Perbandingan Ketamine 0.5 mg/kgBB/IV Dan Propofol 1 mg/kgBB/IV Untuk Mencegah Agitasi Paska Anestesi Sevoflurane Pada Pasien Pediatri Dengan General Anestesia

(1)

PERBANDINGAN KETAMINE 0.5 mg/kgBB/IV DAN

PROPOFOL 1 mg/kgBB/IV UNTUK MENCEGAH AGITASI

PASKA ANESTESI SEVOFLURANE PADA PASIEN

PEDIATRI DENGAN GENERAL ANESTESIA

TESIS Anna Millizia NIM : 107114002

PROGRAM MAGISTER KLINIK - SPESIALIS

DEPARTEMEN / SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA /

RSUP. HAJI ADAM MALIK MEDAN

2015


(2)

PERBANDINGAN KETAMINE 0.5 mg/kgBB/IV DAN

PROPOFOL 1 mg/kgBB/IV UNTUK MENCEGAH AGITASI

PASKA ANESTESI SEVOFLURANE PADA PASIEN

PEDIATRI DENGAN GENERAL ANESTESIA

TESIS

Anna Millizia 107114002

PEMBIMBING I :

dr. Chairul M. Mursin, Sp. An, KAO PEMBIMBING II

dr.Hasanul Arifin, Sp. An, KAP, KIC

Untuk memperoleh gelar Magister Klinik di bidang Anestesiologi dan

Terapi Intensif / M.Ked (An) pada Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM MAGISTER KLINIK - SPESIALIS

DEPARTEMEN / SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA /

RSUP. HAJI ADAM MALIK MEDAN

2015


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan Rahmat dan Karunia-Nya saya berkesempatan membuat penelitian ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh tanda keahlian dalam bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP H. Adam Malik Medan.

Ucapan terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan setinggi–tingginya kepada yang terhormat : dr. Chairul M. Mursin Sp.An, KAO dan dr. Hasanul Arifin Sp.An, KIC, KAP atas kesediaannya sebagai pembimbing penelitian saya, serta dr. Putri C Eyanoer, Ms. Epi sebagai pembimbing statistik penelitian saya, walaupun di tengah kesibukan masih dapat meluangkan waktu.

Yang terhormat Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara (USU), Prof.DR. Dr. H. Syahril Pasaribu DTM&H, Msc(CTM), Sp.A(K). Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar Sp.PD (KGEH) atas kesempatan yang telah diberikan kepada saya untuk mengikuti program pendidikan dokter spesialis (PPDS) I dan magister klinik di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.

Yang terhormat Prof. dr. H. Achsanuddin Hanafie Sp.An, KIC, KAO sebagai Kepala Departemen/SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan, dr. Hasanul Arifin Sp.An, KAP, KIC sebagai Ketua Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, Dr. dr. Nazaruddin Umar Sp.An, KNA sebagai Sekretaris Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, dr. Akhyar H. Nasution Sp.An, KAKV sebagai Sekretaris Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, yang telah banyak memberikan petunjuk, pengarahan serta nasehat dan mendidik selama saya menjalani penelitian ini.

Yang terhormat guru saya di jajaran Departemen/SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan, dr. A. Sani P. Nasution Sp.An, KIC., dr. Chairul Mursin Sp.An, KAO., dr. Asmin Lubis DAF, Sp.An, KAP, KMN., (alm) dr. Nadi Zaini Bakri SpAn., (alm) dr. Muhammad A. R SpAn, KNA., dr. Yutu Solihat SpAn, KAKV., dr. Soejat Harto SpAn, KAP., dr. Ade Veronica SpAn, KIC., dr. Syamsul Bahri Siregar SpAn., dr. Walman Sitohang SpAn., dr. Tumbur SpAn., Letkol CKM. dr. Nugroho Kunto Subagio SpAn., dr. Dadik Wahyu Wijaya SpAn., dr. M. Ihsan SpAn, KMN., dr. Guido M Solihin SpAn, KAKV., dr. Qadri F. Tanjung SpAn, KAKV., dr. RR


(4)

Shinta Irina SpAn. dr Rommy F Nadeak SpAn., yang telah banyak memberikan bimbingan dalam bidang ilmu pengetahuan di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif, baik secara teori maupun keterampilan sehingga menimbulkan rasa percaya diri dalam bidang keahlian maupun pengetahuan umum lainnya yang kiranya sangat bermanfaat bagi saya di kemudian hari.

Yang terhormat Bapak Direktur RSUP H. Adam Malik Medan, Bapak Direktur RSUD dr. Pirngadi Medan, Karumkit Tk. II Putri Hijau Medan, Direktur RS Haji Medan, yang telah mengizinkan dan memberikan bimbingan serta kesempatan kepada saya untuk belajar menambah keterampilan.

Kepada para perawat / paramedis dan seluruh Karyawan / Karyawati RSUP H. Adam Malik Medan, RSUD dr.Pirngadi Medan, RS Haji Medan, dan Rumkit Tk. II Putri Hijau Medan yang telah banyak membantu dan bekerja sama dengan baik selama ini dalam menjalani tugas pendidikan dan pelayanan kesehatan, serta kesempatan yang diberikan sehingga saya dapat melaksanakan penelitian ini, saya juga mengucapkan terima kasih yang setulusnya.

Sembah sujud dan rasa syukur saya persembahkan kepada yang tercinta kedua orang tua saya, ayahanda; H. Anwar Iska dan ibunda; Hj. Zarlina saya sampaikan rasa hormat dan terima kasih saya yang tak terhingga serta penghargaan yang setinggi-tingginya atas doa dan perjuangannya yang tiada henti serta dengan siraman kasih sayang yang luar biasa yang telah diberikan kepada saya.

Kepada adik kandung saya, yaitu S. Abul Khairi terima kasih tak terhingga dan setulusnya atas dorongan dan inspirasinya selama saya menjalani masa pendidikan spesialis ini.

Yang saya hormati dan cintai Bapak mertua dr. H. Einil Rizar, Sp. OG(K) dan Ibu mertua Hj. Dwi Satellita yang juga telah mendukung dan memberikan doa dan restu untuk saya agar dapat menuntut ilmu dan mengejar cita-cita saya.

Kepada suami yang sangat saya cintai dan kasihi, dr. M. Bayu Rizaldy yang selalu menyayangi saya, dengan cinta kasihnya yang luar biasa selalu memberikan dorongan, dan tidak pernah bosan selalu memberikan waktu dan tenaganya untuk mendengarkan keluh kesah saya dengan penuh perhatian. Terima kasih yang tak terhingga atas kesabaran dan keikhlasan selama saya menjalani pendidikan ini, semoga usaha saya ini juga dapat menjadi dasar dalam setiap aspek kehidupan kami kedepannya.

Kepada seluruh kerabat dan handaitaulan yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan, yang selalu memberikan dorongan dan


(5)

dukungan moral maupun materil, serta doanya yang tulus sehingga saya dapat menyelesaikan pendidikan ini, saya mengucapkan terima kasih.

Kepada yang tercinta teman-teman satu angkatan saya dalam penerimaan Program Pendidikan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran USU yaitu: dr. Mufti Andri, dr Benni Antomy dan dr. Wahyu Satria Kencana, yang telah bersama-sama sejak mulai penerimaan masuk, berbagi dalam suka maupun duka, tak lupa saya haturkan terima kasih. Begitu juga dengan dr. Ahmad Yafiz Hasby, dr. Rusdian Nurmadi, dr. Kiki Prayogi dr. Andri Yunafri dan dr. Wulan Fadinie, M. Ked (An), Sp. An, yang telah memberikan saran serta sarana diskusi dalam perencanaan penelitian ini.

Terima kasih saya ucapkan kepada relawan saya yang telah bersedia meluangkan waktu dan menolong dalam pelaksanaan penelitian yaitu dr Metty Savitri dan dr. Fahmi Sani. Dan juga kepada teman-teman saya tercinta, baik di tingkat senior maupun junior yang terlibat langsung dalam membantu dan menginspirasi saya selama saya mengerjakan penelitian ini baik dari departemen anestesiologi dan terapi intensif maupun dari departemen lain yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu disini terima kasih saya ucapkan atas bantuan dan kerja samanya baik secara moril, tenaga, pikiran, dan perhatiannya selama saya menjalankan penelitian ini.

Dan akhirnya izinkan dan perkenankanlah saya dalam kesempatan yang tertulis ini memohon maaf atas segala kekurangan saya selama mengikuti masa pendidikan di Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang saya cintai.

Medan, Januari 2015

Penulis

(dr. Anna Millizia)


(6)

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI ... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR TABEL……… DAFTAR SINGKATAN……….……… RINGKASAN……….. ABSTRACT……….. BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian ... 1.2. Rumusan Masalah ………... 1.3. Hipotesis ………..……… 1.4. Tujuan Penelitian ……... 1.4.1 Tujuan Umum ... 1.4.2 Tujuan Khusus ... 1.5. Manfaat Penelitian ………... 1.5.1 Bidang Akademik ………...…………. 1.5.2 Bidang Pelayanan Masyarakat ………...……….. 1.5.3 Bidang Penelitian ……….

i iv viii ix xi xii xiii

1 6 6 6 6 6 7 7 7 8


(7)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Agitasi Paska Anestesi………. ... 2.1.1 Etiologi………... 2.1.2 Obat adjuvant pada anestesi untuk mengurangi agitasi paska anestesi ………. 2.1.3 Penilaian agitasi paska anestesi... 2.2. Propofol………..………. 2.2.1 Struktur fisik dan kimia……… ……… 2.2.2. Propofol MCT/LCT……….. ……… 2.2.3. Sediaan propofol………... 2.2.4. Mekanisme kerja………. 2.2.5. Farmakokinetik………... 2.2.6. Sedasi Intravena………..……… 2.2.7 Farmakodinamik……….. 2.3. Ketamine………… ...

2.3.1 Farmakologi Ketamine……….. …....…………..…… 2.3.2 Mekanisme kerja ketamine ..………... 2.3.3 Efek ketamine pada fungsi organ ………...………

2.3.4 Penggunaan klinis ketamine …………...…...………..

9 10 14 16 17 17 18 19 19 19 20 21 22 22 23 24 26


(8)

2.4 Sevoflurane……….. 2.4.1 Farmakokinetik………. 2.4.2 Metabolisme……….. 2.4.3 Efek terhadap sistem organ……….. 2.4.4 Efek Samping……… 2.5. Kerangka Teori………... 2.6. Kerangka Konsep………..……….. BAB 3 METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian ………... 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 3.3 Populasi, dan Sampel Penelitian………... 3.4 Kriteria Inklusi, Eksklusi dan Putus Uji ... 3.5 Estimasi Besar Sampel………. 3.6 Informed Consent ……... 3.7 Alat dan Bahan……… ... 3.8 Cara Kerja………... 3.9 Pelaksanaan Penelitian………..……. 3.10 Identifikasi Variabel ...

3.7.1 Variabel Bebas ……….…..……… 3.7.2 Variabel Tergantung …………..………

28 29 30 31 32 34 35 36 36 36 37 37 38 38 39 40 41 41 41


(9)

3.11 Definisi Operasional………... … 3.12 Rencana manajemen dan analisa data………. 3.13. Masalah Etika………... 3.14. Alur Penelitian ... BAB 4 HASIL PENELITIAN

4.1 Karakteristik Umum Subjek Penelitian……… 4.2 Karakteristik Nilai PAED Pada Kedua Kelompok………... 4.3 Agitasi Pada Kedua Kelompok………. 4.4 Penambahan Injeksi Propofol………... 4.5 Efek Samping

4.5.1 Lama Ekstubasi……… 4.5.2 Lama Rawatan di PACU………... 4.5.3 Mual dan Muntah……….. BAB 5 PEMBAHASAN………... BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan……… 6.2 Saran……… DAFTAR PUSTAKA ...……….

