Perbandingan Efektivitas Antara Hydroxyethyl Starch (HES) 130/0.4 Dengan Efedrin 10 mg Dalam Mencegah Hipotensi Pada Pasien Seksio Sesarea Dengan Anestesi Spinal

(1)

PERBANDINGAN EFEKTIVITAS ANTARA HYDROXYETHYL

STARCH(HES) 130/0.4 DENGAN EFEDRIN 10 MG DALAM

MENCEGAH HIPOTENSI PADA PASIEN SEKSIO SESAREA

DENGAN ANESTESI SPINAL

Oleh :

Jonathan Toman Lumbantobing

090100187

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2012


(2)

PERBANDINGAN EFEKTIVITAS ANTARA HYDROXYETHYL

STARCH(HES) 130/0.4 DENGAN EFEDRIN 10 MG DALAM

MENCEGAH HIPOTENSI PADA PASIEN SEKSIO SESAREA

DENGAN ANESTESI SPINAL

Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran

Oleh :

Jonathan Toman Lumbantobing

090100187

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2012


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Perbandingan Efektivitas antara Hydroxyethyl Starch(HES) 130/0.4 dengan Efedrin 10 mg dalam Mencegah Hipotensi pada Pasien Seksio Sesarea

dengan Anestesi Spinal

Nama : Jonathan T. L. Tobing NIM : 090100187

Pembimbing Penguji I

(dr.Andriamuri P. Lubis, SpAn, M.Ked (An)) (Dr.dr. Imam Budi Putra, SpKK) NIP : 19811107 200801 1 009 NIP :19650725 200501 1 001

Penguji II

(Nenni Dwi Apriani Lubis, SP, M.Si) NIP : 19760410 200312 2 002

Medan. 15 Januari 2013 Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

(Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, SpPD-KGEH) NIP: 19540220 198011 1 001


(4)

ABSTRAK

Anestesi spinal merupakan teknik anestesi yang umum dilakukan pada seksio sesaria. Namun dilaporkan bahwa efek samping yang ditimbulkan adalah hipotensi. Banyak cara dilakukan dalam mencegah hipotensi spinal seperti pergeseran uterus ke arah lateral, koloading cairan baik koloid maupun kristaloid, atau pemberian vasopressor profilaksis. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas antara Hydroxyethyl Starch (HES) 130/0.4 dengan efedrin dalam mencegah hipotensi pada pasien seksio sesarea dengan anestesi spinal.

Penelitian ini menggunakan metode tersamar tunggal, acak terkontrol, dengan tujuan untuk mengetahui efektifitas pemberian ko-loading cairan koloid dalam mencegah hipotensi dibandingkan pemberian efedrin pada pasien-pasien yang menjalani seksio sesarea dengan anestesi spinal. Setelah mendapatkan persetujuan dari komisi etika penelitian kesehatan, dua puluh empat pasien ASA 1 atau 2 menjalani prosedur seksio sesarea secara acak dialokasikan untuk menerima cairan ko-loading koloid (kelompok A) dosis 10ml/kg BB dan efedrin (kelompok B) dosis 10 mg. Selanjutnya diukur tekanan darah sistolik, diastolik, tekanan arteri rerata dan laju nadi pasien dicatat setelah spinal anestesi menit ke-1, ke-5, ke-10, ke-15 dan ke-20.

Pada penelitian ini didapatkan penurunan tekanan darah sistolik, diastolik dan MAP setelah anestesi spinal pada kedua kelompok. Nilai penurunan rerata tekanan darah sistolik dari menit ke-0 sampai menit ke-1 pada kelompok A dan pada kelompok B setelah di uji statistik dengan t-independen diperoleh nilai p>0,05 yang berarti penurunan yang terjadi tidak bermakna. Pada kelompok A dari 115 (SD 9,16) mmHg ke 100,75 (SD 15,34) mmHg pada menit ke-1 dan pada kelompok B dari 117.58 (SD 10.42) mmHg ke 95.50 (SD 12,82) pada menit ke-1. Bila dibandingkan antara kedua kelompok tida terdapat perbedaan yang bermakna (p>0,05) yaitu pada menit ke-1 setelah tindakan anestesi spinal.Penurunan rerata tekanan diastolik pada kelompok A dan kelompok B tidak terdapat perbedaan bermakna. Bila dibandingkan antara kedua kelompok terdapat perbedaan yang bermakna (p<0,05) dari menit ke menit penelitian ini. Tidak terjadi penurunan bermakna pada tekanan arteri rerata (MAP) dikarenakan p> 0.05. Pada penelitian ini terjadi peningkatan laju nadi rata-rata yang tidak bermakna pada kelompok A. Demikian juga pada kelompok B. Sehingga tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok

Dari hasil penelitian ditemukan bahwa tidak ada perbedaan efek pemberian ko-loading cairan koloid dalam mencegah hipotensi dibandingkan pemberian efedrin pada pasien-pasien yang menjalani seksio sesarea dengan anestesi spinal


(5)

ABSTRACT

Spinal anesthesia is commonly used in pregnant women who will undergo caesarian section. The most common side effect that occurs is hypotension. Some procedures are used to prevent hypotension such as uterine lateral disposition, crystalloid preloading or colloid and, vasopressor prophylaxis. The aim of this research is to compare the effectivity between Hydroxyethyl Starch (HES) 130/0.4 and ephedrine 10 mg to prevent hypotension.

This research used a single-blind, randomized, controlled, in order to determine the effectiveness of co-loading colloid in preventing hypotension compared to ephedrine in patients undergoing spinal anesthesia with caesarian section. After obtaining approval from the ethics commitee, twenty four patients ASA 1 or 2 undergo caesarian section procedure were randomly allocated to received co-loading of colloid (group A) dose 10ml/kg and ephedrine dose 10 mg. Subsequently measured systolic blood pressure, diastolic, mean arterial pressure and pulse rate were recorded after spinal anesthesia patients minute to-1, the 5th, 10th,15th and 20th.

There is no significant difference between two groups. At minute 0 to minute-to-1 decrease significantly from 115 (SD 9,16) mmHg to 100,75 (SD 15,34) mmHg at minute 1 and in group B from 117.58 (SD 10.42) mmHg to 95.50 (SD 12,82) at minute 1. There is no significant difference diastolic blood pressure between two groups in which values obtained for independent t test p>0.05. On the Mean Arterial Pressure (MAP) there is no significant reduction in both groups, where the values obtained for the independent t test p >0.05. Dynamically changes the pulse rate of the average non-significant increase in group A similarly in group B.

There is no difference in the effect of co-loading colloid in preventing Hypotension compared to ephedrine in patients undergoing caesarian section with spinal anesthesia.


(6)

Kata Pengantar

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas anugerah yang telah diberikan-Nya kepada saya sehingga Karya Tulis Ilmiah (KTI) ini dapat diselesaikan dengan baik. Saya berharap penelitian yang berjudul

Perbandingan Efektivitas Antara Hydroxyethyl Starch (HES) 130/0.4 dengan Efedrin 10 mg dalam Mencegah Hipotensi pada Pasien Seksio Sesarea dengan Anestesi Spinaldapat menjadi suatu penelitian yang berguna bagi masyarakat pada umumnya dan tenaga kesehatan pada khususnya.

Kiranya Karya Tulis Ilmiah ini dapat menjadi langkah awal untuk menunaikan amanat Tri Dharma perguruan tinggi yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Besar harapan agar kiranya penelitian ini memiliki manfaat dan memiliki kapabilitas dalam menemukan berbagai hal yang terjadi di masyarakat terkhusus dalam bidang medis.

Saya tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada setiap pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini. Secara khusus saya menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. dr.Gontar A. Siregar, Sp.PD-KGEH sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu dr. Donna Partogi, Sp. KK sebagai dosen penasihat akademik.

3. Bapak dr. Andriamuri Primaputra Lubis, Sp.An, M.Ked (An) sebagai dosen pembimbing yang mendampingi penulis dalam mempersiapkan karya tulis ilmiah ini

4. Bapak Dr. dr. Imam Budi Putra, Sp.KK sebagai dosen penguji I yang memberikan kritikan dan saran dalam karya tulis ilmiah ini

5. Ibu Nenni Dwi Apriani Lubis, SP, M.Si sebagai dosen penguji II yang memberikan kritikan dan saran dalam karya tulis ilmiah ini.

6. Kepala Departemen Anestesi RSUP H. Adam Malik Medan dan RSUD


(7)

7. Para Abang dan Kakak Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Departemen Anestesiologi dan Departemen Obstetri dan Ginekologi FK USU Dinas RSUP H.Adam Malik Medan dan RSUD Dr. Pirngadi Medan

8. Kedua orangtua penulis ayahanda dr. Christoffel DPL. Tobing, Sp.OG (K)

dan ibunda Elita L. Hutauruk yang memberikan dukungan yang luar biasa.

9. Saudara kandung saya dr. Joshua Partogi Ferdinand Lumbantobing dan Josephine Irena Masniari Lumbantobing yang tetap saling mendukung terkhusus dalam hal pendidikan.

10.Rekan-rekan mahasiswa FK USU 2009 terkhusus kepada Adi Retno, Tiop

Maruntung Pasaribu, Gold Sunday Palm Tampubolon yang terlibat memberikan masukan dan kritikan dalam penelitian ini

Saya sebagai peneliti pemula menyadari masih banyak kekurangan dalam Karya Tulis Ilmiah ini. Untuk itu, dengan rendah hati saya meminta kritik dan saran untuk perbaikan di kemudian hari. Semoga Karya Tulis Ilmiah ini dapat membawa manfaat bagi kita semua.

Medan, Desember 2012

Jonathan Toman Lumbantobing NIM.090100187


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

Lembar Pengesahan ... i

Abstrak ... ii

Abstract ... iii

Kata Pengantar ... iv

Daftar Isi ... vi

Daftar Gambar ... ix

Daftar Tabel ... x

Daftar Lampiran ... xi

Daftar Istilah ... xii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Perubahan Fisiologis Ibu Hamil ... 5

2.1.1 Perubahan Metabolik ... 5

2.1.2 Perubahan Kardiovaskular ... 5

2.1.3 Perubahan Hematologi ... 7

2.1.4 Perubahan Sistem Respirasi ... 7

2.1.5 Perubahan Sistem Renal ... 8

2.1.6 Perubahan Sistem Gastrointestinal ... 9

2.1.7 Perubahan Sistem Saraf Pusat dan Perifer ... 10

2.1.8 Perubahan Sistem Muskuloskeletal ... 11

2.1.9 Sirkulasi Uteroplasental ... 11

2.2 Seksio Sesarea ... 12

2.2.1 Definisi ... 12

2.2.2 Indikasi ... 12

2.2.2.1 Indikasi Absolut ... 12

2.2.2.2 Indikasi Relatif ... 13

2.2.2.3 Kontraindikasi Seksio Sesarea ... 13

2.2.3 Teknik Seksio Sesarea ... 13

2.2.3.1 Insisi Abdominal ... 13

2.2.3.1.1 Insisi Abdominal Vertikal ... 13

2.2.3.1.2 Insisi Abdominal Transversal ... 14

2.2.3.2 Insisi Uterus ... 14

2.2.3.3 Seksio Sesarea Klasik ... 15


(9)

