Proses Masuknya Agama Katolik .1 Agama Katolik di Sumatera Utara

Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta 1937 – 1985, 2010. memberkati anak anaknya, menggariskan penggunaan warisan, memberi nasehat dan petunjuk perhadap anak anaknya. 3.2 Proses Masuknya Agama Katolik 3.2.1 Agama Katolik di Sumatera Utara Sebelum membicarakan proses masuknya agama Katolik di Lintongnihuta, terlebih dahulu dijelaskan perkembangan agama Katolik di Sumatera Utara. Perkembangan agama Katolik di Sumatera Utara, Tapanuli, dan Lintongnihuta merupakan rangkaian dari peristiwa peristiwa pergolakan yang terjadi di Eropa sejak abad ke- XVI. Tahun 1517 terjadi pergolakan besar dalam agama Katolik di Eropa. Hal ini menimbulkan perpecahan dengan berpisahnya “kelompok” yang menamakan dirinya Protestan di bawah pimpinan Martin Luther. 31 Tahun 1546 agama Katolik telah berkembang di Maluku dibawa oleh missionaris-missionaris Portugis. Sementara itu misi Kristen Protestan juga mengembangkan agama Kristen Protestan di sebelah Barat Indonesia Protestan yang memisahkan diri dari Katolik berkembang pesat di Eropah sampai Nusantara dan seterusnya ke Tanah Batak. Demikian halnya dengan perkembangan agama Katolik juga sampai ke Nusantara dan seterusnya sampai ke Tanah Batak. 32 31 Arnoldus, Op-Cit., Hal .52. 32 Ibid., Hal .55. . Di Sumatera Utara sebenarnya usaha usaha dari pihak Katolik sudah lama untuk mengembangkan agama Katolik. Usaha perkembangan agama Katolik pertama dipelopori oleh Pastor Caspar de Hesselle, namun ia meninggal dunia pada tanggal 31 Agustus 1954. Oleh Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta 1937 – 1985, 2010. sebab itu misi agama Katolik yang pertama mengalami kegagalan dan berakhirlah usaha pertama misi Katolik di Sumatera Utara, khususnya Tapanuli. Sejak pertengahan abad ke- 19 tahun 1861 para missionaris Protestan dari Rheinische Missiongeselschaft Bremen Muppertal telah menjalankan misi mereka di kalangan Batak. Usaha ini baru menampakkan hasil nyata sesudah kurun waktu sepuluh tahun dengan tampilnya missionaris Nomensen, yang membuka lembaran baru bagi pengkristenan orang Batak Toba. Pewartaan ini tampak pada waktu tahun 1870 di lembah Silindung dengan titik beratnya di Tarutung, Tapanuli Utara. Selanjutnya pengkristenan diperluas wilayah-wilayah di sekitar Tapanuli Utara termasuk Lintongnihuta, Balige dan daerah Simalungun. Perkembangan zending berhasil membentuk masyarakat Kristen Batak Hatopan Kristen Batak. Keberhasilan penyebaran agama Protestan tidak diikuti secara mudah oleh agama Katolik dikarenakan penyebaran agama Katolik sangat terikat dengan peraturan pemerintah Hindia Belanda yang tertuang dalam perundang undangan pasal 123 kemudian menjadi pasal 177 yang melarang adanya zending berganda yaitu aktifitas zending dan misi oleh berbagai gereja yang sama. Alasannya supaya ketertiban dan keamanan tidak terganggu. Peraturan pemerintah kolonial ini mengakibatkan penyebaran agama Katolik di tengah tengah orang Batak tersendat. Tahun 1870-an orang Katolik Eropa di pantai Sumatera Timur dikunjungi oleh Pastor Jesuit dari Sungai selan Bangka. Antara tahun 1878 dan tahun 1884 Pastor Wenneecker, SJ mulai belajar bahasa Batak dan Keling orang India yang Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta 1937 – 1985, 2010. bekerja di perkebunan. Sejak itu Medan menjadi stasi 33 tetap dan dikunjungi secar berkala. Tidak lama kemudian, pastor Jesuit dipanggil ke Jakarta. Tahun 1913, saat berada di Jakarta, pastor Wennecker, SJ memberi pelajaran agama Katolik kepada beberapa orang Batak. Demikian juga pada beberapa siswa Batak yang sedang belajar di sekolah guru di Muntilan-Jawa Tengah dengan harapan jika mereka kembali ke Sumatera, mereka akan menjadi tokoh dan pewarta ajaran Katolik 34 Pada awal abad ke-20 seluruh kepulauan Indonesia yang masih dibawah kerajaan Belanda, dipercayakan kepada Ordo Serikat Jesuit untuk reksa pastoral . 