42 45 45 47

48 51 53 53 54 54 55 55 56 60 60 61 62


(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1-1 : Respon fisiologis terhadap kecemasan….……….. 13

Gambar 2.2-1 : Rumus bangun propofol ……….. …... 17

Gambar 2.3-1 : Rumus bangun ketamine….. ………..… 22

Gambar 2.3-2 : Reseptor NMDA (N Methyl D Aspartate) …..……..… 24

Gambar 2.4-1 : Rumus bangun sevoflurane……… 29

Gambar 2.5-1 : Kerangka Teori ……….………….….. 34

Gambar 2.6-1 : Kerangka Konsep ……….………..….. 35

Gambar 3.14-1 : Alur Penelitian………... 47


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Pediatric Anesthesia Emergence Delirium (PAED) Scale… 17

Tabel 2 Distribusi propofol bebas dan total propofol………….…… 19

Tabel 3 Equivalen MAC dalam Oksigen dan O2/N2O………..……. 31

Tabel 4. Karakteristik Umum Subjek Penelitian Berdasarkan Umur………. 48

Tabel 5 Karakteristik Umum Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin……….... 49

Tabel 6 Karakteristik Umum Subjek Penelitian berdasarkan PS ASA………49

Tabel 7 Karakteristik Umum Subjek Penelitian berdasarkan Jenis Operasi………. 50

Tabel 8 Karakteristik Umum Subjek Penelitian berdasarkan Lama Pembedahan……… 50

Tabel 9 Karakteristik Umum Subjek Penelitian berdasarkan Lama Anestesi……… 51

Tabel 10 Nilai PAED antara kelompok Ketamine dan Propofol Menit 5, 15 dan 25………. 51

Tabel 11 Nilai PAED antara kelompok Ketamine dan Propofol Menit 10,20,30,35,40,50,55 dan 60………. 52

Tabel 12 Agitasi Pada Kedua Kelompok……….. 53

Tabel 13 Penambahan Injeksi Propofol……….54


(12)

Tabel 15 Lama Rawatan di Ruang Pemulihan (PACU)………... 55 Tabel 16 Kejadian Mual dan Muntah………55 Tabel 17 Kejadian Agitasi antara Ketamine (Experimental)

dan Propofol (Control)……… 57 Tabel 18 Kejadian Agitasi dihubungkan dengan Umur………. 58


(13)

DAFTAR SINGKATAN ARR = Absolute Risk Reduction BMI = Body Mass Index

CBF = Cerebral Blood Flow CER = Control Event Rate

CMRO2 = Consumption Metabolic Rate Oxygen

ED = Effective Dose

EER = Experimental Event Rate GABA = Gamma Amino Butyric Acid HFIP = Hexafluoroisopropanolol ICP = Intracranial Pressure LCT = Long Chain Triglycerides

MAC = Minimum Alveolar Concentration MCT = Medium Chain Triglycerides MRI = Magnetic Resonance Imaging NMDA = N Methyl D Aspartate (reseptor) NNH = Number Need To Harm

OAINS = Obat Anti Inflamasi Non Steroid PACU = Pediatric Anesthesi Care Unit

PAED = Pediatric Anesthesia Emergence Delirium RRR = Relative Reduction Rate

SOL = Space Occupying Lesion SSP = Susunan Syaraf Pusat


(14)

RINGKASAN

Tujuan: Untuk mengamati apakah pemberian ketamin dan propofol pada akhir pembedahan dapat mencegah agitasi paska anestesi dengan sevoflurane.

Metode: Setelah mendapat izin dari komisi etik penelitian bidang kesehatan Fakultas Kedokteran USU dan Rumah Sakit Haji Adam Malik, Uji klinis acak tersamar ganda pada 48 pasien pediatrik, 2 sampai 10 tahun, PS-ASA 1 dan 2 yang akan menjalani operasi elektif dengan anestesi umum sevoflurane di Rumah Sakit Haji Adam Malik. Sampel dibagi menjadi dua kelompok masing-masing terdiri dari 24 orang. Kelompok A menerima Ketamin 0,5 mg/kgBB IV dan kelompok B menerima Propofol 1 mg/kgBB IV 10 menit sebelum pembedahan berakhir. Seluruh pasien diinduksi dan menggunakan agen inhalasi rumatan sevoflurane.Paska operasi seluruh pasien mendapatkan injeksi ketorolac 0.5 mg/kgBB/iv. Kejadian agitasi dicatat dengan skor PAED mulai dari pasien sudah dipindahkan ke ruang pemulihan (PACU). Nilai PAED > 10 dianggap sebagai kejadian agitasi. Komplikasi seperti mual muntah, lama ekstubasi dan lama rawatan PACU dicatat.

Hasil: Pada penelitian ini dapat dilihat bahwa kejadian agitasi lebih banyak pada kelompok propofol dibandingkan ketamine namun secara statistik berbeda tidak bermakna (p > 0.05). Tidak terjadi perbedaan lama ekstubasi dan lama rawatan di ruang pemulihan diantara dua kelompok. Pada seluruh sampel penelitian tidak dijumpai efek mual dan muntah.

Kesimpulan: Terdapat perbedaan yang tidak bermakna secara statistik antara kedua kelompok dalam hal terjadinya agitasi paska anestesi sevoflurane. Sehingga ketamine 0.5 mg/kgBB/iv dapat menjadi obat alternatif selain propofol 1 mg/kgBB/iv untuk mencegah agitasi paska anestesi sevoflurane pada pasien pediatrik.


(15)

ABSTRACT

Objective: To observe whether the injection of ketamine and propofol in the end of surgery could prevent emergence agitation in sevoflurane anesthesia

Method: After getting the approval from the Ethic Committe of USU Medical School and Haji Adam Malik General Hospital, Double blinded, a randomized clinical trial on 48 pediatric patients, 2 to 10 years, physical state ASA-1 and 2 who underwent elective surgery with general anesthesia with sevoflurane in Haji Adam Malik General Hospital. The sample are divided into two groups each with 24 subjects. Group A received Ketamine 0,5 mg/kgBW IV 10 minute before the surgery ended and group B recieved Propofol 1 mg/kgBW IV 10 minute before the surgery ended . All patient receive induction and maintained with sevoflurane. All patients receive post operative pain management ketorolac injection 0.5 mg/kgBW/IV.This study observed the agitation that occurred during the stay at PACU. The agitation was observed with PAED Score. PAED score above 10 considered as agitation. An incidence of any side effects were also recorded.

Result: The study reveals that the agitation occurred more frequently in propofol than ketamine grup, statistically no significant difference between groups (p > 0.05) On the whole sample we did not found prolonged extubation, prolonged length of stay in PACU, nausea and vomit effect during the postoperative time in PACU.

Conclusion: There were no significant statistical differences between the two groups incidence of agitation. Furthermore, ketamine 0.5 mg/kgBW/iv can be an alternate drug beside propofol 1 mg/kgBW/iv to reduce emergence agitation in pediatric patients.


(16)

ABSTRACT

Objective: To observe whether the injection of ketamine and propofol in the end of surgery could prevent emergence agitation in sevoflurane anesthesia

Method: After getting the approval from the Ethic Committe of USU Medical School and Haji Adam Malik General Hospital, Double blinded, a randomized clinical trial on 48 pediatric patients, 2 to 10 years, physical state ASA-1 and 2 who underwent elective surgery with general anesthesia with sevoflurane in Haji Adam Malik General Hospital. The sample are divided into two groups each with 24 subjects. Group A received Ketamine 0,5 mg/kgBW IV 10 minute before the surgery ended and group B recieved Propofol 1 mg/kgBW IV 10 minute before the surgery ended . All patient receive induction and maintained with sevoflurane. All patients receive post operative pain management ketorolac injection 0.5 mg/kgBW/IV.This study observed the agitation that occurred during the stay at PACU. The agitation was observed with PAED Score. PAED score above 10 considered as agitation. An incidence of any side effects were also recorded.

Result: The study reveals that the agitation occurred more frequently in propofol than ketamine grup, statistically no significant difference between groups (p > 0.05) On the whole sample we did not found prolonged extubation, prolonged length of stay in PACU, nausea and vomit effect during the postoperative time in PACU.

Conclusion: There were no significant statistical differences between the two groups incidence of agitation. Furthermore, ketamine 0.5 mg/kgBW/iv can be an alternate drug beside propofol 1 mg/kgBW/iv to reduce emergence agitation in pediatric patients.


(17)

BAB I PENDAHULUAN 1.1LATAR BELAKANG

Dengan ditemukannya agen inhalasi yang baru, desflurane dan sevoflurane, muncul permasalahan baru yang dikenal dengan agitasi pulih sadar. Agitasi pulih sadar didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana kesadaran anak paska operasi gelisah, tidak dapat dibujuk, pemarah dan tidak kooperatif. 1

Agitasi pada anak yang menjalani anestesi dengan sevoflurane prevalensinya masih tinggi berkisar 10-67%, padahal sevoflurane mempunyai sifat yang menguntungkan oleh karena toleransi induksi yang baik dan cepat pada anak-anak, hemodinamik yang stabil, hepatotoksisitas yang rendah serta pemulihannya yang cepat.2,3 Pemulihan yang cepat dari sevoflurane dan nyeri paska operasi merupakan faktor yang berperan terhadap timbulnya agitasi pada anak. 2 Eckonhoff et al adalah yang pertama mendeskripsikan terjadinya agitasi pada tahun 1961. Pada penelitiannya ditemukan bahwa ada 4 faktor yang berperan penting dalam terjadinya agitasi yaitu anak umur 3-9 tahun, pembiusan dengan eter, tonsilektomi dan premedikasi dengan barbiturate. 4Cole dkk mengestimasi 13% dari 260 anak (umur 10 bulan hingga 6 tahun) mengalami periode terjadinya disorientasi dan gelisah di ruang pemulihan dan kemudian menurun hingga 8% 20 menit kemudian. Aono et al menemukan bahwa agitasi paska anestesi terlihat lebih sering pada sevoflurane dibandingkan dengan halothan pada anak umur 3-6 tahun (40% vs 10%). Voepel Lewis, Malviya dan Tait mengaudit 521 anak (umur 3 hingga 7 tahun) dan 18% mengalami agitasi paska anestesi. Dari jumlah ini, 42% dikekang oleh 2 atau lebih perawat, kemudian 48% pasien menjadi tenang sebelum diberikan obat, dan 52% pasien diberikan opioid.5

Berdasarkan data pada Agustus 2010, terdapat pasien anak berusia 2-12 tahun yang menjalani tindakan operasi dengan anestesi umum di Instalasi Bedah Pusat RSUP H. Adam Malik Medan sekitar 11% setiap bulannya dan sekitar 90% dengan anestesi umum.6 Sedangkan prevalensi anak-anak yang menjalani operasi


(18)

di Afrika Barat sekitar 34 pasien anak dari 625 pasien setiap bulannya, dan di Gambia sekitar 11,3%.7 Insidensi terjadinya agitasi paska operasi setelah penggunaan halotan, isoflurane, sevoflurane dan desflurane berkisar 5-55%.1

Anak-anak akan segera memberikan tanda jika mereka bangun merasakan sakit atau perasaan tidak senang. Anestetis yang baik akan memastikan pasien anak sudah teranalgesia dengan cukup pada saat dibangunkan. Pasien anak akan mengalami agitasi pada saat dibangunkan karena berbagai macam alasan. Namun sangat penting untuk mengeksklusikan nyeri sebelum mempertimbangkan kausa lainnya. Pasien anak yang mengalami agitasi akan menangis dan sedih, namun dapat dihibur, mengenali orang tua dan biasanya dapat berkomunikasi.8 Delirium paska pulih sadar merupakan disorientasi yang disebabkan oleh obat. Pasien anak biasanya menangis atau menjerit, dapat berhalusinasi, tidak kooperatif, tidak dapat dihibur dan melempar semua barang yang terletak disekitarnya. Dalam keadaan seperti ini, pasien anak sering terlepas selang infus dan drain sehingga semakin menyulitkan perawatan paska bedah. Hal ini sering terjadi pada pasien anak umur pra sekolah yang menjalani tindakan anestesi dengan sevoflurane dan desflurane. Pulih sadar yang cepat setelah anestesi merupakan salah satu penyebabnya dan pemberian propofol dapat mengurangi insidensi terjadinya agitasi dan delirium. Delirium mulai terjadi pada saat anak terbangun dan biasanya berlangsung selama 30 menit, walaupun hal ini biasanya dapat bertahan lebih lama.8

Dosis kecil dari propofol 0.5-2 mg/kgBB/iv (dengan peralatan jalan nafas yang sudah tersedia jika pasien mengalami henti nafas), klonidine intravena (0.5-1 mikrogram/kgBB/iv), atau fentanyl 0.5-1 mikrogram/kgBB/iv. Ketamine atau dexmedetomidine merupakan pilihan obat anestesi yang dapat mengurangi angka kejadian agitasi pada pasien anak, namun tidak sama halnya dengan pemberian midazolam. Beberapa kasus menunjukkan terjadinya perbaikan jika pasien anak ini tersedasi selama 10-15 menit dan dibangunkan secara bertahap. 8

