Diri Yang Otentik KONSEP DIRI OTENTIK DALAM FILSAFAT
agama yang selama itu dipahami. Hal yang menjadi keprihatinan dalam melihat masyarakatnya adalah akan krisisnya otentisitas.
Otentisitas dalam pandangan Kierkegaard merupakan usaha individu untuk menghayati hidup dengan sungguh-sungguh dan benar melalui subyektifitas.
Hidup yang penuh dengan keselarasan antara penghayatan batin dan penampilan luar. Tidak ada kepalsuan dan penipuan dalam mengaktualisasikan tindakannya,
karena apa yang dilakukan sebagaimana apa yang ada dalam batinnya. Pengalaman Søren Pedersen, ayah Kierkegaard adalah bukti bahwa para
Kristiani jauh dari otentisitas. Ayah Kierkegaard sebagaimana yang telah disebutkan adalah tokoh Kritiani yang dalam wajah luarnya menampakkan diri
sebagai orang yang dekat dengan Tuhan. Khotbah yang selalu diberikan di gereja- gereja seolah-olah itulah suara panjang Tuhan yang harus diaktualisasikan oleh
segenap masyarakat Kristiani. Namun, apa yang dikatakan didepan jamaah sangat berbeda dengan tindakan yang dialaminya. Sebagaimana peristiwa yang tidak
tidak bisa dilupakan oleh Kierkegaard seumur hidup adalah perbuatan dari sang ayah terhadap Ibunya yang sama sekali bertentangan dengan atutan agama.
Dalam perhatiannya akan ajaran-ajran Kristiani, ayah Kierkegaard juga menekankan terhadap keluarganya, tidak terkecuali Kierkegaard untuk benar-
benar takut kepada Tuhan. Sehingga kesan yang nampak bagi Kierkegaard bahwa ayahnya memberikan teladan yang baik bagi masyarakat maupun Kierkegaard
sendiri. Namun, pada akhirnya Kierkegaard mengetahui sesuatu yang tidak disangkanya. Bahwa ayah yang selama ini dihormatinya ternyata sudah
melakukan dosa besar yang selayaknya tidak patut dilakukan oleh sang
penyambung lidah Tuhan. Kierkegaard benar-benar kekecewaan akan tindakan ayahnya yang telah melakukan hubungan suami istri sebelum akhirnya
menikahinya. Ibu Kierkegaard pada semula adalah pembantu ayahnya. Berangkat dari pengalaman hidupnya dengan sang ayah, Kierkegaard
melihat bahwa para tokoh-tokoh gereja seperti pastor-pastor sebenarnya tidak menjalankan ajaran Kristiani, akan tetapi mereka hanya memperjuangkan
kepentingan pribadi dan politik negara. Kierkegaard melihat bahwa tokoh-tokoh gereja penuh dengan kepalsuan. Mereka tidak menjalankan apa yang
diperintahkan oleh sang Ilahi, akan tetapi mereka dengan menggunakan ‘topeng Tuhan’ telah menipu masyarakat Kristiani untuk menjalankan ajaran-ajaran
Tuhan, sementara pribadinya bertentangan dengan apa yang dituturkannya. Mereka adalah simbol kepalsuan atau berhala.
27
Kierkegaard benar-benar ingin menjalankan hidup otentik. Kesungguhan Kierkegaard nampak ketika ia memutuskan tunangannya yang beberapa bulan lagi
hampir ke jenjang pelamina. Bagi Kierkegaard perkawinan penuh dengan kepalsuan. Di dalam rumah tangga tentu akan muncul beragam hal-hal yang
tersembunyi dan kemunafikan yang nanti akan menggerogoti otentistas individu. Kierkegaard menyadari akan kekurangan fisiknya, sifatnya yang melankolis yang
kemudian ia lebih memilih hidup dalam kesendirian, tanpa menjalin relasi dengan kekasihnya maupun pastor-pastor di Gereja.
Hidup kesendirian Kierkegaard sangat kental tatkala ia mengkritik kerumunan crown. Yang dimaksud dengan kerumunan adalah individu-individu
27
Thoman Hidya Tjaya, Kierkegaard., h. 24
yang berkumpul yang disana sama sekali tidak menampakkan identitas seorang subyek. Ini yang menjadi kritik Kierkegaard selanjutnya berkenaan dengan
otentisitas. Otentisitas tidak akan ada pada individu yang berkerumun. Kierkegaard menyarankan kepada kita untuk keluar agar nampak identitas yang
sebenarnya. Kritik terhadap kerumunan juga bagi Kierkegaard merupakan kritik
terhadap identitas diri seorang Kristiani. Dimana seorang Kristiani terlahir dalam agama kristen, hidup di lingkungan Kristen, menjalankan ritualisasi kristen namun
tidak menggali apa makna dari seorang kristen tersebut. Mereka lebih melihat formalisme simbol Kristiani ketimbang esensi ajaran Kristiani itu sendiri. Dengan
kata lain mereka hanya mengikuti apa-apa yang telah diwariskan oleh bapak dan kakek mereka tanpa meninjau ulang isi doktrin yang sebenarnya harus dipahami.