35 . Seluruh Indonesia berada dibawah vikariat Apostolik Batavia, yang sekarang disebut Jakarta. Tahun 1905 pulau Kalimantan kepada OFMcap dan pada tahun 1911 pulau Sumatera dengan pulau-pulau sekitarnya diserahkan juga kepada OFMCap. Seluruh Sumatera satu prefektur Apostolik di bawah Mgr. Liberatus Cluts OFMCap. Bersama dengan uskup ini tibalah di Sumatera pada tanggal 13 juni 1912 kapusin kapusin yang pertama: Matheus de Wolf, CamillusBuil, Augustinus Huijbergts, dan Remigius van Hoof 36 Warisan pertama yang diterima dari pastor pastor Jesuit ialah sekitar 4000 orang yang beriman, hampir semua orang Eropah. Umat tersebut tercerai berai diseluruh pulau, di kota- kota, dan desa desa menurut tempat pekerjaan mereka. Banyak di antara pegawai kerajaan Belanda, sebagian administrator perkebunan karet, kelapa, teh, dan tembakau dan asisten-asisten kebun. Sebagian lagi para . 33 Stasi merupakan unit unit gereja Katolik di daerah pedalaman 34 AGP Datubara, Omnibus Omnia, Medan, 2008., hal .4. 35 Reksa pastoral merupakan wilayah pengembangan pastoran. 36 Crispinianus Theeuwes OFM Cap, Dkk, Cita dan Cerita Kapusin, Medan: 1990., hal .9. Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta 1937 – 1985, 2010. pedagang dan pengusaha di pelabuhan-pelabuhan, dan ada juga termasuk dinas militer kerajaan 37 Sejak missionaris Kapusin masuk ke Sumatera kelompok kelompok orang batak telah menyatakan keinginannya untuk masuk agama Katolik. Banyak surat dikirimkan kepada pastor dan juga utusan dari berbagai daerah, agar perluasan agama Katolik dilakikan di Tanah Batak. Kepada Gubernur Jenderal di Batavia, orang-orang Batak mengirimkan rekes supaya para missionaris diizinkan masuk ke Tanah Batak. Tetapi ada kesulitan untuk masuk daerah Batak karena ada larangan dari pemerintah Hindia Belanda yang tertuang dalam buku hukum pasal 123 pasal 177 yang menyatakan bahwa guru guru Kristen, imam imam, dan pendeta pendeta bila hendak masuk suatu daerah, untuk melaksanakan tugas mereka, harus lebih dulu mendapat izin dari Gubernur Jenderal . 38 Menghadapi tantangan tantangan ini, para missionaris tak henti hentinya berjuang. Mgr. Brans sendiri berusaha sekuat tenaga untuk memperoleh izin agar para missionaries Katolik dapat masuk ke Tanah Batak, khususnya Tapanuli. Oleh karena itu dengan sengaja stasi-stasi di pinggiran Tanah Batak seperti di daerah Laras, . Kalau tugas mereka dianggap mengganggu keamanan suatu daerah maka izin masuk mereka dapat dicabut oleh Gubernur Jenderal. Terutama dobel-zending dilarang dua misi sekaligus, yaitu misi Katolik dan Zending Protestan pada waktu yang sama. Karena sejak tahun 1860 Zending Protestan sudah aktif di Tanah Batak, maka Gubernur Jenderal tidak lagi memberi izin kepada misi Katolik untuk masuk Tanah Batak. 37 Ibid., hal .11. 38 AGP Datubara, Op-cit., hal .20. Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta 1937 – 1985, 2010. Simalungun didirikan walaupun umat hampir tidak ada. Untuk mempengaruhi orang Batak Toba datang, para missionaris mendekati orang Batak Toba, seperti Sibolga. Menunggu izin masuk ke Tapanuli, para missionaris secara khusus memperhatikan orang Batak di kota. Pastor Marianus Spanjers ditugasi untuk mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan misi di Tanah Batak. Setiap hari Minggu, missa untuk orang orang Batak dilakukan di gereja orang Eropa. Tantangan dari pihak Protestan pun muncul, Aurelius Kerkers dari Siantar memberitahukan ada perlawanan dan hasutan dari pihak pemimpin pemimpin Protestan. Rintangan ini dihadapi para missionaris dengan menerbitkan buku buku kecil yang diedarkan untuk mempertahankan agama Katolik.,beberapadiantaranya: Hoeria ni Jesoes Kristoes ima Hoeria Katholiek, Sakramen Panopotion di dosa dibagasan Hoeria Katholiek, Pelean Misa na badia dibagasan Hoeria Katholiek 39 39 Crispinianus Theeuwes OFM Cap, Op-Cit., hal .23. . Mgr. Brans bersama para missionaris berusaha keras untuk menembus Tapanuli. Para missionaris juga mengusahakan perkembangan stasi dan pusat pengabaran di kota maupun di pedalaman yang biasanya melayani orang Tionghoa dan orang Eropa. Walaupun belum maksimal, tetapi jumlah umat yang terus bertambah, para missionaris tetap giat dengan penuh optimis melakukan penyebaran agama Katolik. Tahun 1934 Mgr. Brans mendapatkan izin dari pemerintah Kolonial Belanda masuk ke daerah Tapanuli untuk memulai misi pada orang Batak Toba. Para missionaris yang sudah lama menunggu segera menyebar ke penjuru Tanah Batak. Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta 1937 – 1985, 2010. Sejak tahun 1926 banyak orang Batak Toba pindah ke Medan, masuk gereja Katolik dan menyekolahkan anak anak mereka di sekolah Katolik yang dikelola langsung oleh biarawan dan biarawati. Sekolah ini sangat menarik untuk orang Batak karena terbukti sangat berkualitas. Melihat pengabdian biarawan biarawati serta teladan keramah tamahan para pastor Kapusin, permintaan orang batak untuk menjadi Katolik dan mendirikan sekolah di daerah mereka semakin banyak. Pada awalnya pastor Kapusin ragu karena adanya larangan kolonial, namun karena permintaan terus mendesak, maka pastor Kapusin mengurus izin ke Jakarta agar dapat berkarya di Tapanuli. Tahun 1923, misi Katolik diperbolehkan di Sibolga dan sekitarnya. Kemudian izin diperluas ke daerah Tapanuli tahun 1933, dan di Pulau Nias tahun 1939. Kemudian ke beberapa tempat diutus seorang missionaris tetap, antara lain di daerah Batak- Simalungun, yakni Pematang Siantar, dan Saribu Dolok tahun 1938. demikian juga ke daerah Dairi, Sidikalang pada tahun 1938. Pusat misi di daerah Tapanuli berada di Balige. Dari Balige penyebaran agama Katolik disebarkan ke daerah Lintongnihuta dengan mendirikan stasi tahun 1937. Tahap pertama yang ekstensif berlangsung dengan melayani tempat tempat manapun yang dapat dicapai, sehingga umat umat Katolik terdapat diberbagai daerah pedesaan 40 Stasi Batak pertama didirikan dekat Siantar yaitu Laras di perkebunan pada tahun 1931. Ajaran diperkenalkan di Tanah Batak sehingga permohonan masuk agama Katolik semakin banyak. Untuk menampung permintaan ini, Prefekt Apostolik . 40 AGP Datubara, Op-Cit., hal .29. Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta 1937 – 1985, 2010. mengangkat Kenan Hutabarat menjadi Katekis 41 Adat istiadat Batak Toba yang sangat kokoh kemudian guncang dengan datangnya Nonmensen dengan agama Protestan dan tentara Belanda. Seluruh bangsa mengalami keguncangan ketika tentara Belanda berhasil membunuh Sisingamangaraja XII. Masa itu mereka yakin raja dan daerah Batak Toba tidak dengan gaji tetap. Katekis inilah mengunjungi umat yang ada di Siantar dan para simpatisan sambil mengajarkan agama Katolik. Dengan semangat menggelora Mgr. Brans mulai mendirikan sekolah sekolah. Sekolah dibangun dalam ukuran besar dan megah, terbuat dari beton, lantainya menggunakan tegel, dan atapnya dari genteng. Pada zaman Kolonial, hanya gedung yang bermutu yang menerima subsidi dari