Propofol adalah obat yang bekerja relatif memodulasi reseptor gamma aminobutyric acid (GABA). Propofol mempunyai efek sedasi hipnotik melalui


(19)

interaksi pada reseptor GABA. GABA pada prinsipnya menghambat neurotransmitter pada susunan saraf pusat. Ketika reseptor GABA diaktivasi, maka konduktansi transmembran klorida akan meningkat, yang akan menyebabkan hiperpolarisasi dari membran sel post sinaps dan inhibisi fungsional dari neuron post sinaps. 9Propofol telah menjadi obat pilihan untuk induksi oleh karena efek pulih sadarnya yang sempurna dan cepat. Propofol juga dapat digunakan sebagai obat sedasi intravena oleh karena masa kerjanya yang cepat, memiliki efek anti emetik pada pembiusan umum dan biaya yang efektif, mudah diberikan dan dapat dititrasi pemberiannya. 10

Propofol dan ketamine telah diteliti sebelumnya dapat mengurangi insidensi terjadinya agitasi paska anestesi dengan sevoflurane. Agitasi pulih sadar dievaluasi dengan menggunakan skala Pediatric Anesthesia Emergence Delirium (PAED). 11

Bruno Locatelli dkk melakukan penelitian tentang delirium paska anestesi, perbandingan antara sevoflurane dan desflurane menggunakan skala Pediatric Anesthesia Emergence Delirium (PAED). Penelitian ini memperlihatkan sevofluran dan desflurane memiliki insidensi terjadinya delirium paska anestesi yang hampir sama pada pasien anak yang menjalani operasi daerah sub umbilical.11

Kim S dkk melakukan penelitian tentang perbandingan antara propofol 1 mg/kgBB dengan fentanyl 1 µg/kgBB/iv yang diberikan pada akhir anestesi untuk mencegah agitasi paska anestesi sevoflurane pada pasien pediatrik. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa propofol dan fentanyl menurunkan terjadinya agitasi paska anestesi. Namun propofol lebih baik daripada fentanyl karena efek mual muntahnya yang lebih sedikit. 12

Rashad Manal dkk melakukan penelitian tentang efek berbagai obat untuk mencegah agitasi paska anestesi dengan sevoflurane pada 80 pasien pediatrik yang menjalani operasi revisi hipospadia. Penelitian ini membandingkan antara propofol 1 mg/kgBB/iv, ketamine 0,25 mg/kgBB/iv, Fentanyl 1 µg/kgBB/iv dan


(20)

Normal saline sebagai plasebo. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa penggunaan propofol atau fentanyl sebelum sevoflurane dihentikan ternyata menurunkan insidensi terjadinya agitasi paska anestesi pada pasien pediatrik lebih baik dari grup ketamine, dimana penggunaan fentanyl menunjukkan masa rawatan di ruang pemulihan yang lebih lama dan insidensi terjadinya mual muntah lebih besar.13

Zahi Almajali dkk melakukan penelitian pemberian intravena ketamine 1 mg/kgBB/iv, fentanyl 1µg/kgBB/iv atau propofol 1 mg/kgBB/iv yang diberikan pada akhir pembedahan untuk menurunkan agitasi paska anestesi. Pada penelitian ini agen inhalasi yang digunakan adalah isoflurane. Penelitian dilakukan pada 273 pasien anak yang akan menjalani tonsilektomi. Penelitian ini menunjukkan fentanyl dan propofol yang diberikan pada akhir pembedahan akan menurunkan frekuensi dan agitasi paska operasi yang lebih baik. 14

Ashraf Arafat dkk melakukan penelitian efek ketamine versus fentanyl pada insidensi terjadinya agitasi paska anestesi dengan sevoflurane pada pasien anak yang menjalani tonsilektomi tanpa atau dengan adenoidektomi. Pada penelitian ini dibandingkan ketamin 0,5 mg/kgBB/iv, fentanyl 1 µg/kgBB/iv dan normal saline sebagai grup kontrol yang diberikan pada akhir anestesi. Hasilnya menunjukkan bahwa kedua obat mampu menurunkan terjadinya agitasi paska anestesi dengan sevoflurane tanpa memperpanjang masa pulih sadar dan lama rawatan di ruang pemulihan. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam hal menurunkan angka agitasi antara grup ketamin dan fentanyl. Namun efek mual muntah terlihat signifikan lebih banyak di grup fentanyl. 15

Eghbal MH dkk melakukan penelitian pada 66 pasien anak yang menjalani adenotonsilektomi yang dibagi kedalam 2 grup. Pasien di grup kontrol akan mendapatkan normal saline 5 ml sementara pasien pada grup ketamine akan mendapat ketamin dengan dosis 0.25 mg/kgBB/iv yang diberikan selama induksi anestesi. Penelitian ini memperlihatkan bahwa ketamine dengan dosis rendah selama induksi anestesi akan menurunkan agitasi paska anestesi dan nyeri paska


(21)

operasi setelah adenotonsilektomi pada pasien anak. Tidak terlihat perbedaan yang signifikan dalam menurunkan insidensi terjadinya mual muntah paska operasi diantara kedua grup. 16

Jeong et al melakukan penelitian terhadap 60 pasien anak yang menjalani operasi mata dan dibagi kedalam 3 grup. Pasien di grup kontrol akan mendapat normal saline, grup K1 mendapatkan ketamine 1 mg/kgBB/iv yang diberikan intravena sebelum memasuki kamar operasi, dan grup K0.5 yang diberikan ketamine 0.5 mg/kgBB/iv 10 menit sebelum pembedahan berakhir. Hasilnya menunjukkan bahwa ketamine 1 mg/kgBB/iv yang diberikan sebelum memasuki ruang operasi akan menurunkan kecemasan sebelum berpisah dari orang tua, nyeri paska operasi dan insidensi agitasi paska anestesi tanpa masa pemulihan yang panjang. 17

Lee YS dkk melakukan penelitian efek penambahan ketamine yang dievaluasi pada 93 pasien anak yang menjalani tonsilektomi. Pasien dialokasikan menjadi 3 grup, grup kontrol diberikan saline, grup K0.25 yang diberikan ketamin 0.25 mg/kgBB/iv dan grup K0.5 yang diberikan ketamin 0.5 mg/kgBB/iv. Tidak terlihat perbedaan yang signifikan dari terjadinya agitasi, lamanya waktu ekstubasi dan insidensi terjadinya mual muntah pada kedua grup. Namun grup K0.5 menunjukkan skor nyeri yang lebih rendah dibandingkan dengan grup K0.25.18

Beberapa obat memang sudah digunakan untuk menurunkan insidensi dan intensitas agitasi paska operasi seperti fentanyl, ketamine, propofol dan alfa 2 adrenergik agonis. Sampai sekarang, potensi antara satu obat dengan lainnya belum jelas diketahui. 14. Ketamine memiliki keuntungan di mana obat ini lebih mudah didapatkan bahkan didaerah perifer, dengan kemasan dan sediaan yang dapat digunakan untuk beberapa pasien sehingga menghemat biaya (cost).

Berdasarkan studi kepustakaan dan hasil penelitian terkait serta mempertimbangkan kemampuan obat untuk mencegah agitasi, efek samping dan ketersediaan obat, maka pada penelitian ini dilakukan terhadap ketamin 0.5


(22)

mg/kgBB/iv dan propofol 1 mg/kgBB/iv yang diberikan pada akhir anestesi untuk mencegah agitasi paska anestesi dengan sevoflurane pada pasien pediatri dengan general anesthesia. Dimana dosis ketamine dinaikkan dengan harapan efek sedasi dan analgetik yang lebih baik sehingga dapat meningkatkan efektivitas untuk mencegah agitasi pada pasien pediatrik umur 2-10 tahun dan intervensi kedua obat ini belum pernah diuji secara head to head dengan dosis yang diinginkan peneliti.

1.2RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: apakah ada perbedaan dari pemberian ketamine 0.5 mg/kgBB/iv dibandingkan dengan propofol 1 mg/kgBB/iv untuk mencegah terjadinya agitasi paska anestesi sevoflurane

1.3 HIPOTESA

Ada perbedaan dari pemberian ketamine 0.5 mg/kgBB/iv dibandingkan dengan propofol 1 mg/kgBB/iv untuk mencegah terjadinya agitasi paska anestesi sevoflurane

1.4TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini dibedakan atas tujuan umum dan tujuan khusus

1.4.1 TUJUAN UMUM

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mendapatkan obat alternatif yang dapat mencegah agitasi paska anestesi sevoflurane pada pasien anak yang menjalani pembedahan dengan general anestesi.

1.4.2 TUJUAN KHUSUS

Tujuan khusus penelitian ini adalah :

a. Mengetahui distribusi frekuensi dari : jenis kelamin, umur, BMI, lama anestesi dan jenis operasi pasien anak dengan anestesi sevoflurane


(23)

b. Mengetahui perbedaan karakteristik dari PAED score menit ke 5 hingga 60 antara kelompok propofol dan ketamine

c. Mengetahui proporsi terjadinya agitasi paska anestesi sevoflurane pada pasien anak dengan pemberian propofol 1 mg/kgBB/iv yang diberikan pada akhir anestesi.

d. Mengetahui proporsi terjadinya agitasi paska anestesi sevoflurane pada pasien anak dengan pemberian ketamine 0.5 mg/kgBB/iv yang diberikan pada akhir anestesi.

e. Mengetahui perbedaan pencegahan agitasi paska anestesi sevoflurane antara propofol dan ketamine yang diberikan pada akhir anestesi.

f. Mengetahui perbedaan lama waktu ekstubasi setelah pemberian propofol dan ketamine pada akhir anestesi

g. Mengetahui perbedaan lama waktu rawatan di ruang pemulihan (PACU) setelah pemberian propofol dan ketamine pada akhir anestesi

h. Mengetahui perbedaan terjadinya mual muntah setelah pemberian propofol dan ketamine pada akhir anestesi

1.5MANFAAT PENELITIAN 1.5.1 Bidang Akademis

a. Sebagai sumber informasi dan bahan referensi untuk penelitian selanjutnya.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai bahan acuan untuk pencegahan agitasi paska anestesi sevoflurane pada pasien anak yang menjalani pembedahan dengan general anestesi.

1.5.2 Bidang Pelayanan Masyarakat

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat dalam pelayanan masyarakat sebagai landasan dalam pencegahan agitasi paska anestesi sevoflurane pada anak yang menjalani pembedahan dengan general anestesi, terutama untuk : a. Mendapatkan keadaan anak yang tenang selama di ruang pemulihan


(24)

b. Mendapatkan obat pilihan yang dapat digunakan untuk mencegah agitasi paska anestesi dengan sevoflurane.

1.5.3 Bidang Penelitian

Dalam bidang penelitian, hasil penelitian ini diharapkan memberikan data untuk penelitian selanjutnya dalam bidang pencegahan agitasi paska anestesi sevoflurane pada pasien anak yang menjalani pembedahan dengan general anestesi.


(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 AGITASI PASKA ANESTESI

Pembedahan dan anestesi dapat menimbulkan stress emosional pada anak dan orang tua. Hal ini dapat terjadi pada saat preoperatif dan post operatif. Untuk meminimalisasi stress emosional anestesi dan pembedahan, anestesiologis harus memahami perkembangan mental anak dan bagaimana caranya untuk mengatasi hal ini. 19-24

Senyawa inhalasi telah menjadi tulang punggung anestesi umum pada pasien pediatrik sejak anestesi umum pertama kali diberikan kepada pasien pediatrik pada pertengahan abad ke-19.1 Karena baunya yang menyenangkan, iritabilitas saluran nafas minimal dan menjadikan sevoflurane sangat baik untuk induksi inhalasi. Induksi dan pemulihan yang cepat, serta mudahnya pengendalian kedalaman anestesi membuatnya sebagai obat anestesi yang ideal untuk anestesi pediatrik. Pemulihan dari anestesi umum lebih cepat dengan sevoflurane dan telah terbukti pada sebagian besar penelitian, karena kelarutan yang rendah dan eliminasi sevoflurane lebih cepat daripada obat anestesi inhalasi lainnya. 1,25

Saat pemulihan anestesi diidentifikasi adanya agitasi dan merupakan masalah pada anak. Manifestasinya bisa berupa perubahan perilaku, mulai dari menangis, iritabel sampai kehilangan kendali yang berat, dan keadaan ini pada puncaknya bisa beresiko melukai diri sendiri. Prevalensi terjadinya agitasi berkisar antara 10-67%. Agitasi adalah suatu tingkat kesadaran yang mengalami disosiasi sehingga anak menjadi tidak tenang, iritatif, tidak bisa diatur, atau tidak bisa bekerja sama. Secara karakteristis, anak ini tidak mengenali atau mengidentifikasi orang atau beda yang telah dikenal baik olehnya. Para orang tua yang menyaksikan keadaan ini biasanya menyatakan bahwa perilaku ini tidak biasa dan bukan merupakan kebiasaan anak mereka. 3


(26)

Kejadian agitasi lebih besar pada anak yang diberi anestesi dengan sevoflurane dibandingkan dengan anak yang diberi anestesi dengan halotan. Sevoflurane dapat mempredisposisi pasien tertentu ke paranoid. Faktor-faktor yang menyebabkan agitasi pada anak ini di antaranya adalah usia, obat inhalasi, perilaku sebelum operasi, cemas, peranan orang tua saat bangun dari anestesi, obat-obatan tambahan, nyeri dan jenis operasi. 3,25,26

2.1.1 Etiologi

Etiologi terjadinya agitasi belum dapat diketahui dengan pasti. Namun ada beberapa hal yang mungkin dapat mempengaruhi terjadinya agitasi.