2.3 Spinal Anestesi ... 16

2.3.1 Indikasi Spinal Anestesi ... 17

2.3.2 Kontraindikasi Absolut Spinal Anestesi ... 17

2.3.3 Kontraindikasi Relatif Spinal Anestesi ... 18

2.3.4 Anatomi ... 18

2.3.5 Teknik Spinal Anestesi ... 18

2.3.6 Obat-obatan yang Digunakan ... 20

2.3.7 Pengaturan Level Anelgesia ... 20

2.3.8 Komplikasi/ Masalah Anestesi Spinal ... 22

2.4 Cairan ... 25

2.4.1 Kristaloid ... 26

2.4.2 Koloid ... 26

2.4.2.1 Hydroxyethyl Starch ... 26

2.4.2.1.1 Fitur ... 27

2.4.2.1.2 Kekurangan ... 27

2.5 Efedrin ... 27

2.5.1 Farmakokinetik ... 27

2.5.2 Farmakodinamik ... 28

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 30

3.1 Kerangka Konsep Penelitian ... 30

3.2 Definisi Operasional ... 30

3.3 Hipotesis ... 31

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 32

4.1 Rancangan Penelitian ... 32

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 32

4.2.1 Lokasi Penelitian ... 32

4.2.2 Waktu Penelitian ... 32

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 32

4.3.1 Populasi Penelitian ... 32

4.3.2 Sampel Penelitian ... 32

4.3.3 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 33

4.3.3.1 Kriteria Inklusi ... 33

4.3.3.2 Kriteria Eksklusi ... 33

4.3.4 Besar Sampel ... 33

4.4 Cara Kerja ... 33

4.4.1 Persiapan Pasien ... 33

4.4.2 Pelaksanaan Penelitian ... 34

4.5 Alur Penelitian ... 36

4.6 Metode Pengumpulan Data ... 37


(10)

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 38

5.1 Hasil Penelitian ... 38

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 38

5.1.2 Deskripsi Karakteristik Responden ... 38

5.1.3 Jenis Suku, Pekerjaan, Pendidikan pada Kedua Kelompok Penelitian ... 40

5.1.4 PS – ASA ... 41

5.1.5 Karakteristik Klinis Perubahan Hemodinamik pada Kedua Kelompok ... 41

5.2 Pembahasan ... 45

5.2.1 Gambaran Umum ... 45

5.2.2 Perubahan Hemodinamik ... 46

5.2.3 Perubahan Tekanan darah ... 46

5.2.4 Perubahan Laju Nadi ... 47

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 48

6.1 Kesimpulan ... 48

6.2 Saran ... 48

DAFTAR PUSTAKA ... 49 LAMPIRAN


(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian 30

Gambar 4.1 Diagram Alur Penelitian 36

Gambar 5.1 Perubahan Tekanan Sistolik Rerata pada Kedua Kelompok

42

Gambar 5.2 Perubahan Tekanan Diastolik Rerata pada Kedua Kelompok

43

Gambar 5.3 Perubahan MAP Rerata pada Kedua Kelompok 44 Gambar 5.4 Perubahan Laju Nadi Rerata pada Kedua

Kelompok


(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 5.1 Karakteristik Umum Sampel Penelitian pada Kedua Kelompok

39

Tabel 5.2 Jenis Suku, Pekerjaan, dan Pendidikan pada Kedua Kelompok Penelitian

40

Tabel 5.3 Status Fisik ASA 41

Tabel 5.4 Karakteristik Hemodinamik Pre- Induksi 41 Tabel 5.5 Tekanan darah sistolik rerata pada kedua

kelompok

42

Tabel 5.6 Tekanan darah diastolik pada kedua kelompok 43 Tabel 5.7 Tekanan Arteri Rerata (MAP) pada kedua

kelompok

44


(13)

DAFTAR LAMPIRAN LAMPIRAN 1 Daftar Riwayat Hidup

LAMPIRAN 2 Data Induk

LAMPIRAN 3 Output Data Penelitian LAMPIRAN 4 Surat Ethical Clearance LAMPIRAN 5 Surat Izin Penelitian LAMPIRAN 6 Rincian Informasi

LAMPIRAN 7 Surat Persetujuan Klinik LAMPIRAN 8 Status Penelitian


(14)

DAFTAR ISTILAH CSF = Cerebro Spinal Fluid

PS ASA = Physical Status by American Society of Anesthesiologist HES = Hydroxyethyl Starch

COP = Coloidal Oncotic Pressure MAP = Mean Arterial Pressure


(15)

ABSTRAK

Anestesi spinal merupakan teknik anestesi yang umum dilakukan pada seksio sesaria. Namun dilaporkan bahwa efek samping yang ditimbulkan adalah hipotensi. Banyak cara dilakukan dalam mencegah hipotensi spinal seperti pergeseran uterus ke arah lateral, koloading cairan baik koloid maupun kristaloid, atau pemberian vasopressor profilaksis. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas antara Hydroxyethyl Starch (HES) 130/0.4 dengan efedrin dalam mencegah hipotensi pada pasien seksio sesarea dengan anestesi spinal.

Penelitian ini menggunakan metode tersamar tunggal, acak terkontrol, dengan tujuan untuk mengetahui efektifitas pemberian ko-loading cairan koloid dalam mencegah hipotensi dibandingkan pemberian efedrin pada pasien-pasien yang menjalani seksio sesarea dengan anestesi spinal. Setelah mendapatkan persetujuan dari komisi etika penelitian kesehatan, dua puluh empat pasien ASA 1 atau 2 menjalani prosedur seksio sesarea secara acak dialokasikan untuk menerima cairan ko-loading koloid (kelompok A) dosis 10ml/kg BB dan efedrin (kelompok B) dosis 10 mg. Selanjutnya diukur tekanan darah sistolik, diastolik, tekanan arteri rerata dan laju nadi pasien dicatat setelah spinal anestesi menit ke-1, ke-5, ke-10, ke-15 dan ke-20.

Pada penelitian ini didapatkan penurunan tekanan darah sistolik, diastolik dan MAP setelah anestesi spinal pada kedua kelompok. Nilai penurunan rerata tekanan darah sistolik dari menit ke-0 sampai menit ke-1 pada kelompok A dan pada kelompok B setelah di uji statistik dengan t-independen diperoleh nilai p>0,05 yang berarti penurunan yang terjadi tidak bermakna. Pada kelompok A dari 115 (SD 9,16) mmHg ke 100,75 (SD 15,34) mmHg pada menit ke-1 dan pada kelompok B dari 117.58 (SD 10.42) mmHg ke 95.50 (SD 12,82) pada menit ke-1. Bila dibandingkan antara kedua kelompok tida terdapat perbedaan yang bermakna (p>0,05) yaitu pada menit ke-1 setelah tindakan anestesi spinal.Penurunan rerata tekanan diastolik pada kelompok A dan kelompok B tidak terdapat perbedaan bermakna. Bila dibandingkan antara kedua kelompok terdapat perbedaan yang bermakna (p<0,05) dari menit ke menit penelitian ini. Tidak terjadi penurunan bermakna pada tekanan arteri rerata (MAP) dikarenakan p> 0.05. Pada penelitian ini terjadi peningkatan laju nadi rata-rata yang tidak bermakna pada kelompok A. Demikian juga pada kelompok B. Sehingga tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok

Dari hasil penelitian ditemukan bahwa tidak ada perbedaan efek pemberian ko-loading cairan koloid dalam mencegah hipotensi dibandingkan pemberian efedrin pada pasien-pasien yang menjalani seksio sesarea dengan anestesi spinal


(16)

ABSTRACT

Spinal anesthesia is commonly used in pregnant women who will undergo caesarian section. The most common side effect that occurs is hypotension. Some procedures are used to prevent hypotension such as uterine lateral disposition, crystalloid preloading or colloid and, vasopressor prophylaxis. The aim of this research is to compare the effectivity between Hydroxyethyl Starch (HES) 130/0.4 and ephedrine 10 mg to prevent hypotension.

This research used a single-blind, randomized, controlled, in order to determine the effectiveness of co-loading colloid in preventing hypotension compared to ephedrine in patients undergoing spinal anesthesia with caesarian section. After obtaining approval from the ethics commitee, twenty four patients ASA 1 or 2 undergo caesarian section procedure were randomly allocated to received co-loading of colloid (group A) dose 10ml/kg and ephedrine dose 10 mg. Subsequently measured systolic blood pressure, diastolic, mean arterial pressure and pulse rate were recorded after spinal anesthesia patients minute to-1, the 5th, 10th,15th and 20th.

There is no significant difference between two groups. At minute 0 to minute-to-1 decrease significantly from 115 (SD 9,16) mmHg to 100,75 (SD 15,34) mmHg at minute 1 and in group B from 117.58 (SD 10.42) mmHg to 95.50 (SD 12,82) at minute 1. There is no significant difference diastolic blood pressure between two groups in which values obtained for independent t test p>0.05. On the Mean Arterial Pressure (MAP) there is no significant reduction in both groups, where the values obtained for the independent t test p >0.05. Dynamically changes the pulse rate of the average non-significant increase in group A similarly in group B.

There is no difference in the effect of co-loading colloid in preventing Hypotension compared to ephedrine in patients undergoing caesarian section with spinal anesthesia.


(17)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Seksio sesarea didefinisikan sebagai lahirnya janin melalui insisi dinding abdomen (laparotomi) dan dinding uterus (histerektomi). Definisi ini tidak mencakup pengeluaran janin pada kasus ruptur uteri atau pada kasus kehamilan abdomen (Cunningham, 2010).

Pada proses kehamilan normal, tubuh akan beradaptasi terhadap perubahan fisiologis yang terjadi. Perubahan fisiologis tersebut antara lain adanya peningkatan tekanan darah, volume darah, tekanan darah perifer. Pada proses kehamilan, darah mengalir sekitar 625 ml melalui plasenta per menit selama bulan terakhir kehamilan sehingga hal ini mengakibatkan terjadinya peningkatan cardiac output sekitar 30 ke 40 persen di atas normal pada minggu ke 27. Sementara denyut nadi akan meningkat menjadi 10 kali/ menit. Volume darah meningkat sekitar 40 % pada kehamilan normal (Guyton, 2006).

Teknik anestesi pada umumnya dibagi atas teknik anestesi general dan anestesi regional. Anestesi general bekerja menekan aksis hipotalamus pituitari adrenal sedangkan anestesi regional berfungsi untuk menekan transmisi impuls nyeri dan menekan saraf otonom eferen ke adrenal. Umumnya pada tindakan seksio sesarea dilakukan teknik anestesi regional. Anestesi regional yang dilakukan pada pasien obstetri adalah dengan teknik blok paraservikal, blok epidural, blok sub arakhnoid, dan blok kaudal. Anestesi spinal (blok subarakhnoid) merupakan pilihan utama dalam tindakan seksio sesarea. Alasan pemilihan anestesi spinal karena rendahnya efek samping terhadap neonatus akan obat depresan, pengurangan risiko terjadinya aspirasi pulmonal pada maternal, kesadaran ibu akan lahirnya bayi, dan yang paling penting adalah pemberian opioid secara spinal dalam rangka penyembuhan nyeri pasca operasi (Morgan, 2006).


(18)

Namun, pemberian anestesi spinal sering diikuti oleh komplikasi tertentu. Komplikasi paling umum terjadi adalah hipotensi dimana dilaporkan pada literatur memiliki angka di atas 83%. Hipotensi tersebut terjadi dikarenakan adanya blokade saraf simpatis yang berakibat pada penurunan resistensi vaskular sistemik dan perifer sehingga terjadi penurunan cardiac output (Surya, 2011).

Ada beberapa cara untuk mencegah terjadinya hipotensi pasca anestesi spinal yang telah diteliti, karena memiliki efek yang membahayakan pada neonatus ataupun maternal. Prosedur pergeseran uterin ke arah lateral merupakan salah satu prosedur tetap dalam mencegah hipotensi. Strategi lain adalah preload cairan intravena, kompresi pada kaki dan vasopressor profilaksis. Namun, sejauh ini tidak ada satu metode yang memberikan hasil yang memuaskan. Efedrin merupakan salah satu vasopressor yang paling umum digunakan (Singh, 2009).

