Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
perhatian. Zaman Yunani dan abad pertengahan filsafat selalu mencari “substansi” prinsip induk yang “ada di bawah” seluruh kenyataan. Yang mana sebelumnya
filsafat Yunani menggunakan alam kosmosentris dan Tuhan teosentris sebagai prinsip induknya. Akan tetapi, pada zaman modern tema yang menjadi prinsip
induknya adalah subyektivitas.
1
Tokoh yang memiliki pengaruh besar di awal zaman pencerahan diantaranya adalah Descartes 1596-1650, Spinoza 1632-1677 dan Leibniz
1646-1716. Mereka mencoba menyusun suatu sistem filsafat dengan manusia yang sedang berpikir dalam pusatnya. Menurutnya bahwa akal budi merupakan
alat terpenting bagi manusia untuk mengerti dunianya dan untuk mengatur hidupnya.
2
Pada masa itu term tentang diri menjadi tema yang menarik, sehingga dalam perjalanan sejarah muncul tokoh-tokoh yang membangun konsep-konsep
baru tentang individu. Tokoh yang cukup berpengaruh di masyarakat Barat dalam perkembangan selanjutnya adalah munculnya idealisme Jerman. Diantaranya
adalah Johann Gottlieb Fichte 1762-1814, Wilhelm Joseph von Schelling 1775- 1854 dan George Wilhelm Friedrich Hegel 1770-1831.
3
Tokoh yang disebut terakhir inilah yang pemikiran dan ide-idenya mampu mempengaruhi kehidupan
masyarakat Jerman dengan konsep filsafatnya “Roh Absolut”. Tema tentang “diri” bertumpu pada tiga aspek pertama aspek material atau
badani; kedua aspek relasional dalam arti selalu mengarah pada yang lain dan
1
Harry Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta: Gramedia, 1984, h. 3
2
Harry Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat., h. 4
3
Harry Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat., h. 35
ketiga aspek reflektif dari diri itu sendiri.
4
Aspek pertama meliputi yang fisikal, eksistensi tubuh corporeality dari individu-individu, kedua relasional
maksudnya aspek yang muncul dari interaksi sosial dan kultural, hubungan- hubungan biasa dan keterlibatan-keterlibatan yang memberikan kita sebuah
identitas kolektif terkait nilai-nilai dan orientasi-orientasi bersama hingga membuat kita mampu menggunakan bahasa tertentu, dalam arti keunikan-
keunikan tertentu. Dalam sudut pandang ini diri kita adalah hubungan-hubungan kita dengan masyarakat dan dengan yang lain yang membentuk kita.
Ketiga reflektifitas digerakan dari kapasitas manusia untuk menciptakan
baik dunia maupun obyek-obyek eksistensi dirinya sendiri, termasuk di dalamnya relasi sosial, melalui aktifitas kesadarannya. Pada tingkat ini diri merupakan
pelaku aktif dari realisasi dirinya sendiri, tatanan yang didirikan di antara sikap- sikap dan kepercayaannya, serta memberikan hubungan langsung terhadap
tindakan-tindakanya. Pandangan diri yang bertumpu pada aspek badani dengan demikian berarti
di satu sisi manakala badan dalam ketentuan organ yang memiliki kebutuhan- kebutuhan tertentu, sedangkan di sisi lain ketika aspek badani tersebut dipahami
sebagai sarana gen-gen dan kewajiban-kewajibannya yang dipahami sebagai sudut pandang biologis evolusionistis. Dalam arti ini badan dimaknai semacam mesin
sebagaimana dikemukakan para pemikir awal modernitas.
5
Sementara itu diri badani dimaknai sebagai sumber-sumber yang senantiasa bergerak bagi kehendak dan kebutuhannya, yang mana hal ini
4
Jerrold Siegel, The Idea of the Self, Cambridge University Press, New York, 2005. p. 5
5
Jerrold Siegel, The Idea., p. 5
dikemukakan oleh pemikir seperti Nietzsche 1844-1900 dan Schopenhauer 1788-1860.
6
Sedangkan kedirian relasional berarti ketika seseorang terlibat dalam, istilah Marx 1818-1883, pembagian kelas dan konflik sosial.
7
Singkatnya diri dipahami sebagai di satu sisi merupakan anggota dari suatu populasi tertentu
dan di sisi lain diri yang dipahami sebagai bagian dari relasi inter-personal atau relasi antar-individu.
Diri reflektif dimaknai sebagai diri yang dapat memikirkan eksistensi dirinya sendiri dengan kata lain ia mampu mencapai otentisitanya dengan
melampaui dunia material. Diri dengan dimensi reflektif, pendeknya, dapat berjarak secara penuh dari gambaran-gambaran keseharian dari keberadaan
eksistensialnya yang ia dekati dengan menegasi atau menolak kehidupan material secara bersamaan. Pada tingkat ini diri dipahami sebagai prinsip dari keseluruhan
kehidupan dan kendaraan bagi rekonsiliasi di dalam dirinya dengan apa yang disebut sebagai Roh Geist dalam terminologi filsuf Hegel.