2.1.1.1 Faktor Yang Berhubungan Dengan Anestesi a. Pulih sadar yang cepat

Agitasi paska anestesi terlihat lebih sering terjadi pada anestesi inhalasi yang baru, solubilitas lebih rendah seperti desflurane dan sevoflurane. Ada satu postulasi yang menyatakan bahwa pulih sadar yang cepat setelah penggunaan anestesi inhalasi dengan solubilitas rendah menginisiasi terjadinya agitasi paska anestesi di mana pasien anak biasanya tidak mengenali lingkungan sekitarnya sehingga terjadi perubahan perilaku yang agresif. Anak yang sudah besar dan dewasa dapat berorientasi terhadap perubahan lingkungan dengan baik, namun anak yang belum memasuki usia sekolah (preschool-aged) lebih rentan terhadap stress dalam menghadapi perubahan lingkungan, cenderung menjadi agitasi dan delirium. 25,26 b. Karakteristik Intrinsik dari Anestetik

Banyak peneliti mendokumentasikan bahwa agitasi/delirium paska anestesi setelah sevoflurane lebih banyak daripada paska anestesi dengan halotan. Sangat sedikit studi yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan di antara ke dua agen inhalasi tersebut.25

Beberapa peneliti berpendapat ada 2 karakteristik unik dari sevofluran yang mampu menimbulkan agitasi paska anestesi. Yang pertama, sevoflurane


(27)

memberikan efek samping yang mengiritasi susunan syaraf pusat. Yang kedua, walaupun produk degradasi sevoflurane tidak menimbulkan kerusakan organ, namun masih sangat sedikit data yang memperlihatkan interaksi obat dengan medikasi lainnya. Aktivitas gelombang epilepsi telah dilaporkan terdapat pada pasien yang menghirup sevoflurane. Namun kasus yang terjadi masih sangat sedikit dan sporadik.25,27,28

Agitasi paska anestesi tidak hanya terdapat pada sevoflurane dan desflurane namun juga isoflurane walaupun dengan jumlah yang lebih sedikit. Anak yang mendapat anestesi inhalasi dengan sevoflurane/isoflurane untuk induksi maupun rumatan akan mendapatkan kemungkinan terjadinya agitasi paska anestesi 2 kali lipat daripada menggunakan anestesi regimen lain. Dengan pertimbangan adanya perubahan gelombang EEG yang diakibatkan sevoflurane yang mirip dengan gelombang EEG yang diakibatkan isoflurane dan desflurane, namun berbeda dengan gelombang EEG yang diperlihatkan oleh halothan. Oleh karena itu agitasi paska pulih sadar ini mungkin berhubungan dengan efek CNS yang mirip di antara ketiga agen inhalasi ini dan dapat mempengaruhi aktivitas otak dengan mengganggu keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi sinaps di susunan syaraf pusat.25

2.1.1.2 Faktor Yang Berhubungan Dengan Pembedahan a. Nyeri

Nyeri paska operasi menjadi variabel yang penting dalam menilai perubahan perilaku agitasi paska anestesi, apalagi pada operasi singkat di mana masa puncak kerja dari analgetik itu belum tercapai hingga anak bangun dari anestesi. 25

Agitasi paska anestesi diobservasi pada tindakan yang menimbulkan nyeri maupunyang tidak. Weldon et al meneliti 80 anak yang dipremedikasi dengan diazepam per oral umur 12 bulan hingga 6 tahun yang menjalani operasi hernia inguinal, di mana pasien sudah mendapatkan analgetik paska operasi dengan anestesi kaudal. 5 menit setelah kedatangan pasien di ruang pemulihan, agitasi terlihat lebih sering timbul pada anak yang dianestesi dengan sevoflurane daripada


(28)

halothan. Insidensi agitasi yang lebih tinggi juga terlihat pada pasien yang mendapatkan anestesi sevoflurane untuk intervensi tanpa nyeri, seperti pemeriksaan radiologis magnetic resonance imaging (MRI) dan pemeriksaan mata. Sebaliknya, untuk prosedur yang sama pasien anak yang dianestesi dengan propofol dan halotan ternyata tidak mengakibatkan agitasi. Penemuan ini yang memperlihatkan bahwa agitasi paska anestesi adalah hal yang terpisah dari rasa nyeri.2,25

b. Jenis operasi

Prosedur pembedahan yang melibatkan tonsil, tiroid, telinga bagian tengah dan mata dilaporkan memiliki insidensi agitasi paska operasi yang lebih tinggi. Namun belum ada data ilmiah terbaru yang dapat mendukung pernyataan ini.29,30 2.1.1.3 Faktor yang berhubungan dengan Pasien

a. Umur

Aono et al menemukan bahwa agitasi paska anestesi terlihat lebih sering pada sevoflurane dibandingkan dengan halothan pada anak umur 3-6 tahun (40% vs 10%). Peneliti mengemukakan bahwa hal ini terjadi oleh karena fase pulih sadar yang cepat dan psikologis yang immatur. Di sisi lain, ada sejumlah peneliti yang mengemukakan peran maturitas dari otak dan perkembangan psikologis dari anak merupakan salah satu penyebab terjadinya agitasi paska anestesi. Otak anak memiliki lebih sedikit asetilkolin, NAdr, GABA dan dopamine.25,28

b. Kecemasan Preoperasi

Keadaan sebelum masuk ke kamar operasi dapat memberikan ketidaknyamanan dan rasa cemas pada anak-anak yang berpengaruh terhadap mental anak. Hal ini akan berpengaruh terhadap respon tubuh untuk melepaskan katekolamin sehingga dapat mengakibatkan peningkatan laju jantung, kontraksi otot jantung, vasokonstriksi arteri, peningkatan kadar gula darah dan lain; keadaan tersebut dapat memperberat kondisi anak sebelum masuk ke kamar operasi.18,19,20


(29)

Prevalensi kecemasan pada anak-anak sewaktu preoperative sangat sulit diperkirakan. Hal ini berhubungan dengan pengukuran dan perkembangan mental anak yang bervariasi. Namun, dapat diperkirakan lebih dari 75% anak-anak dilaporkan mengalami kecemasan preoperatif.18

Kecemasan preoperatif yang tinggi dari anak dihubungkan dengan agitasi pulih sadar paska anestesi. Penelitian Kain et al menunjukkan pada sebuah studi yang melibatkan 241 anak bahwa kecemasan preoperatif berhubungan dengan nyeri paska operasi dan perubahan perilaku. Namun tidak bisa ditentukan secara pasti apakah ini berhubungan ataupun merupakan efek-kausa.25


(30)

c. Temperamen Anak

Anak-anak yang lebih emosional, impulsif, kurang bersosial dan tidak dapat beradaptasi baik dengan lingkungan akan beresiko mengalami agitasi pulih sadar paska anestesi. 25

2.1.2 Obat Adjuvant Pada Anestesi Umum Untuk Mengurangi Agitasi Paska Anestesi

Penatalaksanaan Agitasi biasanya dimulai dengan mengeliminasi penyebab lain termasuk hipoksia (walaupun sulit untuk mendapatkan pembacaan pulse oximetry yang akurat pada anak yang gelisah) dan nyeri. Yakinkan orang tua, yang biasanya sangat tertekan melihat perilaku anak yang gelisah, untuk menghindari anak melukai dirinya sendiri. Sebagian besar anak-anak hanya butuh waktu dan observasi sampai dia tenang, namun intervensi farmakologis memberikan efek yang menguntungkan.8

Beberapa obat telah digunakan sebagai adjuvant pada anestesi umum yang ditujukan untuk menurunkan agitasi paska anestesi.

Propofol memperlama pulih sadar dan menurunkan agitasi paska anestesi tergantung dari waktu pemberiannya. Oleh karena obat ini bekerja dalam durasi yang singkat, maka propofol yang diberikan pada saat induksi tidak mampu mencegah agitasi paska anestesi. Aouad et al dan berbagai studi lainnya memperlihatkan penurunan insidensi agitasi pulih sadar paska anestesi jika propofol 1 mg/kgBB/iv diberikan pada akhir pembedahan, sehingga plasma konsentrasi dari propofol dapat tercukupi dan efektif.4,25,27,28,31

Fentanyl, α agonis termasuk klonidin dan dexmedetomidine, ketamine menunjukkan bahwa obat ini efektif dalam menurunkan insidensi terjadinya agitasi paska anestesi.4,31

Fentanyl adalah opioid yang poten, yang dapat menurunkan agitasi paska anestesi sevoflurane dan desflurane dengan efikasi yang tinggi sebagai analgesia preoperative dan mempunyai efek sedasi. Cravero et al meneliti bahwa fentanyl 1


(31)

µg/kgBB IV yang diberikan 10 menit sebelum anestesi dihentikan pada pasien yang menjalani prosedur bebas nyeri yaitu MRI (Magnetic Resonance Imaging) dapat menurunkan angka agitasi hingga 12%-56%. Inomata et al meneliti efek fentanyl pada pasien anak yang diberi sevoflurane untuk mencegah agitasi paska anestesi. Peneliti merekomendasikan pemberian bolus 2 µg/kgBB/iv diikuti dengan infus kontinyu 1µg/kgBB/iv untuk proses pulih sadar yang nyaman. Intrasanal fentanyl 2 µg/kgBB/iv pada prosedur dengan nyeri sedang juga dapat menurunkan agitasi.4,31

Dexmedetomidine, suatu α2 agonis selektif memiliki efek sedasi dan ansiolitik melalui pemberian intravena. Isik et al dan 2 studi lainnya memperlihatkan adanya penurunan insidensi dari agitasi paska anestesi berkisar antara 4.8% dan 17% tanpa efek hemodinamik dengan pemberian intravena dosis 0.3-1 µg/kgBB/iv setelah induksi anestesi.4,31

Oleh karena efek sedasi dan analgesinya, klonidin 2-3 µg/kgBB/iv setelah induksi menurunkan agitasi paska anestesi hingga 10% seperti yang telah didokumentasikan oleh Bock et al dan Kulka et al. Bock et al juga mencatat bahwa efek dari klonidin tidak bergantung pada rute pemberian obat, baik kaudal maupun intravena. Bahkan α2 agonis menurunkan agitasi paska anestesi oleh karena efek analgesia serta kemampuannya dalam mengurangi kebutuhan obat anestesi lainnya.4,31

Ketamine yang merupakan antagonis reseptor dari N-Methyl-D-Aspartate, menghasilkan efek analgesia dan efek mengurangi dosis opioid pada dosis rendah. Dalens et al menunjukkan bahwa pemberian ketamine 0.25 mg/kgBB/iv pada akhir anestesi dengan sevoflurane pasien anak yang menjalani MRI dapat menurunkan agitasi tanpa ada penundaan pulih sadar. Bahkan, Lee et al membandingkan ketamine 0.25 mg/kgBB/iv dan 0.5 mg/kgBB/iv yang menunjukkan insidensi agitasi yang sama namun dengan skor nyeri yang lebih rendah pada dosis ketamin yang lebih besar.2,4,31 Ketamin hidroklorida bekerja