Roma dan Belanda. Kontrol dari pemerintah dan sponsor selalu ada, kemewahan gedung ini juga menjadi salah satu daya tarik dan pamer Katolik menghadapi kelompok lain yang sudah lebih dulu membangun. Masyarakat Batak Toba merupakan suku bangsa yang selalu menutup diri dengan dunia luar, tersendiri dan tidak mempunyai hubungan dengan suku suku di sekitarnya. Tersembunyi di antara lembah, bukit, dan bukit barisan sehingga pengaruh agama dan bangsa lain sangat sulit untuk menembus suku ini. Agama Islam yang diperkenalkan di seluruh Indonesia pada abad ke 13 dan abad ke 14 hampir tidak berhasil memasuki daerah Tanah batak Toba. 41 Katekis merupakan anggota jemaat yang bertugas untuk membantu pastor dalam melayani jemaat gereja. Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta 1937 – 1985, 2010. terkalahkan 42 . Setelah kematian Sisingamangaraja XII, terbukalah mata mereka, ternyata Ada kuasa lain yang lebih kuat, agama Kristen dan kolonisasi, yang ternyata lebih maju, lebih modern dari mereka. Suku Bangsa ini mulai tertarik ingin mengalami dan meraih kemajuan yang baru. Banyak orang Batak Toba tidak tahan menunggu sampai kemajuan ini sampai ke pedalaman. Mereka mulai mencarinya sendiri. Setiap marga, kampung, setiap pemuda ingin memiliki kemajuan. Maka para remaja mulai keluar untuk merantau. Demikian juga bapak bapak muda keluar dari kampungnya untuk mencari nafkah di dunia luar. Jika para perantau ini kembali dari waktu ke waktu ke kampung halamannya, dan hikayatnya tentang pengalamannya di perantauan menarik lebih banyak orang lain keluar mengejar kemajuan itu 43 42 Lothar Schreiner, Adat dan Injil, Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 1972., hal .49. 43 Ibid., hal.52. . Begitu kesempatan bersekolah terbuka, orangtua mengirim anaknya untuk belajar pengetahuan baru, agar lebih maju dan mendapat kedudukan baik. Pada gilirannya anak anak yang maju ini akan menolong adik adiknya dan keluarganya untuk turut menikmati kemajuan itu. Sifat orang Batak memang esoteris, yaitu melihat suatu yang baru dan menarik, dia tidak tinggal kagum, tetapi langsung ingin memiliki sendiri, melakukan hal yang sama, atau mampu memperbaiki dan menyempurnakannya. Pepatah Batak Tobam menyatakan bahwa “ gokhon sipaimaon, jou jou silausan” artinya undangan dinanti, panggilan untuk ditanggapi dalam agama baru. Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta 1937 – 1985, 2010.

3.2.2 Masuknya agama Katolik di Tapanuli

Tanggal 12 Maret 1929 pastor paroki pertama diutus ke Sibolga, pastor Chrysologus Timmermans. Kemudian disusul oleh suster suster dari Tilburg tanggal 21 Maret 1930 yang sebelumnya menetap di Padang. Tanggal 3 Juli 1931 pastor Aurelius Kerkers memulai karyanya di Pematang Siantar. Sejak pastor Auelius Kerkers sampai di Pematang Siantar, banyak orang Batak Toba yang bertamu ke rumah pastor 44 Perkembangan agama Katolik di Sibolga dan Pematang Siantar membuka kesempatan bagi missionaris untuk mengembangkan agama Katolik di daerah Toba. Pekerjaan missionaris tersebut dibantu oleh orang orang Batak Toba yang . Karena pastor tidak dapat memenuhi undangan mereka untuk datang ke kampung kampung, maka mereka dilayani dengan cara membagi bagikan brosur. Sejak diajukannya permohonan untuk mendapatkan izin bagi karya misi, maka pada tanggal 17 Ferbuari 1933 menghasilkan jawaban positif, yakni mengkristenkan orang Batak Toba yang banyak menetap di Tapanuli.dengan dihapuskannya penerapan Pasal 123, zendeling Protestan Jerman mendapat lawan dan saingan dalam pengkristenan masyarakat Batak Toba di Tapanuli. Balige menjadi pusat penyebaran agama katolik di wilayah Toba, Samosir, Dataran Tinggi Toba dan Habinsaran. Alasan missionaris memilih Balige sebagai pusat misi Katolik karena Balige berada ditengah tengah daerah Batak Toba. Para missionaris menyebar ke daerah penjuru Tapanuli dengan pesan dari Mgr. Brans “ Pergilah, carilah kontak dengan masyarakat, entah waktu siang ataupun malam hari”. Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta 1937 – 1985, 2010. mendukung pengembangan agama Katolik di Tapanuli. Khususnya di Tapanuli Utara penyebaran agama Katolik dibantu oleh Kenan Huta Barat dan Polin Siahaan yang berasal dari Hutabolon Balige. Tanggal 5 Desember 1934, Pastor Sybrandus van Rossum yang berusia 31 tahun masuk ke daerah Balige. Kedatangan pastor tersebut disambut oleh masyarakat setempat dengan upacara adat yang mengesankan 45 Setelah satu tahun pastor Syrbandus tinggal di Balige, sebanyak 50 orang masyarakat Balige masuk agama Katolik, dan sudah ada beberapa stasi. Satu hal yang menarik adalah penduduk desa Lumban Pea masuk sekaligus. Raja ni Huta desa . Hari pertamanya di Balige, dia menyewa rumah kecil yang terletak di pinggiran Danau Toba. Koper yang dibawanya berfungsi sebagai meja dan kursi pada waktu tertentu. Dalam menjalankan tugasnya sebagai Pastor, Sybrandrus van Rossum dibantu oleh Josef Bonafasius Panggabean yang telah menganut agama Katolik sewaktu masih berada di Kalimantan Barat. Pastor Sybrandrus van Rossum memiliki sifat yang memungkinkannya dapat menghadapi tantangan yang berat. Sifat optimis dan humoris membuat masyarakat Balige merasa tertarik pada pastor tersebut. Pada awalnya Pastor tersebut tidak memiliki relasi di daerah ini karena hampir seluruh masyarakat sudah dikuasai oleh Missions- Gesellschaft atau Huria Batak. Pastor tersebut sudah menguasai bahasa Batak Toba, dia dengan mudah dapat berdialog dengan orang orang di jalan ataupun di kedai sehingga penduduk setempat banyak simpatik dan kagum. Hal ini membuat pengetua adat dan masyarakat tertarik untuk masuk jadi penganut agama Katolik. 44 AGP Datubara, Op-Cit., hal .29. 45 R. Kurris SJ, Pelangi di Bukit Barisan, Yogyakarta: Kanisius, 2006., hal .36. Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta 1937 – 1985, 2010. melarang warganya masuk agama Protestan dengan alasan ada pesan dari nenek moyang mereka bahwa mereka harus menantikan utusan dari Raja Rum sehingga orang dewasa dan 25 orang anak anak desa Lumban Pea langsung belajar katekismus dari pastor. Muncul keinginan Pastor Sybrandus untuk mendirikan sekolah dan rumah pastoran, namun dia kesulitan untuk mendapatkan lahan. Atas bantuan Guru Polin Siahaan, mereka mendapatkan sebidang tanah yang dapat digunakan untuk pembangunan gereja, pastoran, dan sekolah. Pada saat yang bersamaan Raja Marinus Simanjuntak menjual gedung Maju Bioskop, sehingga pastor membeli gedung tersebut dan kemudian direnovasi untuk menjadi gereja Katolik. Setelah agama Katolik berkembang di Balige, missionaris melakukan pengembangan agama ke daerah Samosir dan Tapanuli. Dalam melakukan penyebaran agama Katolik, mereka mengirim beberapa orang pastor muda yang baru saja dilantik yaitu: pastor Diego van Biggelaar dan pastor Benyamin Dijksta untuk daerah Samosir pada tahun 1936, pastor Elpidius van Duijnhoven untuk daerah Saribu Dolok pada tahun 1936, pastor Marianus van den Acker dan pastor Lukas Rendres untuk daerah Lintongnihuta pada tahun 1937, pastor oscar Nuijten di daerah Pakkat pada tahun 1940, dan pastor Nopemucemus Hamers di daerah Sidikalang pada tahun 1938, dan pastor Beatus Jenniskens pada tahun 1938. Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta 1937 – 1985, 2010.

