Pengaruh Filsafat Kierkegaard KONSEP DIRI OTENTIK DALAM FILSAFAT

sebagai batu pijakan yang menghasilkan ide besar mereka. Di antaranya para filsuf besar yang setidaknya mengambil ide-idenya dari Kierkegaard adalah Karl Jaspers 1883-1969, Martin Heidegger 1889-1976, Jean-Paul Sartre 1905- 1980, dan pada filsuf sesudahnya. 30 Karl Jaspers adalah salah satu tokoh eksistensialisme. Salah satu pemikirannnya yang mengambil dari idenya Kierkegaard adalah tentang konsep existenz. Existenz bagi Jaspers merupakan ada being yang dalam fenomenalitas eksistensi belum mengada, tapi dapat mengada dan harus mengada, semacam “ada-yang-mungkin”. Sebagai seorang manusia, saya adalah existenz yang mungkin dalam eksistensi. Hanya dalam realisasi existenz saya adalah diri saya sendiri. Ia banyak mengulas batas-batas pengalaman manusia. Dengan konsep existenxz , ia mencoba menganalisa pengalaman individu otentik menggunakan kebebasan dan kemungkinan dalam dirinya menghadapi pengalaman-pengalaman ambang, seperti penderitaan, konflik, rasa bersalah, dan kematian. Membaca karta-karya Kierkegaard membuat Jasper bertanya apakah keadaan mental tertentu sebetulnya secara aktual memberi kita “cecapan sekilas atas sumber utama existenz. Artinya, apa yang biasa kita sebut penyakit mental barangkali adalah suatu peristiwa penting dalam struktur dan perkembangan eksistensi orang tersebut. Selain Karl Jaspers tokoh lain yang idenya juga mengambil dari pemikiran Kierkegaard adalah Heidegger. Karya besar Heidegger Zein Und Zeit tidak bisa dilepaskan dari pengaruh konsep eksistensinya Kierkegaard. Salah satu konsep 30 Thomas Hidya Tjaya, Kierkegaard., h. 135 yang digunakan Heidegger dalam buku tersebut adalah tentang Angst kecemasan adalah konsep yang meminjam dari Kierkegaard. Dalam Concept Of Anxiety 1844 Kierkegaard mencoba merumuskan konsep angst : kalau kita tanya lebih jauh apa itu obyek kecemasan? Jawabannya adalah biasanya tidak ada, kecemasan dan ketiadaan secara teratur berkorespondensi satu sama lain.” Menurut Heidegger obyek kecemasan ditandai oleh fakta bahwa yang mengancamnya adalah no where tidak ada dimana-mana. Kecemasan tidak tahu apa yang menimbulkan kecemasan tersebut. Dia sudah ada disana tetapi tidak ada; ia begitu dekat sehingga sangat menekan dan mencekik nafas orang, namun ia tidak berada dimana-mana. 31 Selanjutnya dalam Zein und Zeit Heidegger menjelaskan tentang konsep Dasein atau manusia. Hakikat Dasein adalah dimensi waktu atau temporalitas eksistensi manusia. Manusia dilihatnya sebagai yang mengada dalam waktu atau yang selalu mewaktu. Konsep Heidegger tentang dasein ini jelas mengambil pandangan Keirkegaard. Sebagaimana disebutkan bahwa manusia merupakan sintesis antara yang mewaktu dengan yang abadi. banyak lagi pandangan Heidegger yang mengambil dari pemikiran Keirkegaard. 32 Barisan berikutnya yang tidak kalah penting mengambil antusias atas pemikiran sang pendiri eksistensialis adalah Jean-Paul Sartre. Meskipun dia seorang Maxis dan ateis namun gagasan-gagasanya tentang eksistensialnya berpijak pada pemikiran Kierkegaard. 31 F. Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian, KPG: Jakarta, 2003 h. 36 32 F. Budi Hardiman, Heidegger., h. 37 Dalam pandangannya tentang otentisitas pribadi, bagi Sartre bahwa manusia adalah pengada yang sadar dan bebas, dan oleh karena itu tidak pernah sekedar pengada-dalam-dirinya being-in-itself, melainkan selalu mengada- untuk-dirinya being-in-self. Menurutnya orang yang baik secara sadar maupun tidak sadar menolak pandangan ini dan berpura-pura tidak memiliki kebebasan memilih pada dasarnya menipu dirinya sendiri, ia dikatakannya sebagai manusia yang hidup secara tidak otentik manuvaise foi. Pandangan ini cukup jelas bahwa konsep manuvaise foi dari Sartre tidak lain mengambil dari konsep otentisitas yang diusung oleh Kierkegaard. 33

D. Diri Otentik dalam Tinjauan Islam

Istilah otentik dalam dunia Islam mungkin masih terbilang asing. Sebagaimana kalau merujuk pada ensiklopedi Islam itu sendiri sulit ditemukan pengertian yang jelas apa itu otentik. Namun kalau merujuk kepada pemahaman umum tentang diri otentik maka ajaran Islam sangat mengenal apa itu otentik. Dalam pengertian sederhana otentik tak lain adalah penghindaran dari semua bentuk kepalsuan. Dalam hal ini, jika kita ingin benar-benar menjadi otentik, maka hendaknya menghindari dari semua bentuk kepalsuan atau kamuflase. Kepalsuan disini dapat diartikan kebohongan, menyembunyikan sesuatu agar orang lain tidak dapat mengetahui, menipu, mengumpat dan lain sebagainya. 33 Thomas Hidya Tjaya, Kierkegaard., h. 142 Jika kita merujuk kepada ajaran Alquran tentunya diri otentik sangat diharuskan, sebab Alquran sendiri mengajarkan agar umat Islam tidak dibolehkan melakukan kebohongan. ٌﻦﻴـﺒﱡ ﺮـ ﺬ ﻪ ﻢﻜﻟ ﻰ ا ﷲا ﻰﻟا اوﱡﺮ 34 “Larilah kamu kepada Tuhan, Aku adalah pemberi ingat yang datang dari padaNya” Diri yang otentik akan muncul manakala seseorang berani lari dari segala macam bentuk kebohongan. Kebohongan dan kepalsuan terdapat pada dunia hedonis dan kemewahan. Untuk itu hendaknya diri yang otentik harus lari dari kemewahan. Dalam istilah Islam ini disebut zuhd. Zuhd berarti meninggalkan hidup keduniawian dan kematerian. Orang yang mengamalkan kehidupan zuhd disebut zahid. Kehidupan zuhd di masa Islam mulai nyata terlihat di Kufah dan Basrah pada masa khalifah Bani Umayyah. Dimana pada masa itu orang-orang berlomba bersaing merebut kekuasaan dalam kekhalifahan. Sementara di sisi lain ada beberapa orang yang mengasingkan diri uzlah ke suatu tempat sepi untuk mendekatkan diri kepada Allah. Di Basrah muncul sosok zahid yang cukup memberikan pengaruh besar dalam mistisisme Islam adalah Hasan al-Basri w. 110 H dan Rabi’ah al- Adawiyah w. 185 H. mereka merupakan tokoh yang memperkenalkan kehidupan zuhd. 35 34 QS.: al-Zariat, ayat : 50 35 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang: Jakarta, 1973. h. 65