(32)

secara antagonis non kompetitif pada reseptor NMDA. Pada pasien dewasa, diketahui bahwa ketamine mempunyai efek analgesik dan efek antisensitisasi.15

Tropisetron sebagai 5HT3 antagonis juga menurunkan agitasi paska anestesi jika dibandingkan dengan placebo (32% vs 62%). Namun, mekanisme kerjanya belum jelas sebagaimana dikemukakan oleh Lankinen et al. 2,4,31

Obat analgesik juga sudah banyak diteliti khasiatnya untuk mencegah agitasi paska anestesi dengan sevoflurane. Termasuk di dalamnya adalah anestesi lokal, obat anti inflamasi non steroid (OAINS) dan antagonis reseptor N-Methyl-D-Aspartate (NMDA). Anestesi lokal dan OAINS berhubungan dengan vasokonstriksi dan peningkatan resiko perdarahan pada daerah operasi. 15

2.1.3 Penilaian Agitasi Paska Anestesi

Sikich dan Lerman mengembangkan “Pediatric Anesthesia Emergence Delirium Scale” atau PAED untuk mendefinisikan terjadinya agitasi paska anestesi. Skornya berkorelasi dengan umur, lama bangun dan penggunaan sevoflurane. Berbagai skala lainnya telah dikembangkan dan hal ini menyebabkan sulitnya menilai hasil akhir dari semua studi yang telah dilakukan. Fakta bahwa adanya sistem skoring yang banyak menunjukkan bahwa agitasi paska anestesi sulit untuk didefinisikan.32

Aouad et al yang menilai agitasi paska anestesi dengan menggunakan dua skala yang berbeda menemukan bahwa ambang batas dari skor PAED yaitu >10 adalah pembeda yang paling baik dalam menentukan ada tidaknya agitasi.32


(33)

Tabel 1. Pediatric Anaesthesia Emergence Delirium (PAED) Scale31

2.2 PROPOFOL

Propofol, 2,6-di-isopropylphenol, diperkenalkan pada praktek klinis pada awal tahun 1980 an. Saat ini propofol merupakan obat pilihan induksi dan sedasi anestesi yang populer, berhubungan dengan waktu tidur yang cepat, waktu pulih yang cepat, dan kejadian mual dan muntah paska bedah lebih sedikit.33,34

2.2.1 Struktur fisik dan kimia

Propofol, dengan struktur kimia C12H18O, terdiri dari cincin fenol dengan dua ikatan kompleks isopropil dengan stabilitas kimiawi yang tinggi dengan biotoksisitas yang rendah. Perubahan pada panjang rantai ikatan mengubah karakteristik dari potensi, induksi dan pemulihan.35,65 Bagaimanapun, seperti fenol yang lain, propofol dapat mengiritasi kulit dan membran mukosa.36


(34)

Formula ini menyebabkan nyeri saat penyuntikan yang dapat dikurangi dengan penyuntikan pada vena besar dan pemberian lidokain sebelum penyuntikan propofol. Propofol tidak larut dalam air.33,37

2.2.2 Propofol MCT/LCT

Propofol merupakan gugus fenol yang mempunya berat molekul 178 Da. Senyawa yang menyerap sinar ultraviolet dalam kisaran spektrum elektromagnetik (λmax = 275nm) .38

Propofol pertama kali diperkenalkan dengan konsentrasi 2 % dalam 16 % kremofor EL, namun karena kromofor menyebabkan reaksi alergi dan nyeri yang hebat, maka komposisi ini diperbaharui dalam formula lemak emulsi yang mengandung 10 % Long-Chain Triglycerides (LCT) minyak soybean, gliserol, dan lesitin telur. Tetapi, sejak tahun 1995 propofol juga tersedia dalam bentuk emulsi Medium-Chain Triglycerides / Long-Chain Triglycerides (MCT/LCT). Konsentrasi propofol bebas dalam MCT/LCT formula 26% - 40% lebih rendah dibandingkan dengan LCT formula, atau 0,2% - 0,14% dari total konsentrasi propofol (lihat tabel 2) pH propofol 6-8.5 dan pKa dalam air adalah 11.38

Tabel 2. Distribusi propofol bebas dan total propofol

Walaupun plasma konsentrasi trigliserida selama sedasi tidak ada perbedaan antara kedua formula propofol, tetapi ada kecenderungan eliminasi


(35)

setelah pemberian formula MCT/LCT lebih cepat dibandingkan dengan formula LCT.35

2.2.3. Sediaan propofol

Sediaan propofol dipersiapkan secara asepsis untuk segera digunakan, sejak emulsi larutan ini menyebabkan promosi profilerasi mikrobakterial yang cepat setelah terkontaminasi bakteri.35,36

2.2.4 Mekanisme kerja

Propofol adalah modulator selektif dari reseptor Gamma Amino Butiric Acid A (GABAA) dan tidak terlihat memodulasi saluran ion ligand lainnya pada konsentrasi yang relevan secara klinis. Propofol memberikan efek sedatif hipnotik melalui interaksi reseptor GABAA. GABA adalah neurotransmiter penghambat utama dalam susunan saraf pusat. Ketika reseptor GABAA diaktifkan, maka konduksi klorida transmembran akan meningkat, mengakibatkan hiperpolarisasi membran sel postsinap dan hambatan fungsional dari neuron postsinap. Interaksi propofol dengan komponen spesifik reseptor GABAA terlihat mampu meningkatkan laju disosiasi dari penghambat neurotransmiter, dan juga mampu meningkatkan lama waktu dari pembukaan klorida yang diaktifkan oleh GABA dengan menghasilkan hiperpolarisasi dari membran sel.34

2.2.5. Farmakokinetik

Pemberian propofol 1.5 – 2.5 mg/kg IV (setara dengan tiopental 4-5 mg/kg IV atau metoheksital 1.5 mg/kg IV) sebagai injeksi IV (<15 detik), mengakibatkan ketidaksadaran dalam 30 detik. Sifat kelarutannya yang tinggi di dalam lemak menyebabkan mulai masa kerjanya sama cepatnya dengan tiopental (satu siklus sirkulasi dari lengan ke otak) konsentrasi puncak di otak diperoleh dalam 30 detik dan efek maksimum diperoleh dalam 1 menit. Pulih sadar dari dosis tunggal juga cepat disebabkan waktu paruh distribusinya (2-8) menit. Lebih cepat bangun atau sadar penuh setelah induksi anestesia dibanding semua obat lain yang digunakan untuk induksi anestesi intravena yang cepat. Pengembalian kesadaran yang lebih


(36)

cepat dengan residu minimal dari sistem saraf pusat (SSP) adalah salah satu keuntungan yang penting dari propofol dibandingkan dengan obat alternatif lain yang diberikan untuk tujuan yang sama,33,39

Konsentrasi dalam darah meningkat cepat setelah penyuntikan dosis bolus intravena, sementara peningkatan konsentrasi serebral propofol sangat lambat (T1/2 = 2,9 menit). Waktu untuk sadar ditentukan oleh jumlah dosis yang diberikan.35

Klirens propofol dari plasma melebihi aliran darah hepatik, menegaskan bahwa ambilan jaringan (mungkin kedalam paru), sama baiknya dengan metabolisme oksidatif hepatik oleh sitokrom P-450, dan ini penting dalam mengeluarkan obat ini dari plasma. Dalam hal ini, metabolisme propofol pada manusia dianggap bersifat hepatik dan ekstrahepatik. Metabolisme hepatik cepat dan luas, menghasilkan sulfat yang tidak aktif dan larut dalam air serta metabolit asam glukuronik yang diekskresikan oleh ginjal. Propofol juga menjalani hidroksilasi cincin oleh sitokrom P-450 membentuk 4-hidroksipropofol yang kemudian di glukuronidasi atau sulfat. Meskipun glukuronida dan konjugasi sulfat dari propofol terlihat tidak aktif secara farmakologi, 4-hidroksipropofol memiliki sepertiga aktivitas hipnotik dari propofol. Kurang dari 0.3% dari dosis yang diekskresikan tidak berubah dalam urine. 33,34,39

2.2.6 Sedasi Intravena

Oleh karena propofol memiliki masa paruh waktu yang singkat, bahkan jika diberikan infus kontinyu, dengan efek samping yang minimal menjadikan propofol sebagai obat ideal untuk sedasi dan dapat dititrasi. Pulih sadar yang cepat tanpa ada sisa sedasi dan rendahnya angka mual muntah menjadikan propofol sebagai obat yang tepat digunakan untuk tekhnik sedasi minimal pada prosedur ambulatory. Dosis yang biasa digunakan adalah 25 – 100 µg/kg/menit yang menghasilkan analgetik minimal dan efek amnesia. Dosis efektif median propofol (ED50) yang dapat menghilangkan kesadaran adalah 1-1.5 mg/kgBB. 40


(37)

2.2.7. Farmakodinamik 2.2.7.1 Sistem saraf pusat

Seperti barbiturat, propofol berikatan dengan reseptor GABAA tetapi juga bekerja dengan mekanisme kerja yang melibatkan variasi reseptor protein yang lain. Mempunyai efek serebral berupa sedasi. Propofol mengurangi laju metabolik otak untuk oksigen (CMRO2), aliran darah ke otak (CBF), dan tekanan intrakranial (ICP). Pemberian propofol untuk menghasilkan sedasi pada pasien dengan SOL (space occupying lesion) intrakranial tidak meningkatkan ICP. Autoregulasi serebrovaskular sebagai respon terhadap perubahan tekanan darah sistemik dan reaktivitas aliran darah ke otak untuk merubah PaCO2 tidak dipengaruhi oleh propofol. Dalam hal ini kecepatan aliran darah ke otak akan berubah seiring dengan perubahan pada PaCO2 dengan adanya propofol dan midazolam.40

2.2.7.2Sistem kardiovaskular

Propofol menghasilkan penurunan tekanan darah sistemik yang lebih besar dibandingkan dosis tiopental pada saat induksi. Pada keadaan tidak ada gangguan kardiovaskuler. Penurunan tekanan darah ini berhubungan dengan perubahan curah jantung dan resistensi vaskular sistemik. Hal ini berhubungan dengan relaksasi otot polos vaskular yang dihasilkan oleh propofol karena adanya hambatan aktivitas saraf simpatis vasokonstriktor. Efek inotropik negatif dari propofol dapat dihasilkan dari penurunan kalsium intraselular akibat hambatan influks kalsium trans sarkolema. Efek tekanan darah akibat propofol dapat diperburuk pada pasien hipovolemi, pasien lanjut usia dan pasien dengan gangguan fungsi ventrikel kiri yang berkaitan dengan penyakit arteri koroner. Propofol mendepresi refleks baroreseptor kontrol denyut jantung. Bradikardi dan asistol juga telah diamati setelah induksi anestesia dengan propofol, meskipun telah diberikan profilaksis antikolinergik.40


(38)

2.3 KETAMIN

Semenjak ditemukan adanya N-methyl-D-aspartate (NMDA) reseptor yang berperan dalam persepsi nyeri menyebabkan saat ini banyak para klinis khususnya praktisi nyeri untuk memulai penelitian baru terhadap ketamin yang saat ini digunakan sebagai multimodal analgesia dalam penanganan nyeri.41

Gambar 2.3.1. Struktur ketamin 2.3.1. Farmakologi ketamin

Ketamine, 2-(o-chlorophenyl)-2-(methylamine)-cycloexanone pertama kali disintesis pada tahun 1963 dan pertama sekali digunakan pada manusia pada tahun 1965 oleh Corssen dan Domino. Obat ini larut dalam lemak dengan berat molekul 238 dalton, pKa 7,5 dan digunakan dalam bentuk rasemik atau isomer levogyrous S(+) ketamin.S(+) ketamin 3 sampai 4 kali lebih poten dari isomer (R-ketamin) untuk penanganan nyeri, sedikit menimbulkan agitasi dari pada yang bentuk rasemik dan dextrogyrous. S(+) ketamin dua kali lebih poten dari rasemik dalam mencegah sensitisasi central spinal cord.42

Ketamin dapat diberikan melalui oral, intramuskular, intravena bahkan saat ini berkembang penelitian ketamin epidural. Ketamin memiliki bioavaibilitas 93% dan waktu paruh sampai 186 menit. Volume distribusi besar diperkirakan mencapai 3L/kg.41 Plasma puncak setelah pemberian intravena terjadi dalam waktu 1 menit, intramuskular dalam waktu 5 menit dan pemberian secara oral dalam waktu 30 menit.43 Ketamin terdistribusi ke organ yang memiliki perfusi yang tinggi seperi otak dengan empat sampai lima kali dari kadar plasma dengan eliminasi obat melalui redistribusi obat dari organ yang perfusinya baik ke tempat yang kurang baik. Ketamin mengalami metabolisme konjugasi di hati melalui