Wibowo (2005) menunjukkan bahwa kekerapan hipotensi 57,6 % pada pasien dengan prehidrasi ringer laktat dan 28,1 % pada pasien dengan kombinasi ringer laktat dan efedrin 12,5 mg intravena. Hal ini menunjukkan bahwa kombinasi ringer laktat dan efedrin lebih baik dalam mencegah hipotensi tanpa disertai hipertensi reaktif pada ibu hamil yang menjalani operasi elektif seksio sesarea dengan anestesi spinal.

Ngan Kee (2007) menyatakan bahwa fenilefrin dan efedrin merupakan vasopressor efektif dalam mencegah hipotensi pasca spinal. Namun, di satu sisi efedrin memberikan efek samping berupa mual dan muntah yang lebih tinggi dibandingkan fenilefrin.

Kundra (2008) menyatakan bahwa pemberian efedrin dapat

mencegah hipotensi maternal tanpa memberikan efek samping

membahayakan terhadap neonatus. Kol(2009) menunjukkan bahwa kekerapan hipotensi pasca pemberian saline adalah 85,7% dan pada pemberian efedrin adalah 38,1 %. Dalam hal ini ditunjukkan bahwa pemberian efedrin pasca anestesi spinal dapat mengurangi gejala hipotensi.


(19)

Teoh (2009) menunjukkan bahwa pemberian cairan HES 130/0,4 sebagai preload bukan koload secara signifikan meningkatkan cardiac output maternal selama 5 menit pertama setelah anestesi spinal. Surya (2011) menyatakan tidak ada perbedaan makna antara koloading koloid dengan kristaloid dalam mencegah hipotensi pada pasien seksio sesarea dengan anestesi spinal. Bouchnak, dkk (2012) menunjukkan bahwa pemberian HES 130/0,4 sebagai preload dapat menurunkan insidensi hipotensi, durasi terjadinya hipotensi, dan dosis efedrin yang dibutuhkan.

Untuk itu, peneliti ingin membandingkan apakah pemberian HES 130/0,4 dengan efedrin lebih baik dalam mencegah hipotensi pada ibu hamil yang melakukan operasi seksio sesarea dengan spinal anestesi.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas memberikan dasar bagi peneliti untuk merumuskan pertanyaan penelitian

Apakah ada perbedaan efek antara pemberian HES 130/0,4 dalam mencegah hipotensi dibandingkan dengan efedrin pada pasien pasien seksio sesarea dengan spinal anestesi?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk membandingkan efektivitas antara pemberian HES 130/0,4 dengan efedrin dalam mencegah hipotensi pada pasien seksio sesarea dengan anestesi spinal.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui tekanan darah sebelum pemberian anestesi spinal.

2. Mengetahui tekanan darah sesudah pemberian anestesi spinal.

3. Mengetahui tekanan darah sesudah pemberian HES 130/0,4.

4. Mengetahui tekanan darah sesudah pemberian efedrin.

5. Membandingkan efektivitas antara pemberian HES 130/0,4 dengan efedrin dalam mencegah hipotensi.


(20)

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat akademis

1. Dapat dijadikan sebagai bahan rujukan tambahan dalam penelitian lanjutan tentang usaha pencegahan hipotensi pada pasien seksio sesarea dengan anestesi spinal.

2. Dijadikan sebagai bahan penambah wawasan dan penerapan ilmu yang

telah diperoleh selama mengikuti pendidikan di Fakultas

Kedokteran. 1.4.2 Manfaat praktis

Bagi tenaga medis, hasil dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai

landasan dalam memilih penanganan yang efektif untuk mencegah


(21)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perubahan Fisiologis Ibu Hamil

Pada masa kehamilan ada beberapa perubahan pada hampir semua sistem organ pada maternal. Perubahan ini diawali dengan adanya sekresi

hormon dari korpus luteum dan plasenta. Efek mekanis pada

pembesaran uterus dan kompresi dari struktur sekitar uterus

memegang peranan penting pada trimester kedua dan ketiga. Perubahan fisiologis seperti ini memiliki implikasi yang relevan bagi dokter anestesi untuk memberikan perawatan bagi pasien hamil. Perubahan yang relevan meliputi perubahan fungsi hematologi, kardiovaskular, ventilasi, metabolik, dan gastrointestinal (Santos,et.al., 2006).

2.1.1 Perubahan Metabolik

Sebagai akibat dari peningkatan sekresi dari berbagai macam

hormon selama masa kehamilan , termasuk tiroksin, adrenokortikal dan hormon seks, maka laju metabolisme basal pada wanita hamil meningkat sekitar 15 % selama mendekati masa akhir dari kehamilan. Sebagai hasil dari peningkatan laju metabolisme basal tersebut, maka wanita hamil sering mengalami sensasi rasa panas yang berlebihan. Selain itu,karena adanya beban tambahan, maka pengeluaran energi untuk aktivitas otot lebih besar daripada normal (Guyton, 2006).

2.1.2 Perubahan Kardiovaskular

Sistem kardiovaskular beradaptasi selama masa kehamilan terhadapa beberapa perubahan yang terjadi. Meskipun perubahan sistem kardiovaskular terlihat pada awal trimester pertama, perubahan pada sistem kardiovaskular berlanjut ke trimester kedua dan ketiga, ketika cardiac output meningkat kurang lebih sebanyak 40 % daripada pada wanita yang tidak hamil. Cardiac output meningkat dari minggu kelima kehamilan dan mencapai tingkat maksimum sekitar minggu ke-32 kehamilan, setelah itu hanya mengalami sedikit peningkatan sampai masa persalinan, kelahiran,


(22)

dan masa post partum. Sekitar 50% peningkatan dari cardiac output telah terjadi pada masa minggu kedelapan kehamilan. Meskipun, peningkatan dari cardiac output dikarenakan adanya peningkatan dari volume sekuncup dan denyut jantung, faktor paling penting adalah volume sekuncup, dimana meningkat sebanyak 20% sampai 50% lebih banyak daripada pada wanita tidak hamil. Perubahan denyut jantung sangat sulit untuk dihitung, tetapi diperkirakan ada peningkatan sekitar 20% yang terlihat pada minggu keempat kehamilan. Meskipun, angka normal dalam denyut jantung tidak berubah dalam masa kehamilan, adanya terlihat penurunan komponen simpatis (Birnbach,et.al., 2009).

Pada trimester kedua, kompresi aortocava oleh pembesaran uterus menjadi penting secara progresif, mencapai titik maksimum pada minggu ke- 36 dan 38, setelah itu dapat menurunkan perpindahan posisi kepala fetal menuju pelvis. Penelitian mengenai cardiac output, diukur ketika pasien berada pada posisi supine selama minggu terakhir kehamilan, menunjukkan bahwa ada penurunan dibandingkan pada wanita yang tidak hamil, penurunan ini tidak diobservasi ketika pasien berada dalam posisi lateral decubitus. Sindrom hipotensi supine, yang terjadi pada 10 % wanita hamil dikarenakan adanya oklusi pada vena yang mengakibatkan terjadinya takikardi maternal, hipotensi arterial, penurunan kesadaran, dan pucat. Kompresi pada aorta yang dibawah dari posisi ini mengakibatkan penurunan perfusi uteroplasental dan mengakibatkan terjadinya asfiksia pada fetus. Oleh karena itu, perpindahan posisi uterus dan perpindahan posisi pelvis ke arah lateral harus dilakukan secara rutin selama trimester kedua dan ketiga dari kehamilan (Santos, et. al., 2006).

Naiknya posisi diafragma mengakibatkan perpindahan posisi jantung dalam dada, sehingga terlihat adanya pembesaran jantung pada gambaran radiologis dan deviasi aksis kiri dan perubahan gelombang T pada elektrokardiogram (EKG). Pada pemeriksaan fisik sering ditemukan adanya murmur sistrolik dan suara jantung satu yang terbagi-bagi. Suara jantung tiga juga dapat terdengar. Beberapa pasien juga terlihat mengalami efusi


(23)

perikardial kecil dan asimptomatik (Morgan, 2006). 2.1.3 Perubahan Hematologi.

Volume darah maternal mulai meningkat pada awal masa kehamilan sebagai akibat dari perubahan osmoregulasi dan sistem renin-angiotensin, menyebabkan terjadinya retensi sodium dan peningkatan dari total body water menjadi 8,5 L. Pada masanya, volume darah meningkat sampai 45 % dimana volume sel darah merah hanya meningkat sampai

30%. Perbedaan peningkatan ini dapat menyebabkan terjadinya ”anemia fisiologis” dalam kehamilan dengan hemoglobin rata rata 11.6 g/dl dan

hematokrit 35.5%. Bagaimanapun, transpor oksigen tidak terganggu oleh anemia relatif ini, karena tubuh sang ibu memberikan kompensasi dengan cara meningkatkan curah jantung, peningkatan PaO2, dan pergeseran ke kanan dari kurva disosiasi oxyhemoglobin (Birnbach,et.al., 2009).

Kehamilan sering diasosiasikan dengan keadaan hiperkoagulasi yang memberikan keuntungan dalam membatasi terjadinya kehilangan darah saat proses persalinan. Konsentrasi fibrinogen dan faktor VII,VIII, IX,X,XII, hanya faktor XI yang mungkin mengalami penurunan. Fibrinolisis secara cepat dapat diobservasi kemudian pada trimester ketiga. Sebagai efek dari anemia dilusi, leukositosis dan penurunan dari jumlah platelet sebanyak 10 % mungkin saja terjadi selama trimester ketiga. Karena kebutuhan fetus, anemia defisiensi folat dan zat besi mungkin saja terjadi jika suplementasi dari zat gizi ini tidak terpenuhi. Imunitas sel ditandai mengalami penurunan dan meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi viral (Morgan, 2006).

2.1.4 Perubahan Sistem Respirasi

Adaptasi respirasi selama kehamilan dirancang untuk

mengoptimalkan oksigenasi ibu dan janin, serta memfasilitasi perpindahan produk sisa CO2 dari janin ke ibu (Norwitz,et.al., 2008).

Konsumsi oksigen dan ventilasi semenit meningkat secara progresif selam masa kehamilan. Volume tidal dan dalam angka yang lebih kecil, laju pernafasan meningkat. Pada aterm konsumsi oksigen akan


(24)

meningkat sekitar 20-50% dan ventilasi semenit meningkat hingga 50%. PaCO2 menurun sekitar 28-32mm Hg. Alkalosis respiratorik dihindari melalui mekanisme kompensasi yaitu penurunan konsentrasi plasma bikarbonat. Hiperventilasi juga dapat meningkatkan PaO2 secara perlahan. Peningkatan dari 2,3-difosfogliserat mengurangi efek hiperventilasi dalam afinitas hemoglobin dengan oksigen. Tekanan parsial oksigen dimana hemoglobin mencapai setengah saturasi ketika berikatan dengan oksigen meningkat dari 27 ke 30 mm Hg. hubungan antara masa akhir kehamilan dengan peningkatan curah jantung memicu perfusi jaringan (Morgan, 2006).

Posisi dari diafragma terdorong ke atas akibat dari pembesaran uterus dan umumnya diikuti pembesaran dari diameter anteroposterior dan transversal dari cavum thorax. Mulai bulan ke lima, expiratory reserve volume, residuak volume,dan functional residual capacity menurun, mendekati akhir masa kehamilan menurun sebanyak 20 % dibandingkan pada wanita yang tidak hamil. Secara umum, ditemukan peningkatan dari inspiratory reserve volume sehingga kapasitas paru total tidak mengalami perubahan. Pada sebagian ibu hamil, penurunan functional residual capacity tidak menyebabkan masalah, tetapi bagi mereka yang mengalami perubahan pada closing volume lebih awal sebagai akibat dari merokok, obesitas, atau skoliosis dapat mengalami hambatan jalan nafas awal dengan kehamilan lanjut yang menyebabkan hipoksemia. Manuver tredelenburg dan posisi supin juga dapat mengurangi hubungan abnormal antara closing volume dan functional residual capacity. Volume residual dan functional residual capacity kembali normal setelah proses persalinan (Santos,et.al., 2006).