Menurut Kierkegaard, hidup semacam ini ibarat perahu yang terjebak dalam sebuah lumpur yang tidak bisa bergerak akibat tidak ada lagi tumpuan
untuk menggayuhnya.
28
Roda kemajuan akan berhenti berputar akibat tidak ada lagi kesadaran akan identitas seorang individu. Mereka lebih suka berkerumun
ketimbang menghayati akan dirinya. Mengikuti kerumunan menurut mereka lebih enak dan mudah karena tidak akan memakan tenaga dan pikiran dari pada
bergulat dalam kehidupan untuk mendapatkan identitas dirinya. Kerumunan atau publik penuh dengan beragam jenis individu yang
mempunyai latar belakang masing-masing. Individu-individu yang ada dalam kelompok hanya memiliki satu identitas yang ini bersifat abstrak. Sebagaimana
28
Thomas Hidya Tjaya, Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, Jakarta, KPG, 2004, h. 77
yang terlihat dalam kampanye-kampanye dan demo-demo masing-masing individu tidak dikenal sebagai satu subyek, melainkan yang terlihat adalah suatu
kelompok yang mana identitas individu mereka hilang. Kierkegaard menyarankan terhadap individu hendaklah lari dari
kerumunan. Karena dengan itu inidividu akan terlihat pribadi dirinya. Individu yang keluar dari kerumunan atau kelompok akan menyadari eksistensi sejatinya,
akan berjuang, bergulat, menghadapi perlawanan, dan mengalami hasrat atau gairah dalam membuat keputusan-keputusan hidupnya. Kesendirian akan
menampakkan diri yang menjadi become a self dan bukan sekedar ada begitu saja atau hidup dalam rutinitas. Karena itu, Kierkegaard sangat menekankan
hasrat dan komitmen sebagai inti hidup batin.
29
Sebab dengan ini individu berani membuat keputusan-keputusan hidup yang di buatnya dan pergulatan hidupnya.
Inilah yang di sebut dengan diri yang otentisitas atau individu yang otentik. Manusia dalam menyelami kehidupan selalu menghadapi akan rutinitas
keseharian. Rutinitas itu merupakan suatu kegiatan yang sederhana sebagaimana seorang mahasiswa dalam kesehariannya menghadapi beragam motif entah pergi
kuliah, berkumpul dengan teman, hubungan cinta dengan kekasihnya, masalah tinggal di kost, berhutang di warung nasi dan lain-lain. Kesemuanya itu jika
individu benar-benar menyadari akan dirinya terhadap permasalah keseharian tersebut maka akan muncul kecemasan anxiety.
Masalah-masalah tersebut ketika benar-benar diiringi dengan kesadaran penuh nantinya akan menimbulkan ‘kecemasan’. Kecemasan ini pada akhirnya
29
Thomas Hidya Tjaya, Kierkegaard., h. 81
akan membuahkan suatu keputusan. Kecemasan bukan berarti takut akan pilihan- pilihan yang muncul, akan tetapi itu merupakan suatu bentuk kebebasan, dimana
seseorang bisa dengan mudah memilih mana yang lebih baik untuknya. Kecemasan itu adalah awal dari usaha individu untuk mencapai otentisitas.
Dalam tahapan-tahapan eksistensi yang dijelaskan Kierkegaard dari berbagai karyanya tidak lain adalah sebuah proses perjalanan hidup Kierkegaard
sendiri. Dimana pada akhirnya Ia sampai pada loncatan religius. Kierkegaard adalah seorang yang intens terhadap keimanannya dan meskipun ia adalah
seorang fanatisme Kristiani, namun Kierkegaard berbeda dengan para Kristiani kebanyakan. Kierkegaard menawarkan sebuah pemahaman baru bahwa kebenaran
yang harus dianut oleh seorang Kristiani adalah kebenaran yang berlandaskan metode subyektifitas, bukan obyektifitas.