3.2.3 Masuknya Agama Katolik di Lintongnihuta

Pada awal masuknya agama Katolik di Tapanuli pada umumnya dan di Lintongnihuta pada khususnya, ada perlakuan tidak adil oleh Belanda terhadap perkembangan agama Katolik. Pada saat itu pemerintah Hindia Belanda pro terhadap agama Protestan dan kontra terhadap agama Katolik. Akibatnya proses dan perkembangan agama Protestan jauh lebih pesat daripada agama Katolik di daerah Lintongnihuta maupun di pedalaman Tapanuli. Agama Katolik di daerah Lintongnihuta disebarkan oleh missionaris Belanda, Pastor Marianus Van den Acker pada bulan September 1937. Setelah menguasai bahasa Batak Toba, dia menyebarkan agama Katolik ke wilayah yang berada di daerah Lintongnihuta, pertengahan antara Siborong borong dengan Dolok Sanggul. Karena jarak Balige dengan Lintongnihuta sekitar 45 km, sehingga pastor Sybrandrus van Rossum menugaskan pastor Marianus Van den Acker untuk membuka stasi sendiri di Lintongnihuta. Sebelum agama Katolik masuk di Lintongnihuta, sebagian masyarakat di Lintongnihuta telah menganut agama agama Kristen Protestan yaitu Huria Kristen Batak HKB yang disebarkan oleh Zending Protestan. Sebagian lagi masyarakat Lintongnihuta masih menganut kepercayaan tradisional seperti Debata Mulajadi Nabolon dan kepercayaan Sipelebegu. Masyarakat yang masih menganut kepercayaan tradisional inilah yang lebih banyak dipengaruhi agama Katolik di Lintongnihuta. Ketika pastor Marianus memasuki daerah ini. Dia mengalami kesulitan karena daerah karena pengaruh agama Protestan sudah lebih dominan. Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta 1937 – 1985, 2010. Setelah pastor Marianus selesai menjalani pendidikan novisiat di Den Bosch, Belanda, beliau melanjutkan studi filsafat dan teologia dan ditahbiskan menjadi Iman Kapusinpada tanggal 21 september 1935 46 46 Ibid., hal .76. . setelah Pastor Marianus ditahbiskan sebagai imam, dia diutus menjadi missionaris ke Tapanuli. Bersama lima teman satu kelasnya, pastor Marianus Van De Acker di minta untuk mempersiapkan diri untuk pergi ke Tapanuli. Satu bulan lamanya mereka di perjalanan menuju Sumatera dan tanggal 1 November 1936 Marianus sampai di Belawan. Kemudian dia ditempatkan di Balige untuk mempelajari bahasa Batak Toba. Pada tahun 1937, pastor Marianus memasuki daerah Lintongnihuta. Untuk menyebarkan agama Katolik di tengah tengah masyarakat Lintongnihuta. Dalam mengembangkan agama Katolik di Lintongnihuta, Marianus dibantu dua orang awam untuk dijadikan propagandis yaitu Yosia Sinaga dan Alal Sihombing. Alas an memilih dua orang awam ini adalah supaya masyarakat dapat mengerti dan mengetahui tentang kebenaran agama Katolik. Dalam menyebarkan agama Katolik di Lintongnihuta, pastor Marianus mengontrak rumah di daerah Pasar Lama untuk dijadikan sebagai tempat tinggal pastor dan sebagai tempat beribadah karena belum ada lahan untuk mendirikan sebuah gereja. Pastor Marianus memasang sekat rumah untuk memperoleh ruangan kecil sebagai tempat ibadah. Di Lintongnihuta muncul keinginan pastor untuk mendirikan gereja, sekolah dan rumah pastor, tetapi mengalami kesulitan untuk mendapatkan lahan pertapakan. Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta 1937 – 1985, 2010. Pastor Marianus menghubungi Alil Sihombing untuk mendapatkan sebidang tanah yang dapat digunakan untuk pembangunan gereja, pastoran dan sekolah. Atas bantuan Alil Sihombing, Marianus mendapatkan lahan seharga180 gulden. Pada bulan Februari 1938 gereja induk paroki Lintongnihuta diresmikan oleh Uskup Mathias Brans dari Padang dengan nama Gereja Santo Koenrad Pazham. Pada tahun itu juga sebanyak 400 orang masyarakat Lintongnihuta dapat dibabtis dan menjadi sah jemaat Katolik. Agama Katolik yang disebarkan oleh missionaris dapat dengan cepat berkembang karena pelaksanaan ekaristi yang dibawakan oleh imam Katolik sangat berkenan dengan tradisi nenek moyang 47 47 R. Kurris SJ, Op-Cit., hal. 84. . Dalam melakukan penyebaran agama Katolik di Lintongnihuta, pastor Marianus melakukan berbagai pendekatan terhadap masyarakat, seperti pendekatan terhadap budaya dan