2.1.5 Perubahan Sistem Renal

Vasodilatasi renal mengakibatkan peningkatan aliran darah renal pada awal masa kehamilan tetapi autoregulasi tetap terjaga. Ginjal

umumnya membesar. Peningkatan dari renin dan aldosterone


(25)

filtrasi glomerulus meningkat sebanyak 50% selama trimester pertama dan laju filtrasi glomerulus menurun menuju ke batas normal pada trimester

ketiga. Serum kreatinin dan Blood Urea Nitrogen (BUN) mungkin

menurun menjadi 0.5-0.6 mg/dL dan 8-9mg/dL. Penurunan threshold dari

tubulus renal untuk glukosa dan asam amino umum dan sering mengakibatkan glukosuria ringan(1-10g/dL) atau proteinuria (<300 mg/dL). Osmolalitas plasma menurun sekitar 8-10 mOsm/kg (Morgan, 2006).

2.1.6 Perubahan pada Sistem Gastrointestinal

Fungsi gastrointestinal dalam masa kehamilan dan selama persalinan menjadi topik yang kontroversial. Namun, dapat dipastikan bahwa traktus gastrointestinal mengalami perubahan anatomis dan fisiologis yang meningkatkan resiko terjadinya aspirasi yang berhubungan dengan anestesi general (Birnbach, et.al., 2009).

Refluks gastroesofagus dan esofagitis adalah umum selama masa kehamilan. Disposisi dari abdomen ke arah atas dan anterior memicu ketidakmampuan dari sfingter gastroesofagus. Peningkatan kadar progestron menurunkan tonus dari sfingter gastroesofagus, dimana sekresi gastrin dari plasenta menyebabkan hipersekresi asam lambung. Faktor tersebut menempatkan wanita yang akan melahirkan pada resiko tinggi terjadinya regurgitasi dan aspirasi pulmonal. Tekanan intragaster tetap tidak mengalami perubahan. Banyak pendapat yang menyatakan mengenai

pengosongan lambung. Beberapa penelitian melaporkan bahwa

pengosongan lambung normal bertahan sampai masa persalinan. Di samping itu,hampir semua ibu hamil memiliki pH lambung di bawah 2.5 dan lebih dari 60% dari mereka memiliki volume lambung lebih dari 25mL. kedua faktor tersbut telah dihubungkan memiliki resiko terhadap terjadinya aspirasi pneumonitis berat. Opioid dan antikolinergik menurunkan tekanan sfingter esofagus bawah, dapat memfasilitasi terjadinya refluks gastroesofagus dan penundaan pengosongan lambung. Efek fisiologis ini bersamaan dengan ingesti makanan terakhir sebelum


(26)

proses persalinan dan penundaan pengosongan lambung mengakibatkan nyeri persalinan dan merupakan faktor predisposisi pada ibu hamil akan terjadinya muntah dan mual (Morgan, 2006).

2.1.7 Perubahan Sistem Saraf Pusat dan Perifer

Konsentrasi alveolar minimum menurun secara progresif selama masa kehamilan. Pada masa aterm menurun sekitar 40% untuk semua anestesi general. Namun, konsentrasi alveolar minimum kembali normal pada hari ketiga pasca kelahiran. Perubahan kadar hormon maternal dan opioid endogen telah dibuktikan. Progestron yang memiliki efek sedasi ketika diberikan dalam dosis farmakologis, meningkat sekitar 20 kali lebih tinggi daripada normal pada masa aterm dan kemungkinan berefek kecil dalam observasi. Peningkatan secara signifikan kadar endorfin juga memegang peranan penting dalam masa persalinan dan kelahiran (Morgan, 2006).

Wanita hamil menunjukkan peningkatan sensitivitas terhadap kedua jenis anestesi baik regional maupun general. Dari awal periode pemasukan anestesi secara neuraxial, wanita hamil membutuhkan lebih sedikit anestesi lokal daripada wanita yang tidak hamil untuk mencapai level dermatom sensorik yang diberikan (Birnbach, 2009).

Minimum local analgesic concentration (MLAC) digunakan dalam anestesi obstetrik untuk membandingkan potensi relatif dari anestesi lokal dan MLAC didefinisikan sebagai median dari konsentrasi analgesik efektif dalam 20 ml volume untuk analgesi epidural dalam periode awal persalinan. Obstruksi dari vena cava inferior karena pembesaran uterus mengakibatkan distensi dari vena pleksus epidural dan meningkatkan volume darah epidural. Yang mendekati masa akhir kehamilan menghasilkan tiga efek mayor : (1) penurunan volume cairan serebrospinal, (2) penurunan volume potensial dari ruang epidural, (3) peningkatan tekanan ruang epidural. Dua efek awal memicu penyebaran sefalad dari cairan anestesi lokal selama anestesi spinal dan epidural, dimana efek yang terakhir mungkin menjadi predisposisi dalam insidensi


(27)

lebih tinggi dari punksi dural dengan anestesi epidural (Morgan, 2006). 2.1.8 Perubahan Sistem Muskoloskeletal

Kenaikan kadar relaksin selama masa kehamilan membantu persiapan kelahiran dengan melemaskan serviks, menghambat kontraksi uterus, dan relaksasi dari simfisis pubis dan sendi pelvik. Relaksasi ligamen menyebabkan peningkatan risiko terjadinya cedera punggung. Kemudian dapat berkontribusi dalam insidensi nyeri punggung dalam kehamilan (Morgan, 2006).

2.1.9 Sirkulasi Uteroplasental

Sirkulasi uteroplasental normal sangat dibutuhkan dalam perkembangan dan perawatan untuk fetus yang sehat. Insufiensi sirkulasi

uteroplasental dapat menjadi penyebab utama dalam retardasi

pertumbuhan fetal intrauterin dan ketika menjadi parah dapat mengakibatkan kematian fetus. Integrasi dari sirkulasi bergantung pada aliran darah uterus yang adekuat dan fungsi normal plasenta (Morgan, 2006).

Aliran darah uterin meningkat secara progresif selama kehamilan dan mencapai nilai rata rata antara 500ml sampai 700ml di masa aterm. Aliran darah melalui pembuluh darah uterus sangat tinggi dan memiliki resistensi rendah. Perubahan dalam resistensi terjadi setelah 20 minggu masa gestasi. Aliran darah uterus kurang memiliki mekanisme autoregulasi (pembuluh darah dilatasi maksimal selama masa kehamilan) dan aliran arteri uterin sangat bergantung pada tekanan darah maternal dan curah jantung. Hasilnya, faktor yang mempengaruhi perubahan aliran darah melalui uterus dapat memberikan efek berbahaya pada suplai darah fetus. Maka uterine blood flow dirumuskan sebagai berikut:

UBF= UAP-UVP

UVR

UBF = uterine blood flow UAP = uterine arterial pressure UVP = uterine venous pressure


(28)

UVR = uterine vascular resistance

Aliran darah uterin menurun selama periode hipotensi maternal, dimana hal tersebut terjadi dikarenakan hipovolemia, perdarahan, dan kompresi aortocaval, dan blokade simpatis. Hal serupa, kontraksi uterus (kondisi yang meningkatkan frekuensi atau durasi kontraksi uterus) dan perubahan tonus vaskular uterus yang dapat terlihat dalam status hipertensi mengakibatkan gangguan pada aliran darah (Birnbach,et.al., 2009).

2.2 Seksio Sesarea 2.2.1 Definisi

Seksio sesarea merupakan lahirnya janin melalui insisi dinding abdomen (laparotomi) dan dinding uterus (histerektomi). Definisi ini tidak mencakup pengeluaran janin pada kasus ruptur uteri atau pada kasus kehamilan abdomen (Cunningham, 2010)

2.2.2 Indikasi Seksio Sesarea 2.2.2.1 Indikasi Absolut

Menurut Norwitz (2008), indikasi absolut seksio sesarea dibagi atas a. Berasal dari ibu

i.Induksi persalinan yang gagal

ii.Proses persalinan tidak maju (distosia persalinan) iii.Disproporsi sefalopelvik

b. Uteroplasenta

i.Bedah uterus sebelumnya (sesar klasik) ii.Riwayat ruptur uterus

iii.Obstruksi jalan lahir (fibroid)

iv.Plasenta previa, abruptio plasenta berukuran besar c. Janin

i. Gawat janin/ hasil pemeriksaan janin tidak meyakinkan ii. Prolaps tali pusat


(29)

2.2.2.2 Indikasi Relatif

Indikasi relatif dalam seksio sesarea terbagi atas (Norwitz, 2008): a. riwayat ibu

i. bedah sesar elektif berulang ii. penyakit ibu

b. uteroplasenta

i. riwayat bedah uterus sebelumnya ii. presentasi funik pada saat persalinan c. janin

i. malpresentasi janin

ii. makrosomia

iii. kelainan janin 2.2.2.3 Kontraindikasi Seksio Sesarea

Menurut Pernoll (2009), kontraindikasi tindakan seksio sesarea meliputi infeksi piogenik dinding abdomen, janin abnormal yang tidak dapat hidup, janin mati (kecuali untuk menyelamatkan nyawa ibu) dan kurangnya fasilitas, perlengkapan atau tenaga yang sesuai.

2.2.3 Teknik Seksio Sesarea 2.2.3.1 Insisi Abdominal

Umumnya digunakan insisi abdomen secara midline vertikal atau transversal suprapubik. Hanya dalam keadaan tertentu insisi paramedian atau midtransversum digunakan (Cunningham, 2010).

2.2.3.1.1 Insisi Abdominal Vertikal

Abdomen biasanya dimasuki melalu insisi vertikal garis tengah yang rendah meskipun kadang-kadang insisi abdominal transversal dapat digunakan untuk seksio sesarea klasik. Insisi garis tengah biasanya mengikuti linea nigra dan memanjang dari umbilikus sampai simfisis pubis. Setelah menginsisi jaringan subkutan, insisilah rafe garis tengah secara tajam dan masuki peritoneum parietal dengan diseksi tajam. Umumnya, setelah melakukan insisi vertikal dilakukan penjahitan pada


(30)

lapisan peritoneal dengan poliglikolik 00 atau 0. Jaringan fasia ditutup dengan jahitan terputus menggunakan benang berukuran 0 yang dapat diserap atau tidak dapat diserap. Setelah jaringan subkutan didekatkan kembali, kulit ditutup (Pernoll, 2009)

2.2.3.1.2 Insisi Abdominal Transversal

Selain metode insisi abdominal pada linea mediana dikenal juga metode insisi abdominal transversal. Metode Pfannenstiel, Maylard, dan Joel-Cohen , merupakan metode seksio sesarea yang menggunakan insisi transversal pada dinding abdomen. Insisi Pfannenstiel meliputi insisi transversal semi lengkung (curved) setinggi 2 jari di atas tulang simfisis pubis, muskulus rektus dipisahkan secara tumpul dan peritoneum parietal diinsisi pada linea mediana. Insisi Maylard hampir serupa dengan metode Pfannen stiel namun muskulus rektus dipotong secara transversal menggunakan pisau bedah. Insisi ini menjadi pilihan ketika dijumpai adanya perlengketan akibat insisi Pfannenstiel pada operasi sebelumnya. Insisi Joel-Cohen meliputi insisi transversal yang lurus setinggi 3 cm di atas tulang simfisis dan diperdalam lapis demi lapis secara tumpul,bila perlu digunakan gunting bukan pisau. Kemudian plica vesicouterina digunting dan disisihkan, kemudian dibuat insisi pada segmen bawah uterus di bawah insisi plica yang kemudian dilebarkan secara tumpul dengan arah horizontal. Insisi Joel-Cohen berhubungan dengan waktu operasi yang singkat serta berkurangnya febris post operatif (Cunningham, 2010).

