Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta 1937 – 1985, 2010.
marga Hutasoit mendiami daerah Hutasoit, marga Silaban mendiami daerah Silaban, marga Lumban Toruan mendiami sekitar Lintongnihuta. Selain itu, marga marga
tanah yang lain di daerah ini seperti marga Siburian, marga Siregar, dan marga Sinaga
8
. Kemudian ditambah dengan marga marga lain yang datang ke daerah ini
seperti marga Sitanggang, marga Pasaribu, dan lain lain. Keberadaan marga lain di daerah ini disebabkan oleh proses perkawinan dan pekerjaan. Misalnya pria marga
lain ada yang mempersunting gadis di daerah ini dan kemudian tinggal menetap. Dengan istilah jika pria yang bermarga lain yang mempersunting gadis di daerah
tersebut dan tinggal menetap yaitu sonduk hela. Sedangkan marga yang lain yang datang di daerah ini dengan alasan pekerjaan adalah guru dan tenaga medis.
2.3 Latar Belakang Historis
Perkembangan suatu daerah tidak terjadi begitu saja, tetapi tumbuh dan mengalami perubahan. Demikian halnya dengan Lintongnihuta, awalnya
Lintongnihuta yang merupakan wilayah yang dipenuhi oleh hutan rimba, ditumbuhi pepohonan dan semak belukar dan menjadi tempat binatang buas, tetapi lama
kelamaan tumbuh sebagai daerah yang terbuka. Masyarakat Batak Toba meyakini bahwa mereka berasal dari keturunan Siraja
Batak yang berdiam di Pusuk Buhit, Sianjur Mulamula kecamatan Harian
9
8
Hasil wawancara dengan bapak Maringan Sihombing tanggal 17 Juli 2008 pukul 20.00 Wib.
9
DJ Gultom Raja Marpodang, Dalihan Natolu Nilai Budaya Suku Batak, Medan: CV. Amanda, 1992., hal. 431.
. Dari sana
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta 1937 – 1985, 2010.
mereka menyebar ke berbagai daerah untuk mencegah agar jangan sampai terjadi perkawinan sesama saudara, sehingga Siraja Batak membuat silsilah tarombo.
Dengan silsilah ini setiap orang harus mencantumkan nama nenek moyang yang kemudian berubah menjadi marga di belakang namanya. Adanya marga ini membuat
setiap orang mengetahui boleh tidaknya seseorang untuk dikawini. Semula Sihombing bermukim di Pulau Samosir. Untuk memperoleh ruang
hidup yang lebih baru dan lebih baik ia bersama keempat anaknya: Silaban, Lumbantoruan, Nababan, dan Hutasoit pindah ke Tipang, seberang Danau Toba
10
Keluarga Sihombing beserta anak-anaknya cepat berlipat ganda di Tipang. Mereka mengolah lahan persawahan dan pertanian yang semakin luas di sana. Jumlah
penduduk yang semakin banyak mengakibatkan lahan pertanian semakin tak cukup, maka sebagian keturunan Sihombing bermigrasi pindah ke dataran tinggi yaitu
Humbang. Keturunan Lumbantoruan mendirikan kampung dekat Lintongnihuta yaitu Sipagabu. Dari Sipagabu inilah secara bertahap keturunan Lumbantoruan berpencar
dii daerah Humbang, yaitu:Lintongnihuta dan sekitarnya, Bahalbatu dan sekitarnya, Sibaragas dan sekitarnya, Sipultak dan sekitarnya, Butar dan sekitarnya
. Tipang terletak di pantai selatan Danau Toba pada tanah pesisir yang sempit
dikelilingi perbukitan yang cukup tinggi tidak jauh dari Bakara, tempat pemukiman Raja Sisingamangaraja.
11
Awalnya mereka hidup berkelompok, lalu membangun pemukiman dan mengusahai tanah untuk dijadikan lahan pertanian. Perkembangan penduduk semakin
.
10
Ibid., Hal. 439.
11
Hasil wawancara dengan bapak Mangaru Sihombing tanggal 15 juli 2009 pukul 20.00 Wib.