(39)

enzim sitokrom P45.44 Norketamin adalah hasil metabolit ketamin yang masih aktif, tetapi potensiasinya sepertiga sampai seperlima dari ketamin dan pada akhirnya metabolit tadi dikonjugasikan menjadi larut air dan pada akhirnya diekskresikan melalui urin.45 Ketamin memiliki kelarutan lemak yang tinggi sehingga obat ini gampang masuk melewati sawar darah otak. Ketamin memiliki ikatan dengan protein plasma 12% dan waktu paruh tercapai dalam 10 menit.43 2.3.2. Mekanisme kerja ketamin

Ketamin bekerja pada susunan saraf pusat dan menurut beberapa penelitian ketamin memiliki aktivitas perifer. Efek kerja ketamin bekerja pada reseptor NMDA (N-methyl-D-aspartate) pada bagian kutub kalsium. Aktivasi reseptor NMDA menyebabkan influx kalsium ekstraseluler ke intraseluler. Peran kalsium adalah sebagai second messanger untuk reaksi nyeri selanjutnya melalui pelepasan neurotransmitter nyeri yang lain.46,47 Blok pada NMDA reseptor adalah cara kerja utama dari ketamin di susunan saraf pusat dan medulla spinalis. Sebagai tambahan bahwa ketamin juga menghambat pelepasan dari glutamat yang bertindak sebagai neurotransmiter eksitatori yang berperan sebagai neurotransmiter nyeri. Mekanisme lainnya adalah ketamin berikatan dengan reseptor opioid yaitu mu dan kappa.44 Interaksi ini terjadi sangat kompleks. Afinitas ketamin terhadap reseptor opioid ini 10 kali lebih lemah dari ikatannya terhadap reseptor NMDA dengan adanya bukti bahwa naloxon yang merupakan antagonis opioid tidak mengantagonis efek analgetik dari ketamin.44,45 Ada bukti juga bahwa reseptor seperti monoaminergik, muskarinik dan nikotinik menjadi tempat ikatan ketamin sekaligus ketamin menimbulkan efek takikardi dan bronkodilator.44


(40)

Gambar 2.3.2. Reseptor NMDA (N-methyl-D-aspartate) 2.3.3. Efek ketamin pada fungsi organ

Ketamin memiliki kombinasi unik dari efek kardiovaskular, biasanya dikaitkan dengan takikardia, peningkatan tekanan darah, dan cardiac output meningkat. Mekanisme yang tepat munculnya respon simpatik masih belum diketahui. Namun, dengan tidak adanya kontrol otonom, ketamin memiliki efek depresi miokard langsung, yang biasanya diganti oleh respon sentral ini. Hal ini dimungkinkan untuk mengurangi efek yang tidak diinginkan dari kardiovaskular sehingga pemberiannya dengan memberikan ketamin sebagai kontinu infus dan penggunaan benzodiazepin.44

Ketamin memiliki efek minimal pada pusat pernapasan, meskipun penurunan sementara ventilasi dapat terjadi setelah pemberian bolus. Ketamin menyebabkan relaksasi otot polos bronkus, sehingga memiliki peran khusus pada pasien asma. Ketamin meningkatkan sekresi saliva, yang dapat menghasilkan potensial masalah pada anak-anak dengan menyebabkan obstruksi jalan nafas atas. Meskipun refleks menelan, batuk, bersin, dan refleks muntah relatif utuh


(41)

dengan ketamin, tetapi aspirasi dapat terjadi selama pasien terbius dengan ketamin. Sering dilaporkan adanya bunyi nyaring pada penggunaan ketamin disangkakan laringospasme. Hal ini sebenarnya terjadi karena posisi saluran napas yang tidak bebas, dan masalah tersebut dapat dikelola hanya dengan reposisi kepala pasien. Spasme laring dapat terjadi pada penggunaan ketamin yang disebabkan oleh stimulasi dari pita suara oleh instrumentasi atau sekresi. Sekret dapat dikurangi dengan memberikan premedikasi glycopyrrolate.44

Emergence reaction merupakan sensasi psikis setelah penggunaan ketamin, sensasi mengambang, mimpi atau ilusi dan sesekali delirium.33 Mimpi-mimpi dan ilusi biasanya menghilang pada saat sadar penuh. Namun penting untuk mendiskusikan dengan pasien efek dari ketamin itu dan efek ini muncul 5-30%.46Emergence reaction lebih tinggi terkait dengan faktor-faktor seperti meningkatnya usia, perempuan, pasien yang biasanya bermimpi, pemberian intravena yang cepat dan dosis besar.27,33 Ketamin telah diamati dapat mengaktifkan psikosis pada pasien dengan skizofrenia. Namun, belum terlihat adanya reaksi psikotik jangka panjang pada pasien tanpa penyakit kejiwaan yang dikenal. Premedikasi dapat diberikan untuk mengurangi emergence reaction

seperti midazolam ( 0,07-0,1 mg kg/bb ), diazepam ( 0,15 - 0,3 kg/bb ), dan lorazepam ( 2-4 mg) intravena telah terbukti efektif. Insiden ini juga menurun bila digunakan bersama dengan hipnotik sedatif lain dan anestesi umum.44

Ketamin menghasilkan apa yang disebut 'disosiatif' anestesia yang telah digambarkan sebagai disosiasi fungsional dan elektrofisiologi antara sistem thalamo-neokorteks dan limbik. EEG menunjukkan aktivitas beta yang dominan dengan penghapusan irama alfa. Keadaan klinis yang unik yang dihasilkan oleh ketamin adalah biasanya keadaan ayan di mana mata tetap terbuka dengan memperlambat tatapan nystagmus, sedangkan refleks kornea dan cahaya tetap utuh. Berbagai tingkat hipertonus dan sesekali tujuan gerakan yang tidak terkait dengan stimulus yang menyakitkan dicatat di hadapan anestesi bedah yang memadai. Studi telah menunjukkan rangsang aktivitas baik di thalamus dan sistem limbik tanpa bukti klinis aktivitas kejang setelah pemberian ketamin. Dengan


(42)

demikian, ketamin tidak akan mungkin menyebabkan kejang pada pasien dengan gangguan kejang, dan pada kenyataannya, data eksperimen menunjukkan bahwa ketamin memiliki antikonvulsif dan bahkan proteksi saraf.44

Analgesia terjadi pada konsentrasi darah lebih rendah daripada dosis induksi atau menghilangkan kesadaran. Hal ini berlaku untuk ketamin yang rasemik dan untuk S-(+)-ketamin. Ketamin meningkatkan metabolisme otak, aliran darah otak (CBF), dan tekanan intrakranial (ICP).45 Pengaruh S-(+)-ketamin pada ICP belum diketahui. Tanggapan dari cerebral autoregulasi ke ketamin rasemik belum diteliti, namun S-(+)-ketamin tidak mempengaruhi autoregulasi ini. Pupil dilatasi, nistagmus, air liur, dan lakrimasi yang umum.44

Ketamin belum terbukti memiliki efek buruk pada hati dan sistem ginjal. Tekanan intraokular sedikit meningkat setelah pemberian ketamin. Ketamin menghasilkan peningkatan tonus otot dan kadang-kadang kejang otot, meskipun telah digunakan dengan aman pada miopati dan hipertermia ganas. 44

2.3.4. Penggunaan klinis ketamin

Solusi rasemik komersial ketamin adalah campuran R (-) dan S (+) isomer dalam jumlah yang sediaan, tersedia sebagai 10, 50, dan 100 mg/ml dengan pengawet, benzathonium hidroklorida. Isomer optik S-(+)-ketamin tersedia dalam 5 dan 25 mg/ml (tidak berlisensi di Inggris, saat ini). Ketamin dapat diberikan iv, im, oral, rektal, dan sediaan bebas pengawet epidural. Dosis tergantung pada rute pemberian dan efek terapi yang diinginkan. Benzodiazepine dapat diberikan baik secara oral (diazepam 10-30 mg, lorazepam 2-5 mg) 60-90 menit sebelum induksi atau dosis yang lebih kecil i.v. segera sebelum induksi.28 Induksi anestesi dengan dosis 0.5–1.5 mg kg/bb intravena or 4–10 mg/kgbb/im. Dosis pemeliharaan untuk anestesi 10-30 ug/kgbb/menit intravena. Sedasi analgesia 0.2–0.75 mg kgbbi.v atau 2–4 mg/kgbb intramuskular diikuti infus berkala 5–20 mg kgbb/menit.44

Ketamin dapat digunakan untuk sedasi sekaligus analgesia pada prosedur-prosedur singkat. Munculnya reaksi pada anak-anak yang kurang intens, sehingga dapat digunakan untuk obat penenang dan anestesi umum dalam prosedur seperti


(43)

kateterisasi jantung, radioterapi, radiologi investigasi, dan luka bakar. Sayangnya, tidak ada informasi mengenai berapa kali ketamin dapat digunakan secara aman, meskipun sering digunakan berulang kali pada individu yang sama . Umumnya, dosis subanaesthetic diperlukan untuk prosedur minor. Ketamin sering dikombinasikan dengan premedikasi (misalnya benzodiazepin) untuk mengurangi kebutuhan dosis dan reaksi munculnya emergence reaction , dan antisialogogue (misalnya glycopyrrolate) untuk mengurangi sekresi saliva. Ketamin dapat digunakan sebagai suplemen (i.v. atau i.m) selama anestesi regional. Hal ini juga dapat diberikan melalui rute epidural sebagai tambahan untuk anestesi lokal untuk memperpanjang durasi analgesia. Dosis rendah ketamin juga telah digunakan bersama dengan propofol untuk meningkatkan kualitas sedasi. NMDA antagonis mencegah sensitisasi sentral terhadap rangsangan yang menyakitkan. Ketamin adalah satu-satunya NMDA antagonis, penelitian telah menunjukkan bahwa dosis kecil ketamin dapat megurangi kebutuhan analgetik opioid.44

Ketamin telah banyak digunakan pada unit luka bakar untuk pembiusan terutama untuk pencucian luka dan prosedur pencangkokan kulit pada anak-anak dan orang dewasa. Ketamin dosis rendah (1,5-2 mg/kgbb/im) tersebut tampaknya memiliki mula kerja yang cepat dan menghasilkan operasi yang baik meliputi amnesia, analgesia dan memuaskan dengan pemulihan yang cepat. Namun hati-hati dengan reaksi intoleran pada pasien dengan penggunaan ketamin berulang. Pasien dengan gangguan kardiorespirasi (kecuali penyakit jantung iskemik) merupakan kandidat utama untuk diberikan ketamin. Pengalaman yang luas dengan ketamin pada anak dengan katerisasi jantung telah menunjukkan efektifitas penggunaan ketamin dengan kejadian aritmia yang kurang dari anestesi umum lainnya. Ketamin mungkin berbahaya pada pasien dengan peningkatan tahanan di ventrikel kanan. Pada pasien dengan penyakit saluran napas reaktif, ketamin (rasemik) dapat berguna karena menghasilkan bronkodilatasi dan analgesia mendalam yang memungkinkan peningkatan inspirasi oksigen. Ketamin jika dikombinasikan dengan benzodiazepin atau benzodiazepin dengan opioid, melemahkan takikardia yang tidak diinginkan, hipertensi dan juga reaksi


(44)

psychomimetic paska operasi. Teknik menghasilkan gangguan hemodinamik minimal, analgesia yang mendalam, amnesia dan pemulihan yang baik.45

Ketamin bebas pengawet telah ditambahkan ke bupivacaine untuk meningkatkan durasi analgesia, tanpa mempengaruhi intensitas analgesia.36 Penggunaan ketamine semakin meningkat dan survey memperlihatkan 32% dari anestesi pediatrik Inggris melaporkan penggunaan ketamin epidural.44

Secara historis, telah diyakini bahwa ketamin merupakan kontra indikasi pada pasien dengan peningkatan ICP, namun laporan dari saraf dan bahkan efek neuroregeneratif memberikan hasil yang berbeda.` Ketamin dapat mencegah influks ion kalsium abnormal atau glutamat melalui interaksi dengan reseptor NMDA. Peningkatan CBF setelah pemberian ketamin kurang dari peningkatan CMRO2. S-(+)-ketamin mempertahankan metabolisme serebral sebagian besar wilayah otak (percobaan studi).44