2.2.3.2 Insisi Uterus

Pada umumnya insisi pada uterus dibuat pada segmen bawah rahim secara transversal seperti dinyatakan oleh Kerr pada tahun 1921 atau seperti yang dinyatakan oleh Kronig pada tahun 1912. Segmen bawah uterus relatif kurang vaskular dibandingkan korpus uteri, sehingga diharapkan perdarahan yang terjadi tidak seberat dibandingkan pada seksio sesarea secara klasik. Insisi lain yaitu insisi klasik, merupakan insisi vertikal pada korpus uteri hingga ke fundus dan insisi ini jarang


(31)

digunakan. Insisi pada segmen bawah rahim mempunyai keuntungan yaitu hanya membutuhkan sedikit pembebasan kandung kemih dari myometrium (Cunningham, 2010).

2.2.3.3 Seksio Sesarea Klasik

Indikasi seksio sesarea klasik adalah plasenta previa, letak janin melintang atau oblik dan jika persalinan cepat sangat penting. Seksio sesarea klasik merupakan tindakan paling sederhana. Buatlah insisi vertikal pada bagian bawah korpus uteri melalui peritoneum viseral ke dalam miometrium. Setelah masuk ke dalam kavum uteri , perluaslah insisi ke arah kaudal dan kranial dengan gunting perban. Lahirkan bayi, plasenta, dan selaput ketuban. Tutuplah insisi dengan tiga lapis jahitan yang dapat diserap. Tutuplah dua lapisan yang lebih dalam dengan jahitan terputus atau bersambung menggunakan benang 0 atau 00 dan lapisan yang lebih atas dengan jahitan bersambung(atau baseball) menggunakan benang 00 atau 000 (Pernoll, 2009).

2.2.4 Komplikasi Seksio Sesarea

Pernoll (2009) menyatakan beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada kasus seksio sesarea.

a. Kematian Ibu.

Angka kematian ibu pada seksio sesarea adalah 40-80/100.000, meningkat sebanyak 25 kali angka kematian ibu pada persalinan per vaginam.

b. Kesakitan Ibu selama Operasi.

Komplikasi pembedahan selama seksio sesarea berkisar di atas 11% (kira-kira 80% minor dan 20% mayor). Komplikasi mayor meliputi trauma pada kandung kemih, laserasi sampai serviks atau vagina, laserasi korpus uteri, laserasi melalui ismus ke ligamentum latum, laserasi pada kedua arteri uterina, trauma usus dan trauma pada bayi dengan sekuele. Komplikasi minor meliputi transfusi darah, trauma pada bayi tanpa sekuele, laserasi minor pada isus dan kesulitan melahirkan.


(32)

c. Kesakitan Ibu Pascaoperasi

Kesakitan pasca seksio sesarea kira-kira sebesar 15 % dan sekitar 90% di antaranya disebabkan oleh infeksi (endometitis, infeksi saluran kemih, sepsis karena luka). Komplikasi lebih banyak terjadi pada kasus seksio darurat kira kira 25% sedangkan pada kasus elektif hanya 5%. Predisposisi terjadi kesakitan pasca operasi adalah lamanya pecah selaput ketuban sebelum operasi, lama persalinan sebelum operasi, anemia dan obesitas. Komplikasi non infeksi pasca bedah yang lazin (< 10% total komplikasi) meliputi ileus paralitik, perdarahan intraabdominal, paresis kandung kemih, trombosis dan gangguan paru.

2.3 Spinal Anestesi

Disebut juga spinal analgesia atau subarachnoid nerve block, terjadi karena deposit obat anestesi lokal di dalam ruangan subarachnoid. Terjadi blok saraf yang spinalis yang akan menyebabkan hilangnya aktivitas sensoris, motoris dan otonom (Morgan, 2006).

Berbagai fungsi yang dibawa saraf-saraf medula spinalis misalnya temperatur, sakit, aktivitas otonom, rabaan, tekanan, lokalisasi rabaan, fungsi motoris dan proprioseptif. Secara umum fungsi-fungsi tersebut

dibawa oleh serabut saraf yang berbeda dalam ketahanannya

terhadap obat anestesi lokal. Oleh sebab itu ada obat anestesi lokal yang lebih mempengaruhi sensoris daripada motoris. Blokade dari medulla spinalis dimulai kaudal dan kemudian naik ke arah sephalad.Serabut saraf yang bermielin tebal (fungsi motoris dan propioseptif) paling resisten dan kembalinya fungsi normal paling cepat, sehingga diperlukan konsentrasi tinggi obat anestesi lokal untuk memblokade saraf tersebut.Level blokade otonom 2 atau lebih dermatom ke arah sephalik daripada level analgesi kulit, sedangkan blokade motoris 2 sampai 3 segmen ke arah kaudal dari level analgesi (Morgan, 2006).


(33)

2.3.1 Indikasi Spinal Anestesi :

Morgan (2006) menyatakan beberapa indikasi dari pemberian anestesi spinal

1. Operasi ekstrimitas bawah, baik operasi jaringan lunak, tulang atau pembuluh darah.

2. Operasi di daerah perineal : Anal, rectum bagian bawah, vaginal, dan urologi.

3. Abdomen bagian bawah : Hernia, usus halus bagian distal, appendik, rectosigmoid, kandung kencing, ureter distal, dan ginekologis

4. Abdomen bagian atas : Kolesistektomi, gaster, kolostomi transversum. Tetapi spinal anestesi untuk abdomen bagian atas tidak dapat dilakukan pada semua pasien sebab dapat menimbulkan perubahan fisiologis yang hebat.

5. Seksio Sesarea (Caesarean Section).

6. Prosedur diagnostik yang sakit, misalnya anoskopi, dan sistoskopi.

2.3.2 Kontra Indikasi Absolut :

Beberapa kontraindikasi absolut dari pemberian anestesi spinal (Gwinnut,2009):

1. Gangguan pembekuan darah, karena bila ujung jarum spinal menusuk pembuluh darah, terjadi perdarahan hebat dan darah akan menekan medulla spinalis.

2. Sepsis, karena bisa terjadi meningitis.

3. Tekanan intrakranial yang meningkat, karena bisa terjadi pergeseran otak bila terjadi kehilangan cairan serebrospinal. 4. Bila pasien menolak.

5. Adanya dermatitis kronis atau infeksi kulit di daerah yang akan ditusuk jarum spinal.

6. Penyakit sistemis dengan sequele neurologis misalnya anemia pernisiosa, neurosyphilys, dan porphiria.


(34)

7. Hipotensi. 2.3.3 Kontra Indikasi Relatif

Gwinnutt (2009), menyatakan beberapa kontraindikasi relatif dalam pemberian anestesi spinal.

1. Pasien dengan perdarahan. 2. Problem di tulang belakang. 3. Anak-anak.

4. Pasien tidak kooperatif, psikosis. 2.3.4 Anatomi

Terdapat 33 ruas tulang vertebra, yaitu 7 servikal, 12 torakal, 5 lumbal, 5 sakral dan 4 coccygeal. Medulla spinalis berakhir di vertebra L2, karena ditakutkan menusuk medulla spinalis saat penyuntikan, maka spinal anestesi umumnya dilakukan setinggi L4-L5, L3-L4, L2-L3. Ruangan epidural berakhir di vertebra S2.6.

Ligamen-ligamen yang memegang kolumna vertebralis dan melindungi medulla spinalis, dari luar ke dalam adalah sebagai berikut (Bernards, 2006) :

1. Ligamentum supraspinosum. 2. Ligamentum interspinosum. 3. Ligamentum flavum.

4. Ligamentum longitudinale posterior. 5. Ligamentum longitudinale anterior. 2.3.5 Teknik Spinal Anestesi :

Anestesi spinal dan epidural dapat dilakukan jika peralatan monitor yang sesuai dan pada tempat dimana peralatan untuk manajemen jalan nafas dan resusitasi telah tersedia. Sebelum memosisikan pasien, seluruh peralatan untuk blok spinal harus siap untuk digunakan, sebagai contoh, anestesi lokal telah dicampur dan siap digunakan, jarum dalam keadaan terbka, cairan preloading sudah disiapkan. Persiapan alat akan meminimalisir waktu yang dibutuhkan untuk anestesi blok dan kemudian meningkatkan kenyamanan pasien (Bernards, 2006).


(35)

Adapun teknik dari anestesi spinal adalah sebagai berikut (Morgan, 2006):

1. Inspeksi dan palpasi daerah lumbal yang akan ditusuk

(dilakukan ketika kita visite pre-operatif), sebab bila ada infeksi atau terdapat tanda kemungkinan adanya kesulitan dalam penusukan, maka pasien tidak perlu dipersiapkan untuk spinal anestesi.

2. Posisi pasien : a) Posisi Lateral.

Pada umumnya kepala diberi bantal setebal 7,5-10cm, lutut dan paha fleksi mendekati perut, kepala ke arah dada. b) Posisi duduk.

Dengan posisi ini lebih mudah melihat columna vertebralis, tetapi pada pasien-pasien yang telah mendapat premedikasi mungkin akan pusing dan diperlukan seorang asisten untuk memegang pasien supaya tidak jatuh. Posisi ini digunakan terutama bila diinginkan sadle block. c) Posisi Prone.

Jarang dilakukan, hanya digunakan bila dokter bedah menginginkan posisi Jack Knife atau prone.

3. Kulit dipersiapkan dengan larutan antiseptik seperti betadine,

alkohol, kemudian kulit ditutupi dengan “doek” bolong steril.

4. Cara penusukan.

Pakailah jarum yang kecil (no. 25, 27 atau 29). Makin besar nomor jarum, semakin kecil diameter jarum tersebut,

sehingga untuk mengurangi komplikasi sakit kepala

(PSH=post spinal headache), dianjurkan dipakai jarum kecil.

Penarikan stylet dari jarum spinal akan menyebabkan

keluarnya likuor bila ujung jarum ada di ruangan subarachnoid. Bila likuor keruh, likuor harus diperiksa dan spinal analgesi dibatalkan. Bila keluar darah, tarik jarum


(36)

beberapa mili meter sampai yang keluar adalah likuor yang jernih. Bila masih merah, masukkan lagi stylet-nya, lalu ditunggu 1 menit, bila jernih, masukkan obat anestesi lokal, tetapi bila masih merah, pindahkan tempat tusukan. Darah yang mewarnai likuor harus dikeluarkan sebelum menyuntik obat anestesi lokal karena dapat menimbulkan reaksi benda asing (Meningismus).

2.3.6 Obat-obat yang dipakai

Obat anestesi lokal yang biasa dipakai untuk spinal anestesi adalah lidokain, bupivakain, levobupivakain, prokain, dan tetrakain. Lidokain adalah suatu obat anestesi lokal yang poten, yang dapat memblokade otonom, sensoris dan motoris. Lidokain berupa larutan 5% dalam 7,5% dextrose, merupakan larutan yang hiperbarik. Mula kerjanya 2 menit dan lama kerjanya 1,5 jam. Dosis rata-rata 40-50mg untuk persalinan, 75-100mg untuk operasi ekstrimitas bawah dan abdomen bagian bawah, 100-150mg untuk spinal analgesia tinggi. Lama analgesi prokain < 1 jam, lidokain ± 1-1,5 jam, tetrakain 2 jam lebih (Morgan,2006).