pendekatan holistik. Pendekatan terhadap budaya dilakukan dengan cara beradaptasi terhadap budaya masyarakat batak Toba seperti belajar bahasa Batak Toba dan adat istiadat serta pakaian adat tradisional. Pastor Marianus van de Acker terlebih dahulu belajar bahasa Batak Toba di Balige. Hal ini dilakukan supaya missionaris diterima oleh masyarakat Lintongnihuta sehingga dengan mudah Injil serta agama Katolik dapat disebarkan dan dikembangkan di tengah masyarakat. Pengetahuan bahasa Batak Toba diupayakan untuk mendekatkan diri dan mengambil simpati masyarakat Lintongnihuta. Dengan mengetahui bahasa lokal sehingga missionaris dapat mendekati, mengerti dan Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta 1937 – 1985, 2010. memahami pemikiran masyarakat serta mengetahui kehidupan adat istiadat dan kebudayaan masyarakat setempat. Di samping beradaptasi dengan menggunakan bahasa lokal, missionaris menghargai pakaian adat tradisional masyarakat Lintongnihuta yaitu dengan memakai ulos Batak Toba dalam perayaan perayaan resmi dalam acara kerohanian, memakai alat musik tradisional Batak Toba yaitu gondang dalam acara acara gereja dan di kalangan masyarakat Lintongnihuta. Misalnya, jika missionaris diundang ke acara pesta maka missionaris mengikuti adat kebiasaan masyarakat setempat yaitu memakai pakaian tradisional dan ikut manortor Batak Toba 48 48 Crispinianus Theeuwes OFM Cap, Op-cit., hal .47. . Metode pendekatan yang dilakukan dengan pendekatan holistik yaitu memberikan bantuan dalam bidang kehidupan ekonomi, sosial, kesehatan, dan pendidikan kepada masyarakat mulai dari lapisan atas sampai lapisan bawah yaitu melalui sekolah-sekolah rakyat Katolik yang dibangun seperti Volks school setingkat dengan kelas I sd III SDdan Vervolks school yang setingkat dengan kelas IV sd VI SD. Dalam bidang ekonomi, para missionaris memperkenalkan sistem pertanian modern kepada masyarakat Lintongnihuta dengan memberikan bibit-bibit tanaman baru seperti padi. Melalui pendekatan tersebut, missionaris dapat mendekati, mengerti, dan memahami jalan pemikiran masyarakat Lintongnihuta, sehingga dengan mudah missionaris dapat menjalankan dan mengajarkan agama Katolik. Masyarakat Batak Toba yang berdiam di Lintongnihuta sebelum masuknya pengaruh agama Kristen Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta 1937 – 1985, 2010. mengenal budaya tradisional. Mulanya para missionaris tidak mudah memasyarakatkan injil kepada masyarakat Batak Toba yang masih terikat dengan norma norma tradisional tersebut. Dalam mewartakan injil para missionaris mendapat bermacam macam tantangan, baik yang datang dari masyarakat maupun tantangan berupa kekurangan materi. Tantangan yang diperoleh dari masyarakat adalah sulitnya orang Batak Toba melepaskan budaya tradisional yang tidak sesuai dengan agama Kristen antara lain mereka sangat mempercayai kekuatan mistik yang ada pada mereka. Hal ini kemudian ditambah dengan adanya anggapan bahwa missionaris merupakan mata mata Belanda yang hendak menguasai wilayah Toba. Missionaris berupaya untuk membuat masyarakat tertarik dengan ajaran agama Katolik melalui tingkah laku dan perbuatan-perbuatan yang dapat menarik simpatik masyarakat. Penerimaan injil di daerah Toba semakin lama semakin berkembang. Agama yang dianut masyarakat sebelum masuknya missionaris semakin pudar. Kepercayaan animisme dan dinamisme semakin ditinggalkan oleh masyarakat. Kepercayaan terhadap Mulajadi Nabolon dengan melakukan penyembahan di tempat tempat tertentu dan ketakuatan akan kuasa Sipelebegu yang dapat mengganggu ketentraman masyarakat juga hilang. Peranan datu semakin lama semakin berkurang, kepercayaan yang bersifat sepele begu diganti dengan agama baru yang bersifat monoteisme yaitu agama Protestan dan Katolik. Masyarakat mempunyai keyakinan bahwa agama baru yang dianutnya akan mengubah cara hidup dan cara berpikir untuk menjalankan kehidupan yang lebih Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta 1937 – 1985, 2010. baik. Pergaulan maupun cara hidup yang dilakukan missionaris secara langsung kepada masyarakat, membuat