Meskipun ketamin memiliki sedikit efek pada endotel vaskular, penelitian telah menunjukkan penurunan yang signifikan dalam aktivasi leukosit selama hipoksemia atau sepsis. Ketamin menekan produksi sitokin pro-inflamasi dalam darah seluruh manusia in vitro. Dalam sebuah studi tentang efek isomer berbeda pada hati babi, S-(+)-ketamin efektif dalam mengurangi adhesi neutrofil, sedangkan R-(-)-ketamin memiliki efek negatif yaitu memperburuk kebocoran dari pembuluh darah koroner sekitarnya jaringan.45

2.4SEVOFLURANE

Sevoflurane termasuk senyawa baru yang ditemukan pada awal dekade 1970 oleh Walin et al di laboratorium travenol. Seperti halnya desflurane, sevoflurane mempunyai daya larut yang rendah akibat fluoronisasi pada molekul eter. Sevoflurane (2,2,2-trifluoro-1-(trifluoromethyl)ethyl fluoromethyl eter), disebut juga sebagai fluoromethyl hexafluoroisopropyl ether, berbau sedap, tidak mudah terbakar.46


(45)

Sevoflurane sebagai anestetika baru berbeda dengan isoflurane terutama dalam hal mobilitasnya. Sevoflurane mempunyai kelarutan yang lebih rendah dalam darah, yang meningkatkan kecepatan bersihannya dan kecepatan dalam mengatur kedalaman anesthesia. Karakteristik tersebut cocok dengan keperluan anestesi masa kini.46

2.4.1 Farmakokinetik

Seperti desflurane, sevoflurane adalah senyawa halogenasi dengan fluorine. Sevoflurane memiliki solubilitas sedikit lebih tinggi daripada desflurane (0.65 vs 0.42). Sevoflurane merupakan agen inhalasi yang wangi dengan peningkatan konsentrasi di alveolar yang cepat sehingga menjadi pilihan yang sempurna sebagai obat induksi pada pasien pediatrik dan dewasa. Bahkan, induksi inhalasi dengan 4-8% sevoflurane dengan campuran 50% oksigen dan nitrous okside dapat dicapai dalam waktu 1-3 menit. Oleh karena solubilitas dalam darah yang rendah yang mengakibatkan penurunan konsentrasi di alveolar segera setelah dihentikan sehingga fase pulih sadar lebih cepat jika dibandingkan dengan isoflurane. Namun fase pulih sadar yang cepat ini telah dihubungkan dengan insidensi delirium yang tinggi paska pembedahan yang dapat diatasi dengan fentanyl 1-2 ug/kgBB.47

Gambar 2.4.1 Rumus Bangun Sevoflurane 48

MAC Sevoflurane terlihat pada tabel di bawah ini. MAC sevoflurane untuk pasien yang berumur 6 bulan sampai 12 tahun adalah 2,5%. Sedangkan untuk pasien yang berumur dibawah 6 bulan MAC sevoflurane adalah 3,2-3,3%. 46,47,48


(46)

Tabel 3. Equivalen MAC dalam Oksigen dan O2/N2O 46,48

Tabel Equivalen MAC dalam oksigen dan O2/N2O

Umur Dalam Oksigen Dalam O2/N2O 0 - < 1 bulan

1 - < 6 bulan 6 - < 12 bulan

1 - < 3 tahun 3 - < 5 tahun 5 - > 12 tahun

3.3 3.0 2.8 2.6 2.5 2.4

- - - 1.98

- -

MAC was determined in 60% N2O for pediatric and 65% N2O for adult patients

2.4.2 Metabolisme

Sevoflurane dimetabolisme oleh sitokrom hepatic P450 2EL sebanyak 2-5% dengan metabolik produk utama fluoride inorganic dan hexafluoroisopropanolol (HFIP). HFIP tidak diikat oleh protein hepar dan tidak menunjukkan bukti adanya toksisitas pada hati. HFIP dengan cepat dikonjugasi oleh asam glukoronida dan kemudian diekskresi. Konjugasi ini demikian cepat, sehingga konsentrasi HFIP tidak dapat diukur (karena sangat rendah) pada manusia. Konjugasi HFIP dikeluarkan melalui urin dan dikeluarkan secara lengkap dalam 24 jam. Metabolit sevoflurane yang paling penting adalah fluorida inorganik. Pada MAC 0.8-1.1 per jam anestesi dengan sevoflurane pada anak menunjukkan peningkatan serum ion fluoride rata-rata 10-13 mMol/liter. Nilai paling tinggi mencapai 45 mMol/liter tanpa adanya efek nefrotoksik. 49


(47)

2.4.3 Efek terhadap sistem organ A. Kardiovaskuler

Sevoflurane mempunyai efek depresi kontraktilitas miokard yang ringan. Resistensi vaskuler sistemik dan tekanan darah arterial lebih sedikit menurun jika dibandingkan dengan isoflurane atau desflurane. Karena sevoflurane memiliki efek yang minimal pada nadi, maka jika terjadi peningkatan nadi, curah jantung tidak dapat terjaga dengan sebaik pada pemberian isoflurane ataupun desflurane. Sevoflurane mungkin dapat memperpanjang interval QT.47

B. Sistem Pernafasan

Sevoflurane mendepresi pernafasan dan mengakibatkan bronkodilatasi hampir sama halnya seperti isoflurane. 47

C. Otak

Pada penelitian secara klinis, perubahan-perubahan pada neurohemodinamik (CBF, CMRO2 dan CPP) sebanding antara sevoflurane dan isoflurane. Sevoflurane mempunyai efek minimal pada ICP dan reaksi terhadap CO2 tetap dipertahankan. Autoregulasi darah di otak tampak terjaga dengan sevoflurane, hal ini bertentangan dengan obat-obat anestesi yang lain. Sama seperti isoflurane dan desflurane, sevoflurane menyebabkan sedikit peninggian pada CBF dan ICP. Pada keadaan normokarbia walaupun beberapa penelitian menunjukkan suatu penurunan dalam tekanan darah, konsentrasi yang tinggi dari sevoflurane dapat menyebabkan kerusakan autoregulasi CBF.

D. Neuromuskuler

Sevoflurane menghasilkan relaksasi otot yang adekuat untuk intubasi pada anak setelah induksi inhalasi.47


(48)

E. Ginjal

Sevoflurane sedikit menurunkan aliran darah ke ginjal.47 F. Hepatik

Sevoflurane menurunkan aliran darah vena porta, namun ,meningkatkan aliran darah arteri hepatik sehingga tetap menjaga aliran darah ke hati dan suplai oksigen. 47

2.4.4 Efek Samping 2.4.4.1 Agitasi

Efek samping dari anestetika inhalasi yang sering terjadi adalah agitasi paska pembedahan. Penyebab pasti dari agitasi paska pembedahan belum diketahui secara pasti. Hal-hal yang diduga berhubungan dengan kejadian agitasi antara lain nyeri paska pembedahan yang tidak dapat ditanggulangi oleh anestetika inhalasi. Oleh karena itu, tatalaksana nyeri paska pembedahan yang adekuat menjadi sangat penting.46

Berdasarkan bukti-bukti terkini, agitasi paska pembedahan yang disebabkan oleh sevoflurane tidak semata-mata disebabkan oleh rasa nyeri, sehingga tidak semua agitasi paska pembedahan dapat dicegah dengan obat tertentu.46

Obat-obatan yang pernah dicoba untuk mengurangi agitasi paska pembedahan antara lain midazolam, klonidin dan opioid. Midazolam, walaupun telah diberikan pada dosis cukup tinggi di awal induksi, ternyata tidak menurunkan angka kejadian agitasi paska pembedahan.46

Walaupun obat-obatan di atas telah terbukti memiliki efektifitas dalam mencegah agitasi, tidak satu obat pun yang terbukti efektif untuk anestesi paska pembedahan.46


(49)

2.4.4.2 Perubahan gelombang elektrofisiologi otak

Selain menimbulkan agitasi paska pembedahan, anestetika inhalasi juga mempengaruhi gelombang elektrofisiologi. Sevoflurane menimbulkan gelombang-gelombang tajam dan gelombang-gelombang padat. Perubahan elektrofisiologi otak dapat muncul pada penggunaan sevoflurane sebesar 1.5-2% MAC. 46

2.4.4.3 Perubahan Gelombang Elektrokardiografi

Pada bayi dan anak, sevoflurane dapat memperpanjang interval QT, yang terjadi selama satu jam pertama anesthesia. Berdasarkan penelitian pada sejumlah besar subyek pediatrik, efek tersebut tidak berbahaya pada pasien pediatrik rutin.46

2.4.4.4 Interaksi dengan soda lime

Zat anestetik inhalasi bereaksi dengan soda lime. Pembentukan karbon monoksida dijumpai hampir pada semua zat anestetik inhalasi berhalogen. Sevoflurane hampir sepenuhnya dinonaktifkan oleh absorber, sehingga mengakibatkan ketidakmampuan untuk menginduksi pasien, iritasi jalan nafas dan peningkatan suhu drastis kanister.4


(50)

2.5 Kerangka Teori

Pembiusan dengan Anestesi Sevoflurane

Solubilitas Sevoflurane dalam Darah Rendah

Ketamine 0.5 mg/kgBB/IV Anak-anak

Secara Non Kompetitif terikat pada reseptor NMDA dan

potensiasi GABA Pulih Sadar Cepat Paska Anestesi

Propofol 1 mg/kgBB/IV Agitasi Paska Anestesi

Modulator Selektif Reseptor GABA

Sedatif Hipnotik Sedatif dan Analgesia

AGITASI PULIH SADAR PASKA ANESTESI (-) PAED score


(51)

2.5Kerangka Konsep

Pembiusan Pasien Anak Dengan

Sevoflurane

PAED SCORE/Agitasi Lama Ekstubasi Lama Rawatan di PACU Mual Muntah

KETAMINE 0.5 MG/KGBB/IV PROPOFOL 1 MG/KGBB/IV

Variabel Bebas

Variabel Tergantung Umur

Jenis Kelamin Body Mass Index Lama Anestesi Jenis Operasi


(52)

BAB 3

METODE PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan uji klinis acak tersamar ganda untuk mengetahui proporsi terjadinya agitasi paska anestesi sevoflurane menggunakan ketamin 0.5 mg/kgBB dibandingkan dengan propofol 1 mg/kgBB yang diberikan di akhir pembedahan pada anak yang menjalani pembiusan dengan general anestesi .

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian 3.2.1. Tempat

Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik. 3.2.2. Waktu

Oktober s/d Desember 2014.

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1. Populasi

Seluruh pasien pediatrik yang menjalani pembedahan dengan Anestesi umum di RSUP H. Adam Malik.

3.3.2. Sampel

Diambil sebahagian dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi yang diambil secara consecutive sampling. Status fisik ASA 1-2, setelah dihitung secara statistik, seluruh sampel akan dirandomisasi menjadi 2 kelompok.

a. Kelompok A mendapat ketamine dosis 0.5 mg/kgBB IV (dalam spuit 5 ml).


(53)

3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.4.1. Kriteria Inklusi

1. Memperoleh izin orang tua dari anak dan menandatangani informed consent

2. Pasien Status fisik ASA 1-2 3. Anak berusia 2-10 tahun 3.4.2. Kriteria Eksklusi

1. Pasien alergi dengan obat yang akan diberikan

2. Pasien dengan underweight atau overweight (Indeks Massa Tubuh (IMT)) 3. Pasien yang memiliki kelainan hati dan pernafasan

3.4.3. Kriteria Failure

1. Terjadi reaksi alergi pada saat penyuntikan obat yang akan diteliti 2. Terjadi kegawatdaruratan jantung dan paru

3.5. Estimasi Besar Sampel

Estimasi besar sampel dalam penelitian ini dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut :

Zα = kesalahan tipe I yaitu 5% = 1,96 Zβ = kesalahan tipe II yaitu 20% = 0,84

P2 = Angka kesembuhan pada obat standar (propofol). Berdasarkan kepustakaan, angka kesembuhan obat standar adalah 0,9

Q 2 = 1- P2= 1- 0,9= 0,1

P1 − P2 = selisih minimal proporsi kesembuhan antara obat A dan B yang dianggap bermakna. Peneliti menetapkan nilai P1-P2 = 0,2

Dengan demikian P1 = P2 + 0.2 = 1,1 Q1 = 1 – P1 = 0,1


(54)

Q = 1-1,025 = 0,025

Dengan memasukkan nilai-nilai di atas pada rumus, diperoleh :

N1 =N2 = 16,48 ≈ 17

Dalam penelitian ini akan digenapkan 24 sampel pada setiap kelompok. 3.6. Informed Consent

Setelah mendapat persetujuan dari komisi etik, orang tua mendapatkan penjelasan tentang prosedur yang akan dijalani serta menyatakan secara tertulis kesediaannya dalam lembar informed consent.

