Perkembangan Agama Katolik Di Lintongnihuta

Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta 1937 – 1985, 2010. Setelah agama Katolik diterima oleh sebagian masyarakat di Lintongnihuta, tantangan yang dihadapi oleh missionaris Katolik adalah zending Protestan. Tahun 1938 zending Protestan menerbitkan edaran untuk melawan Katolik dan membela ajaran Protestan. Edaran tersebut adalah Parsaoran tu Debata, mangihuthon poda Rooms Katholik dohot poda Protestan. Edaran yang diterbitkan oleh zending Protestan ini merupakan penjelekan terhadap agama Katolik 51

3.4.1 Perkembangan Agama Katolik Pada Masa Pastor Marianus Van de Acker 1937- 1942

. Untuk menghadapi edaran- edaran yang menjelekkan agama Katolik, pihak missionaries menerbitkan buku buku kecil tentang ajaran agama Katolik seperti Hasintongan taringot tu Huria Rooms Katolik, poda Pangkristenon, Ende-ende Katolik, dan parbarita Katolik.

3.4 Perkembangan Agama Katolik Di Lintongnihuta

Dalam pengembangan agama Katolik di Lintongnihuta dan daerah- daerah pedalaman di sekitar Lintongnihuta, Pastor Marianus van de Acker melakukan pendekatan terhadap masyarakat di Lintongnihuta, baik pendekatan budaya maupun pendekatan holistik. Disamping kedua pendekatan yang dilakukan, Marianus juga membuat propagandis yaitu memperkenalkan agama Katolik sampai ke daerah- daerah pedalaman di Lintongnihuta. Marianus mendirikan sekolah-sekolah rakyat 51 Crispinianus Theeuwes OFM Cap., Op-cit, hal.69. Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta 1937 – 1985, 2010. hampir di tiap tiap stasi huria Katolik yang berada di pedalaman pedesaan di sekitar paroki Lintongnihuta. Sampai tahun 1942, Marianus mendirikan 15 stasi yang tersebar di sekitar Lintongnihuta. Sejalan dengan bertambahnya stasi-stasi di Lintongnihuta, sehingga pastor Marianus tidak mungkin langsung memimpin semua stasi. Setiap stasi dipimpin oleh orang awam, Vorhanger dan beberapa sintua. Pimpinan dibagi dalam dua kelompok yaitu pimpinan rohani ibadah dan pimpinan Jasmani keuangan dan bangunan. Marianus mendirikan sekolah sekolah rakyat Katolik di setiap stasi di Lintongnihuta yang setingkat dengan kelas I sampai kelas III SD Volks School, sedangkan kelas IV sampai kelas VI SD Vervolk School hanya berada di paroki Lintongnihuta sebagai induk dari stasi. Berdirinya sekolah rakyat Katolik membantu masyarakat Lintongnihuta dalam menuju kemajuan ilmu yang terarah. Dengan didirikannya sekolah rakyat di Lintongnihuta dan di pedalaman, anak-anak katolik banyak memasuki sekolah tersebut. Demikian juga dengan anak anak yang tidak beragama Katolik juga ikut memasuki sekolah tersebut karena sifat sekolah rakyat Katolik berlaku untuk umum. Para orangtua dari anak-anak tidak beragama Katolik banyak yang masuk menjadi agama Katolik dan meninggalkan agama sebelumnya. Hal ini juga terjadi karena pengaruh anak anak mereka yang masuk sekolah rakyat, sehingga orangtuanya tertarik untuk mengikuti ajaran agama Katolik dan diterima secara resmi sebagai umat Katolik setelah dibabtis 52 52 Hasil wawancara dengan pastor Levi Pakpahan yang dilakukan tanggal 23 Juli 2009 pukul 12.00 Wib. . Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta 1937 – 1985, 2010. Karena minat masyarakat semakin tinggi untuk masuk Katolik maka missionaris kewalahan untuk membina. Karena missionaris juga sibuk membangun sekolah di stasi- stasi yang baru dibentuk. Untuk mengatasi masalah ini, Pastor Marianus memberikan pengajaran kepada guru- guru sekolah Katolik untuk ikut mengajarkan agama Katolik di kampung- kampung. Pastor Marianus memberikan kursus teratur kepada guru-guru Cursus Volks Onderwijzers 53 3.4.2 Perkembangan Agama Katolik Pada Masa Perang Dunia II 1942- 1945 dan Agresi Militer I,II 1947- 1948 . Kursus tulis ini sangat sederhana. Pertama-tama ditekankan bukan hanya pelajaran agama dan pengetahuan kitab Suci, tetapi khususnya diusahakan supaya calon- calon guru agama dapat belajar hidup sebagai orang Kristen di asrama. Mereka diajar memimpin ibadah Minggu tanpa kehadiran pastor. Aturan ibadah Minggu dicetak begitu juga khotbah yang disusun pastor, harus mereka bawakan pada hari Minggu. Dalam perang Asia Fasifik tahun 1942 -1945, kegiatan missionaris di Lintongnihuta sangat terganggu. Dengan didudukinya Pulau Sumatera oleh pasukan pasukan tentara Jepang, maka perkembangan pesat misi yang masih muda usianya di Tapanuli termasuk Lintongnihuta mendapat pukulan yang hebat. Dalam perang Asia Fasifik Jepang berkonfrontasi dengan Belanda. Ketika Jepang memasuki daerah Tapanuli, mereka menangkapi dan menawan orang orang Belanda termasuk missionarisnya. Hal ini mengakibatkan tergangunya perkembangan agama Katolik. 53 Ibid., hal .69. Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta 1937 – 1985, 2010. Semua missionaris ditangkap dan ditawan. Kemudian missionaris dari Tapanuli dikumpulkan di Soposurung, Balige lalu dikirim ke Pematang Siantar dan terakhir ke Siringo ringo, Asahan. Sebagian lagi dikirim ke Sungai Sungkal. Mereka memang tidak diperlakukan seperti tawanan militer, tetapi semua kegiatan misi dilarang. Selama missionaris menjadi tawanan Jepang, banyak missionaris yang menderita karena kekurangan makanan dan kerja paksa yang berat sehingga missionaris meninggal di tahanan seperti : Benjamin Deykstra, September 1943 di sungai Sungkol, Aceh dan dikebumikan di Medan. Kemudian pastor Marianus Spanyers ditahan di Kota Raja. Marianus Spanyers jatuh sakit dan tanpa pengobatan berarti akibatnya tanggal 15 Juli 1944 meninggal dan dikebumikan di Medan. Selama masa penawanan missionaris oleh Jepang, terjadilah kemunduran dan kemerosotan umat karena tidak adanya imam untuk memimpin umat. Untuk menanggulangi masalah ini, pada tahun 1942 dibentuklah dewan untuk mengurus misi yang sedang berkembang. Dewan ini terdiri dari guru dan katekis pribumi yang membantu pastor dalam menyebarkan Injil. Dewan yang dibentuk adalah Centrale Rooms Katolike Tapanuli Dewan Pengurus Katolik wilayah Tapanuli meliputi Tapanuli, Sibolga, Dan Nias yang terdiri dari: 1. J.B Panggabean Katekis kepala Balige Ketua 2. G. P Siregar Katekis Sibolga Sekretaris 3. J.Ch. C. Tampubolon Katekis kepala Pangururan Anggota 4. R. Pardede, Katekis Sibuntuon Bagasan Anggota 5. J. Sinaga Katekis Lintongnihuta Anggota 6. W. Simangunsong Katekis kepala Pakkat Anggota Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta 1937 – 1985, 2010. 