masyarakat dapat melihat dan merasakan perbedaan antara missionaris dengan penjajahan Belanda. Dengan demikian anggapan awal yang menyatakan bahwa missionaris adalah mata mata Belanda dan kegiatan missionaris untuk kepentingan Belanda semakin sirna. Perkembangan pendidikan dan ajaran yang dilakukan missionaris membuka fajar baru bagi masyarakat. Berdirinya gereja dan sekolah Katolik merupakan satu mata rantai yang bertujuan memajukan masyarakat. Melalui gereja, masyarakat dapat berinteraksi antara satu desa dengan desa yang lain, antara satu marga dengan marga yang lain, sehingga dapat bertukar informasi untuk mengetahui kemajuan yang terjadi di luar daerah masing masing. Pengaruh agama Katolik mendorong terjadinya perubahan dalam bidang kepercayaan 49 49 Ibid., hal. 58. . Diterimanya missionaris oleh masyarakat Lintongnihuta membuat kepercayaan animisme dan dinamisme semakin luntur. Dengan berkurangnya kepercayaan tersebut menunjukkan bahwa agama Katolik diterima sebagai agama masyarakat secara pribadi yang dilakukan secara langsung oleh para missionaris. Untuk mempermudah mengembangkan ajarannya, para missionaris mendidik masyarakat Batak Toba. Dengan demikian pemikiran masyarakat Batak Toba tentang kemajuan semakin berkembang. Pengenalan agama baru dilakukan missionaris telah mengubah kepercayaan masyarakat Lintongnihuta dari kepercayaan tradisional Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta 1937 – 1985, 2010. menjadi pengikut ajaran Katolik. Penerimaan masyarakat Lintongnihuta terhadap missionaris tidak disia siakan oleh missionaris. Kesempatan yang demikian dipergunakan untuk menunjukkan kedatangan mereka. Tempat tinggal dan tanah untuk mendirikan gereja, pastoran dan sekolah diberikan oleh masyarakat kepada missionaris untuk tempat melaksanakan ibadah dan menyebarkan injil. Sikap missionaris Katolik terutama yang dilakukan oleh pastor Marianus Van de Acker mendapat simpatik dari masyarakat Lintongnihuta. Perhatian missionaris terhadap masyarakat Lintongnihuta turut mempercepat proses perkembangan agama Katolik di daerah ini. Perkembangan agama protestan dan Katolik tidak menguntungkan bagi penjajahan Belanda di Tapanuli. Sebabnya cara penguasaan daerah yang dilakukan oleh penjajahan Belanda berbeda dengan yang dilakukan missionaris. Belanda menggunakan kekerasan sedangkan missionaris memakai cara pendidikan. Cara missionaris yang mendapat simpatik rakyat membuat Belanda meniru cara missionaris, karena itu Belanda juga menarik simpatik rakyat dengan mendirikan sekolah sekolah bumiputera dan menyediakan tenaga guru 50 50 AGP Datubara, Op-Cit., hal.235. . Pada dasarnya ajaran ajaran yang disampaikan para guru di sekolah Belanda adalah untuk kepentingan Belanda dengan dasar supaya mereka dapat diterima dan seluruh hasil dari rakyat dapat mereka ambil. Guru guru yang diangkat oleh Belanda harus mengikuti peraturan-peraturan yang diberikan oleh Belanda. Maksud Belanda menyediakan guru-guru tersebut adalah untuk memperkuat kedudukan Belanda di Tapanuli. Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta 1937 – 1985, 2010. Dengan berdirinya sekolah sekolah Belanda tersebut, missionaris membuat perbedaan antara pendidikan Belanda dengan yang dikelola oleh missionaris. Tujuannya agar masyarakat dapat membedakan mana pendidikan Belanda dan mana pendidikan yang dikelola oleh missionaris. Para missionaris dalam mengembangkan pendidikan lebih mengutamakan pendidikan keimanan. Di luar sekolah, sikap, cara hidup dan pergaulan di tengah-tengah masyarakat diupayakan lebih mendekatkan diri kepada masyarakat. Dengan demikian semakin runtuhlah anggapan bahwa kegiatan missionaris adalah untuk kepentingan penjajahan Belanda. Berkembangnya agama Kristen semakin menghilangkan nilai- nilai religius magis dan diganti dengan gereja sebagai wadah pelaksanaan proses berhubungan dengan Allah. Pengaruh Kristenisasi membuat masyarakat percaya kepada kebesaran Tuhan sebagai pencipta manusia dan pemberi berkat atas segala kehidupannya.

3.3 Kendala Kendala Yang Dihadapi Oleh Missionaris Dalam Penyebaran Agama Katolik