3.7. Alat dan Bahan 3.7.1. Alat

a. Alat monitor non invasif otomatis (tekanan darah, denyut jantung, frekuensi nafas, EKG, saturasi oksigen)

b. Spuit 1 ml, 3 ml, 5 ml dan 10 ml TERUMO® c. Laringoskop set (Macinthos dan Miller) RIESTER®

d. Pipa endotrakea nomor 3,5 sampai dengan 6,5 merk RUSCH® e. Kanul vena 24G-20G, infus set, threeway TERUMO®

f. Mesin Anestesi AVANCE DATEX OHMEDA® g. Jacksoon Reese RUSCH©

h. Pediatric Corregated Tube WESTMED® i. Vaporizer sevoflurane TEC 7®

j. Pencatat waktu (stopwatch) LAZEBO® k. Alat tulis dan formulir penelitian l. Tensimeter Omron® HEM-7203

m. Chart Pediatric Analog Emergence Delirium Score n. Timbangan berat badan CAMRI®


(55)

3.7.2. Bahan

a. Obat anestesi umum : Sevoflurane SEVORANE®

b. Obat yang diteliti : Propofol 1% MCT/LCT (Propofol FRESOFOL®) dan Ketamine

c. Obat analgetik tambahan : Fentanyl 1 mg/kgBB/iv Janseen®

d. Obat-obatan emergensi : Efedrin 0.25 mg/cc dan Sulfas atropin 0,25 mg/cc yang sudah teraplus, adrenaline 1/100.000 teraplus

e. Cairan : Ringer Laktat, NaCl 0,9%

3.8. Cara Kerja

3.8.1. Persiapan pasien dan obat

1. Setelah disetujui komite etik penelitian bidang kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan mendapat informed consent dari orang tua anak, seluruh sampel dimasukkan ke dalam kriteria inklusi dan eksklusi.

2. Pasien dibagi secara random menjadi dua kelompok.

3. Orang tua pasien diberitahukan sebelumnya bahwa anak mereka akan dipuasakan makanan padat 6 jam dan clear water (air mineral/teh manis) 2 jam sebelum operasi, dilakukan pemasangan IV line dengan abocath 20G-24G pada punggung tangan, diberi cairan infus RL 2 cc/kgBB di ruangan inap pagi hari sebelum operasi. Di ruang operasi pasien akan dimonitor dengan pemasangan tensimeter, EKG, dan pulse oksimetri.

4. Randomisasi dilakukan dengan cara sederhana, masing-masing blok terdiri dari 6 subjek, dengan jumlah kemungkinan kombinasi sekuens sebanyak 20 (terlampir). Kemudian dijatuhkan pena di atas angka random. Angka yang ditunjuk oleh pena tadi merupakan nomor awal untuk menentukan sekuens yang sesuai. Kemudian pilihlah 8 angka dengan digit 2 ke samping dari angka pertama tadi sampai diperoleh jumlah sekuens yang sesuai dengan besarnya sampel. Kemudian


(56)

sekuens yang diperoleh disusun secara berurutan sesuai dengan nomor amplop.

5. Obat disiapkan atas bantuan Relawan I yang melakukan randomisasi (peneliti tidak mengetahui komposisi obat yang diberikan). Setelah melakukan randomisasi dan menyiapkan obat kepada relawan II untuk diberikan pada hari pelaksanaan penelitian.

6. Obat penelitian ( propofol 1 mg/kgBB/IV dan ketamine 0.5 mg/kgBB/IV dengan 5 cc syringe.

3.9. Pelaksanaan Penelitian

1. Setelah pasien tiba di ruang tunggu kamar bedah, pasien diperiksa ulang terhadap identitas, diagnosa, rencana tindakan pembiusan, akses infus (pastikan telah terpasang infus dengan venocath sesuai umur, threeway dan aliran infus lancar).

2. Sesampai diruang operasi semua pasien diukur vital sign dengan alat monitor yaitu dengan pemasangan tensimeter, EKG, pulse oksimetri. Dicatat data mengenai tekanan darah, laju nadi dan laju napas.

3. Kedua kelompok menjalani operasi dengan anestesi umum dengan premedikasi midazolam 0.1 mg/kg IV dan fentanyl 2 microgram (mcg/kg/iv). Induksi anestesi dengan sevoflurane 4-8% MAC. Intubasi endotrakeal dilakukan dengan pemberian relaksasi otot dengan rocuronium 1 mg/kgBB/iv. Maintenance anestesi dengan O2 + N2O dan titrasi gas inhalasi sevoflurane.

4. Selama operasi berlangsung data mengenai lama anestesi (waktu mulai induksi sampai akhir ekstubasi) dan lama operasi (waktu mulai sayatan pertama sampai akhir jahit kulit) dicatat.

5. 10 menit sebelum operasi berakhir, kedua kelompok dipersiapkan untuk diberikan obat eksperimental dimana kelompok A dengan ketamine 0.5 mg/kgBB/iv dan kelompok B dengan propofol 1 mg/kgBB/iv yang diberikan atas bantuan relawan II dalam spuit 5 cc.


(57)

6. Pada akhir pembedahan, pemberian sevoflurane dan N20 diberhentikan dan ventilasi manual dilakukan dengan oksigen 100% di 6 L/menit. 7. Pelumpuh otot di reverse dengan progstimin 0.02-0.04 mg/kgBB/iv dan

sulfas atropin 0.01-0.02 mg/kgBB/iv.

8. Ekstubasi dilakukan ketika pada pasien dijumpai gag reflex dan menunjukkan kerutan wajah dan gerakan motorik yang adekuat, dan lama waktu dari akhir pembedahan hingga ekstubasi dicatat.

9. Ketika pasien sudah sadar sepenuhnya dengan klinis yang stabil, jalan nafas yang paten dan saturasi oksigen >95%, pasien dirawat di ruang pemulihan, agitasi paska anestesi akan diobservasi. Agitasi paska anestesi akan dinilai dengan skor Pediatric Agitation Emergence Delirium. Skor PAED ini dinilai mulai dari masuk ruang pemulihan dengan interval 5 menit selama 1 jam masa rawatan di ruang pemulihan. Skor PAED diatas 10 menunjukkan agitasi pada pasien. Pasien dengan agitasi yang berat (PAED score > 16) akan diatasi dengan injeksi propofol 1 mg/kgBB sebagai rescue.

10. Selama pasien di ruang pemulihan, kejadian mual muntah dicatat dan diatasi dengan ondansentron 0.1 mg/kgBB/IV.

11. Anestetis yang mengukur skor PAED juga mencatat lama masa rawatan di ruang pemulihan, adanya keterlambatan pengiriman pasien ke bangsal, efek samping seperti somnolen, mual dan muntah

12. Pasien dikirim ke bangsal bila Aldrett score ≥ 8. Analgetik menggunakan Injeksi ketorolac 0.5 mg/kgBB/iv/6jam

3.10. Identifikasi Variabel 3.10.1. Variabel Bebas :

1. Ketamin dosis 0.5 mg/kg BB intravena 2. Propofol dosis 1 mg/kg BB intavena


(1)

(2)

(3)

LAMPIRAN 5

RENCANA ANGGARAN PENELITIAN Taksasi dana yang diperlukan selama penelitian

1. Bahan dan peralatan penelitian

Ketamin (KTM-100®) 2 x Rp 220.000 = Rp. 440.000,- Midazolam (Dormicum®) 48 x Rp 51.000,- = Rp. 3.315.000,- Fentanyl (Fentanyl®) 48 x Rp 50. 000 = Rp. 2.400.000,- Propofol (Fresofol®) 48 x Rp. 160.000 = Rp. 7.680.000,- Rocuronimum (Roculax®) 48 x Rp. 80.000 = Rp. 3.840.000,- Ephedrine HCl 48 x Rp 20.000,- = Rp. 960.000,- Sulfas Atropin® 144 x Rp. 1.000,- = Rp. 144.000,- Prostigmine® 144 x Rp. 12.500 = Rp. 1.800.000,- Ketorolac® 48 x Rp. 8.000 = Rp. 384.000,- Spuit 5 cc (Terumo®) 90 x Rp. 5.000,- = Rp. 450.000,-

Pengadaan literatur = Rp. 1.000.000,-

2. Penyusunan dan presentasi usulan penelitian = Rp. 1.000.000,- 3. Penyusunan dan presentasi hasil penelitian = Rp. 1.000.000,-

4. Cetak tesis 20 x Rp. 50.000,- = Rp. 1.000.000,-

Subtotal =

Rp.24.413.000,-5. Biaya tak terduga (10% subtotal) = Rp. 2.413.000,-

Perkiraan biaya penelitian = Rp 26.854.000- *Seluruh biaya penelitian ditanggung sendiri oleh peneliti


(4)

TABEL ANGKA RANDOM

NOMOR SEKUENS

00-01 AAABBB

05-09 AABABB

10-14 AABBAB

15-19 AABBBA

20-24 ABAABB

25-29 ABABAB

30-34 ABABBA

35-39 ABBAAB

40-44 ABBABA

45-49 ABBBAA

50-54 BAAABB

55-59 BAABAB

60-64 BAAABB

65-69 BABAAB

70-74 BABABA

75-79 BABBAA

80-84 BBAAAB

85-89 BBAABA

90-94 BBABAA

95-99 BBBAAA

Ujung pena dimulai dari nomor : 61, selanjutnya berurut ke samping hingga berjumlah 48

Di mana terbagi menjadi 2 kelompok A (Ketamine 0.5 mg/kgBB/IV)


(5)

LAMPIRAN 7


(6)

Dokumen yang terkait

Perbandingan Tramadol 0.5 Dan 1 Mg/Kgbb Iv Dalam Mencegah Menggigil Dengan Efek Samping Yang Minimal Pada Anestesi Spinal

0 51 87

Perbandingan Ketamin Dosis 0.5 mg kgBB IV dan 1 mg kgBB IV Sebagai Preemptif Analgesia Pada Pascaoperasi Ginekologi Dengan Anestesi Umum

0 0 15

Perbandingan Ketamin Dosis 0.5 mg kgBB IV dan 1 mg kgBB IV Sebagai Preemptif Analgesia Pada Pascaoperasi Ginekologi Dengan Anestesi Umum

1 1 2

Perbandingan Ketamin Dosis 0.5 mg kgBB IV dan 1 mg kgBB IV Sebagai Preemptif Analgesia Pada Pascaoperasi Ginekologi Dengan Anestesi Umum

0 0 7

Perbandingan Ketamin Dosis 0.5 mg kgBB IV dan 1 mg kgBB IV Sebagai Preemptif Analgesia Pada Pascaoperasi Ginekologi Dengan Anestesi Umum

0 0 21

Perbandingan Ketamin Dosis 0.5 mg kgBB IV dan 1 mg kgBB IV Sebagai Preemptif Analgesia Pada Pascaoperasi Ginekologi Dengan Anestesi Umum

0 0 3

Perbandingan Ketamin Dosis 0.5 mg kgBB IV dan 1 mg kgBB IV Sebagai Preemptif Analgesia Pada Pascaoperasi Ginekologi Dengan Anestesi Umum

1 2 15

Perbandingan Ketamine 0.5 mg/kgBB/IV Dan Propofol 1 mg/kgBB/IV Untuk Mencegah Agitasi Paska Anestesi Sevoflurane Pada Pasien Pediatri Dengan General Anestesia

0 0 16

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG - Perbandingan Ketamine 0.5 mg/kgBB/IV Dan Propofol 1 mg/kgBB/IV Untuk Mencegah Agitasi Paska Anestesi Sevoflurane Pada Pasien Pediatri Dengan General Anestesia

0 0 8

PERBANDINGAN KETAMINE 0.5 mgkgBBIV DAN PROPOFOL 1 mgkgBBIV UNTUK MENCEGAH AGITASI PASKA ANESTESI SEVOFLURANE PADA PASIEN PEDIATRI DENGAN GENERAL ANESTESIA

0 0 15