7. S. M. Sihombing Katekis Sidikkalang Anggota 8. J.A Situmorang Katekis Palipi Anggota 9. G. M. Samosir Katekis Onan Runggu Anggota 10. G. Siagian Katekis Tomok Anggota 11. K. Hutabarat Katekis Pematang Siantar Anggota 12. P. Datubara Katekis Seribudolok Anggota 13. P. S. Harefa Katekis Gunung Sitoli Anggota 14. H.S. Dachi Katekis Teluk Dalam Anggota 15. St. Silaban Katekis Silaen Anggota Oleh dewan dibuatlah surat permintaan ke keuskupan di Tokyo untuk memperoleh pastor yang akan ditugaskan untuk melayani umat, tetapi hasilnya sia sia. Pada saat terjadi kekalutan di dalam tubuh agama Katolik, agama lain berusaha mempengaruhi agar umat beralih agama. akan tetapi umat Katolik tetap bertahan. Pada saat yang bersamaan pihak Jepang memerintahkan kerja paksa Romusha untuk membuka jalan maupun kubu pertahanan. Para katekis dibebaskan dari kerja paksa tersebut. Umumnya katekis tetap tinggal di paroki di mana mereka masing masing bertugas. Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu pada tahun 1945, para misionaris dibebaskan. Tetapi mereka masih berkumpul di kota- kota. Mereka belum diizinkan ke kampung- kampung . Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, suasana semakin gawat dan parah. Tahun 1947 terjadi agresi militer I, dan tahun 1948 agresi militer II, yaitu terjadinya serangan tentara Belanda yang Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta 1937 – 1985, 2010. kedua kalinya di Indonesia, sehingga terbentuklah kelompok- kelompok laskar pejuang yang ingin mempertahankan kemerdekaan yang tidak diakui oleh Belanda. Kelompok- kelompok revolusioner ini beroperasi di pedalaman sehingga daerah pedalaman tidak aman bagi orang asing temasuk bagi para missionaris yang dicurigai sebagai penjajah. Banyak missionaris memakai kesempatan ini untuk cuti dan sekaligus memulihkan kesehatan dan tenaga setelah mengalami penderitaan selama di tahanan Jepang sambil menunggu keadaan aman dan diizinkan untuk kembali ke daerah masing masing. Tahun 1950 Mgr. Brans Uskup Sumatera waktu itu, berusaha keras lewat surat dan relasi untuk menghubungi penguasa agar diberi izin kepada para missionaris untuk kembali ke daerah misi yang sudah begitu lama terlantar. Partai Katolik Republik Indonesia juga mencoba berbagai usaha menghubungi penguasa di Jakarta. Jalan akhir yang ditempuh untuk mengatasi situasi ini dengan mendatangkan imam imam pribumi Jawa yang ditugaskan untuk mengunjungi umat di Sumatera, khususnya di wilayah yang tidak aman bagi missionaris asing. Setelah satu setengah tahun lamanya, maka pastor Aloysius Pujohandoyo dari Jawa bertugas untuk daerah Tapanuli dan Sibolga. Setelah Pastor Aloysius Pujohandoyo tiba di Balige, dia mengelilingi semua paroki mulai dari Lintongnihuta, Dolok Sanggul, Pakkat, Parlilitan dan Tarutung. Awal tahun 1950 semua serdadu Belanda kembali ke tanah airnya sesuai dengan perjanjian KMB, pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda. Tinggal hanya laskar laskar sewaan Belanda yang sama sekali tidak dapat dipercayai. Suasana ini menjadikan situasi sangat tegang, khususnya bagi para missionaris. Missionaris Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta 1937 – 1985, 2010. harus memilih tinggal di Indonesia atau pulang ke negeri asal. Dengan tegas Mgr. Brans meminta kepada semua missionaris untuk tinggal di Indonesia dan menjadi penduduk Indonesia. Setiap missionaris diwajibkan untuk memiliki Keterangann Izin Masuk KIM dan Surat Keterangan Kependudukan SKK. Setelah keadaan aman, para missionaris dapat kembali bertugas dengan aktif. Pastor Marianus Van de Acker bertugas di Balige, Pastor Weinfridus Josen bertugas di Lintongnihuta, Pastor Nuyten bertugas di Pakkat, pastor Radboad Wakerreuns bertugas di Pangururan dan Pastor Beatus Jernigsen bertugas di Onan Runggu. Sejalan dengan perkembangan keamanan di Tapanuli, Dewan Pengurus Katolik Wilayah Tapanuli dibubarkan.