2.3.7 Pengaturan Level Analgesia

Level anestesia yang terlihat dengan spinal anestesi adalah sebagai berikut : level segmental untuk paralisis motoris adalah 2-3 segmen di bawah level analgesia kulit, sedangkan blokade otonom adalah 2-6 segmen sephalik dari zone sensoris. Untuk keperluan klinik, level anestesi dibagi atas :

1. Sadle block anesthesia : zona sensoris anestesi kulit pada segmen lumbal bawah dan sakral.

2. Low spinal anesthesia : level anestesi kulit sekitar umbilikus (T10) dan termasuk segmen torakal bawah, lumbal dan sakral.

3. Mid spinal anesthesia : blok sensoris setinggi T6 dan zona anestesi termasuk segmen torakal, lumbal, dan sacral.

4. High spinal anesthesia : blok sensoris setinggi T4 dan zona anestesi termasuk segmen torakal 4-12, lumbal, dan sacral.


(37)

Makin tinggi spinal anestesia, semakin tinggi blokade vasomotor, motoris dan hipotensi, serta respirasi yang tidak adekuat semakin mungkin terjadi (Kleinman, 2006).

Level anestesi tergantung dari volume obat, konsentrasi obat, barbotase, kecepatan suntikan, valsava, tempat suntikan, peningkatan tekanan intra-abdomen, tinggi pasien, dan gravitas larutan. Makin besar volume obat, akan semakin besar penyebarannya, dan level anestesi juga akan semakin tinggi. Barbotase adalah pengulangan aspirasi dari suntikan obat anestesi lokal. Bila kita mengaspirasi 0,1ml likuor sebelum menyuntikkan obat; dan mengaspirasi 0,1ml setelah semua obat anestesi lokal disuntikkan, akan menjamin bahwa ujung jarum masih ada di ruangan subarakhnoid. Penyuntikan yang lambat akan mengurangi penyebaran obat sehingga akan menghasilkan low spinal anesthesia, sedangkan suntikan yang terlalu cepat akan menyebabkan turbulensi dalam liquor dan menghasilkan level anestesi yang lebih tinggi. Kecepatan yang dianjurkan adalah 1ml per 3 detik (Kleinman, 2006).

Berdasarkan berat jenis obat anestesi lokal yang dibandingkan dengan berat jenis likuor, maka dibedakan 3 jenis obat anestesi lokal, yaitu hiperbarik, isobarik dan hipobarik. Berat jenis liquor cerebrospinal adalah 1,003-1,006. Larutan hiperbarik : 1,023-1,035, sedangkan hipobarik 1,001-1,002 (Kleinman, 2006).

Perawatan Selama pembedahan (Gwinnutt, 2009). 1. Posisi yang enak untuk pasien.

2. Kalau perlu berikan obat penenang.

3. Operator harus tenang, manipulasi tidak kasar. 4. Ukur tekanan darah, frekuensi nadi dan respirasi.

5. Perhatikan kesulitan penderita dalam pernafasan,

adanya mual dan pusing. 6. Berikan oksigen per nasal. Perawatan Pascabedah (Gwinnutt, 2009).


(38)

pascabedah.

2. Minum banyak, 3 lt/hari.

3. Cegah trauma pada daerah analgesi. 4. Periksa kembalinya aktifitas motorik.

5. Yakinkan bahwa perasaan yang hilang dan kaki yang berat akan pulih.

6. Cegah sakit kepala, mual-muntah.

7. Perhatikan tekanan darah dan frekuensi nadi karena ada kemungkinan penurunan tekanan darah dan frekuensi nadi.

2.3.8 Komplikasi / Masalah Anestesi Spinal :

Birnbach,et.al. (2009) menyatakan beberapa komplikasi terkait pemberian anestesi spinal

1. Sistim Kardiovaskuler :

a) Penurunan resistensi perifer :

1. Vasodilatasi arteriol dan arteri terjadi pada daerah yang diblokade akibat penurunan tonus vasokonstriksi simfatis.

2. Venodilatasi akan menyebabkan peningkatan kapasitas vena dan venous return.

3. Proksimal dari daerah yang diblokade akan terjadi mekanisme kompensasi, yakni terjadinya vasokonstriksi. b) Penurunan Tekanan Sistolik dan Tekanan Arteri Rerata

Penurunan tekanan darah tergantung dari tingginya blokade simfatis. Bila tekanan darah turun rendah sekali, terjadi risiko penurunan aliran darah otak. Bila terjadi iskemia medulla oblongata terlihat adanya gejala mual-muntah. Tekanan darah jarang turun > 15 mmHg dari tekanan darah asal. Tekanan darah dapat dipertahankan dengan pemberian cairan dan atau obat vasokonstriktor. Duapuluh menit sebelum dilakukan spinal anestesi diberikan cairan RL atau NaCl 10-15 ml/kgBB.


(39)

Vasokonstriktor yang biasa digunakan adalah efedrin. Dosis efedrin 25-50 mg i.m. atau 15-20 mg i.v. Mula kerja-nya 2-4 menit pada pemberian intravena, dan 10-20menit pada pemberian intramuskuler. Lama kerja-nya 1 jam.

c) Penurunan denyut jantung.

Bradikardi umumnya terjadi karena penurunan pengisian

jantung yang akan mempengaruhi myocardial chronotropic

stretch receptor, blokade anestesi pada serabut saraf cardiac accelerator simfatis (T1-4). Pemberian sulfas atropin dapat meningkatkan denyut jantung dan mungkin juga tekanan darah. 2. Sistim Respirasi

Bisa terjadi apnoe yang biasanya disebabkan karena hipotensi yang berat sehingga terjadi iskemia medula oblongata. Terapinya : berikan ventilasi, cairan dan vasopressor. Jarang disebabkan karena terjadi blokade motoris yang tinggi (pada radix n.phrenicus C3-5). Kadang-kadang bisa terjadi batuk-batuk kering, maupun kesulitan bicara

3. Sistim Gastrointestinal

Diperlihatkan dengan adanya mual muntah yang disebabkan karena hipotensi, hipoksia, pasien sangat cemas, pemberian narkotik, over-aktivitas parasimfatis dan traction reflex (misalnya dokter bedah manipulasi traktus gastrointestinal).

4. Headache (PSH=Post Spinal Headache)

Sakit kepala pascaspinal anestesi mungkin disebabkan karena adanya kebocoran likuor serebrospinal. Makin besar jarum spinal yang dipakai, semakin besar kebocoran yang terjadi, dan semakin tinggi kemungkinan terjadinya sakit kepala pascaspinal anestesi. Bila duramater terbuka bisa terjadi kebocoran cairan serebrospinal sampai 1-2minggu. Kehilangan CSF sebanyak 20ml dapat menimbulkan terjadinya sakit kepala. Post spinal headache (PSH) ini pada 90% pasien terlihat dalam 3 hari postspinal, dan pada 80% kasus akan


(40)

menghilang dalam 4 hari. Supaya tidak terjadi postspinal headache dapat dilakukan pencegahan dengan :

1. Memakai jarum spinal sekecil mungkin (misalnya no.

25,27,29).

2. Menusukkan jarum paralel pada serabut longitudinal duramater sehingga jarum tidak merobek dura tetapi menyisihkan duramater.

3. Hidrasi adekuat, dapat diperoleh dengan minum 3lt/hari selama 3 hari, hal ini akan menambah produksi CSF sebagai pengganti yang hilang.

Bila sudah terjadi sakit kepala dapat diterapi dengan

1. Memakai abdominal binder.

2. Epidural blood patch : suntikkan 10ml darah pasien itu sendiri di ruang epidural tempat kebocoran.

3. Berikan hidrasi dengan minum sampai 4lt/hari.

Kejadian post spinal headache 10-20% pada umur 20-40 tahun; > 10% bila dipakai jarum besar (no. 20 ke bawah); 9% bila dipakai jarum no.22 ke atas. Wanita lebih banyak yang mengalami sakit kepala daripada laki-laki.

5. Backache

Sakit punggung merupakan masalah setelah suntikan di daerah lumbal untuk spinal anestesi.

6. Retensio Urinae

Penyebab retensio urine mungkin karena hal-hal-hal sebagai berikut : operasi di daerah perineum pada struktur genitourinaria, pemberian narkotik di ruang subarachnoid, setelah anestesi fungsi vesica urinaria merupakan yang terakhir pulih.

7. Komplikasi Neurologis Permanen

Jarang sekali terjadi komplikasi neurolois permanen. Hal-hal yang menurunkan kejadiannya adalah karena : dilakukan sterilisasi panas pada ampul gelas, memakai syringedan jarum yang disposible,


(41)

spinal anestesi dihindari pada pasien dengan penyakit sistemik, serta penerapan teknik antiseptik.

8. Chronic Adhesive Arachnoiditis

Suatu reaksi proliferasi arachnoid yang akan menyebabkan fibrosis, distorsi serta obliterasi dari ruangan subarachnoid. Biasanya terjadi bila ada benda asing yang masuk ke ruang subarachnoid.

2.4 Cairan

Selama anestesia, umumnya diberikan cairan secara intravena untuk menggantikan kehilangan cairan karena pembedahan, dan untuk memenuhi kebutuhan harian normal pasien. Digunakan tiga jenis cairan yaitu kristaloid, koloid, dan darah serta komponennya (Gwinnutt,2009).

Ada kontroversi mengenai penggunaan cairan koloid dan kristaloid. Para ahli mengatakan bahwa koloid dapat menjaga tekanan onkotik plasma, koloid lebih efektif dalam mengembalikan volume intravaskular dan curah jantung. Ahli yang lain mengatakan bahwa pemberian cairan kristaloid efektif bila diberikan dalam jumlah yang cukup. Beberapa pernyataan dibawah ini yang mendukung(Morgan,2006) :

1. Kristaloid, jika diberikan dalam jumlah cukup sama efektifnya dengan koloid dalam mengembalikan volume intravaskular. 2. Mengembalikan defisit volume intravaskular dengan kristaloid

biasanya memerlukan 3-4 kali dari jumlah cairan jika menggunakan koloid.

3. Kebanyakan pasien yang mengalami pembedahan mengalami

defisit cairan extraseluler melebihi defisit cairan intravaskular. 4. Defisit cairan intravaskular yang berat dapat dikoreksi dengan

cepat dengan menggunakan cairan koloid.

5. Pemberian cairan kristaloid dalam jumlah besar (> 4-5 L) dapat menimbulkan edema jaringan.


(42)

2.4.1 Kristaloid

Kristaloid merupakan larutan kristalin padat dalam air. Larutan ini digolongkan ke dalam dua kelompok: (1) yang memiliki kandungan elektrolit-elektrolit dengan komposisi yang sama dengan plasma, mempunyai osmolalitas yang sama dengan plasma dan sering dianggap sebagai isotonik; (2) larutan yang mengandung lebih sedikit atau tidak mengandung elektrolit (hipotonik) tetapi mengandung glukosa untuk memastikan bahwa mereka memiliki osmolalitas yang sama dengan plasma. Begitu cairan ini diberikan, maka terjadi proses redistribusi di berbagai kompartemen cairan tubuh, jumlahnya bergantung pada komposisi larutan. Sebagai contoh, larutan saline 0,9% didistribusikan sepanjang ruang interstisial dan intravaskular sebanding dengan ukurannya. Setelah 15-30 menit, hanya 25-30% dari volume yang diberikan tetap di intravaskular. Oleh karena itu, setiap pemberian cairan kristaloid untuk menggantikan volume sirkulasi maka dibutuhkan sekitar tiga sampai empat kali cairan yang hilang (Gwinnutt,2009).

2.4.2 Koloid

Cairan koloid lebih efektif dibandingkan kristaloid untuk meningkatkan volume plasma karena kandungan molekul yang besar, difusi yang kurang baik, sehingga mencetuskan terjadinya tekanan osmotik untuk menjaga air tetap di ruang vaskular (Marino,2007).