8
Dalam silang gagasan tentang diri, yang dikemukakan para tokoh tersebut, muncul suatu pandangan diri yang berusaha untuk menjembatani keseluruhan
aspek kedirian, yakni badani, relasi dan refleksi dengan dengan menginjeksikan nilai-nilai teologis tertentu. Tokoh yang mencoba untuk melakukan itu adalah
Søren Kierkegaard selanjutnya dalam tulisan ini akan disingkat dengan Kierkegaard.
Argumentasi filosofis Kierkegaard bertolak dari pandangan bahwa manusia harus mendapatkan eksistensi diri, memperoleh kebebasan untuk
6
Jerrold Siegel, The Idea., p. 5
7
Jerrold Siegel, The Idea., p. 7
8
Jerrold Siegel, The Idea., p. 8
memilih, menentukan pilihan-pilihan yang akan diambil, hingga akhirnya mendapatkan konsekuensi yang dapat dipertanggung-jawabkan. Hal itu
merupakan sebuah langkah personal untuk dapat menemukan dirinya. Diri yang penuh dengan kesadarannya memahami realita dan fakta-fakta hidup. Realita dan
fakta adalah suatu rangkaian pengalaman yang menuntun diri untuk menemukan individu yang sesungguhnya.
9
Kierkegaard adalah salah satu sosok yang selalu gelisah dan merenungkan eksistensi diri dalam mengambil keputusan-keputusan. Pergulatan hidup yang
dilaluinya sering mengalami kecemasan angst atau takut fear ketika menghadapi permasalahan-permasalahan yang menuntut untuk mengambil
keputusan. Ia merasakan itu karena memang untuk mendapatkan suatu kebenaran harus dapat memutuskan dari berbagai pilihan agar bisa mendapatkan kebenaran
yang diyakininya. Kecemasan dan ketakutan akan selalu muncul dalam setiap individu.
Semua orang pasti merasakan, entah disaat masih kecil, dewasa maupun di usia lanjut. Jika kita melihat kehidupan Kierkegaard sendiri ada dua peristiwa yang
mepengaruhi teori dan pemikiran eksistensialismenya. Pertama adalah dosa kutukan yang ditimpakan kepada keluarganya. Seluruh keluarga Kierkegaard –
yaitu ibu dan adik-adiknya— meninggal dunia kecuali ayah dan dia sendiri. Ia meyakini bahwa itu adalah hukuman dari Tuhan yang ditimpakan kepada
9
Lihat Gregor Malantschuk, Kierkegaard’s Concept of Existence, Edited and translated by: Howard Hong, Edna H. Hong, Marquette University Press: USA 2003, p. 27
keluarganya.
10
Di samping itu juga seorang bapak yang dikenal sangat saleh dan taat kepada ajaran Kristiani ternyata Kierkegaard melihat keburukan-keburukan
dari sang ayah bahwa kepribadiannya justru bertentangan dengan apa yang sering dikhotbahkan di gereja-gereja.
11
Peristiwa kedua,
berkenaan dengan masa romantisme remajanya. Regina Olsen, kekasih Kierkegaard, diputus olehnya tanpa alasan yang jelas, padahal
keduanya telah bertunangan selama tiga bulan. Tangisan kekasih dan permohonan ayah Regina tidak mampu merubah keputusan yang sudah menjadi sikap
kebenaran menurut Kierkegaard. Hingga sampai akhir hayat Kierkegaard tidak mencari pengganti Regina dan ia merasa puas dengan kehidupan yang kadang
diwarnai dengan sikap-sikap yang sulit dimengerti oleh akal. Bagi dia itulah kebenaran yang diyakininya.
Kierkegaard menyadari bahwa tiap individu mempunyai kebenaran masing-masing, kebenaran memang bersifat subyektif. Menurutnya kebenaran
yang subyektif inilah yang merupakan sebuah keputusan dan sikap yang mengena kepada realitas. Keputusan yang diambil dirasakan langsung oleh individu secara
kongkrit.
12
Berbeda dengan kebenaran obyektif, kebenaran ini tidak bisa diketahui kebenarannya secara pasti. Manusia memang mengharapkan kebenaran itu,
10
Thoman Hidya Tjaya, Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, Jakarta: KPG Press, 2005, h. 24
11
Thoman Hidya Tjaya, Kierkegaard., h. 111
12
Paul Robizek, Existentialist For and Against, New York: Cambridge University Press. 1990, p. 101
namun sayangnya tidak bisa dimiliki oleh manusia itu sendiri.
13
Untuk itu menurut Kierkegaard kebenaran obyektif tidak bisa diketahui oleh manusia,
manusia hanya mampu mendekati kebenaran tersebut. Yang memiliki dan mengetahui kebenaran obyektif hanyalah Tuhan semata. Inilah alasan kenapa
Kierkegaard lebih mementingkan kebenaran subyektif. Kebenaran ini kongkrit langsung mengena kepada individu itu sendiri. Sementara kebenaran obyektif
hanya bersifat absurd dan individu tidak dapat mencapai dan mengetahui keobyektifannya sampai kapanpun.