3.4.3 Perkembangan Agama Katolik Pada Masa Pastor Weinfridus Josen 1951- 1961

Setelah pengakuan kerajaan Belanda atas kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949, situasi keamanan berangsur angsur pulih. Pada awal tahun 1950 para missionaris pun diizinkan masuk kampung bahkan sampai ke pedalaman sehingga pastor Weinfridus Josen diutus untuk melanjutkan penyebaran agama Katolik di Lintongnihuta. Sebelum pastor Weinfridus Josen ke Lintongnihuta, dia terlebih dahulu belajar bahasa Batak Toba di Balige, sehingga tahun 1952 pastror melakukan pekabaran injil kembali di Lintongnihuta. Pasror Weinfridus berkarya di Lintongnihuta dan membuka stasi stasi sampai ke daerah Dolok Sanggul. Setelah kedatangan pastor Weinfridus di Lintongnihuta agama Katolik semakin berkembang. Hal ini dibuktikan dengan dibukanya paroki yang baru di Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta 1937 – 1985, 2010. Dolok Sanggul. Perkembangan umat Katolik sangat pesat pada periode ini. Hal ini dipengaruhi juga oleh pengaruh selibat atau hidup tidak kawin bagi para pastor dan para suster sehingga mereka lebih lincah dalam mengunjungi umat di sekitar paroki dan sampai stasi stasi di Lintongnihuta. Pastor dan suster lebih banyak bersosialisasi dan beradaptasi dengan masyarakat setempat. Perkembangan agama Katolik di Lintongnihuta juga dipengaruhi oleh akulturasi kebudayaan Batak Toba dengan ajaran Katolik. Akulturasi yang paling dominan didapatkan dalam masyarakat Lintongnihuta adalah pemakaian ulos dan pemakaian alat alat gondang pada acara resmi dan perayaan hari besar dalam agama Katolik. Dalam melakukan pengembangan agama Katolik di Lintongnihuta, pastor mempergunakan sepeda motor dan mobil untuk memperlancar hubungan paroki dengan stasi stasi yang ada di sekitar Lintongnihuta. Pada tanggal 27 mei 1954 Pastor bekerjasama dengan suster Reneldis, suster Lidwono Stalenhoof untuk mendirikan balai pengobatan di Lintongnihuta. Berdirinya balai pengobatan di Lintongnihuta pada awalnya merupakan bantuan dan kerjasama Kongregasi suster Fransiskan Santa Lusia KSFL yang semula berpusat di Bennebroek dan tahun 1953 dipindahkan ke Lintongnihuta. Perkembangan agama katolik di Tapanuli dan di Lintongnihuta pada khususnya juga dipengaruhi oleh situasi negara Republik Indonesia yang sudah aman dari sebelumnya dan pemerintahan telah berfungsi semestinya. Setiap orang asing harus mendapat izin masuk Indonesia dan memiliki izin untuk menjadi penduduk Indonesia sehingga missionaris harus menjadi penduduk Indonesia dan harus memiliki Keterangan Izin Masuk KIM atau Surat Keterangan Kependudukan Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta 1937 – 1985, 2010. SKK. Dokumen ini dapat diperoleh, tetapi karena hubungan Indonesia dengan Belanda masih tegang, maka proses pengurusannya sering dipersulit. Ancaman bahwa suatu waktu missionaris asing tidak diizinkan lagi masuk Indonesia. Karena itu, Mgr. Brans mendorong missionaris untuk bersedia menjadi warga Negara Indonesia demi kelangsungan misi kekatolikan. Surat dari uskup ini mendapat tanggapan baik dari para missionaris sehingga banyak missionaris menjadi warga negara Indonesia. Dengan adanya SKK sehingga para missionaris lebih aman untuk melanjutkan misi kekatolikan di Tapanuli khususnya Lintongnihuta. Tahun 1955 Ferrerius Van den Hurk diangkat menjadi kepala Uskup di Sumatera untuk menggantikan Mgr. Brans karena sudah lanjut usia. Selama tiga puluh lima tahun Mgr. Brans ikut membangun penyebaran agama Katolik di Tapanuli dan setelah pension, dia kembali ke negeri Belanda.

3.4.4 Perkembangan Agama Katolik Pada Masa Pastor Septimus Kamphof dan Wynen 1961-1985

Perkembangan agama Katolik pada periode ini ditandai dengan bertambahnya jumlah stasi di Lintongnihuta menjadi 21 stasi. Hal ini dipengaruhi oleh terjadinya G 30 SPKI pada tahun 1965 di Indonesia sehingga umat Katolik di Tapanuli khususnya di Lintongnihuta menjadi bertambah. Penumpasan G 30 SPKI di Tapanuli khususnya di Lintongnihuta mengakibatkan masyarakat yang menganut kepercayaan sipelebegu beralih menjadi agama Katolik dan Protestan karena ada anggapan bahwa partai Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta 1937 – 1985, 2010. Komunis Indonesia adalah orang orang yang tidak mengenal adanya Tuhan dan tidak menganut suatu agama. Salah satu karya terbesar pastor Kamphof dan Wynen di Lintongnihuta adalah mendirikan koperasi simpan pinjam Credit Union Bahenma Na Denggan pada tahun 1970. Koperasi didirikan untuk membantu Umat Katolik di Lintongnihuta untuk mendapatkan modal pertanian. Perkembangan agama Katolik pada periode ini dipengaruhi oleh partisipasi pastor di paroki Lintongnihuta dalam pembagian tugas dalam pelayanan umat sampai ke stasi stasi di Lintongnihuta. Pada masa ini telah ada pastor yang berasal dari masyarakat Lintongnihuta. Dengan adanya pastor ini semakin terbantulah missionaris asing untuk meluaskan agama Katolik di Lintongnihuta khususnya dan diwilayah sekitar pada umumnya. Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta 1937 – 1985, 2010.

BAB IV PENGARUH DAN PELAYANAN AGAMA KATOLIK