2.4.2.1 Hydroxyethyl Starch (HES)

Hetastarch adalah koloid sintetik yang tersedia sebagai cairan 6% dalam saline isotonik. Hetastarch berisi molekul amilopektin yang bervariasi dalam ukuran beberapa ratus hingga satu juta Dalton lebih. Berat molekul rata-rata dari molekulnya setara dengan albumin 5%. Hetastarch sangat efektif sebagai plasma expander dan lebih murah dibandingkan dengan albumin. Lebih jauh, hetastarch bersifat non antigenik dan reaksi anafilaksisnya jarang terjadi tetapi pruritus pernah dijumpai pada beberapa kasus (Marino,2007)


(43)

2.4.2.1.1 Fitur

Hetastarch sedikit lebih kuat dari albumin 5% sebagai koloid. Memiliki COP lebih tinggi dari albumin 5% dan menyebabkan ekspansi volume plasma yang lebih besar (sampai 30% lebih besar dari volume infus). Ini juga memiliki waktu paruh eliminasi yang panjang (17 hari), tetapi hal ini menyesatkan karena efek onkotik hetastarch hilang dalam waktu 24 jam (Marino,2007).

2.4.2.1.2 Kekurangan

Molekul hetastarch terus dihancurkan oleh enzim amilase dalam aliran darah sebelum dibersihkan ginjal. Kadar serum amilase sering meningkat (2 sampai 3 kali di atas normal) selama beberapa hari pertama setelah infus hetastarch, dan kembali normal pada hari ke-5 sampai hari ke-7 setelah pemberiannya. Reaksi anafilaksis untuk hetastarch yang jelas jarang terjadi (insiden terendah 0,0004%). Uji laboratorium koagulopati dapat terjadi tetapi tidak disertai dengan perdarahan (Marino, 2007). 2..5 Efedrin

Efedrin (ephedrine) merupakan simpatomimetik yang didapat dari tanaman genus Ephedra (misalnya Ephedra vulgaris) dan telah digunakan luas di Cina dan India Timur sejak 5000 tahun yang lalu. Pengobatan tradisional Cina menyebut efedrin dengan nama Ma huang (Katzung, 2006).

2.5.1 Farmakokinetik

Efedrin dapat diberikan secara oral, topikal maupun parenteral. Efedrin dapat diserap secara utuh dan cepat pada pemberian oral, subkutan ataupun intramuskular. Bronkodilatasi terjadi dalam 15-60 menit setelah pemberian oral dan bertahan selama 2-4 jam. Absorbsi efedrin yang diberikan lewat jalur intramuskular lebih cepat (10-20 menit) dibanding dengan pemberian subkutan. Pada pemberian intravena, efek klinik dapat langsung diobservasi. Lama kerja terhadap efek tekanan darah bertahan sampai 1 jam pada pemberian parenteral dan dapat bertahan selama 4 jam pada


(44)

pemberian secara oral. Efedrin juga dilaporkan melewati plasenta dan terdistribusi pada air susu ibu.Efedrin dimetabolisme oleh liver dalam jumlah kecil melalui deaminasi oksidasi, demetilasi, hidroksilasi aromatis dan konjugasi. Metabolitnya adalah

p-hidroksiefedrin, p-hidroksinorefedrin, norefedrin dan

konjugasinya. Efedrin dan metabolitnya diekskresi terutama melalui urine dan dalam bentuk tidak berubah. Eliminasi efedrin dan metabolitnya dipengaruhi oleh asiditas urine. Eliminasi paruh waktu efedrin dilaporkan 3 jam pada pH urin 5 dan 6 jam pada pH urin 6,5 (Katzung, 2010).

2.5.2 Farmakodinamik

Efek kardiovaskular dari efedrin menyerupai epinefrin, tetapi respon kenaikan tekanan darah sistemik kurang dibanding efedrin. Efedrin membutuhkan 250 kali dibandingkan epinefrin untuk mendapatkan efek kenaikan tekanan darah yang sama. Pemberian efedrin intravena meningkatkan tekanan darah, denyut jantung dan curah jantung. Aliran darah renal dan splanik menurun, tetapi aliran darah koroner dan otot skelet meningkat. Resistensi vaskular sistemik berubah karena

vasokonstriksi pada vascular beds diimbangi dengan

vasodilatasi oleh stimulasi β2 pada tempat-tempat yang lain.

Efek kardiovaskular tersebut pada reseptor α menyebabkan

vasokonstriksi arteri dan vena di perifer. Mekanisme utama efek efedrin terhadap kardiovaskular adalah dengan meningkatkan kontraktilitas otot jantung dengan aktivasi reseptor β1. Dengan

adanya antagonis reseptor β maka efek efedrin terhadap kardiovaskular adalah dengan stimulasi reseptor α

(Setiawati,2006).

Dosis kedua efedrin setelah pemberian dosis awal mempunyai efektifitas lebih rendah dibanding dosis awal. Fenomena ini dikenal dengan istilah takifilaksis, yang mana juga terjadi pada


(45)

simpatomimetik dan berhubungan dengan masa kerja obat. Takifilaksis terjadi oleh karena blokade reseptor adrenergik secara persisten. Sebagai contoh, efedrin menyebabkan aktivasi reseptor adrenergik bahkan setelah peningkatan tekanan darah sistemik terjadi pada subdosis. Ketika efedrin diberikan pada saat itu, reseptornya bisa menempati batas minimal efedrin untuk peningkatan tekanan darah. Takifilaksis mungkin karena kekurangan simpanan norepinefrin (Calvey,2008)


(46)

BAB 3

KERANGKA KONSEP

3.1 Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Variabel Independen

Gambar 3.1 Diagram Kerangka Konsep Penelitian 3.2 Definisi Operasional

1. Ko-loading : pemberian cairan pada saat tindakan induksi anestesi dalam hal ini sesaat setelah CSF keluar ketika spinal anestesi.

2. Pre-loading : pemberian cairan sesaat sebelum induksi tindakan anestesi dalam hal ini 10 menit sebelum tindakan spinal anestesi.

3. Tekanan darah : hasil kali cardiac output dan tahanan perifer sistemik. Nilai normal untuk tekanan sistolik 90-120 mmHg dan tekanan diastolik 60-90 mmHg.

4. Tekanan arteri rerata (MAP) adalah rata-rata tekanan di dalam pembuluh darah arteri selama satu siklus lengkap dari satu denyut jantung. Nilai diperoleh dengan penambahan tekanan darah sistol dengan dua kali tekanan darah diastol, kemudian dibagi tiga.

5. Laju nadi : jumlah pulsasi yang dirasakan pada suatu arteri permenit. Normalnya 60-100 x permenit.

Anestesi spinal

Koloading HES 130/0.4

Efedrin 10 mg

Hemodinamik : 1. Tekanan

darah sistolik 2. Tekanan

darah diastolik 3. Mean Arterial

Pressure (MAP) 4. Laju Nadi


(47)

6. Hipertensi adalah tekanan darah sistolik > 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik > 90 mmHg.

7. Hipotensi adalah tekanan darah sistol < 90 mmHg ataupun penurunan tekanan darah sistol lebih dari 20% dari tekanan darah sistol awal.

8. Takikardi adalah laju nadi di atas 100 x/menit. 9. Bradikardi adalah laju nadi di bawah 60 x/ menit.

10.Relawan 1 adalah penulis yang dalam penelitian ini bertindak sebagai numerator dan randomisator.

11.Relawan 2 adalah residen anestesi dimana dalam penelitian ini bertindak sebagai pemberi intervensi.

3.3 Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah Efedrin memiliki efek yang lebih baik dalam mencegah hipotensi dibandingkan HES 6%


(48)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian analitik eksperimental dengan menggunakan desain true experimental tipe paralel yaitu membandingkan efektivitas pengobatan di antara dua kelompok yang mendapatkan intervensi dimana salah satu kelompok mendapatkan obat standar dan kelompok lain mendapatkan obat eksperimental (Mukhtar,2011).

4.2 Waktu dan Lokasi Penelitian 4.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan dengan pertimbangan rumah sakit tersebut merupakan pusat pelayanan kesehatan yang besar di Medan dan juga rumah sakit pendidikan, mudah dijangkau oleh masyarakat, dengan jumlah pasien yang relatif banyak. Rumah sakit tersebut memiliki tenaga ahli, fasilitas yang memadai dan rekam data –data rekam medis yang lengkap.

4.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian akan dilakukan selama bulan Oktober sampai dengan Awal Desember

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang menjalani operasi seksio sesarea dengan anestesi spinal RSUD Dr. Pirngadi Medan.

4.3.2 Sampel


(49)

4.3.3 Kriteria inklusi dan eksklusi 4.3.3.1 Kriteria Inklusi

Pasien bersedia mengikuti penelitian Pasien ASA 1 dan 2

Usia 20-40 tahun 4.3.3.2 Kriteria Eksklusi

Pasien memiliki riwayat kontraindikasi terhadap efedrin dan atau Hydroxyethyl Starch(HES).

4.3.4 Besar Sampel

Estimasi besar sampel pada penelitian ini dihitung berdasarkan rumus berikut

2

N = besar sampel

Zα = 1.96 (deviat baku α = 0.05) Zβ = 0.84 (deviat baku β = 0.2)

S = simpangan baku yang diperoleh dari literatur 12 X1-X2 = perbedaan klinis yang diinginkan 14

Berdasarkan rumus tersebut maka diperoleh sampel sebesar 12 subjek untuk setiap kelompok. Sehingga total sampel penelitian adalah sebanyak 24 subjek

4.4 Cara Kerja

4.4.1 Persiapan Pasien

a) Setelah mendapat penjelasan dan menandatangani

informed consent seluruh sampel dinilai ulang dan dimasukkan ke dalam kriteria inklusi dan eksklusi

b) Kepada pasien dijelaskan pada saat kunjungan


(50)

spinal dan prosedur penelitian meliputi pemeriksaan hemodinamik

c) Sampel dibagi secara acak menjadi 2 kelompok yaitu kelompok A dan kelompok B. Kelompok A yang akan diberikan HES setelah induksi anestesi spinal dan kelompok B yang diberikan efedrin setelah induksi spinal anestesi.

d) Dilakukan randomisasi dengan sistem undian. Dimana tersedia 46 kertas undian dimana relawan yang melakukan intervensi mencabut undian.

e) Cairan disiapkan oleh relawan yang mempersiapkan

undian. 4.4.2 Pelaksanaan Penelitian

a) Setelah pasien tiba di ruang tunggu kamar bedah dilakukan pencatatan ulang terhadap identitas , diagnosa, tindakan pembedahan, dan akses infus. Kemudian dilakukan pemasangan dua kanul infus dimana satu jalur intravena dengan ukuran abocath 18G untuk masuknya cairan rumatan dan satu jalur intravena ukuran abocath 18G untuk masuknya obat.

b) Kemudian pasien dibawa ke kamar operasi, lalu

dilakukan pemeriksaan tekanan darah, laju nadi, laju nafas, saturasi oksigen, dan temperatur.

c) Pada kedua kelompok dilakukan pemasangan monitor yang menilai tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik, Mean Arterial Pressure,denyut jantung, dan saturasi O2 serta dilakukan ganjal panggul kanan

d) Pada kelompok A Ringer Laktat diganti menjadi HES dengan dosis 10 ml/kgBB selama 15 menit setelah spinal anestesi. Pada kelompok B, pasien diberikan efedrin dengan dosis 10 mg setelah spinal anestesi.


(51)

e) Setelah pemberian cairan secara cepat tersebut, infus diganti dengan ringer laktat dosis 5 ml/kgBB/ jam pada kedua grup

f) Hemodinamik diukur pada menit 1,5,10,15,20 setelah spinal anestesi

g) Hasil utama yang dievaluasi adalah tekanan darah terendah dan insidensi hipotensi.


