
d. meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.
Pasal 3 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 menegaskan bahwa pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan melalui
koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah. Asas pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai dengan asas pembangunan nasional,
khususnya asas demokrasi, asas adil dan merata. Hal ini dilakukan karena pembangunan ketenagakerjaan menyangkut multi dimensional dan terkait dengan
berbagai pihak, yaitu antara pemerintah, pengusaha dan pekerja buruh. Budiono membagi sifat hukum ketenagakerjaan menjadi 2 dua, yaitu bersifat
imperatif dan bersifat fakultatif. Hukum bersifat imperatif atau dwingenrecht hukum memaksa artinya hukum yang harus ditaati secara mutlak, tidak boleh dilanggar.
Sedang hukum bersifat fakultatif atau regelendrecht aanvul-lendrecht hukum yang mengatur melengkapi, artinya hukum yang dapat dikesampingkan pelaksanaannya.
8
Abdul Hakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal 7.
Konsepsi anak dalam Konvensi Hak Anak dan juga Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ditetapkan bahwa anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 delapan belas tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak yang masih dalam kandungan dianggap telah lahir apabila
kepentingan anak memerlukan untuk itu, sebaliknya dianggap tidak pernah ada apabila anak meninggal pada waktu dilahirkan.
9
Ketentuan ini juga penting untuk mencegah adanya tindakan dari orang yang tidak bertanggung jawab terhadap usaha
penghilangan janin yang dikandung seseorang. Untuk Indonesia terdapat konsepsi yang berbeda-beda dalam penentuan
batasan usia anak. Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dalam Pasal 6 ayat 2 misalnya memberikan batasan 21 tahun sebagai usia seseorang untuk kawin.
Sementara itu Undang-undang kesejahteraan anak No. 4 Tahun 1979 mendefinisikan anak sebagai seseorang yang belum mencapai usia 21 tahun dan belum pernah kawin.
Dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. SE-12MBW 1997, anak adalah seseorang yang berusia di bawah 18 tahun. Memperhatikan berbagai batasan tersebut,
maka anak dapat didefinisikan sebagai seseorang yang berusia di bawah 18 tahun. Berkaitan dengan konsep pekerja anak, Indikator Kesejahteraan Rakyat tahun
1996 memberi batasan bahwa yang termasuk pekerja anak adalah penduduk yang berusia 10-14 tahun yang melakukan kegiatan untuk memperoleh pendapatan atau
penghasilan minimal 1 jam dalam seminggu. Dalam hal ini pekerja anak tidak selalu identik dengan buruh anak. Buruh anak didefinisikan sebagai anak yang bekerja
dalam situasi yang biasanya mengandung unsur lingkungan kerja yang membahayakan dan unsur eksploitatif.
9
Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 2
Batasan lainnya diungkapkan oleh Horiuchi yang menyebutkan pekerja anak sebagai anak-anak yang bekerja kurang lebih seperti pekerja pada umumnya, yang
bertujuan membiayai dirinya dan keluarganya.
10
Dalam hal ini aspek usia pekerja anak sama sekali tidak ditentukan. Namun di dalam Undang-undang No. 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 69 disebutkan bahwa pekerja anak adalah seseorang yang berusia antara 13 sampai 15 tahun kategori ini ditujukan untuk jenis
pekerjaan yang ringan.
E.2. Tinjauan Historis, Budaya dan Ekonomi Pekerja Anak
Fenomena pekerja anak di Indonesia bukanlah hal yang berkembang saat ini saja. Anak-anak yang bekerja di perkebunan misalnya telah ditemui sejak awal abad
keduapuluh. Menurut Yasuo Uemura menunjukkan bahwa pada masa itu pemakaian buruh wanita dan anak-anak telah semakin banyak digunakan dalam proses
pembudidayaan tebu di suatu perkebunan yang bernama Krian, pada afdeling Sidoarjo.
11
Buruh wanita dan anak-anak ini terutama bekerja untuk pemupukan tanaman tebu. Pada waktu yang bersamaan, penggunaan tenaga wanita dan anak-anak
juga telah terjadi di perkebunan-perkebunan tembakau di daerah Sumatera Utara. Pekerjaan yang biasanya mereka lakukan adalah menggantungkan daun tembakau
yang sudah dipetik di lumpung pengeringan, mencari ulat tembakau dan menggaru tanah pada masa pemeliharaan tanaman. Pada perkebunan karet di Sumatera Utara
pekerja anak biasanya bekerja untuk mengorek karet atau mengangkat sekeranjang karet untuk ditimbang.
Penggunaan tenaga kerja anak dalam ekonomi rumah tangga dengan bekerja mendapatkan upah sendiri juga dapat dilihat pada kehidupan masyarakat pedesaan
10
Ahmad Sofian, dkk, Kekerasan Seksual terhadap Anak Jermal, Kerjasama Fored Foundation dengan Penelitian Kependudukan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1999,hal 7.
yang mengalami transisi dan golongan miskin di kota, perubahan kondisi ekonomi akan menuntut adaptasi keluarga dengan memanfaatkan sumber-sumber yang tersedia
terutama dengan memanfaatkan tenaga kerja keluarga. Jika tenaga kerja wanita, terutama ibu rumah tangga belum dapat memacahkan masalah yang dihadapi,
biasanya anak-anak yang belum dewasa pun diikutsertakan dalam menopang kehidupan ekonomi keluarga.
Diluar hal-hal di atas, fenomena pekerja anak dapat dipahami dalam kerangka sistem perekonomian yang kapitalistik. Yaitu untuk meningkatkan produksi dan
teknologi dengan menekan biaya produksi dengan jalan menekan biaya pengeluaran untuk upah. Salah satu jalan yang dilakukan adalah dengan mempekerjakan wanita
dan anak-anak. Oleh karena di kebanyakan Negara berkembang wanita dan anak- anak secara kultural dipandang sebagai pencari nafkah kedua dan karenanya dapat
dibayar murah, pemilik modal lebih menyukai memperkerjakan mereka sebagai buruh dengan upah yang rendah. Walaupun demikian tidak dapat diabaikan struktur makro
yang membingkai fenomena pekerja anak di perkebunan.
F. Metode Pengumpulan Data