Kesadaran subyektif akan mengantarkan kepada kesadaran penuh akan kebenaran pada dirinya juga menjadikan eksistensi pada diri secara utuh sebagai
individu. Untuk itu seorang yang meyakini kebenaran subyektif hendaknya lari dari kerumunan public. Inilah yang menjadi pijakan Kierkegaard berikutnya
setelah meyakini kebenaran subyektif yaitu menjadi subyek yang otentik, dalam arti sebagai diri yang otentik, murni pada dirinya an sich. Untuk menjadi diri
yang otentik perlu ada sebuah identitas individu itu sendiri, bukan orang lain atau komunitas.
14
Kierkegaard sangat mengkritik individu yang larut dalam kerumunan public. Publik dikatakannya sebagai identitas yang abstrak dan kabur
karena merupakan sekumpulan dari beberapa identitas. Sehingga apabila seseorang berada di dalam kerumunan tersebut maka identitas dirinya tidak
nampak, yang ada hanyalah status yang tidak jelas.
13
Frederick C. Beiser, The Cambridge Companion to Hegel, New York: Cambridge University Press, 1999, p. 204
14
F. Budi Hardiman, Filsafat Kontemporer dari Machavelli sampai Nietszche, Jakarta: Gramedia, 2005, h. 100
Bagi Kierkegaard untuk menjadi diri yang otentik individu harus lari dan melepaskan diri dari kerumunan. Sehingga identitas dirinya terlihat sangat jelas.
Seseorang yang menginginkan diri otentik harus meninggalkan publik karena itu hanyalah tempat bagi individu yang takut akan identitas dirinya.
15
Kerumunan yang dimaksud Kierkegaard adalah Eropa Barat pada umumnya dan Denmark –tempat tinggalnya—pada khususnya. Pada abad ke-19
praktis semua orang bergamana Kristen. Mereka lahir dalam keluarga Kristen dan dibesarkan menjadi seorang Kristiani, melakukan ritual seperti seharusnya dan
sebagainya. Orang yang menyebut dirinya Kristen tanpa pernah memutuskan untuk menjadi Kristen atau bahkan berpikir apa artinya menjadi Kristen.
16
Jika mereka menjalankan kehidupan seperti ini maka akan mengalami kedangkalan dan formalisme kosong. Orang hanya menjalani ritualitas dan apa
yang biasa dilakukan atau diharapkan oleh orang lain tanpa penghayatan pribadi pada apa yang dilakukan. Mereka lebih senang hidup berkerumun di kafe-kafe
dan bar-bar daripada menggulati persoalan hidupnya secara pribadi karena takut akan eksistensi dirinya.
Kritik Kierkegaard tentang kerumunan secara tidak langsung merupakan kritik terhadap semua individu yang senang berkerumun, bukan hanya negara
Eropa Barat atau Denmark. Di dunia Timur khususnya Islam, hal ini perlu mendapatkan perhatian serius. Di mana masyarakat muslim pun tidak berbeda
dengan umat Kristiani yang digambarkan oleh Kierkegaard. Mereka menjalankan
15
Thoman Hidya Tjaya, Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, Jakarta: KPG Press, 2005, h. 74
16
Thoman Hidya Tjaya, Kierkegaard., h. 76
ritualitas ke-Islam-an tanpa memperhatikan esensi Islam itu sendiri. Masyarakat Islam lebih cenderung taklid kepada ulama-ulama yang diyakininya tanpa
mempertanyakan kebenarannya. Dunia Islam penuh dengan individu yang berkerumun dan kita harus lari dari kerumunan itu.
Menjauh dari kerumunan adalah solusi bagi Kierkegaard setelah mengetahui hilangnya identitas individu dalam sebuah kerumunan. Hal ini jika
ditarik ke dalam dunia Islam nampak jelas bahwa pemikiran Kierkegaard mempunyai kesamaan dengan para sufi yang hidup dalam asketisme diri. Mereka
melupakan masyarakat dan komunitas dan dalam keyakinannya tidak ada kehidupan yang sejati kecuali manusia itu harus mengasingkan diri dan
menghayati dirinya sendiri sebagaimana yang menjadi pijakan para sufi klasik seperti Hasan al-Basri w. 110 H dan Rabi’ah al-Adawiyah w. 185 H.
17
Inilah alasan penulis tertarik mengambil tema “DIRI YANG OTENTIK; KONSEP FILSAFAT EKSISTENSIALIS SØREN KIERKEGAARD”. Pemikiran
Kierkegaard bergelut dan menyelami tingkah laku individu dalam keseharian yang mewaktu. Dia tidak menciptakan konsep kebenaran yang terlalu utopis
sebagaimana yang dilakukan para filsuf sebelumnya, dari Descartes sampai Hegel yang hanya bergelut pada seputar epistemologi yang “melangit” tanpa menyentuh
“bumi”, yaitu eksistensi individu secara kongkrit. Kierkegaard hanya cukup mengamati dirinya sebagai individu yang larut dalam permasalahan sehari-hari
dan kemudian mencoba mengambil keputusan-keputusan yang benar sesuai keyakinan dirinya.
17
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang: Jakarta, 1973, h. 65