(52)

4.5 Alur Penelitian

Gambar 4.1 Diagram Alur Penelitian Populasi

Sampel

Randomisasi

Eksklusi Inklusi

Kelompok A Kelompok B

Infus RL dosisi 5 ml/kgBB/jam Infus RL dosisi

5 ml/kgBB/jam

RL diganti dengan HES dosis 10

ml/kgBB selama 15 menit

Infus RL dosis 5 ml/kgBB/ jam Infus RL dosis 5

ml/kgBB/ jam

Spinal Anestesi

RL diganti dengan efedrin dosis 10 mg

Diukur tekanan sistolik, tekanan diastolik, MAP, laju nadi, selama menit

1,5,10,15,20 setelah spinal anestesi


(53)

4.6 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data primer yang diperoleh dari status pasien seksio sesarea yang bersumber dari observasi peneliti sepanjang tindakan seksio sesarea.

4.7 Metode Analisis Data

Data yang dikumpulkan, diolah, dan disajikan dengan analisa analitik menggunakan program Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 17.0 dan uji T independent.


(54)

BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di bagian Anestesi dan Obstetri dan Ginekologi (OBGIN) RSUD Dr. Pirngadi, Medan. Data diambil melalui pengamatan terhadap pasien ibu hamil yang menjalani operasi seksio sesarea di Kamar Bedah baik kamar bedah emergensi yang terletak di lantai satu rumah sakit ataupun kamar bedah sentral yang terletak di lantai empat rumah sakit, setelah mendapat izin dari bagian Litbang.

RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan resmi menjadi Rumah Sakit Pendidikan berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor : 433/Menkes/SK/IV/2007. Lokasi terletak di Jalan Prof H. M. Yamin, Kecamatan Medan Perjuangan , Kotamadya Medan, Provinsi Sumatera Utara.

5.1.2 Deskripsi Karakteristik Responden

Responden merupakan pasien ibu hamil yang menjalani operasi seksio sesarea di Kamar Bedah baik Kamar Bedah Emergensi ataupun Kamar Bedah Sentral pada tanggal 18 Oktober 2012 sampai dengan 6 Desember 2012 dan bersedia ikut dalam penelitian. Responden yang mengikuti penelitian ada 24 orang, dan yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi secara lengkap juga berjumlah 24 orang.

Data distribusi karakteristik responden secara lengkap terangkum dalam tabel.


(55)

Tabel 5.1 Karakteristik Umum Sampel Penelitian pada Kedua Kelompok

Variabel Kelompok A

(n=12)

Kelompok B (n=12)

P*

Umur (tahun) 31.5 (SD 6.17) 29.83 (SD 6.55) 0.837

Berat Badan (kg) 70.58 (SD 6.89) 72 (SD 3.21) 0.112

Tinggi Badan (m) 1.61 (SD 0.05) 1.60(SD 0.04) 0.953

BMI (kg/m2) 27.31 (SD 1.69) 28.13(SD 1.06) 0.217

*UJI SHAPIRO WILK

Umur pasien yang menjadi subjek penelitian pada dua kelompok penelitian berkisar antara 20-41 tahun dengan rerata 31.5 (SD 6.17) tahun pada kelompok A dan 29.83 (SD 6.55) tahun pada kelompok B dengan uji T independen didapati nilai p = 0.837 berarti tidak ada perbedaan yang bermakna di antara kedua kelompok.

Berat badan sampel penelitian berkisar antara 55 -90 kg dengan rerata 70.58 (SD 6.89) kg pada kelompok A dan 72 (SD 3.21) kg pada kelompok B dan dengan uji T independen didapati nilai p = 0.112 berarti tidak ada perbedaan yang bermakna di antara kedua kelompok.

Tinggi badan sampel penelitian berkisar antara 1.50-1.70 m dengan rerata 1.61 (SD 0.05) m pada kelompok A dan 1.60(SD 0.04) m pada kelompok B dan dengan uji T independent didapati nilai p = 0.953 berarti tidak ada perbedaan bermakna di antara kedua kelompok

Indeks massa tubuh sampel penelitian ini berkisar antara 24.44-29.76 dengan rerata 27.31 (SD 1.69) pada kelompok A dan 28.13(SD 1.06) pada kelompok B dan dengan uji T independent didapati nilai p = 0.217 berarti tidak ada perbedaan bermakna di antara kedua kelompok


(56)

5.1.3 Jenis Suku, Pekerjaan dan Pendidikan pada Kedua Kelompok Penelitian Tabel 5.2 Suku, Pekerjaan, dan Pendidikan pada Kedua Kelompok Penelitian

Jenis Kelompok A

(n =12)

Kelompok B (n=12)

P*

Suku

Batak 8 (66.67%) 7(58.33%)

Jawa 3 (25%) 4 (33.33%) 0.530

Padang 1 (8.33%) 0(0%)

Minang 0(0%) 1(8.33%)

Pekerjaan

Ibu Rumah Tangga 9 (75%) 9(75%)

Pegawai Swasta 3 (25%) 0(0%) 0.05

Pegawai Negeri Sipil 0 (0%) 3(25%)

Pendidikan

SMP 0 2(16.67%)

SMA 10(83.33%) 6(50%) 0.172

D3 0 2(16.67%)

S1 2(16.67%) 2(16.67%)

Jenis suku terbanyak dalam penelitian ini adalah Batak pada kelompok A dengan jumlah 8 orang (66.67%) dan pada kelompok B berjumlah 7 orang (58.33%). Jenis suku dianalisa dengan uji chi square untuk menilai perbedaan proporsi antara kedua kelompok penelitian didapatkan nilai p = 0.530 berarti tidak ada perbedaan bermakna jenis suku antara kedua kelompok

Jenis pekerjaan terbanyak pada penelitian ini adalah ibu rumah tangga pada kelompok A 9 orang (75%) dan pada kelompok B ada 9 orang (50%). Jenis pekerjaan dianalisis dengan uji chi square untuk menilai perbedaan proporsi antara kedua kelompok penelitian didapatkan p = 0.05 berarti ada perbedaan bermakna jenis pekerjaan antara kedua kelompok.


(1)

(2)

(3)

(4)

Lampiran 6 Rincian Informasi

Perbandingan Efektivitas antara Hydroxyethyl Starch(HES) 130/0.4 dengan Efedrin 10 mg dalam Mencegah Hipotensi pada Pasien Seksio Sesarea dengan Anestesi Spinal

Sebelumnya, izinkan saya memperkenalkan diri. Saya Jonathan Toman Lumbantobing, Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Stambuk 2009. Saya sedang menjalani penelitian dengan judul “Perbandingan Efektivitas antara Hydroxyethyl Starch (HES) 130/0.4 dengan Efedrin 10 mg dalam Mencegah Hipotensi pada Pasien Seksio Sesarea dengan Anestesi Spinal. ” Ibu hamil yang terhormat, yang akan menjalani operasi bedah sesar, kami akan melakukan penelitian yang bertujuan untuk menurunkan kekerapan hipotensi pada ibu hamil yang menjalani operasi bedah sesar dengan anestesi spinal. Hipotensi merupakan efek samping dari anestesi spinal yang sering terjadi dan apabila dibiarkan atau tidak ditangani dengan baik akan mengganggu kesejahteraan bayi dan ibunya.

Tindakan yang akan kami lakukan adalah pemberian infus ringer laktat sebelum tindakan anestesi spinal dilakukan kemudian dilanjutkan dengan pemberian HES 130/0.4 atau pemberian Efedrin 10 mg yang disuntikkan melalui selang infus. Efek yang ditimbulkan dari pemberian HES ataupun Efedrin adalah peningkatan tekanan darah sesaat setelah pemberian, peningkatan denyut jantung, dan jika efek samping ini terjadi umumnya hanya berlangsung sementara.

Bila ibu bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini kami sangat berterima kasih dan jika ibu tidak bersedia pelayanan akan tetap diberikan sebagaimana mestinya.

Hormat Kami


(5)

Lampiran 7

Surat Persetujuan Klinik

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : ... Umur : ... Alamat : ... Pendidikan : ... Pekerjaan : ...

Setelah mendapatkan keterangan secukupnya dan mengerti sepenuhnya manfaat dari penelitian yang berjudul “Perbandingan Efektivitas antara HES 130/0.4 dengan Efedrin 10 mg dalam Mencegah Hipotensi pada Pasien Seksio Sesarea dengan Anestesi Spinal ” maka dengan sukarela menyetujui diikutsertakan dalam penelitian tersebut.

Medan,...

Peneliti Peserta Penelitian


(6)

Lampiran 8 Status Penelitian

Perbandingan Efektivitas antara Hydroxyethyl Starch(HES) 130/0.4 dengan Efedrin 10 mg dalam Mencegah Hipotensi pada Pasien Seksio Sesarea dengan Anestesi Spinal

Sampel No. : ... I. Identitas Pasien

Nama : ... Umur : ... Suku : ... Pendidikan : ... Pekerjaan : ... Tinggi Badan : ... Berat Badan : ... PS ASA : ... II. Pengumpulan Data

Tekanan Darah Awal : ...

Laju Nadi Awal : ...

Waktu Tekanan

Darah

Laju Nadi HES Efedrin

0’ 1’ 5’ 10’ 15’ 20’


Dokumen yang terkait

Perbandingan Ketamine 0.5 mg/kgBB/IV Dan Propofol 1 mg/kgBB/IV Untuk Mencegah Agitasi Paska Anestesi Sevoflurane Pada Pasien Pediatri Dengan General Anestesia

4 93 98

Perbandingan Kadar Gula Darah Antara Pemberian Anestesi Spinal dengan Anestesi Epidural pada Pasien Sectio Caesaria

1 43 65

Perbandingan Kejadian Mual Muntah Pada Pemberian Tramadol Suppositori 100 mg Dan Tramadol Intravena 100 mg Sebagai Analgetik Paska Bedah Pada Operasi Ekstremitas Bawah Dengan Spinal Anestesi

1 78 66

Perbandingan Efektivitas Antara Hydroxyethyl Starch (HES) 130/0.4 Dengan Efedrin 10 mg Dalam Mencegah Hipotensi Pada Pasien Seksio Sesarea Dengan Anestesi Spinal

3 41 91

Perbandingan Efek Koloding Hes dan Ringer Laktat Terhadap Hipotensi Akibat Spinal Anestesi pada Wanita Hamil yang Menjalani Seksio Sesaria

5 339 88

Perbandingan Penambahan Petidin 0,1mg/Kgbb Dengan 0,2mg/Kgbb Ke Dalam Bupivacain Hiperbarik 20 Mg Untuk Mencegah Menggigil Pada Anestesi Intratekal

0 43 114

Perbandingan Tramadol 0.5 Dan 1 Mg/Kgbb Iv Dalam Mencegah Menggigil Dengan Efek Samping Yang Minimal Pada Anestesi Spinal

0 51 87

Perbedaan Kadar Hemoglobin Pada Pasien Seksio Sesarea Pertama Dengan Pasien Seksio Sesarea Berulang Di Rs. Prikasih Tahun 2013

0 6 53

Perbandingan Ketamine 0.5 mg/kgBB/IV Dan Propofol 1 mg/kgBB/IV Untuk Mencegah Agitasi Paska Anestesi Sevoflurane Pada Pasien Pediatri Dengan General Anestesia

0 0 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 FISIOLOGI NYERI - Perbandingan Kejadian Mual Muntah Pada Pemberian Tramadol Suppositori 100 mg Dan Tramadol Intravena 100 mg Sebagai Analgetik Paska Bedah Pada Operasi Ekstremitas Bawah Dengan Spinal Anestesi

0 1 17