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta 1937 – 1985, 2010.
lama semakin bertambah, sehingga hutan rimba yang dulunya ditumbuhi pepohonan dan semak belukar digarap dan dijadikan tempat permukiman penduduk. Sesuai
dengan perkembangan waktu, pertambahan penduduk semakin banyak, sebagian mereka berpencar dan membuka pemukiman baru.
Nama Lintongnihuta berasal dari dua kata yaitu Lintong artinya datar, sedangkan huta artinya kampung. menurut informasi para tetua sebutan daerah
Lintongnihuta berarti daerah yang datar sehingga masyarakat mengatakan dengan nama Lintongnihuta
12
Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, daerah Lintongnihuta menjadi sebuah kecamatan di kabupaten Tapanuli Utara. Pusat pemerintahan kecamatan
Lintongnihuta dipusatkan di Pasar Baru. Kecamatan Lintongnihuta terdiri dari beberapa desa desa yang langsung dipimpin oleh kepala desa. Desa desa di
kecamatan Lintongnihuta terdiri dari desa Silaban, desa Nagasaribu, desa Tapian Nauli, desa Sitolu Bahal, desa Pearung, desa Paranginan, desa Parulohan, desa
Sibuntuon, desa Huta Soit, desa Pargaulan dan desa Pasar Baru .
13
Umumnya masyarakat yang tinggal di daerah ini membentuk permukiman sendiri yang disebut dengan Huta Kampung. Huta merupakan sebuah
pemerintahan kecil yang berdiri sendiri dan berdaulat penuh atas eksistensi hutanya keluar maupun ke dalam. Biasanya huta dikelilingi oleh benteng benteng dan
.
12
Hasil wawancara dengan Maringan Sihombing tanggal 17 Juli 2009 pukul 20.00 Wib
13
Hasil wawancara dengan Camat Lintongnihuta bapak Maruhum Sihombing tanggal 7 Juli 2009 pukul 11.00 Wib.
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta 1937 – 1985, 2010.
ditanami pohon bambu dengan maksud untuk menahan musuh jika sewaktu waktu musuh menyerang huta
14
Tiap huta terikat akan peraturan yang ditetapkan oleh dewan huta disebut dengan horja. Huta dipimpin oleh seorang pengetua Huta sebagai pendiri huta, dan
dialah yang memimpin aktivitas baik dalam pendirian rumah, upacara upacara adat dan segala aktivitas upacara ritual yang terbatas pada kawasan hutanya. Tiap huta
mempunyai raja huta yang berhak menentukan segala yang berlaku di hutanya. Peperangan antar huta sering terjadi terutama sewaktu masyarakatnya menganut
kepercayaan animisme dan kepercayaan dinamisme. Hal ini terjadi karena setiap huta ingin memperluas wilayahnya sekaligus menunjukkan kekuatannya
.
15
Seiring dengan bertambahnya jumlah masyarakat, mereka kemudian membentuk suatu tempat perkumpulan yaitu partukkoan
. Di samping itu juga adanya persebaran marga marga Batak Toba pada masa leluhur yang pertama
selalu terjadi sengketa soal tanah, warisan, barang pusaka, dan lain lain, sehingga masalahnya terus berlarut larut sampai kepada turunannya masing masing.
Masuknya agama Kristen mengakibatkan semakin jarangnya terjadi perang antar huta. Hal ini tidak terlepas dari usaha usaha missionaris untuk memajukan
masyarakat dan mengubah cara berpikirnya melalui pendidikan ditambah dengan ajaran agama Kristen yang menganjurkan agar setiap umat saling mengasihi.
16
14
Sitor Situmorang, Toba Na Sae, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993., hal .42.
15
Ibid., hal.44.
. Partukkoan ini berguna sebagai tempat pertemuan dalam membicarakan hal hal yang penting dan juga
melakukan berbagai aktivitas masyarakat seperti mendistribusikan kebutuhan hidup
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta 1937 – 1985, 2010.
sehari hari. Lambat laun partukkoan ini berubah fungsi menjadi tempat pertemuan antara penjual dan pembeli dalam melakukan hubungan jual beli. Biasanya di
Lintongnihuta hari pekan dilakukan sekali dalam seminggu yaitu pada hari Senin.
2.4 Sistem Sosial Masyarakat