Karena dengan metode ini seorang Kristiani akan benar-benar menghayati dirinya secara eksis sebagai individu. Disamping itu juga dengan subyektifitas
yang penuh hasrat akan kebenaran maka individu akan menemukan keimanannya, sebab metode ini adalah pendasaran dari dalam batin individu. Dengan keimanan
yang dimilikinya maka inidividu akan dekat dengan Tuhan sang pemilik kebenaran itu sendiri. Kebenaran Tuhan adalah kebenaran subyektif.
Kierkegaard dalam menyelami dirinya di ruang eksistensi religius, ia merasakan diri sebagai individu yang otentik, dimana dia tidak seperti orang-
orang yang berkerumun. Kierkegaard menyadari dirinya yang penuh identitas memilih keputusan-keputusan berdasarkan keyakinannya, tidak seperti orang-
orang yang berkerumun yang hanya memilih mengikuti orang-orang kebanyakan.
Di sisi lain keotentisitasan Kierkegaard terbukti bahwa Kierkegaard menghindarkan diri dari semua bentuk kepalsuan. Dia memberanikan diri untuk
memutuskan dengan relasi-relasi yang ada di sekitarnya khususnya dengan relasi kekasihnya. Meskipun begitu berat ia lakukan toh itu bagi Kierkegaard adalah
sebuah misi yang harus dilakukan, dengan berat hati Kierkagaard memutuskan hubungan pertunangannya kepada orang yang dicitainya.
Kierkegaard sadar bahwa apa yang dilakukannya sangat menyakiti perasaan kekasihnya dan keluarga kekasihnya. Akan tetapi bagi Kierkegaard
inilah misinya dimana ia adalah seorang yang bereksistensi pada wilayah religius, bukan pada wilayah etis, apalagi wilayah estetis. Dengan keimanannya yang teguh
Kierkegaard harus melawan paradok-paradok yang berada dihadapannya. Kiergegaard tidak peduli apakah itu bertentangan dengan masyarakat umum atau
tidak. Yang ia lakukan hanyalah berdasarkan keimanan terhadap Tuhannya semata yang berusaha untuk menjadi diri yang otentik. Hal ini bagi Kierkegaard
tak ubahnya sebagaimana Ibrahim yang mencoba ingin menyembeleh putranya Ishaq. Dimana perbuatan yang dilakukan Ibrahim sangat bertentang dengan
hukum masyarakat yang ada, dan juga secara akal sangat melanggar nilai-nilai kemanusiaan. Akan tetapi di mata Ibrahim hal ini adalah sebuah misi untuk
mencapai kebenaran Tuhan. Menjalankan perintah-Nya. Ia harus melakukannya berdasarkan keimanan yang dimilikinya, apapun resiko yang tanggung.
Antara Ibrahim dengan Kierkegaard tentu berbeda jika dilihat dari segi peristiwa yang mereka alami. Namun mereka memiliki kesamaan dalam mencapai
tujuan pendekatan diri kepada Tuhan, yaitu menyingkapkan paradok-paradok dari
masalah kehidupan. Paradok yang dialami Ibrahim berupa penyembelihan putranya Ishaq. Meski bertentangan dengan hukum etika dan moral Ibrahim tidak
akan mempedulikannya, sebab apa yang akan ia lakukan adalah sebuah misi tuhan yang mau tidak mau jika akan mencapai keimanan kepada-Nya harus dilakukan.
Sementara Kierkegaard sendiri mengalami sebuah paradok yang berbeda dengan Ibrahim. Paradok yang dialami Kierkegaard adalah pemutusan hubungan dengan
orang lain, tak terkecuali kekasihnya. Hal ini merupakan misi untuk mencapai keimanan kepada-Nya.
Perbedaan pengalaman yang dialami oleh Kierkegaard dengan Ibrahim memiliki kesamaan berupa menghadapi paradok-paradok kehidupan, hingga
mencapai keimanan kepada Tuhan. Kierkegaard sadar bahwa ia memiliki kualitas yang sangat berbeda dengan Ibrahim. Ibrahim adalah sang pilihan Tuhan,
sementara Kierkegaard adalah anak yang dilahirkan dari buah perzinahan. Meski perbedaan ini seperti jurang pemisah, namun Kierkegaard yakin bahwa dia dapat
mencapai derajat keimanan yang dekat kepada Tuhan sebagaimana yang dialami Ibrahim. Dengan mencapai posisi religius keimanan Kierkegaard akan mendapat
posisi yang sama di mata tuhan. Inilah titik keotentikan Ibrahim dan Kierkegaard.